Tembuslah ilusi yang mereka ciptakan. Jangan tertawan oleh manisnya tipu daya.
Bagi warga biasa, keberadaan Zero Law Tolerance System, disingkat ZLTS, adalah sebuah misteri. Sistem keamanan dan deteksi tingkat tinggi ini dipakai dalam pelacakan, proses penembusan data, hingga pengawasan pergerakan semua warga negara di Indonesia guna melindungi warga negara dari kejahatan. Nama ZLTS adalah nama proyek di perusahaan Arrow-Azhar. Nama teknologi ini di pemerintah adalah Sistem Keamanan Siber Nasional, disingkat SKSN, bukan sksd.
Sistem ini adalah pelanggaran terhebat terhadap hak kerahasiaan seluruh warga negara. Dengan topeng demokrasi, sistem seperti ini digunakan oleh pemerintah untuk mengawasi kemungkinan peristiwa kejahatan. Namun, aku pribadi merasa ini bisa lebih menakutkan. Aku hanya berharap, karena Mas Azhar yang memegang teknologi ini, maka semuanya akan berguna sebagaimana desain awalnya: menjadi pelindung warga negara dari kejahatan.
Untuk menunjukkan seberapa kuat sistem ini, dengan integrasi pada aplikasi nasional dan media sosial yang boleh beroperasi di Indonesia, semua informasi dapat dilacak dalam waktu nyata. Cukup mengaktifkan filter yang ingin diselidiki maka bisa dilacak. Semisal, aku ingin melacak klien terbaruku, Aristy.
Dengan sedikit masukkan data, aku bisa mendapatkan informasi lengkap dari seorang Aristy. Aku tahu dia mahasiswa di kampusku, jurusan arsitektur. Saat ini berkuliah di semester 4. Nama keluarga semua bisa dilihat di sini. NIP, SIM, dan semua juga terdata di sini. Bahkan, posisi ponsel yang terdaftar miliknya semua bisa dilacak dengan mudah. Dengan kata lain, sistem ini seperti mata yang melihat segalanya.
Aku memutuskan untuk iseng menganalisis semua jaringan komunikasi yang ditujukan kepada diriku. Seluruh arah jaringan dalam negeri semua bisa terlihat dengan mudah. Aku membuka situs baru di ponselku dan sistem langsung merekap data itu. Proyek besar ini adalah cikal bakal dinding besar seperti Cina, jika jatuh pada tangan yang salah.
Kamis ini, aku tiba di kantor. Di ruang rapat hari itu, ada Rahima, beberapa orang yang tidak aku kenal di daerah tim pengembangan. Di sisi direktur, ada Mas Azhar, Mas Arrow, dan seorang perempuan yang duduk di samping Mas Azhar yang aku baru pertama jumpai. Usianya sepertinya sepantaran dengan usia para mahasiswa baru seperti Zihan.
“Ah, senang kamu datang, Affa,” komentar Mas Arrow saat aku masuk. Sepertinya aku sedikit telat. Mas Azhar membuat itu menjadi sangat jelas.
“Kenapa telat, Affa?” tanya Mas Azhar dengan kedua tangan menyatu dihadapan wajahnya, tubuh sedikit membungkuk menyejajarkan tangan dan wajahnya. Aku mengambil posisi dudukku.
“Mohon maaf. Ada sedikit urusan TM untuk praktikum,” jawabku. Rahima tampak iba melihatku. Para pengembang lainnya menatapku dengan heran, takjub, atau merendahkan.
“Ah. Bisa dimengerti. Untuk seorang ketua laboratorium, itu tanggung jawab yang besar,” komentar Mas Azhar lagi. Perempuan muda di samping Mas Azhar lalu menyerahkan sebuah dokumen kepada Mas Azhar.
“Baiklah. Saya akan jelaskan terlebih dahulu apa saja secara umum aturan main proyek ini. Mengingat proyek ini kerja sama dengan pemerintah, kami mengharapkan kalian mengerti implikasi jika melanggar kontrak perjanjian.”
Atau dalam bahasa sederhana yang sering Mas Arrow berikan setelah penjelasan panjang Mas Azhar: Mati.
“Oke. Saya harap secara umum acuan kerahasiaan dan urgensitas proyek ini dipahami,” ucap Mas Azhar.
