Share

Bab 3

Penulis: Affad DaffaMage
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

“Kamu yakin pesan ke anak tekkom itu?” tanya temanku saat kelompok mata kuliahku berkumpul. Aku menganggukkan kepala. Setidaknya, meskipun aku jarang berinteraksi dengan laki-laki yang aku kenal awalnya dari sebuah komunitas kepenulisan.

“Kenapa yakin sih, Aristy?” tanya temanku yang lain. Bukan apa, cuma semenjak dua tahun lalu dia jadi satu dari dua orang yang sering aku rujukkan. Aku tersenyum.

“Sebenarnya sudah kenal sama Affa semenjak dulu sih. Gak akrab, cuma dia tipikal yang pasti selesai,” jawabku sekenanya, “lagipula, dia kasih kompensasi juga. Padahal dia sendiri bilang itu harga aslinya satu juta,” lanjutku.

“Heh. Kamu gak bilang apa-apa lho Aristy!” balas teman-temanku terkejut. Mungkin fakta bahwasanya Affa ternyata salah satu orang yang sering terlibat proyek kampus sudah terdengar di kalangan mahasiswa yang mengambil teknopreneur, dan kualitas kerjanya sudah pasti. Tapi, juga rahasia umum kalau dia letakkan harga tinggi.

“Ya kan yang penting beres. Lagipula kita juga sudah selesai sama BMS nya dan siap presentasi,” komentarku lagi seraya menunjuk ke kertas yang ada di meja. Kertas yang berisi rancangan bisnis kelompok ini.

“Ya pas situ bilang pembuat aplikasinya minta BMS nya beres ya gupuh semua. Kan situ sendiri yang paling ribut,” komentar salah satu anggota yang lain. Ya, aku juga yang akhirnya garap sebagian besarnya. Dasar nyebelin kalian.

“Kalau lamban dia bisa kerjain milik orang malah. Dia kasih slot satu soalnya dia kenal aku,” komentarku sekenanya. Teman-temanku hanya diam, tidak terlalu membicarakannya lebih lanjut.

“Ini sudah beres kan buat presentasi selasa?” tanyaku. Semua menganggukkan kepala.

“Kalau begitu, aku pulang dulu,” ucapku seraya berdiri dan pamit.

Saat aku berjalan ke motor milikku, ada pesan yang masuk.

Affa: Aplikasinya bisa siap besok. Kira-kira mau diambil lebih cepat atau tetap senin? Aku takutnya senin ada urusan sama dosen.

Aristy: Besok deh kalau begitu Fa.

Affa: Aku kirim saja lewat sini ya, biar situ gak perlu ribet keluar.

Aristy: Tau amat kalau aku gak suka ketemuan.

Affa: Iya iya. Jangan lupa pembayarannya. Aku tunggu maksimal besok.

Aristy: Oke. Siang ini aku transfer.

Ya, pembayaran 400 ribu yang disepakati. Aku masih heran kenapa dia mau memotong sampai 60 persen. Yang aku tahu, bikin aplikasi seperti yang dibuat kelompokku ini tidaklah mudah.

Aku beranjak pergi menuju ATM terdekat. Memang, kuliahku lebih mudah karena beasiswa, tapi pengeluaran diluar uang kuliah seperti ini mengganggu keuanganku. Aku memasukkan kartuku ke ATM. Pin keamanan aku ketikkan.

Aku membuka ponselku, mengetikkan nomor rekening yang Affa berikan. Setelah itu, aku masukkan angka 400 ribu ke jumlah uang yang dikirimkan dan aku konfirmasi. Sebuah struk keluar dari mesin ATM. Aku foto struk itu.

Aristy: [Foto] Ini struknya. Aku tunggu ya.

Affa: Iya. Makasih.

Bicara soal Affa, dia bukan penulis novel seperti Shadox. Dia hanyalah penulis biasa, yang seenggaknya dia bilang sendiri pemula, dan mencoba meluangkan sebagian waktu luangnya untuk menuliskan sebaris kata setiap harinya. Di komunitas sendiri, dia termasuk cukup aktif, tapi lebih kepada mendengarkan keluh kesah anggota lainnya dengan drama kehidupan.

