“Kepada kelompok 4 dipersilahkan maju,” ucap sang dosen mempersilahkan kami untuk mempresentasikan ide bisnis dan progresnya. Salah satu temanku yang cukup jago dengan presentasi berusaha menunjukkan kemampuan presentasinya sebaik mungkin. Ya, aku tidak suka dengan kondisi seperti sekarang, maju di depan kelas.
Temanku menunjukkan demonstrasi aplikasi, dan saat sebuah logo unik menampilkan diri di awal aplikasi, sang dosen terlihat terkejut untuk beberapa saat sebelum dia kembali menormalkan netranya. Apa yang membuat logo aneh dalam aplikasi yang diberikan Affa bisa memberikan reaksi itu?
Demonstrasi aplikasi berjalan lancar. Penjelasan juga selesai. Dan kala sesi tanya jawab, teman-temanku bisa melakukan tugasnya dengan baik. Setidaknya mereka tidak sepenuhnya menyebalkan, dan benar-benar membantu.
“Oh ya. Saya mau tanya, kalian serius mau lanjutkan ini setelah teknopreneur?” tanya sang dosen. Itu mengejutkanku dan seluruh isi kelas. Pertanyaan sederhana ini justru sedari tadi tidak dilemparkan beliau sedikitpun sampai detik ini. Teman-temanku tampak berpikir.
“Kami masih belum yakin Bu, tapi semisal memungkinkan, kami lanjutkan,” jawab salah satu temanku. Itu mengejutkan balik dosen kami.
“Kalian serius masih ragu? Ini aplikasi buatan anak yang sering dirumorkan sama mahasiswa yang ambil tekno kan?” tanya beliau beruntun. Tunggu, darimana beliau sadar? Apa logo itu.
“Ummm... benar Bu. Kami juga masih agak ragu,” jawab temanku. Oh plis, aku tidak ingin berbicara sedikitpun soal harga dan lain sebagainya. Dosen kami tampak menyelidik. Jam kelas menandakan masih ada sekitar 60 menit sebelum kelas selesai.
“Ibu masih gak habis pikir sih. Kalian masih ragu, tapi sudah pakai bantuan dia. Ibu gak bisa lupa soalnya semua juara dan rata-rata bisnis yang jalan dari matkul teknopreneur sampai sekarang itu ada logo itu di versi awal-awal aplikasinya,” komentar beliau lagi. Berarti, logo tadi sudah familiar di kalangan dosen teknopreneur?
“Bagi kami para dosen tekno, logo itu sudah menjadi sebuah simbol keseriusan mahasiswa yang mengambil teknopreneur,” komentar beliau lagi. Eh!?
“Dari semenjak logo itu pertama muncul sekitar 7 atau 8 tahun lalu, semua bisnis di bawah logo itu hidup dan berjaya. Sampai-sampai dulu orang-orang mengasosiasikan logo itu keberuntungan teknopreneur,” cerita beliau. Logo dengan bentuk aneh dan unik, yang menurutku sulit untuk direplikasikan dengan mudah. Tunggu, 7 tahun lalu!?
“Oh ya, kalian duduk saja dulu,” ucap beliau mempersilahkan kelompok kami kembali duduk. Jujur, logo itu memberikan banyak pertanyaan di benak kami.
“Ini ibu sesi cerita keberatan nggak?” tanya beliau sesopan mungkin. Kami menganggukkan kepala. Antara penasaran, dan supaya sisa 4 kelompok yang belum bisa menunda maju.
“Logo itu, masih ibu simpan di laptop presentasinya,” ucap beliau seraya mengarahkan laptop beliau untuk membuka sebuah file. Aku melihat nama file itu adalah Presentasi Azhar EduTech (GameEdu). Memang, beliau meminta kami untuk membuat rekaman presentasi kami, tapi tidak menyangka beliau menyimpan itu semua.
“Ini favorit ibu. Dulu mahasiswanya ada 4, yaitu Arrow, Azhar, Soul, dan Theodore. Iya, nama panggilan mereka aneh-aneh, tapi ibu coba hargai aja kalau mereka memang mau dipanggil begitu. Mereka presentasi dulu ibu sampe nyerang habis-habisan karena gak percaya ide mereka itu realistis, sampai mereka banyak mengulik data waktu itu,” cerita beliau. Beliau pun menyetel file yang ternyata adalah video berdurasi 55 menit tersebut. Presentasi sendiri hanya 10 menit. Berarti, mereka diserang selama 45 menit penuh.
