Tidak semua hal akan membekas dalam ingatan manusia.
“Kenapa tiba-tiba dia membahas itu?” komentarku seraya masuk ke lab, tentunya mengucapkan salam. Aku yang baru selesai bimbingan, segera duduk ke kursi asisten milikku.
“Eh, di sini ada yang kemarin sekelas dengan klien-klienku tahun lalu?” tanyaku kepada asisten-asisten di laboratorium. May menganggukkan kepala.
“Ada satu di tempat saya Mas. Waktu itu sih dosennya komentar keknya mereka serius banget sama bisnis mereka. Cuma itu aja sih,” jawab May. Aku mencoba berpikir. Oke, itu menjelaskan kenapa Aristy bertanya tentang logo. Tapi...
Bagaimana dia tahu tentang kakakku?
“Oh ya Mas, baru ingat lagi. Waktu itu ditunjukin juga video presentasi zaman Pak Azhar. Ada Pak Azhar, Pak Arrow, Kakaknya Mas, sama Pak Theodore,” komentar May tiba-tiba. Hah!? Ada video rekaman waktu kakak hidup yang aku gak tahu!?
“Seriusan?” ucapku tidak percaya. May menganggukkan kepala.
“Dekker sekelas Mas. Dia minta waktu itu ke Ibunya,” balas May. Kenapa Mas Azhar maupun Mas Arrow tidak bercerita soal keberadaan video itu? Apakah lupa?
“Dekker ya?” komentarku. Seperti pepatah ‘jangan panggil, atau orangnya akan datang’, muncullah Dekker memasuki ruangan laboratorium.
“Oh, tuh orangnya. Dekker! Aku mau liat kode Sistem Tertanam kita dong!” teriak May kepada Dekker. Laki-laki berkacamata itu lalu berjalan ke arah kami. Saat Dekker sudah dekat dengan May, aku segera melontarkan pertanyaan, tepat dia melewatiku.
“Kamu tahu tentang Soul?” tanyaku dingin. Dekker berhenti di langkahnya, dan segera melihat ke arahku.
“Ada apa, Mas Affa?” tanya Dekker.
“Kamu tahu tentang Soul?” tanyaku lagi. Dekker terlihat bingung. May langsung menjelaskan poin yang ku maksud secara singkat.
“Video pas tekno dulu, yang kamu minta,” komentar May. Dekker yang mendengar itu, lalu menganggukkan kepalanya kepadaku.
“Saya masih ada, Mas. Apa saya kirim saja lewat medsos?” tanya Dekker. Aku menganggukkan kepala.
“Tolong ya. Aku melihat video itu,” komentarku. Dekker mengalihkan pandangannya ke ponsel yang dia ambil dari saku dan segera menekan layar beberapa kali.
“Sudah mas,” komentarnya. Aku menganggukkan kepala.
“Terima kasih, Dekker,” ucapku. Dekker tersenyum.
“Senang bisa membantu,” balasnya dan dia pun datang ke tempat May untuk mengerjakan tugas mereka.
“Hei! Dekker! Kok gini sih!” ketus May kesal.
“Hei! Situ kan yang numpang, jangan banyak protes dong!” balas Dekker tak kalah ketus.
Ah, drama mereka mengingatkanku dengan aku dan Rahima kalau sudah berdebat dulu.
“Bukan begitu Fa!” komentar Rahima terhadap metode yang aku gunakan. Dia lalu memberikan secarik kertas perhitungan matematisnya.
“Iya Rahima, tapi kalau gitu kecepatannya lebih rendah!” sanggahku tidak terima. Rahima memonyongkan bibirnya tidak terima.
“Hey hey, ini debat apa lagi sih?” tanya Arrow kepada kami. Aku segera menunjuk ke arah Rahima, sementara Rahima membalas dengan tangannya menunjuk ke arahku.
“Dia yang memulai!”
Arrow terkekeh. Dia lalu melihat ke arah kakak kami yang sedang sibuk dengan pekerjaannya.