Dan tentu saja, mendengarkan keluh kesah bisa menjadi masalah berkepanjangan. Aku tidak tahu, tapi seenggaknya beberapa anggota lainnya yang aku kenal di grup itu sudah suka dengan dia. Aku tidak terlalu peduli, dan aku juga tidak tertarik untuk akrab dengan dia.

Ayolah, aku tidak paham mengapa mereka tertarik dengan si dingin yang responnya lebih lambat daripada panda bangun kalau gak ada uang terlibat. Dia hanya berbicara singkat dan sangat irit kalau tidak ada kepentingan.

Selesai dengan semua urusan kuliah bisnis ini, aku memutuskas untuk kembali ke kos aku tinggal. Tidak ada juga yang ingin bertemu toh. Selain itu, tugas arsitektur tidak akan diam sendirinya, kan?

Sisa siang itu aku gunakan sepenuhnya untuk mengerjakan pembuatan desain arsitektur. Jika berbicara soal ibadah, aku sedang berhalangan. Bahkan, sore pun ku pakai untuk mengerjakan desain, sebegitu banyaknya tugas dari kampus.

Sebuah notifikasi masuk di ponselku. Isinya adalah beberapa anggota komunitas ribut di grup lagi. Bukan hal baru untuk terjadi lagi, dan konyolnya, ini tentang Affa lagi. Menyebalkan memang, apalagi kala orang-orang yang masih belum dewasa meributkan hal-hal seperti cinta.

Affa: Bisa gak kurangin ributnya!?

Oke. Aku melihat pesan itu lewat di ponselku. Baru pertama kalinya Affa sampai berkomentar demikian.

Affa: Aku gak tahu kenapa kalian suka banget sih ribut soal aku. Tapi tolong ya, jangan spam. SATU MINGGU SAJA KEK ATAU SAMPAI BUG SOUND LAPTOP BERES. Kalau ini aplikasi gak ngebug patch nya kemarin di laptop, tenang idupku kek biasa.

Lele: Tombol mute aja bang. Biar gak ke spam.

Affa: Bugnya di tombol mute Lele. Gak bisa dipake. Ke silent semua chatku di laptop.

Lele: Baru tau ada bug gitu.

Affa: Gak paham dah kerjaan vendor. Mentang-mentang ini aplikasi dalam negeri, seenak udel bikin bug. Sudah aku kirim beberapa jam lalu laporan bugnya.

Aku hanya membaca semua pesan itu.

“Tumben,” komentarku. Tidak biasanya Affa sampai seperti itu. Si dingin itu tidak akan berkomentar umumnya, dan sepertinya melakukan mute terhadap grup kepenulisan. Dia datang hanya kala dia punya waktu.

Affa: Kalau gak aku keluar dulu deh sampai ini bug beres.

Dan beberapa pesan berikutnya seperti pintaan supaya dia tidak keluar. Aku memutar bola mataku malas. Gak kehidupan nyata, gak grup, semuanya drama. Aku memutuskan untuk mandi sore dulu. Terlalu melelahkan berurusan berjam-jam dengan desain arsitektur.

Selesai mandi dan mengganti pakaian, sebuah notifikasi masuk.

Affa: [Mengirim File] Ini APK nya. Bisa dicoba dulu. Kalau ada kendala tolong dikabarin. Kalau bisa besok sudah masuk apa aja isunya. Aku perlu waktu soalnya kalau ngebenerin biar senin sudah siap.

Aku membuka seluruh percakapanku dan Affa, yang isinya hanyalah tentang beberapa pertanyaan terkait tugas waktu SMA dulu.

Aristy: Aku dan tim coba dulu. Makasih Fa.

Aku mengunduh file yang dikirimkan oleh Affa. Tidak berat untungnya. Setelah dua menitan, unduhan selesai. Aku pun meneruskan file itu ke anggota lainnya.

