Semua orang punya kelebihannya dan kekurangannya sendiri.
Aku bukannya lari dari masalah logo itu. Aku hanya tidak ingin membuka luka yang telah ditutup rapat. Biarkan saja sejarah logo itu tenggelam, dan menjadi sebuah mitos yang tidak pernah dijelaskan. Lagipula, logo itu adalah simbol kegelapan negeri ini sekarang.
Kenapa kegelapan? Karena orang dibaliknya adalah cikal bakal keberadaan Azhar EduTech. Keberadaan orang-orang baru yang berkuasa dan memainkan kehidupan seperti pion. Aku pun melihat diriku demikian, hanyalah pion di tangan Mas Azhar dan Mas Arrow.
Subuh itu aku laksanakan dengan khidmat. Namun, rasanya seperti ada yang salah kala aku selesai.
“Jika aku menyelesaikan semua ini, maka sama saja aku berkontribusi membawa kegelapan yang ditutupi cahaya ke negeri ini. Aku tidak tahu apa yang dipikirkan kedua seniorku itu. Tapi, aku tahu, mereka memegang terlalu banyak kunci yang aku tidak ingin terlalu dekat.”
Aku berjalan ke laptopku, dan terlihat semua proses untuk skripsiku telah selesai. Sepertinya minggu depan aku bisa mulai berfokus sepenuhnya hanya ke buku. Sebuah pesan masuk di grup skripsi untuk Prof Murfid.
Yusuf: Affa, kamu sudah kontak Prof Murfid?
Affa: Buat pekan depan?
Yusuf: Nggak, pekan kemarin! YA IYALAH MALIH!
Affa: Belum.
Mutia: Mohon bantuannya ya Affa. Kemarin aku coba hubungi untuk jadwal minggu depan tapi hanya dapat centang biru.
[Foto]
Affa: Jangan buang waktu kalian kontak beliau. Kalau nggak ada relasi secara proyek dengan beliau, biasanya begitu.
Mutia: Gimana sih caranya sepertimu Fa?
Affa: Maksudnya?
Mutia: Kamu pintar. Dosen-dosen banyak yang percaya ke kamu.
Affa: Aku musuh kalangan mahasiswa.
Yusuf: Jangan dibahas lagi dong.
Affa: Maksudku adalah gak ada yang sempurna.
Yusuf: GAK GITU JUGA!
Mutia: Maaf soal itu.
Affa: Tidak perlu. Aku hubungi sekarang.
Aku tutup chat itu dan segera menghubungi Prof Murfid.
Affa: Selamat pagi Prof Murfid. Mohon maaf mengganggu waktu bapak. Saya Affa Alif Karim mahasiswa skripsi bapak. Saya mohon izin bertanya mewakili teman-teman yang skripsi ke bapak, untuk konsultasi pekan depan bisa dilakukan kapan ya pak? Jika ada yang kurang berkenan, saya mohon maaf.
Affa: Izin melaporkan untuk progress saya Prof. Saat ini seluruh data telah selesai diproses. Saya harap saya bisa mengirimkan hasil dalam waktu dekat.
Aku menutup chat itu. Biasanya beliau mulai membalas jam 7 pagi. Sebuah notifikasi lain masuk ke ponselku. Nama Arrow terlihat jelas di layarku. Aku membuka pesan itu.
Arrow: Soal KP kemarin, aku masih belum dapat satupun aplikasi. Sudah disebarkan.
Affa: Mohon maaf mas. KP biasanya lamban di FTEI, dan saya yakin mas tahu.
Arrow: Apa koordinator susah?
Affa: Benar mas. Beliau sangat selektif dengan berkas KP.
Arrow: Padahal sudah sistem elektronik. Terkadang sistem tidak berguna dengan pemahaman manusia yang kurang.
Aku memutuskan untuk tidak berkomentar dan menutup chat itu. Mas Arrow akan mengoceh jika aku menanggapi.
“Waktunya memulai penghulu hari,” komentarku berdiri. Hari jum’at, atau dalam agama islam dikenal sebagai penghulu hari. Aku bersiap untuk berangkat dari tempat tinggal ke kampus. Rahima masih tidak pulang. Perempuan itu perlu sedikit istirahat. Aku pun berangkat ke kampus.