“Kalau semua itu terlalu ribet dicerna bagi saudara-saudari, izinkan saya rangkum dengan bahasa barbar saya: jangan ember atau mati,” komentar Mas Arrow menyederhanakan penjelasan itu. Ya. Kalau terhambat masih bisa dibicarakan, tapi kalau bocor, nyawa taruhannya.
“Kalau begitu, kita langsung ke pembagian tugasnya juga,” komentar Mas Azhar. Dia lalu melihat ke arah perempuan yang sepertinya adalah asisten beliau.
“Citra, kamu bacakan tugas mereka!” perintah datar Mas Azhar. Perempuan bernama Citra itu menganggukkan kepala lalu mulai membacakan daftar tugas kami masing-masing. Aku mendapatkan bagian analisis data bersama Rahima. Tidak mengejutkan.
“Oke. Jelas ya,” komentar Mas Azhar setelah Citra selesai menjelaskan. Kami menganggukkan kepala. Selanjutnya adalah tanda tangan kontrak.
Peraturan pertama dalam proses tanda tangan kontrak adalah baca seluruh isinya.
Peraturan kedua adalah baca ulang sekali lagi.
Peraturan ketiga adalah baca ulang sekali lagi.
Peraturan keempat adalah tanyakan kalimat yang ambigu.
Peraturan kelima adalah pastikan pembayaran jelas.
Peraturan terakhir adalah pastikan tidak ada kalimat jebakan.
Baru, tandatangani.
“Terima kasih atas kesediaan kalian untuk ikut dengan proyek ini. Untuk selanjutnya, pekerjaan akan dilakukan di kantor saya. Saya meminta Arrow karena beliau dulu yang mengumpulkan kalian di sini, jadi arigato gozaimasu.”
Dan itulah akhir dari pertemuan melelahkan itu. Bagaimanapun, meski aku tahu pentingnya rapat seperti itu, aku tetap tidak menyukainya. Menyebalkan kalau lama. Apalagi, membaca kontrak itu seperti baca surat eksekusi. Bagaimanapun, uang yang ditawarkan tidak pernah main-main. Bagaimana tidak? Satu milyar. Satu milyar. Belum lagi akses khusus ke teknologi level negara.
Aku pun pulang dari tempat itu. Sementara skripsiku harus terus berlanjut, aku juga perlu menyelesaikan teknologi ini. Sepertinya aku perlu mengatur jadwalnya.
“Melelahkan,” komentarku. Aku memutuskan untuk memakai malam ini untuk rehat. Biarkan laptopku bekerja dengan bagian otomasi yang perlu waktu cukup lama. Semoga selesai kala aku bangun. Aku pun meletakkan laptop itu dengan pekerjaannya, sementara aku mencoba mengutak-atik ponsel milikku.
Aini: Kak Affa! Kak Affa!
Aku menyunggingkan senyuman kesal. Dasar.
Affa: Bisa jangan ganggu? Otakku terbakar.
Aini: Wah, sini Aini bantu deh biar gak kebakar.
Affa: Tidak perlu.
Aini: Kok Kak Affa gini sih ☹
Affa: Kenapa ganggu aku terus?
Aini: Suka aja.
Affa: Oh.
Sebuah pesan masuk dari Aristy.
Aristy: Kenapa mencoba menyembunyikan terkait logo itu?
Affa: Jangan bahas.
Menyebalkan.
Malam itu, aku tidur setelah salat Isya, meninggalkan laptop menyala.
Semua orang punya kelebihannya dan kekurangannya sendiri.Aku bukannya lari dari masalah logo itu. Aku hanya tidak ingin membuka luka yang telah ditutup rapat. Biarkan saja sejarah logo itu tenggelam, dan menjadi sebuah mitos yang tidak pernah dijelaskan. Lagipula, logo itu adalah simbol kegelapan negeri ini sekarang.Kenapa kegelapan? Karena orang dibaliknya adalah cikal bakal keberadaan Azhar EduTech. Keberadaan orang-orang baru yang berkuasa dan memainkan kehidupan seperti pion. Aku pun melihat diriku demikian, hanyalah pion di tangan Mas Azhar dan Mas Arrow.Subuh itu aku laksanakan dengan khidmat. Namun, rasanya seperti ada yang salah kala aku selesai.“Jika aku menyelesaikan semua ini, maka sama saja aku berkontribusi membawa keg
“Aku sih gak senang kita lanjutin ini,” keluh salah satu rekan kelompokku. Aku hanya mendengarkan mereka dengan bosan.“Coba kalo gak ada logo itu. Sekarang kita sudah diperhatikan sama semua dosen tekno,” keluh rekan kelompok yang lain. Aku juga tidak terlalu tertarik melanjutkan, tapi tidak ada salahnya dicoba. Siapa tahu bagus kan?“Ini gara-gara kamu, Aristy!” tuduh salah satu anggota. Aku langsung berdiri dari tempat aku duduk. Dia ingin ribut? Akan aku berikan.“Heh! Kemarin yang ngurus BMS dan kejar-kejaran buat setor itu aku ya!” balasku ketus. Terserah mereka akan memusuhiku setelah ini. Keterlaluan saja sekarang menyalahkanku. Kemarin-kemarin kalian pada nongki gak jelas abai sampai aku gelabakan jam 11 malam buat selesaikan BMS yang belum rampung. Mana ada tugas Studio juga. Sial emang!