Tapi, apa hubungannya dengan Affa? Masa Affa sudah lulus? Dia kan bilang sendiri dia mahasiswa semester 7 waktu aku semester 3 kemarin. Nggak mungkin kan dia sudah presentasi bertahun-tahun lalu. Mungkin aku harus bertanya kepada Affa tentang logo itu.
Di sana, kami melihat ide awal daripada sebuah perusahaan yang kelak akan menguasai negeri ini. Konsepnya tidak terlalu rumit, dan idenya menarik. Tapi, yang mencolok adalah logo itu ada, dan menjadi latar presentasi.
Hanya saja, Azhar EduTech tidak memakai logo itu. Selain itu, presentasi itu memakai nama GameEdu. Ini seperti melihat awal-awal perjalanan daripada perusahaan raksasa. Namun, mereka baru mulai terlihat tidak pada tahun itu pula. Aku kenal dua orang pertama. Orang ketiga itu dikenal sebagai ahli saham di berita-berita, dan sering kelihatan di kanal yang membicarakan ekonomi, yang tentunya aku ganti dengan cepat. Namun yang terakhir, aku tidak pernah mendengar namanya.
Di sana, kami melihat bagaimana dosen kami ini bisa menjadi killer. Bahkan, aku melihat Azhar yang sering kalem di berita-berita menjadi sangat khawatir. Wajahnya menyiratkan ini akan berakhir buruk. Arrow, yang diberita sering terlihat kalem dan penuh wibawa, sekarang terlihat berapi-api untuk membela diri, namun dicegat oleh laki-laki yang disebut Soul. Soul terlihat paling tenang dengan gaya penjelasannya.
Sayang, sampai akhir, aku tidak mendapatkan jawaban yang menghubungkan antara Affa dan 4 orang di video itu. Jika teknopreneur ada di semester 4, dan mulai terkenalnya Azhar EduTech adalah sekitar 1 tahun setelah Azhar lulus, berarti mereka sudah mencanangkan dan beroperasi selama 3 tahun sebelum masuk mata publik.
“Apa mungkin sambil on/off?” gumamku dengan suara terucap dari mulut kala dosen telah keluar dari kelas. Ini membuatku penasaran. Apa hubungan seorang Affa, yang notabene adalah anak dingin, dengan 2 orang paling berpengaruh saat ini?
Aristy: Hey, Affa.
Aku mengirimkan pesan itu secara pribadi. Jujur, aku tidak terlalu suka menghubungi orang itu. Namun, dia banyak membantu dulu. Setidaknya, dia pantas untuk tidak dibenci. Sebuah pesan masuk.
Affa: Ada apa?
Aristy: Kamu kenal Pak Arrow dan Pak Azhar?
Affa: Bukannya kita semua kenal ya? Namanya aja sering muncul di televisi.
Aristy: Bukan itu. Logo di aplikasimu, dosenku tau.
Affa: Oh? Itu bukan logoku awalnya. Milik kakakku.
Aristy: Kakakmu? Kakakmu siapa? Soul? Theodore?
Dia hanya membaca, tidak menjawab. Kenapa ya?
Aini: Kak Aristy! Kak Aristy!
Aristy: Apa lagi, Aini?
Aku yakin dia akan bercerita tentang Affa panjang dan lebar.
Aini: Aku sedih Kakak ☹
Aini: Kenapa sih Kak Affa suka sama yang lain sih?
Aristy: Dia keknya gak suka-suka amat. Cuma balasin mereka aja.
Aini: Serius Kak?
Aristy: Kalau dari yang ku lihat, dia emang tipikal gitu. Balasnya sekadarnya. Kalau gak penting pasti gak dibalas. Chat mereka penting memang, karena dia kan orang kepenulisan. Tapi kalau kamu liat, begitu mereka ngeribut, Affa hilang.
Aini: Oke Kak.
Entahlah. Aku tidak tahu dengan anak ini. Dia terlalu mabuk karena Affa. Bucinnya sudah parah. Oh, ada notifikasi lain masuk.
Affa: Jangan bahas logo itu lagi. Terima kasih.
Oke... itu aneh. Kenapa dia enggan membahasnya? Terpikir di benakku untuk menyampaikan sesuatu terkait hal ini kepada Aini. Namun, aku mengurungkan. Masih terlalu awal untuk menyimpulkan apapun.