“Pagi Mas,” sapa beberapa junior bekas praktikum pemograman saat aku berjalan ke lab. Aku tidak menjawab. Mungkin, aku sudah terlalu tidak biasa dengan semua sapa ramah-tamah.
“Pagi sekali gan,” komentar Yusuf kala aku masuk lab. Aku mengabaikan dan langsung berjalan ke mejaku. Aku segera membuka tugas akhirku dan melanjutkan pembukuan yang aku harapkan selesai dalam dua pekan ke depan, sebelum sidang proposal satu bagi teman-teman yang baru mengambil skripsi.
“Kacang gan,” komentar Yusuf kesal. Aku mengabaikannya.
“Kacang mahal!” lanjut Yusuf. Oke. Dia mulai mengganggu. Aku tetap mengabaikannya.
“Kacang-” kalimat Yusuf terpotong oleh ketukan pintu lab. Mahasiswa luar lab?
“Karena kamu punya waktu teriak kacang, sebaiknya kamu yang buka,” komentarku balik. Yusuf mengeluh kesal, tapi dia tetap melakukannya.
“Assalamu’alaikum,” ucap seorang perempuan. Dari suaranya, dia bukan anak lab, maupun Zihan Azizah. Kenapa Zihan Azizah? Dia adalah satu-satunya anak non-lab yang sering ke sini saat Mas Shad belum lulus.
“Wa’alaikumussalam,” balasku dan Yusuf. Lab sepi di pagi hari, namun tidak pernah kosong. Aku melihat ke jadwal jaga, dan menyadari Dekker seharusnya juga hadir. Kenapa lagi tuh anak?
“Ada apa, Mutia?” tanya Yusuf. Aku bisa mendengar percakapan mereka dari posisiku.
“Perlu bantuan sama dataku,” jawab Mutia. Tidak ada percakapan untuk sesaat, sementara ketikanku terus berlanjut. Mutia melanjutkan kalimatnya, “Affa! Apa kamu sibuk?” tanyanya dengan suara keras.
Aku tidak menjawab, dan terus mengetikkan skripsiku. Ini cukup untuk menjelaskan bahwasanya aku sibuk, dan aku tidak ingin diganggu. Biasanya anak itu juga minta tolong Zul kalau masalah skripsi dia. Mungkin karena Zul baru hadir siang?
“Kamu keburu?” tanya Yusuf lagi. Aku tidak mendengar suara balasan dari Mutia. Ketikanku terus berlanjut.
“Oi! Kamu buku gak keburu kan!?” tanya ketus seorang Yusuf. Biasanya ini anak berisik, tapi gak pernah halangin aku skripsi deh. Kesal, aku berhenti mengetik.
“Apa!?” tanyaku ketus. Mutia tampak terkejut, dan dia sedikit mundur.
“Woi! Gak perlu galak juga kan!?” tanya Yusuf membela Mutia. Ini jadi drama, dan aku tidak suka drama. Bisakah Zul datang sebelum jum’atan?
“Hei!” suara tukang heboh Karim terdengar memasuki telingaku. Aku juga melihat Karim datang memasuki lab.
“Seenaknya ya sekarang masuk lab. Isi buku dulu. Aku layani,” ucapku kesal, tapi mengalah. Aku menatap ke arah Yusuf, “tutup pintu.”
Laki-laki itu menurut. Mutia dan Karim mengisi buku tamu.
“Oke, siapa yang perlu bantuan?” tanyaku. Mutia tampak diam, Karim menggelengkan kepala.
“Aku mau terima kasih aja Fa! Pak Zaharian terima hasil kelompok kami!” ucapnya bahagia. Aku tidak sedikitpun merasa puas. Lagipula, bantuanku tidak banyak. Proyek mereka itu masih lelucon dibandingkan apa yang diberikan Mas Azhar.
“Sama-sama,” balasku tanpa emosi. Karim tampak tidak suka, dan dia memberikan balasannya.
“Senyum dong. Semua ini berkat kamu!” puji Karim.
“Simpan pujianmu. Allah lebih pantas dipuji daripada aku,” komentarku. Karim mulai memasuki mode agamisnya dan sebelum dia membuat dialog ini menjadi lama, aku harus mengusirnya.