“Ayo, selesaikan dengan akur ya. Jangan kakak panggilin Soul nih,” ucap Mas Arrow seraya memegang kursiku dan kursi Rahima. Senyuman menakutkan terlukis di wajah Mas Arrow.
“Gak bakal baik lho kalau sampai aku yang jelasin kan?” tanyanya dengan mata yang tertutup, dan senyuman yang dibuat-buat. Mas Arrow berbahaya jika sudah senyum seperti ini.
Gugup, kami menelan ludah dan menganggukkan kepala.
“Nah gitu dong. Jangan sampai Soul mulu yang turun tangan,” komentar Mas Arrow.
“Mas Affa, ada mahasiswa semester 2 yang mau konsultasi terkait program game tugas Pak Arianto,” komentar Siegfried.
“Kamu gak bisa, Sieg?” tanyaku. Dia tampak berpikir sejenak sebelum menganggukkan kepala.
“Aku titip kalau begitu. Ada sesuatu yang ingin aku urus,” pesanku. Dia menganggukkan kepala dan aku pun pergi meninggalkan lab.
Aini: Kak Affaaaaaa!
Affa: Apa?
Aini: Kakak lagi ngapain?
Affa: Kerjakan skripsi. Jangan ganggu.
Aini: Ih. Kak Affa gitu kan kalo sama Aini ☹
Affa: Aku serius ini. Skripsiku gak bisa diganggu sekarang. Besok ketemu pembimbing.
Aini: Kak Affa sibuk mulu ih.
Aini: Temenin Aini dong ☹
Aku memutar bola mata malas. Masalah apalagi coba ini anak? Kalau soal, itu biasa. Kalau curhat, aku yang males. Waktuku lebih berharga untuk mengerjakan skripsi dan menganalisis video tadi.
Affa: Lain waktu.
Aini: Kak Affa suka sama (nama)
Affa: Nggak.
Affa: Aku nggak suka kalau kalian ribut mulu di grup. Sudah. Jangan ganggu.
Aku membuka video yang diberikan oleh Dekker di komputerku. Di video itu, aku melihat kamera terfokus ke empat orang yang berada di depan. Ada mahasiswa lain dari suara di dekat kamera. Dan seorang dosen tampak duduk di kursi yang agak depan sendiri.
Tampak Kak Hamid sibuk menjelaskan, melemparkan data, dan secara keseluruhan mencoba menjaga grupnya dari serangan sang dosen. Teman-teman dia tampak kelimpungan dengan pertanyaan bertubi-tubi yang tidak habis-habisnya. Aku memperhatikan bahwasanya itu adalah pembahasan bisnis GameEdu, sebuah konsep Kak Hamid yang disetujui tiga temannya waktu itu.
Aku ingat kala Kak Hamid terlihat bersemangat menunjukkan ide awal itu kepada kami. Bahkan, aku tahu sebenarnya awal dari perusahaan Mas Azhar adalah dari ide ini. Itulah kenapa ada huruf S dalam logo perusahaan Azhar EduTech. Itu merujuk kepada Kak Hamid, atau orang lebih mengenalnya dengan nama Soul.
“Aku gak percaya aku melihat bagaimana berwawasannya kakak kala itu. Dia bisa berdebat dan mempertahankan ide bisnis ini dihadapan sang guru. Waktu itu, aku ingat idenya sudah mulai berjalan, dan sudah mendapat sokongan dari Mas Arrow dan keluarganya. Iya. Awal dari bisnis ini disokong kebanyakan oleh Mas Arrow, sebelum bisnis ini sempat terhenti karena urusan mereka yang semakin rumit pada tahun akhir-
Lupakan.
“Untuk bisa melihat video ini sih sebuah keajaiban bagiku. Mungkin jika Mas Shad atau Mba Kaynara bisa bikin holografiknya, bisa membuat ini jadi seperti penunjukkan sisi terlupakan Azhar EduTech.”