Tidak semua hal akan membekas dalam ingatan manusia.“Kenapa tiba-tiba dia membahas itu?” komentarku seraya masuk ke lab, tentunya mengucapkan salam. Aku yang baru selesai bimbingan, segera duduk ke kursi asisten milikku.“Eh, di sini ada yang kemarin sekelas dengan klien-klienku tahun lalu?” tanyaku kepada asisten-asisten di laboratorium. May menganggukkan kepala.“Ada satu di tempat saya Mas. Waktu itu sih dosennya komentar keknya mereka serius banget sama bisnis mereka. Cuma itu aja sih,” jawab May. Aku mencoba berpikir. Oke, itu menjelaskan kenapa Aristy bertanya tentang logo. Tapi...Bagaimana dia tahu tentang kakakku?“Oh ya Mas, baru ingat lag
Tembuslah ilusi yang mereka ciptakan. Jangan tertawan oleh manisnya tipu daya.Bagi warga biasa, keberadaan Zero Law Tolerance System, disingkat ZLTS, adalah sebuah misteri. Sistem keamanan dan deteksi tingkat tinggi ini dipakai dalam pelacakan, proses penembusan data, hingga pengawasan pergerakan semua warga negara di Indonesia guna melindungi warga negara dari kejahatan. Nama ZLTS adalah nama proyek di perusahaan Arrow-Azhar. Nama teknologi ini di pemerintah adalah Sistem Keamanan Siber Nasional, disingkat SKSN, bukan sksd.Sistem ini adalah pelanggaran terhebat terhadap hak kerahasiaan seluruh warga negara. Dengan topeng demokrasi, sistem seperti ini digunakan oleh pemerintah untuk mengawasi kemungkinan peristiwa kejahatan. Namun, aku pribadi merasa ini bisa lebih menakutkan. Aku hanya berharap, kare
Semua orang punya kelebihannya dan kekurangannya sendiri.Aku bukannya lari dari masalah logo itu. Aku hanya tidak ingin membuka luka yang telah ditutup rapat. Biarkan saja sejarah logo itu tenggelam, dan menjadi sebuah mitos yang tidak pernah dijelaskan. Lagipula, logo itu adalah simbol kegelapan negeri ini sekarang.Kenapa kegelapan? Karena orang dibaliknya adalah cikal bakal keberadaan Azhar EduTech. Keberadaan orang-orang baru yang berkuasa dan memainkan kehidupan seperti pion. Aku pun melihat diriku demikian, hanyalah pion di tangan Mas Azhar dan Mas Arrow.Subuh itu aku laksanakan dengan khidmat. Namun, rasanya seperti ada yang salah kala aku selesai.“Jika aku menyelesaikan semua ini, maka sama saja aku berkontribusi membawa keg
“Aku sih gak senang kita lanjutin ini,” keluh salah satu rekan kelompokku. Aku hanya mendengarkan mereka dengan bosan.“Coba kalo gak ada logo itu. Sekarang kita sudah diperhatikan sama semua dosen tekno,” keluh rekan kelompok yang lain. Aku juga tidak terlalu tertarik melanjutkan, tapi tidak ada salahnya dicoba. Siapa tahu bagus kan?“Ini gara-gara kamu, Aristy!” tuduh salah satu anggota. Aku langsung berdiri dari tempat aku duduk. Dia ingin ribut? Akan aku berikan.“Heh! Kemarin yang ngurus BMS dan kejar-kejaran buat setor itu aku ya!” balasku ketus. Terserah mereka akan memusuhiku setelah ini. Keterlaluan saja sekarang menyalahkanku. Kemarin-kemarin kalian pada nongki gak jelas abai sampai aku gelabakan jam 11 malam buat selesaikan BMS yang belum rampung. Mana ada tugas Studio juga. Sial emang!