Aristy: [Mengirim File] Dicek dulu.

Aristy: Kalau ada masalah, segera bilang. Ditunggu sama orangnya.

Aku yakin mereka akan perlu waktu untuk memeriksanya. Aku sendiri masih perlu menyelesaikan sisa dari tugas arsitekturku.

Aini: Kak Aristy!!!!

Aini: Kak Aristy on gak kak?

Aini: Aini mau curhat dong kak

Notifikasi itu muncul di ponselku. Aku menghela nafas berat. Ini sepertinya akan menjadi hari yang panjang. Dan aku berharap aku tidak makan hati karena kesal dengan panjangnya hari ini.

Bab terkait

  • Hati Biru Affa   Bab 4

    Tidak perlu alasan untuk berbuat baik.“Makasih banyak atas bantuannya, Dekker,” ucapku kepada asisten yang satu tahun dibawahku secara akademis. Dekker menganggukkan kepalanya.“Makasih juga lho mas. Dapat 150 ribu lagi dari UI UX. Emang berapa sih bayarannya mas seluruh aplikasi gitu?” tanya Dekker.“400 ribu. Itu harga khusus,” jawabku datar. Dekker terkejut mendengarnya.“Seriusan mas!? Biasanya sampean sampe 1 juta per proyek. Makanya anak-anak tekno takut pesan ke sampean kecuali emang mau ngambis,” balas Dekker terkejut. Ya, aku tahu semua aplikasi yang aku kembangkan selalu mendapat juara di teknopreneur, bahkan beberapa dilombakan oleh klien. Ah, yang penting aku dapat share.

  • Hati Biru Affa   Bab 5

    “Kepada kelompok 4 dipersilahkan maju,” ucap sang dosen mempersilahkan kami untuk mempresentasikan ide bisnis dan progresnya. Salah satu temanku yang cukup jago dengan presentasi berusaha menunjukkan kemampuan presentasinya sebaik mungkin. Ya, aku tidak suka dengan kondisi seperti sekarang, maju di depan kelas.Temanku menunjukkan demonstrasi aplikasi, dan saat sebuah logo unik menampilkan diri di awal aplikasi, sang dosen terlihat terkejut untuk beberapa saat sebelum dia kembali menormalkan netranya. Apa yang membuat logo aneh dalam aplikasi yang diberikan Affa bisa memberikan reaksi itu?Demonstrasi aplikasi berjalan lancar. Penjelasan juga selesai. Dan kala sesi tanya jawab, teman-temanku bisa melakukan tugasnya dengan baik. Setidaknya mereka tidak sepenuhnya menyebalkan, dan benar-benar membantu.“Oh ya. Saya mau tanya, kalian

  • Hati Biru Affa   Bab 6

    Tidak semua hal akan membekas dalam ingatan manusia.“Kenapa tiba-tiba dia membahas itu?” komentarku seraya masuk ke lab, tentunya mengucapkan salam. Aku yang baru selesai bimbingan, segera duduk ke kursi asisten milikku.“Eh, di sini ada yang kemarin sekelas dengan klien-klienku tahun lalu?” tanyaku kepada asisten-asisten di laboratorium. May menganggukkan kepala.“Ada satu di tempat saya Mas. Waktu itu sih dosennya komentar keknya mereka serius banget sama bisnis mereka. Cuma itu aja sih,” jawab May. Aku mencoba berpikir. Oke, itu menjelaskan kenapa Aristy bertanya tentang logo. Tapi...Bagaimana dia tahu tentang kakakku?“Oh ya Mas, baru ingat lag