Mas Azhar sendiri bilang dia tidak menemukan rekaman ini dalam data dia yang sempat kena cryptolocker. Sementara Mas Arrow, dia itu dulu ceroboh soal menyimpan data berharga, dan sering kehilangan data karena hal-hal konyol seperti perlu ruangan buat memori. Mba Kaynara tidak punya file videonya, karena dia tidak terlalu tertarik kala itu. Ini menarik untuk bisa ketemu setelah sekian lama.
“Aku rasa aku harus merawat file ini. Jika pekerjaan Mas Arrow dan Mba Kaynara yang baru aku dengar awal minggu lalu berhasil, aku bisa membuat holografik dari peristiwa ini.”
Aku pun menutup video itu. Waktunya untuk kembali menjadi mahasiswa rajin yang bisa melaksanakan kewajibannya. Masih ada banyak yang harus aku tuntaskan. Sebuah pesan masuk.
Arrow: Aku minta kamis ini ke kantor. Azhar mau ketemu kamu. Dia perlu kamu buat proyekan.
Affa: Siap Mas. Proyek apa kalau boleh tahu?
Arrow: Mau kembangkan lebih lanjut Zero Law Tolerance System. Kalau sudah benar-benar siap, mau dibawa ke pihak pemerintah terutama polisi dan TNI.
Affa: Rahasia negara berarti?
Arrow: Iya. Makanya aku kirim ini lewat special connection. Ingat baik-baik, karena chatnya akan hilang permanen dalam 5 menit.
Affa: Baik Mas.
Sepertinya, ada proyek yang harus kembali aku perhatikan.
Tembuslah ilusi yang mereka ciptakan. Jangan tertawan oleh manisnya tipu daya.Bagi warga biasa, keberadaan Zero Law Tolerance System, disingkat ZLTS, adalah sebuah misteri. Sistem keamanan dan deteksi tingkat tinggi ini dipakai dalam pelacakan, proses penembusan data, hingga pengawasan pergerakan semua warga negara di Indonesia guna melindungi warga negara dari kejahatan. Nama ZLTS adalah nama proyek di perusahaan Arrow-Azhar. Nama teknologi ini di pemerintah adalah Sistem Keamanan Siber Nasional, disingkat SKSN, bukan sksd.Sistem ini adalah pelanggaran terhebat terhadap hak kerahasiaan seluruh warga negara. Dengan topeng demokrasi, sistem seperti ini digunakan oleh pemerintah untuk mengawasi kemungkinan peristiwa kejahatan. Namun, aku pribadi merasa ini bisa lebih menakutkan. Aku hanya berharap, kare
Semua orang punya kelebihannya dan kekurangannya sendiri.Aku bukannya lari dari masalah logo itu. Aku hanya tidak ingin membuka luka yang telah ditutup rapat. Biarkan saja sejarah logo itu tenggelam, dan menjadi sebuah mitos yang tidak pernah dijelaskan. Lagipula, logo itu adalah simbol kegelapan negeri ini sekarang.Kenapa kegelapan? Karena orang dibaliknya adalah cikal bakal keberadaan Azhar EduTech. Keberadaan orang-orang baru yang berkuasa dan memainkan kehidupan seperti pion. Aku pun melihat diriku demikian, hanyalah pion di tangan Mas Azhar dan Mas Arrow.Subuh itu aku laksanakan dengan khidmat. Namun, rasanya seperti ada yang salah kala aku selesai.“Jika aku menyelesaikan semua ini, maka sama saja aku berkontribusi membawa keg
“Aku sih gak senang kita lanjutin ini,” keluh salah satu rekan kelompokku. Aku hanya mendengarkan mereka dengan bosan.“Coba kalo gak ada logo itu. Sekarang kita sudah diperhatikan sama semua dosen tekno,” keluh rekan kelompok yang lain. Aku juga tidak terlalu tertarik melanjutkan, tapi tidak ada salahnya dicoba. Siapa tahu bagus kan?“Ini gara-gara kamu, Aristy!” tuduh salah satu anggota. Aku langsung berdiri dari tempat aku duduk. Dia ingin ribut? Akan aku berikan.“Heh! Kemarin yang ngurus BMS dan kejar-kejaran buat setor itu aku ya!” balasku ketus. Terserah mereka akan memusuhiku setelah ini. Keterlaluan saja sekarang menyalahkanku. Kemarin-kemarin kalian pada nongki gak jelas abai sampai aku gelabakan jam 11 malam buat selesaikan BMS yang belum rampung. Mana ada tugas Studio juga. Sial emang!