“Cukup kan? Mutia ada keperluan ke sini. Lain waktu kita bicara,” potongku sebelum Karim memulai ceramahnya. Karim pun menganggukkan kepala dan pergi, tentu sebelumnya sempat menyapa Mutia seraya pergi.
“Ada keperluan apa?” tanyaku kepada Mutia. Perempuan itu tampak ragu, dan hanya memutar dua jari telunjuknya. Namun, tas yang dia bawa cukup sebagai penjelasan.
“Bawa laptop?” tanyaku lagi. Mutia menganggukkan kepala. Dia meletakkan tasnya di meja sampingku, yang seharusnya dipakai oleh Zul, dan mengeluarkan laptopnya.
“Masalahnya apa?” tanyaku. Mutia menjelaskan kendala dari skripsi miliknya. Sangat berbau jaringan, dan itu menyebalkan. Aku lumayan paham jaringan, tapi tetap saja malas jika harus mengutak-atik area itu. Untungnya, sebagian lainnya adalah tentang data.
Sekitar 3 jam aku dan Mutia mencoba melakukan proses perbaikan terhadap skripsi dia. Banyak masalah dari ujung ke ujung, entah bagaimana Mutia bisa membuat kekacauan ini padahal Zul adalah tempat konsultasinya.
“Makasih banyak ya Fa!” ucap Mutia saat kami selesai membenahi skripsinya. Aku tidak memberikan balasanku.
“Sudah selesai kan?” tanyaku balik, “kalau sudah aku mau selesaikan milikku sebelum jum’at,” komentarku dingin. Mutia tampak sedikit terkejut, namun tetap tersenyum.
“Terima kasih,” ucapnya dan dia pun berpamitan, yang aku acuhkan. Saat perempuan itu sudah keluar dari lab, baru seorang Yusuf buka suara.
“Gila emang papa ketua. Gak luluh ama ciwi tercantik,” komentar Yusuf. Aku memutar bola mataku malas.
“Tapi kan Mas Affa bantuin tuh ciwi tiga jam,” komentar Siegfried. Yusuf menggelengkan kepala.
“Itu aku maksa dia,” ucap Yusuf, yang secara tidak langsung menyelamatkanku dari peluru para junior. Nicholas langsung masuk ke dalam pesta.
“Oh, berarti Mas Yusuf berani lawan Mas Affa demi Mba Mutia?” tanya Nicholas. Aku tertawa kecil. Rasakan!
“Nggak begitu!” kilah Yusuf, namun wajahnya memerah malu. Ah, apa mungkin dia memang suka Mutia? Tidak penting. Aku ingin kembali fokus dengan skripsiku. Sebuah notifikasi muncul di kanan layar.
Azhar: Kapan bisa ke kantor? Saya ingin briefing kamu.
Ah, menyebalkan.
“Aku sih gak senang kita lanjutin ini,” keluh salah satu rekan kelompokku. Aku hanya mendengarkan mereka dengan bosan.“Coba kalo gak ada logo itu. Sekarang kita sudah diperhatikan sama semua dosen tekno,” keluh rekan kelompok yang lain. Aku juga tidak terlalu tertarik melanjutkan, tapi tidak ada salahnya dicoba. Siapa tahu bagus kan?“Ini gara-gara kamu, Aristy!” tuduh salah satu anggota. Aku langsung berdiri dari tempat aku duduk. Dia ingin ribut? Akan aku berikan.“Heh! Kemarin yang ngurus BMS dan kejar-kejaran buat setor itu aku ya!” balasku ketus. Terserah mereka akan memusuhiku setelah ini. Keterlaluan saja sekarang menyalahkanku. Kemarin-kemarin kalian pada nongki gak jelas abai sampai aku gelabakan jam 11 malam buat selesaikan BMS yang belum rampung. Mana ada tugas Studio juga. Sial emang!