  • Hati Biru Affa   Bab 7

    Tembuslah ilusi yang mereka ciptakan. Jangan tertawan oleh manisnya tipu daya.Bagi warga biasa, keberadaan Zero Law Tolerance System, disingkat ZLTS, adalah sebuah misteri. Sistem keamanan dan deteksi tingkat tinggi ini dipakai dalam pelacakan, proses penembusan data, hingga pengawasan pergerakan semua warga negara di Indonesia guna melindungi warga negara dari kejahatan. Nama ZLTS adalah nama proyek di perusahaan Arrow-Azhar. Nama teknologi ini di pemerintah adalah Sistem Keamanan Siber Nasional, disingkat SKSN, bukan sksd.Sistem ini adalah pelanggaran terhebat terhadap hak kerahasiaan seluruh warga negara. Dengan topeng demokrasi, sistem seperti ini digunakan oleh pemerintah untuk mengawasi kemungkinan peristiwa kejahatan. Namun, aku pribadi merasa ini bisa lebih menakutkan. Aku hanya berharap, kare

  • Hati Biru Affa   Bab 8

    Semua orang punya kelebihannya dan kekurangannya sendiri.Aku bukannya lari dari masalah logo itu. Aku hanya tidak ingin membuka luka yang telah ditutup rapat. Biarkan saja sejarah logo itu tenggelam, dan menjadi sebuah mitos yang tidak pernah dijelaskan. Lagipula, logo itu adalah simbol kegelapan negeri ini sekarang.Kenapa kegelapan? Karena orang dibaliknya adalah cikal bakal keberadaan Azhar EduTech. Keberadaan orang-orang baru yang berkuasa dan memainkan kehidupan seperti pion. Aku pun melihat diriku demikian, hanyalah pion di tangan Mas Azhar dan Mas Arrow.Subuh itu aku laksanakan dengan khidmat. Namun, rasanya seperti ada yang salah kala aku selesai.“Jika aku menyelesaikan semua ini, maka sama saja aku berkontribusi membawa keg

  • Hati Biru Affa   Bab 9

    “Aku sih gak senang kita lanjutin ini,” keluh salah satu rekan kelompokku. Aku hanya mendengarkan mereka dengan bosan.“Coba kalo gak ada logo itu. Sekarang kita sudah diperhatikan sama semua dosen tekno,” keluh rekan kelompok yang lain. Aku juga tidak terlalu tertarik melanjutkan, tapi tidak ada salahnya dicoba. Siapa tahu bagus kan?“Ini gara-gara kamu, Aristy!” tuduh salah satu anggota. Aku langsung berdiri dari tempat aku duduk. Dia ingin ribut? Akan aku berikan.“Heh! Kemarin yang ngurus BMS dan kejar-kejaran buat setor itu aku ya!” balasku ketus. Terserah mereka akan memusuhiku setelah ini. Keterlaluan saja sekarang menyalahkanku. Kemarin-kemarin kalian pada nongki gak jelas abai sampai aku gelabakan jam 11 malam buat selesaikan BMS yang belum rampung. Mana ada tugas Studio juga. Sial emang!

  • Hati Biru Affa   Bab 10

    Jangan termakan oleh ilusi kebebasan yang palsu.“Terima kasih untuk hari ini,” ucap Mas Azhar saat izin pamit hari itu. Aku hanya menganggukkan kepalaku. Jangan terlalu banyak berkomentar, cukup akhiri saja.“Sama-sama Mas. Saya pulang dulu,” balasku dengan hormat. Beliau menganggukkan kepala dan mempersilahkanku pulang. Netra ini sempat memperhatikan perempuan yang menjadi asisten beliau, namun abaikan saja.Setelah aku tiba di rumah, baru aku lepaskan semua deru nafas yang tersembunyi. Pekatnya kegelapan yang menyelimut tempat itu seakan menelanku hidup-hidup. Menyebalkan sekali.“Berat sekali,” gumamku. Aku meletakkan laptopku di meja kamarku. Jam menunjukkan angka 9 malam, dan aku lelah. Ponselku berd