Jangan termakan oleh ilusi kebebasan yang palsu.“Terima kasih untuk hari ini,” ucap Mas Azhar saat izin pamit hari itu. Aku hanya menganggukkan kepalaku. Jangan terlalu banyak berkomentar, cukup akhiri saja.“Sama-sama Mas. Saya pulang dulu,” balasku dengan hormat. Beliau menganggukkan kepala dan mempersilahkanku pulang. Netra ini sempat memperhatikan perempuan yang menjadi asisten beliau, namun abaikan saja.Setelah aku tiba di rumah, baru aku lepaskan semua deru nafas yang tersembunyi. Pekatnya kegelapan yang menyelimut tempat itu seakan menelanku hidup-hidup. Menyebalkan sekali.“Berat sekali,” gumamku. Aku meletakkan laptopku di meja kamarku. Jam menunjukkan angka 9 malam, dan aku lelah. Ponselku berd
“Bosan!” keluhku kesal. Kenapa harus ada sekolah di hari sabtu sih.“Jangan ngeluh mulu ih. Dasar Aini,” komentar teman akrabku. Aku menatap kesal dengan komentarnya dan langsung menyerang balik.“Ya maaf ya Niqma, situ kan punya si Nata. Gak kek gue, jomblo!” ketusku seakan menyatakan itu seperti sebuah fakta. Temanku itu langsung memerah.“Jangan sembarangan sebut nama dia dong,” ucap Niqma dengan wajah memerah. Aku langsung menyerang berulang kali.“Nata Nata Nata Na-” Niqma segera menyumpal mulutku dengan tangannya. Dia menatapku tajam.“Jangan. Sebut. Nama. Dia,” tekannya pada setiap kata. Aku tersenyum sinis.“Cemburu?” sindirku. Niqma langsung berteriak
Feelings never matter. It never matters in the slightest. When you aim high, emotions are strains that hold your potential away.Sebuah pesan masuk kala aku dan Rahima sedang berbincang seraya menikmati makan sore kami di restoran. Pesan itu aku abaikan dan melanjutkan percakapan dengan Rahima.“Jadi, Rara setuju ikut dengan proyek Mas Arrow?” tanyaku. Rahima yang mendengar suara ponselku dari notifikasi tadi justru memintaku untuk merespons ponselku.“Cek ponselmu. Kali Prof mencari,” jawabnya. Aku melihat ke ponselku dan melihat pesan dari Aini. Aku tidak merespons dan menjawab sederhana.“Bukan chat penting. Kembali ke pertanyaan tadi, Rara setuju?” tanyaku. Rahima menganggukkan kepalanya. Dia tampak memainkan sedotan di gelasnya.
Jangan pernah memancing takdir untuk bermain denganmu.“Persiapan sudah beres kan?” tanyaku kepada May yang mengkoordinasikan persiapan lab. May menganggukkan kepalanya.“Ini Dik Zihan juga sudah datang. Haduh, cantiknya lagi. Mas Shad emang niat banget ya,” puji Yusuf yang melihat Zihan yang didudukkan oleh anak-anak lab di salah satu kursi lab. Ini emangnya acara nikahan ta?“Kamu dapat ide ini darimana? Aeon Raw?” tanyaku heran.“Oh. Ini soalnya Mas Shad aslinya mau bawa Zihan sama dia pas tiba nanti di FTEI. Kan gak nyangka aja dia bakal dikunci di lab yayang dia,” komentar May diikuti dengan cekikian. Aku melihat Zihan pasrah dengan perlakuan para asisten yang usilnya minta ampun.