Jangan termakan oleh ilusi kebebasan yang palsu.“Terima kasih untuk hari ini,” ucap Mas Azhar saat izin pamit hari itu. Aku hanya menganggukkan kepalaku. Jangan terlalu banyak berkomentar, cukup akhiri saja.“Sama-sama Mas. Saya pulang dulu,” balasku dengan hormat. Beliau menganggukkan kepala dan mempersilahkanku pulang. Netra ini sempat memperhatikan perempuan yang menjadi asisten beliau, namun abaikan saja.Setelah aku tiba di rumah, baru aku lepaskan semua deru nafas yang tersembunyi. Pekatnya kegelapan yang menyelimut tempat itu seakan menelanku hidup-hidup. Menyebalkan sekali.“Berat sekali,” gumamku. Aku meletakkan laptopku di meja kamarku. Jam menunjukkan angka 9 malam, dan aku lelah. Ponselku berd
“Bosan!” keluhku kesal. Kenapa harus ada sekolah di hari sabtu sih.“Jangan ngeluh mulu ih. Dasar Aini,” komentar teman akrabku. Aku menatap kesal dengan komentarnya dan langsung menyerang balik.“Ya maaf ya Niqma, situ kan punya si Nata. Gak kek gue, jomblo!” ketusku seakan menyatakan itu seperti sebuah fakta. Temanku itu langsung memerah.“Jangan sembarangan sebut nama dia dong,” ucap Niqma dengan wajah memerah. Aku langsung menyerang berulang kali.“Nata Nata Nata Na-” Niqma segera menyumpal mulutku dengan tangannya. Dia menatapku tajam.“Jangan. Sebut. Nama. Dia,” tekannya pada setiap kata. Aku tersenyum sinis.“Cemburu?” sindirku. Niqma langsung berteriak
Feelings never matter. It never matters in the slightest. When you aim high, emotions are strains that hold your potential away.Sebuah pesan masuk kala aku dan Rahima sedang berbincang seraya menikmati makan sore kami di restoran. Pesan itu aku abaikan dan melanjutkan percakapan dengan Rahima.“Jadi, Rara setuju ikut dengan proyek Mas Arrow?” tanyaku. Rahima yang mendengar suara ponselku dari notifikasi tadi justru memintaku untuk merespons ponselku.“Cek ponselmu. Kali Prof mencari,” jawabnya. Aku melihat ke ponselku dan melihat pesan dari Aini. Aku tidak merespons dan menjawab sederhana.“Bukan chat penting. Kembali ke pertanyaan tadi, Rara setuju?” tanyaku. Rahima menganggukkan kepalanya. Dia tampak memainkan sedotan di gelasnya.
Jangan pernah memancing takdir untuk bermain denganmu.“Persiapan sudah beres kan?” tanyaku kepada May yang mengkoordinasikan persiapan lab. May menganggukkan kepalanya.“Ini Dik Zihan juga sudah datang. Haduh, cantiknya lagi. Mas Shad emang niat banget ya,” puji Yusuf yang melihat Zihan yang didudukkan oleh anak-anak lab di salah satu kursi lab. Ini emangnya acara nikahan ta?“Kamu dapat ide ini darimana? Aeon Raw?” tanyaku heran.“Oh. Ini soalnya Mas Shad aslinya mau bawa Zihan sama dia pas tiba nanti di FTEI. Kan gak nyangka aja dia bakal dikunci di lab yayang dia,” komentar May diikuti dengan cekikian. Aku melihat Zihan pasrah dengan perlakuan para asisten yang usilnya minta ampun.