Jangan termakan oleh ilusi kebebasan yang palsu.“Terima kasih untuk hari ini,” ucap Mas Azhar saat izin pamit hari itu. Aku hanya menganggukkan kepalaku. Jangan terlalu banyak berkomentar, cukup akhiri saja.“Sama-sama Mas. Saya pulang dulu,” balasku dengan hormat. Beliau menganggukkan kepala dan mempersilahkanku pulang. Netra ini sempat memperhatikan perempuan yang menjadi asisten beliau, namun abaikan saja.Setelah aku tiba di rumah, baru aku lepaskan semua deru nafas yang tersembunyi. Pekatnya kegelapan yang menyelimut tempat itu seakan menelanku hidup-hidup. Menyebalkan sekali.“Berat sekali,” gumamku. Aku meletakkan laptopku di meja kamarku. Jam menunjukkan angka 9 malam, dan aku lelah. Ponselku berd
“Bosan!” keluhku kesal. Kenapa harus ada sekolah di hari sabtu sih.“Jangan ngeluh mulu ih. Dasar Aini,” komentar teman akrabku. Aku menatap kesal dengan komentarnya dan langsung menyerang balik.“Ya maaf ya Niqma, situ kan punya si Nata. Gak kek gue, jomblo!” ketusku seakan menyatakan itu seperti sebuah fakta. Temanku itu langsung memerah.“Jangan sembarangan sebut nama dia dong,” ucap Niqma dengan wajah memerah. Aku langsung menyerang berulang kali.“Nata Nata Nata Na-” Niqma segera menyumpal mulutku dengan tangannya. Dia menatapku tajam.“Jangan. Sebut. Nama. Dia,” tekannya pada setiap kata. Aku tersenyum sinis.“Cemburu?” sindirku. Niqma langsung berteriak
Feelings never matter. It never matters in the slightest. When you aim high, emotions are strains that hold your potential away.Sebuah pesan masuk kala aku dan Rahima sedang berbincang seraya menikmati makan sore kami di restoran. Pesan itu aku abaikan dan melanjutkan percakapan dengan Rahima.“Jadi, Rara setuju ikut dengan proyek Mas Arrow?” tanyaku. Rahima yang mendengar suara ponselku dari notifikasi tadi justru memintaku untuk merespons ponselku.“Cek ponselmu. Kali Prof mencari,” jawabnya. Aku melihat ke ponselku dan melihat pesan dari Aini. Aku tidak merespons dan menjawab sederhana.“Bukan chat penting. Kembali ke pertanyaan tadi, Rara setuju?” tanyaku. Rahima menganggukkan kepalanya. Dia tampak memainkan sedotan di gelasnya.
Jangan pernah memancing takdir untuk bermain denganmu.“Persiapan sudah beres kan?” tanyaku kepada May yang mengkoordinasikan persiapan lab. May menganggukkan kepalanya.“Ini Dik Zihan juga sudah datang. Haduh, cantiknya lagi. Mas Shad emang niat banget ya,” puji Yusuf yang melihat Zihan yang didudukkan oleh anak-anak lab di salah satu kursi lab. Ini emangnya acara nikahan ta?“Kamu dapat ide ini darimana? Aeon Raw?” tanyaku heran.“Oh. Ini soalnya Mas Shad aslinya mau bawa Zihan sama dia pas tiba nanti di FTEI. Kan gak nyangka aja dia bakal dikunci di lab yayang dia,” komentar May diikuti dengan cekikian. Aku melihat Zihan pasrah dengan perlakuan para asisten yang usilnya minta ampun.