Kata-kata adalah doa. Jangan bermain-main dengan doa.“Semoga Zihan tidak melihat ini,” ucapan itu aku rapalkan saat menyaksikan video itu. Namun, itu sepertinya sebuah wishful thinking. Takdir seakan meledekku. Apakah ini akibat perkataanku kemarin?“Gila sih, kalau gak diselamatin tuh Rahima bisa terluka,” komentar Zul. Iya, benar poin Zul. Cuma aku berharap justru Mas Faux yang menyelamatkan, bukan Mas Shad. Ini akan jadi buah bibir lintas fakultas, dan menjadi luka. Luka bagi Rahima, bagi Zihan.“Kenapa kamu tampak mikir keras?” tanya Zul kepadaku. Aku menggelengkan kepala.“Bukan apa-apa Zul. Hanya ada beban di benakku. Ya sudah, kita masih harus fokus dengan har
Dering ponsel di jam dua malam itu mengejutkanku dari tidur nyenyakku setelah perjalanan indah bersama Fafa, kekasihku. Aku melihat sebuah nama yang cukup familiar di ponselku.“Huh? Malam, Zul,” ucapku pelan seraya mengangkat panggilan itu. Kesadaranku masih sebelumnya pulih.“Fafa diserang Mut!” teriak Zul di saluran seberang, membuatku langsung mengerjap sepenuhnya ke dunia nyata.“Apa!? Serius Zul!” teriakku tidak percaya. Kalau ini lelucon, aku pastikan Zul akan ku blacklist.“Serius oi! Aku gak main-main ini! Langsung di RS X Harapan, segera!” Aku langsung menjatuhkan ponselku. Peristiwa macam apa ini?Dengan kepanikan, aku segera berganti pakaian. Terburu-buru, suara
“Aku terlalu sibuk dengan luka yang ku biarkan menghancurkanku.”Selesai makan, Mutia membuka percakapan. Aku memberi isyarat privasi kepada para pelayan, yang diikuti dengan mereka keluar dari ruangan.“Jujur saja, aku masih terkejut, Fa,” ucap Mutia pelan. Dia tampak memilah kata-kata yang ingin dia lontarkan.“Kenapa?” tanyaku datar. Aku meletakkan kedua tangan di depan wajahku, seakan berpikir.“Soal pekerjaanmu. Kamu sungguh-sungguh bekerja di sana? Entah kenapa... rasanya aneh,” jawabnya ragu. Maksudnya meragukannya.“Bekerja di Azhar EduTech tidak masuk akal jika melihat sekilas dari fakta aku baru kuliahan. Tapi, lihat sendiri,” balasku se
“Kepercayaan adalah benda termahal yang kita jual kepada orang lain.”“Selamat pagi, Affa,” ucap Mas Azhar kala aku tiba. Semua anggota lainnya sudah terkumpul, dan jam menunjukkan angka 7 lewat 58. Dua menit lagi.“Selamat pagi Pak. Selamat pagi rekan-rekan semua,” sapaku kepada semua rekan tim yang hadir. Mas Azhar pun memulai rapat pagi itu.Jam menunjukkan angkat 11 lewat 30 saat Mas Azhar memperkenankan kami istirahat. Aku membuka ponselku, dan melihat banyak pesan dari Mutia dan telepon tidak terangkat langsung masuk sebagai notifikasi.“Good job, jammer,” keluhku.Mutia: Say?Mutia:
“Tanpa hati, semuanya akan menjadi berat.”“SERIUSAN!?” teriakan itu dilontarkan oleh May kala anak-anak lab menghubungi asisten yang sedang lomba itu. Aku melihat asisten lainnya hanya menganggukkan kepala. Jam menunjukkan angka 7 malam.“Heh. Ada yang video gak eh!?” tanyanya lagi. Yusuf langsung memberikan jawaban.“Sudah aku rekam,” jawab Yusuf setegar mungkin. Ayolah Suf. Aku tidak sebodoh itu untuk tidak melihat kamu patah hati.“Widih. Mas Yusuf gapapa tuh?” sindir May langsung. Anak itu memang sangat frontal ya.“Tangguh dong,” balas Zul membantu Yusuf. Yusuf langsung memberikan tos kepada rekannya itu, yang dibalas dengan cepat oleh Zul.&