  • Hati Biru Affa   Bab 11

    “Bosan!” keluhku kesal. Kenapa harus ada sekolah di hari sabtu sih.“Jangan ngeluh mulu ih. Dasar Aini,” komentar teman akrabku. Aku menatap kesal dengan komentarnya dan langsung menyerang balik.“Ya maaf ya Niqma, situ kan punya si Nata. Gak kek gue, jomblo!” ketusku seakan menyatakan itu seperti sebuah fakta. Temanku itu langsung memerah.“Jangan sembarangan sebut nama dia dong,” ucap Niqma dengan wajah memerah. Aku langsung menyerang berulang kali.“Nata Nata Nata Na-” Niqma segera menyumpal mulutku dengan tangannya. Dia menatapku tajam.“Jangan. Sebut. Nama. Dia,” tekannya pada setiap kata. Aku tersenyum sinis.“Cemburu?” sindirku. Niqma langsung berteriak

Bab terbaru

  • Hati Biru Affa   Epilog

    Dering ponsel di jam dua malam itu mengejutkanku dari tidur nyenyakku setelah perjalanan indah bersama Fafa, kekasihku. Aku melihat sebuah nama yang cukup familiar di ponselku.“Huh? Malam, Zul,” ucapku pelan seraya mengangkat panggilan itu. Kesadaranku masih sebelumnya pulih.“Fafa diserang Mut!” teriak Zul di saluran seberang, membuatku langsung mengerjap sepenuhnya ke dunia nyata.“Apa!? Serius Zul!” teriakku tidak percaya. Kalau ini lelucon, aku pastikan Zul akan ku blacklist.“Serius oi! Aku gak main-main ini! Langsung di RS X Harapan, segera!” Aku langsung menjatuhkan ponselku. Peristiwa macam apa ini?Dengan kepanikan, aku segera berganti pakaian. Terburu-buru, suara

  • Hati Biru Affa   Bab 25

    “Aku terlalu sibuk dengan luka yang ku biarkan menghancurkanku.”Selesai makan, Mutia membuka percakapan. Aku memberi isyarat privasi kepada para pelayan, yang diikuti dengan mereka keluar dari ruangan.“Jujur saja, aku masih terkejut, Fa,” ucap Mutia pelan. Dia tampak memilah kata-kata yang ingin dia lontarkan.“Kenapa?” tanyaku datar. Aku meletakkan kedua tangan di depan wajahku, seakan berpikir.“Soal pekerjaanmu. Kamu sungguh-sungguh bekerja di sana? Entah kenapa... rasanya aneh,” jawabnya ragu. Maksudnya meragukannya.“Bekerja di Azhar EduTech tidak masuk akal jika melihat sekilas dari fakta aku baru kuliahan. Tapi, lihat sendiri,” balasku se

  • Hati Biru Affa   Bab 24

    “Kepercayaan adalah benda termahal yang kita jual kepada orang lain.”“Selamat pagi, Affa,” ucap Mas Azhar kala aku tiba. Semua anggota lainnya sudah terkumpul, dan jam menunjukkan angka 7 lewat 58. Dua menit lagi.“Selamat pagi Pak. Selamat pagi rekan-rekan semua,” sapaku kepada semua rekan tim yang hadir. Mas Azhar pun memulai rapat pagi itu.Jam menunjukkan angkat 11 lewat 30 saat Mas Azhar memperkenankan kami istirahat. Aku membuka ponselku, dan melihat banyak pesan dari Mutia dan telepon tidak terangkat langsung masuk sebagai notifikasi.“Good job, jammer,” keluhku.Mutia: Say?Mutia:

  • Hati Biru Affa   Bab 23

    “Tanpa hati, semuanya akan menjadi berat.”“SERIUSAN!?” teriakan itu dilontarkan oleh May kala anak-anak lab menghubungi asisten yang sedang lomba itu. Aku melihat asisten lainnya hanya menganggukkan kepala. Jam menunjukkan angka 7 malam.“Heh. Ada yang video gak eh!?” tanyanya lagi. Yusuf langsung memberikan jawaban.“Sudah aku rekam,” jawab Yusuf setegar mungkin. Ayolah Suf. Aku tidak sebodoh itu untuk tidak melihat kamu patah hati.“Widih. Mas Yusuf gapapa tuh?” sindir May langsung. Anak itu memang sangat frontal ya.“Tangguh dong,” balas Zul membantu Yusuf. Yusuf langsung memberikan tos kepada rekannya itu, yang dibalas dengan cepat oleh Zul.&