Kata-kata adalah doa. Jangan bermain-main dengan doa.“Semoga Zihan tidak melihat ini,” ucapan itu aku rapalkan saat menyaksikan video itu. Namun, itu sepertinya sebuah wishful thinking. Takdir seakan meledekku. Apakah ini akibat perkataanku kemarin?“Gila sih, kalau gak diselamatin tuh Rahima bisa terluka,” komentar Zul. Iya, benar poin Zul. Cuma aku berharap justru Mas Faux yang menyelamatkan, bukan Mas Shad. Ini akan jadi buah bibir lintas fakultas, dan menjadi luka. Luka bagi Rahima, bagi Zihan.“Kenapa kamu tampak mikir keras?” tanya Zul kepadaku. Aku menggelengkan kepala.“Bukan apa-apa Zul. Hanya ada beban di benakku. Ya sudah, kita masih harus fokus dengan har
Waktu itu hanya mengajarkan tiga hal: lalu, kini, nanti. Masa lalu untuk dipelajari, masa kini untuk dijalani, masa nanti untuk diperjuangkan.Mars kebanggaan FTEI mengudara bebas kala para wisudawan berjalan menuju sebuah bendera yang menjadi simbol kebesaran FTEI. Satu mars terakhir dikumandangkan oleh pemimpin para wisudawan, yang diikut oleh semua mahasiswa dan wisudawan FTEI.Asap segera memenuhi tempat itu, menandakan perayaan. Sementara itu, bendera raksasa yang menghalau mereka langsung digulung ke atas, membukakan jalan. Penampilan dari mahasiswa baru segera mengikuti.Para wisudawan pun berlalu setelahnya menuju tempat duduk yang tersedia. Bersama kedua orang tua mereka. Beberapa dengan pendamping mereka. Aku melihat asisten-asisten lab perempuan membawakan Zihan dari X-106 ke bawah. Ya kan, aku gak habis pikir kok
Dering ponsel di jam dua malam itu mengejutkanku dari tidur nyenyakku setelah perjalanan indah bersama Fafa, kekasihku. Aku melihat sebuah nama yang cukup familiar di ponselku.“Huh? Malam, Zul,” ucapku pelan seraya mengangkat panggilan itu. Kesadaranku masih sebelumnya pulih.“Fafa diserang Mut!” teriak Zul di saluran seberang, membuatku langsung mengerjap sepenuhnya ke dunia nyata.“Apa!? Serius Zul!” teriakku tidak percaya. Kalau ini lelucon, aku pastikan Zul akan ku blacklist.“Serius oi! Aku gak main-main ini! Langsung di RS X Harapan, segera!” Aku langsung menjatuhkan ponselku. Peristiwa macam apa ini?Dengan kepanikan, aku segera berganti pakaian. Terburu-buru, suara
“Aku terlalu sibuk dengan luka yang ku biarkan menghancurkanku.”Selesai makan, Mutia membuka percakapan. Aku memberi isyarat privasi kepada para pelayan, yang diikuti dengan mereka keluar dari ruangan.“Jujur saja, aku masih terkejut, Fa,” ucap Mutia pelan. Dia tampak memilah kata-kata yang ingin dia lontarkan.“Kenapa?” tanyaku datar. Aku meletakkan kedua tangan di depan wajahku, seakan berpikir.“Soal pekerjaanmu. Kamu sungguh-sungguh bekerja di sana? Entah kenapa... rasanya aneh,” jawabnya ragu. Maksudnya meragukannya.“Bekerja di Azhar EduTech tidak masuk akal jika melihat sekilas dari fakta aku baru kuliahan. Tapi, lihat sendiri,” balasku se
“Kepercayaan adalah benda termahal yang kita jual kepada orang lain.”“Selamat pagi, Affa,” ucap Mas Azhar kala aku tiba. Semua anggota lainnya sudah terkumpul, dan jam menunjukkan angka 7 lewat 58. Dua menit lagi.“Selamat pagi Pak. Selamat pagi rekan-rekan semua,” sapaku kepada semua rekan tim yang hadir. Mas Azhar pun memulai rapat pagi itu.Jam menunjukkan angkat 11 lewat 30 saat Mas Azhar memperkenankan kami istirahat. Aku membuka ponselku, dan melihat banyak pesan dari Mutia dan telepon tidak terangkat langsung masuk sebagai notifikasi.“Good job, jammer,” keluhku.Mutia: Say?Mutia:
“Tanpa hati, semuanya akan menjadi berat.”“SERIUSAN!?” teriakan itu dilontarkan oleh May kala anak-anak lab menghubungi asisten yang sedang lomba itu. Aku melihat asisten lainnya hanya menganggukkan kepala. Jam menunjukkan angka 7 malam.“Heh. Ada yang video gak eh!?” tanyanya lagi. Yusuf langsung memberikan jawaban.“Sudah aku rekam,” jawab Yusuf setegar mungkin. Ayolah Suf. Aku tidak sebodoh itu untuk tidak melihat kamu patah hati.“Widih. Mas Yusuf gapapa tuh?” sindir May langsung. Anak itu memang sangat frontal ya.“Tangguh dong,” balas Zul membantu Yusuf. Yusuf langsung memberikan tos kepada rekannya itu, yang dibalas dengan cepat oleh Zul.&
“Semua pilihan yang kita ciptakan, akan memiliki konsekuensi. Kita yang melarikan diri dari kenyataan pun, sadar akan hal ini.”“Maaf... saya telat,” ucapku dengan nada rendah kala aku tiba di laboratorium. Kesulitan tidur tadi malam karena kaset memori peristiwa hari sabtu kemarin masih berputar di otakku.“Tidak apa, Fa,” ucap Mutia, mewakili kelompoknya. Aku melihat praktikan lainnya tampak berbisik kecil ke diri mereka masing-masing. Antara hinaan, ejekan, atau apalah itu, aku tidak peduli opini mereka.“Langsung masuk saja. Asistensinya di ruangan lab,” komentarku kepada mereka seraya membuka pintu laboratorium.“Assalamu’alaikum,” sapaku kala memasuki laboratorium. Balas
Jangan lupa untuk selalu memakai wajah poker, seperti seorang Kaito Kid.“Hei Affa!” suara tinggi itu mengejutkanku, membuatku menghentikan langkah dan membalikkan wajah, untuk dihadiahi dengan sebuah bogem mentah di wajah.“Apaan sih, Aristy!?” tanyaku ketus. Aristy mencoba mengoreksi tangannya yang baru saja membogem mentah wajahku.“Egois sekali,” jawabnya dingin.“Apa yang egois? Toh benar saja toh?” tanyaku datar. Aristy menatapku tajam.“Egois bangke! Lu gak sadar kalau tuh cewek mewek gara-gara lu bangke!” balasnya ketus. Terus, masalahnya apa dengan itu?“Lalu?”“Kamu takut kehilangan kan? Sikapmu i
Kala kita meyakini bahwa semua beban kita bisa diselesaikan, kala itu kita mulai mencari jalan keluar dari beban itu dengan kepala dingin.Aristy: [Lihat Status] Takut kehilangan ya?Affa: Iya.Aristy: Kenapa?Affa: Hmmm....Aristy: Ya sudah. Gak ada yang maksa kok.Aku menutup percakapan itu dan menghembuskan nafas berat. Mungkin tidak ada salahnya menjelaskan sedikit. Setidaknya, beban di benakku bisa ku lepas.Affa: Aku kehilangan orang berharga dalam hidupku dulu.Aristy: Turut berduka.
Ada harapan yang tidak tertulis, selain dalam hati.Aristy: Semua ada di chat kemarin.Affa: Aku sudah baca semua itu.Aristy: Apa kurang? Aku sudah memberikan percakapan intinya.Affa: Rasanya masih ada yang kurang.Aristy: Saat kamu bilang di grup dulu kamu menyukai seniormu, dia nangis kejer di chat denganku. Aku aja sampai harus tenangin tuh anak.Affa: Oh, 3 tahun lalu.Aristy: 2 tahun lalu dia mulai mencoba move on, tapi tidak bisa.Affa: Kenapa?
Hati itu unik. Dia tidak mengikuti akal yang dimiliki manusia.Affa: Oh ya. Aku mulai kepikiran. Kamu akrab sama Aini?Aristy: Kenapa memangnya?Affa: Mau tanya. Aku jengkel soalnya.Aristy: Keknya kamu yang gak peka.Affa: Apa maksudmu?Aku merasa tersinggung dengan kalimat itu entah kenapa. Ini seperti Rahima mengejekku dengan kata ‘tidak peka’. Bedanya, ini adalah seorang perempuan yang tidak pernah bertemu denganku. Orang asing. Dia berani mengejekku.Aristy: Darimana aku harus mulai menjelaskan ya?