Kata-kata adalah doa. Jangan bermain-main dengan doa.“Semoga Zihan tidak melihat ini,” ucapan itu aku rapalkan saat menyaksikan video itu. Namun, itu sepertinya sebuah wishful thinking. Takdir seakan meledekku. Apakah ini akibat perkataanku kemarin?“Gila sih, kalau gak diselamatin tuh Rahima bisa terluka,” komentar Zul. Iya, benar poin Zul. Cuma aku berharap justru Mas Faux yang menyelamatkan, bukan Mas Shad. Ini akan jadi buah bibir lintas fakultas, dan menjadi luka. Luka bagi Rahima, bagi Zihan.“Kenapa kamu tampak mikir keras?” tanya Zul kepadaku. Aku menggelengkan kepala.“Bukan apa-apa Zul. Hanya ada beban di benakku. Ya sudah, kita masih harus fokus dengan har
Waktu itu hanya mengajarkan tiga hal: lalu, kini, nanti. Masa lalu untuk dipelajari, masa kini untuk dijalani, masa nanti untuk diperjuangkan.Mars kebanggaan FTEI mengudara bebas kala para wisudawan berjalan menuju sebuah bendera yang menjadi simbol kebesaran FTEI. Satu mars terakhir dikumandangkan oleh pemimpin para wisudawan, yang diikut oleh semua mahasiswa dan wisudawan FTEI.Asap segera memenuhi tempat itu, menandakan perayaan. Sementara itu, bendera raksasa yang menghalau mereka langsung digulung ke atas, membukakan jalan. Penampilan dari mahasiswa baru segera mengikuti.Para wisudawan pun berlalu setelahnya menuju tempat duduk yang tersedia. Bersama kedua orang tua mereka. Beberapa dengan pendamping mereka. Aku melihat asisten-asisten lab perempuan membawakan Zihan dari X-106 ke bawah. Ya kan, aku gak habis pikir kok
Ada banyak persahabatan yang dirusak oleh cinta. Ada banyak ikatan yang retak karena cinta. Ada banyak luka yang tercipta karena cinta. Pertanyaannya, apakah ini salah cinta?Mutia: Maaf baru selesai, Affa. [Link]Aku membuka link yang dikirimkan oleh Mutia. Sepertinya anak ini tidak terlalu bisa memakai git. Ah tidak masalah. Aku harus selesaikan pekerjaan ini sebelum tidur.Membaca seluruh kode, database, dan sistem yang diberikan. Aku mencoba memutar otak untuk memastikan semuanya sesuai. Azan subuh berlalu kala aku masih sibuk dengan pekerjaanku. Hembusan berat keluar dari mulutku setelah selesai azan.“Salat dulu. Sepertinya setelah tidur hari ini saja,” gumamku. Aku mengakhiri pekerjaanku dan mengambil wudu, melaksanakan subuh, lalu bera
Dering ponsel di jam dua malam itu mengejutkanku dari tidur nyenyakku setelah perjalanan indah bersama Fafa, kekasihku. Aku melihat sebuah nama yang cukup familiar di ponselku.“Huh? Malam, Zul,” ucapku pelan seraya mengangkat panggilan itu. Kesadaranku masih sebelumnya pulih.“Fafa diserang Mut!” teriak Zul di saluran seberang, membuatku langsung mengerjap sepenuhnya ke dunia nyata.“Apa!? Serius Zul!” teriakku tidak percaya. Kalau ini lelucon, aku pastikan Zul akan ku blacklist.“Serius oi! Aku gak main-main ini! Langsung di RS X Harapan, segera!” Aku langsung menjatuhkan ponselku. Peristiwa macam apa ini?Dengan kepanikan, aku segera berganti pakaian. Terburu-buru, suara
“Aku terlalu sibuk dengan luka yang ku biarkan menghancurkanku.”Selesai makan, Mutia membuka percakapan. Aku memberi isyarat privasi kepada para pelayan, yang diikuti dengan mereka keluar dari ruangan.“Jujur saja, aku masih terkejut, Fa,” ucap Mutia pelan. Dia tampak memilah kata-kata yang ingin dia lontarkan.“Kenapa?” tanyaku datar. Aku meletakkan kedua tangan di depan wajahku, seakan berpikir.“Soal pekerjaanmu. Kamu sungguh-sungguh bekerja di sana? Entah kenapa... rasanya aneh,” jawabnya ragu. Maksudnya meragukannya.“Bekerja di Azhar EduTech tidak masuk akal jika melihat sekilas dari fakta aku baru kuliahan. Tapi, lihat sendiri,” balasku se