  • Hati Biru Affa   Bab 22

    “Semua pilihan yang kita ciptakan, akan memiliki konsekuensi. Kita yang melarikan diri dari kenyataan pun, sadar akan hal ini.”“Maaf... saya telat,” ucapku dengan nada rendah kala aku tiba di laboratorium. Kesulitan tidur tadi malam karena kaset memori peristiwa hari sabtu kemarin masih berputar di otakku.“Tidak apa, Fa,” ucap Mutia, mewakili kelompoknya. Aku melihat praktikan lainnya tampak berbisik kecil ke diri mereka masing-masing. Antara hinaan, ejekan, atau apalah itu, aku tidak peduli opini mereka.“Langsung masuk saja. Asistensinya di ruangan lab,” komentarku kepada mereka seraya membuka pintu laboratorium.“Assalamu’alaikum,” sapaku kala memasuki laboratorium. Balas

  • Hati Biru Affa   Bab 21

    Jangan lupa untuk selalu memakai wajah poker, seperti seorang Kaito Kid.“Hei Affa!” suara tinggi itu mengejutkanku, membuatku menghentikan langkah dan membalikkan wajah, untuk dihadiahi dengan sebuah bogem mentah di wajah.“Apaan sih, Aristy!?” tanyaku ketus. Aristy mencoba mengoreksi tangannya yang baru saja membogem mentah wajahku.“Egois sekali,” jawabnya dingin.“Apa yang egois? Toh benar saja toh?” tanyaku datar. Aristy menatapku tajam.“Egois bangke! Lu gak sadar kalau tuh cewek mewek gara-gara lu bangke!” balasnya ketus. Terus, masalahnya apa dengan itu?“Lalu?”“Kamu takut kehilangan kan? Sikapmu i

  • Hati Biru Affa   Bab 20

    Kala kita meyakini bahwa semua beban kita bisa diselesaikan, kala itu kita mulai mencari jalan keluar dari beban itu dengan kepala dingin.Aristy: [Lihat Status] Takut kehilangan ya?Affa: Iya.Aristy: Kenapa?Affa: Hmmm....Aristy: Ya sudah. Gak ada yang maksa kok.Aku menutup percakapan itu dan menghembuskan nafas berat. Mungkin tidak ada salahnya menjelaskan sedikit. Setidaknya, beban di benakku bisa ku lepas.Affa: Aku kehilangan orang berharga dalam hidupku dulu.Aristy: Turut berduka.

  • Hati Biru Affa   Bab 19

    Ada harapan yang tidak tertulis, selain dalam hati.Aristy: Semua ada di chat kemarin.Affa: Aku sudah baca semua itu.Aristy: Apa kurang? Aku sudah memberikan percakapan intinya.Affa: Rasanya masih ada yang kurang.Aristy: Saat kamu bilang di grup dulu kamu menyukai seniormu, dia nangis kejer di chat denganku. Aku aja sampai harus tenangin tuh anak.Affa: Oh, 3 tahun lalu.Aristy: 2 tahun lalu dia mulai mencoba move on, tapi tidak bisa.Affa: Kenapa?

  • Hati Biru Affa   Bab 18

    Hati itu unik. Dia tidak mengikuti akal yang dimiliki manusia.Affa: Oh ya. Aku mulai kepikiran. Kamu akrab sama Aini?Aristy: Kenapa memangnya?Affa: Mau tanya. Aku jengkel soalnya.Aristy: Keknya kamu yang gak peka.Affa: Apa maksudmu?Aku merasa tersinggung dengan kalimat itu entah kenapa. Ini seperti Rahima mengejekku dengan kata ‘tidak peka’. Bedanya, ini adalah seorang perempuan yang tidak pernah bertemu denganku. Orang asing. Dia berani mengejekku.Aristy: Darimana aku harus mulai menjelaskan ya?

DMCA.com Protection Status