“Semua pilihan yang kita ciptakan, akan memiliki konsekuensi. Kita yang melarikan diri dari kenyataan pun, sadar akan hal ini.”“Maaf... saya telat,” ucapku dengan nada rendah kala aku tiba di laboratorium. Kesulitan tidur tadi malam karena kaset memori peristiwa hari sabtu kemarin masih berputar di otakku.“Tidak apa, Fa,” ucap Mutia, mewakili kelompoknya. Aku melihat praktikan lainnya tampak berbisik kecil ke diri mereka masing-masing. Antara hinaan, ejekan, atau apalah itu, aku tidak peduli opini mereka.“Langsung masuk saja. Asistensinya di ruangan lab,” komentarku kepada mereka seraya membuka pintu laboratorium.“Assalamu’alaikum,” sapaku kala memasuki laboratorium. Balas
Jangan lupa untuk selalu memakai wajah poker, seperti seorang Kaito Kid.“Hei Affa!” suara tinggi itu mengejutkanku, membuatku menghentikan langkah dan membalikkan wajah, untuk dihadiahi dengan sebuah bogem mentah di wajah.“Apaan sih, Aristy!?” tanyaku ketus. Aristy mencoba mengoreksi tangannya yang baru saja membogem mentah wajahku.“Egois sekali,” jawabnya dingin.“Apa yang egois? Toh benar saja toh?” tanyaku datar. Aristy menatapku tajam.“Egois bangke! Lu gak sadar kalau tuh cewek mewek gara-gara lu bangke!” balasnya ketus. Terus, masalahnya apa dengan itu?“Lalu?”“Kamu takut kehilangan kan? Sikapmu i
Kala kita meyakini bahwa semua beban kita bisa diselesaikan, kala itu kita mulai mencari jalan keluar dari beban itu dengan kepala dingin.Aristy: [Lihat Status] Takut kehilangan ya?Affa: Iya.Aristy: Kenapa?Affa: Hmmm....Aristy: Ya sudah. Gak ada yang maksa kok.Aku menutup percakapan itu dan menghembuskan nafas berat. Mungkin tidak ada salahnya menjelaskan sedikit. Setidaknya, beban di benakku bisa ku lepas.Affa: Aku kehilangan orang berharga dalam hidupku dulu.Aristy: Turut berduka.
Ada harapan yang tidak tertulis, selain dalam hati.Aristy: Semua ada di chat kemarin.Affa: Aku sudah baca semua itu.Aristy: Apa kurang? Aku sudah memberikan percakapan intinya.Affa: Rasanya masih ada yang kurang.Aristy: Saat kamu bilang di grup dulu kamu menyukai seniormu, dia nangis kejer di chat denganku. Aku aja sampai harus tenangin tuh anak.Affa: Oh, 3 tahun lalu.Aristy: 2 tahun lalu dia mulai mencoba move on, tapi tidak bisa.Affa: Kenapa?
Hati itu unik. Dia tidak mengikuti akal yang dimiliki manusia.Affa: Oh ya. Aku mulai kepikiran. Kamu akrab sama Aini?Aristy: Kenapa memangnya?Affa: Mau tanya. Aku jengkel soalnya.Aristy: Keknya kamu yang gak peka.Affa: Apa maksudmu?Aku merasa tersinggung dengan kalimat itu entah kenapa. Ini seperti Rahima mengejekku dengan kata ‘tidak peka’. Bedanya, ini adalah seorang perempuan yang tidak pernah bertemu denganku. Orang asing. Dia berani mengejekku.Aristy: Darimana aku harus mulai menjelaskan ya?