Jangan termakan oleh ilusi kebebasan yang palsu.“Terima kasih untuk hari ini,” ucap Mas Azhar saat izin pamit hari itu. Aku hanya menganggukkan kepalaku. Jangan terlalu banyak berkomentar, cukup akhiri saja.“Sama-sama Mas. Saya pulang dulu,” balasku dengan hormat. Beliau menganggukkan kepala dan mempersilahkanku pulang. Netra ini sempat memperhatikan perempuan yang menjadi asisten beliau, namun abaikan saja.Setelah aku tiba di rumah, baru aku lepaskan semua deru nafas yang tersembunyi. Pekatnya kegelapan yang menyelimut tempat itu seakan menelanku hidup-hidup. Menyebalkan sekali.“Berat sekali,” gumamku. Aku meletakkan laptopku di meja kamarku. Jam menunjukkan angka 9 malam, dan aku lelah. Ponselku berd
“Bosan!” keluhku kesal. Kenapa harus ada sekolah di hari sabtu sih.“Jangan ngeluh mulu ih. Dasar Aini,” komentar teman akrabku. Aku menatap kesal dengan komentarnya dan langsung menyerang balik.“Ya maaf ya Niqma, situ kan punya si Nata. Gak kek gue, jomblo!” ketusku seakan menyatakan itu seperti sebuah fakta. Temanku itu langsung memerah.“Jangan sembarangan sebut nama dia dong,” ucap Niqma dengan wajah memerah. Aku langsung menyerang berulang kali.“Nata Nata Nata Na-” Niqma segera menyumpal mulutku dengan tangannya. Dia menatapku tajam.“Jangan. Sebut. Nama. Dia,” tekannya pada setiap kata. Aku tersenyum sinis.“Cemburu?” sindirku. Niqma langsung berteriak
Feelings never matter. It never matters in the slightest. When you aim high, emotions are strains that hold your potential away.Sebuah pesan masuk kala aku dan Rahima sedang berbincang seraya menikmati makan sore kami di restoran. Pesan itu aku abaikan dan melanjutkan percakapan dengan Rahima.“Jadi, Rara setuju ikut dengan proyek Mas Arrow?” tanyaku. Rahima yang mendengar suara ponselku dari notifikasi tadi justru memintaku untuk merespons ponselku.“Cek ponselmu. Kali Prof mencari,” jawabnya. Aku melihat ke ponselku dan melihat pesan dari Aini. Aku tidak merespons dan menjawab sederhana.“Bukan chat penting. Kembali ke pertanyaan tadi, Rara setuju?” tanyaku. Rahima menganggukkan kepalanya. Dia tampak memainkan sedotan di gelasnya.
Jangan pernah memancing takdir untuk bermain denganmu.“Persiapan sudah beres kan?” tanyaku kepada May yang mengkoordinasikan persiapan lab. May menganggukkan kepalanya.“Ini Dik Zihan juga sudah datang. Haduh, cantiknya lagi. Mas Shad emang niat banget ya,” puji Yusuf yang melihat Zihan yang didudukkan oleh anak-anak lab di salah satu kursi lab. Ini emangnya acara nikahan ta?“Kamu dapat ide ini darimana? Aeon Raw?” tanyaku heran.“Oh. Ini soalnya Mas Shad aslinya mau bawa Zihan sama dia pas tiba nanti di FTEI. Kan gak nyangka aja dia bakal dikunci di lab yayang dia,” komentar May diikuti dengan cekikian. Aku melihat Zihan pasrah dengan perlakuan para asisten yang usilnya minta ampun.
Dering ponsel di jam dua malam itu mengejutkanku dari tidur nyenyakku setelah perjalanan indah bersama Fafa, kekasihku. Aku melihat sebuah nama yang cukup familiar di ponselku.“Huh? Malam, Zul,” ucapku pelan seraya mengangkat panggilan itu. Kesadaranku masih sebelumnya pulih.“Fafa diserang Mut!” teriak Zul di saluran seberang, membuatku langsung mengerjap sepenuhnya ke dunia nyata.“Apa!? Serius Zul!” teriakku tidak percaya. Kalau ini lelucon, aku pastikan Zul akan ku blacklist.“Serius oi! Aku gak main-main ini! Langsung di RS X Harapan, segera!” Aku langsung menjatuhkan ponselku. Peristiwa macam apa ini?Dengan kepanikan, aku segera berganti pakaian. Terburu-buru, suara
“Aku terlalu sibuk dengan luka yang ku biarkan menghancurkanku.”Selesai makan, Mutia membuka percakapan. Aku memberi isyarat privasi kepada para pelayan, yang diikuti dengan mereka keluar dari ruangan.“Jujur saja, aku masih terkejut, Fa,” ucap Mutia pelan. Dia tampak memilah kata-kata yang ingin dia lontarkan.“Kenapa?” tanyaku datar. Aku meletakkan kedua tangan di depan wajahku, seakan berpikir.“Soal pekerjaanmu. Kamu sungguh-sungguh bekerja di sana? Entah kenapa... rasanya aneh,” jawabnya ragu. Maksudnya meragukannya.“Bekerja di Azhar EduTech tidak masuk akal jika melihat sekilas dari fakta aku baru kuliahan. Tapi, lihat sendiri,” balasku se