“Kepercayaan adalah benda termahal yang kita jual kepada orang lain.”“Selamat pagi, Affa,” ucap Mas Azhar kala aku tiba. Semua anggota lainnya sudah terkumpul, dan jam menunjukkan angka 7 lewat 58. Dua menit lagi.“Selamat pagi Pak. Selamat pagi rekan-rekan semua,” sapaku kepada semua rekan tim yang hadir. Mas Azhar pun memulai rapat pagi itu.Jam menunjukkan angkat 11 lewat 30 saat Mas Azhar memperkenankan kami istirahat. Aku membuka ponselku, dan melihat banyak pesan dari Mutia dan telepon tidak terangkat langsung masuk sebagai notifikasi.“Good job, jammer,” keluhku.Mutia: Say?Mutia:
“Tanpa hati, semuanya akan menjadi berat.”“SERIUSAN!?” teriakan itu dilontarkan oleh May kala anak-anak lab menghubungi asisten yang sedang lomba itu. Aku melihat asisten lainnya hanya menganggukkan kepala. Jam menunjukkan angka 7 malam.“Heh. Ada yang video gak eh!?” tanyanya lagi. Yusuf langsung memberikan jawaban.“Sudah aku rekam,” jawab Yusuf setegar mungkin. Ayolah Suf. Aku tidak sebodoh itu untuk tidak melihat kamu patah hati.“Widih. Mas Yusuf gapapa tuh?” sindir May langsung. Anak itu memang sangat frontal ya.“Tangguh dong,” balas Zul membantu Yusuf. Yusuf langsung memberikan tos kepada rekannya itu, yang dibalas dengan cepat oleh Zul.&
“Semua pilihan yang kita ciptakan, akan memiliki konsekuensi. Kita yang melarikan diri dari kenyataan pun, sadar akan hal ini.”“Maaf... saya telat,” ucapku dengan nada rendah kala aku tiba di laboratorium. Kesulitan tidur tadi malam karena kaset memori peristiwa hari sabtu kemarin masih berputar di otakku.“Tidak apa, Fa,” ucap Mutia, mewakili kelompoknya. Aku melihat praktikan lainnya tampak berbisik kecil ke diri mereka masing-masing. Antara hinaan, ejekan, atau apalah itu, aku tidak peduli opini mereka.“Langsung masuk saja. Asistensinya di ruangan lab,” komentarku kepada mereka seraya membuka pintu laboratorium.“Assalamu’alaikum,” sapaku kala memasuki laboratorium. Balas
Jangan lupa untuk selalu memakai wajah poker, seperti seorang Kaito Kid.“Hei Affa!” suara tinggi itu mengejutkanku, membuatku menghentikan langkah dan membalikkan wajah, untuk dihadiahi dengan sebuah bogem mentah di wajah.“Apaan sih, Aristy!?” tanyaku ketus. Aristy mencoba mengoreksi tangannya yang baru saja membogem mentah wajahku.“Egois sekali,” jawabnya dingin.“Apa yang egois? Toh benar saja toh?” tanyaku datar. Aristy menatapku tajam.“Egois bangke! Lu gak sadar kalau tuh cewek mewek gara-gara lu bangke!” balasnya ketus. Terus, masalahnya apa dengan itu?“Lalu?”“Kamu takut kehilangan kan? Sikapmu i
Kala kita meyakini bahwa semua beban kita bisa diselesaikan, kala itu kita mulai mencari jalan keluar dari beban itu dengan kepala dingin.Aristy: [Lihat Status] Takut kehilangan ya?Affa: Iya.Aristy: Kenapa?Affa: Hmmm....Aristy: Ya sudah. Gak ada yang maksa kok.Aku menutup percakapan itu dan menghembuskan nafas berat. Mungkin tidak ada salahnya menjelaskan sedikit. Setidaknya, beban di benakku bisa ku lepas.Affa: Aku kehilangan orang berharga dalam hidupku dulu.Aristy: Turut berduka.
Ada harapan yang tidak tertulis, selain dalam hati.Aristy: Semua ada di chat kemarin.Affa: Aku sudah baca semua itu.Aristy: Apa kurang? Aku sudah memberikan percakapan intinya.Affa: Rasanya masih ada yang kurang.Aristy: Saat kamu bilang di grup dulu kamu menyukai seniormu, dia nangis kejer di chat denganku. Aku aja sampai harus tenangin tuh anak.Affa: Oh, 3 tahun lalu.Aristy: 2 tahun lalu dia mulai mencoba move on, tapi tidak bisa.Affa: Kenapa?
Hati itu unik. Dia tidak mengikuti akal yang dimiliki manusia.Affa: Oh ya. Aku mulai kepikiran. Kamu akrab sama Aini?Aristy: Kenapa memangnya?Affa: Mau tanya. Aku jengkel soalnya.Aristy: Keknya kamu yang gak peka.Affa: Apa maksudmu?Aku merasa tersinggung dengan kalimat itu entah kenapa. Ini seperti Rahima mengejekku dengan kata ‘tidak peka’. Bedanya, ini adalah seorang perempuan yang tidak pernah bertemu denganku. Orang asing. Dia berani mengejekku.Aristy: Darimana aku harus mulai menjelaskan ya?