“Kepercayaan adalah benda termahal yang kita jual kepada orang lain.”“Selamat pagi, Affa,” ucap Mas Azhar kala aku tiba. Semua anggota lainnya sudah terkumpul, dan jam menunjukkan angka 7 lewat 58. Dua menit lagi.“Selamat pagi Pak. Selamat pagi rekan-rekan semua,” sapaku kepada semua rekan tim yang hadir. Mas Azhar pun memulai rapat pagi itu.Jam menunjukkan angkat 11 lewat 30 saat Mas Azhar memperkenankan kami istirahat. Aku membuka ponselku, dan melihat banyak pesan dari Mutia dan telepon tidak terangkat langsung masuk sebagai notifikasi.“Good job, jammer,” keluhku.Mutia: Say?Mutia:
“Tanpa hati, semuanya akan menjadi berat.”“SERIUSAN!?” teriakan itu dilontarkan oleh May kala anak-anak lab menghubungi asisten yang sedang lomba itu. Aku melihat asisten lainnya hanya menganggukkan kepala. Jam menunjukkan angka 7 malam.“Heh. Ada yang video gak eh!?” tanyanya lagi. Yusuf langsung memberikan jawaban.“Sudah aku rekam,” jawab Yusuf setegar mungkin. Ayolah Suf. Aku tidak sebodoh itu untuk tidak melihat kamu patah hati.“Widih. Mas Yusuf gapapa tuh?” sindir May langsung. Anak itu memang sangat frontal ya.“Tangguh dong,” balas Zul membantu Yusuf. Yusuf langsung memberikan tos kepada rekannya itu, yang dibalas dengan cepat oleh Zul.&
“Semua pilihan yang kita ciptakan, akan memiliki konsekuensi. Kita yang melarikan diri dari kenyataan pun, sadar akan hal ini.”“Maaf... saya telat,” ucapku dengan nada rendah kala aku tiba di laboratorium. Kesulitan tidur tadi malam karena kaset memori peristiwa hari sabtu kemarin masih berputar di otakku.“Tidak apa, Fa,” ucap Mutia, mewakili kelompoknya. Aku melihat praktikan lainnya tampak berbisik kecil ke diri mereka masing-masing. Antara hinaan, ejekan, atau apalah itu, aku tidak peduli opini mereka.“Langsung masuk saja. Asistensinya di ruangan lab,” komentarku kepada mereka seraya membuka pintu laboratorium.“Assalamu’alaikum,” sapaku kala memasuki laboratorium. Balas
Jangan lupa untuk selalu memakai wajah poker, seperti seorang Kaito Kid.“Hei Affa!” suara tinggi itu mengejutkanku, membuatku menghentikan langkah dan membalikkan wajah, untuk dihadiahi dengan sebuah bogem mentah di wajah.“Apaan sih, Aristy!?” tanyaku ketus. Aristy mencoba mengoreksi tangannya yang baru saja membogem mentah wajahku.“Egois sekali,” jawabnya dingin.“Apa yang egois? Toh benar saja toh?” tanyaku datar. Aristy menatapku tajam.“Egois bangke! Lu gak sadar kalau tuh cewek mewek gara-gara lu bangke!” balasnya ketus. Terus, masalahnya apa dengan itu?“Lalu?”“Kamu takut kehilangan kan? Sikapmu i
Kala kita meyakini bahwa semua beban kita bisa diselesaikan, kala itu kita mulai mencari jalan keluar dari beban itu dengan kepala dingin.Aristy: [Lihat Status] Takut kehilangan ya?Affa: Iya.Aristy: Kenapa?Affa: Hmmm....Aristy: Ya sudah. Gak ada yang maksa kok.Aku menutup percakapan itu dan menghembuskan nafas berat. Mungkin tidak ada salahnya menjelaskan sedikit. Setidaknya, beban di benakku bisa ku lepas.Affa: Aku kehilangan orang berharga dalam hidupku dulu.Aristy: Turut berduka.
Ada harapan yang tidak tertulis, selain dalam hati.Aristy: Semua ada di chat kemarin.Affa: Aku sudah baca semua itu.Aristy: Apa kurang? Aku sudah memberikan percakapan intinya.Affa: Rasanya masih ada yang kurang.Aristy: Saat kamu bilang di grup dulu kamu menyukai seniormu, dia nangis kejer di chat denganku. Aku aja sampai harus tenangin tuh anak.Affa: Oh, 3 tahun lalu.Aristy: 2 tahun lalu dia mulai mencoba move on, tapi tidak bisa.Affa: Kenapa?
Hati itu unik. Dia tidak mengikuti akal yang dimiliki manusia.Affa: Oh ya. Aku mulai kepikiran. Kamu akrab sama Aini?Aristy: Kenapa memangnya?Affa: Mau tanya. Aku jengkel soalnya.Aristy: Keknya kamu yang gak peka.Affa: Apa maksudmu?Aku merasa tersinggung dengan kalimat itu entah kenapa. Ini seperti Rahima mengejekku dengan kata ‘tidak peka’. Bedanya, ini adalah seorang perempuan yang tidak pernah bertemu denganku. Orang asing. Dia berani mengejekku.Aristy: Darimana aku harus mulai menjelaskan ya?