Jangan cari aku kala hanya diperlukan, lalu kamu campakkan begitu saja.
Hari sabtu pagi, setelah subuh di masjid kampus, aku memutuskan untuk pulang dari laboratorium. Rahima sudah mengirimkan pesan dia akan lembur di kantor perusahaan Pak Arrow, salah satu dari teman Kak Hamid dulu, sampai minggu.
Sebuah rumah kecil yang diberikan oleh Pak Arrow kepada kami aku masuki. Rumah itu tampak bersih, dan tentunya karena tidak sering dihuni. Biarpun aku dan Rahima punya rumah ini sekarang, laboratorium sudah seperti rumah bagi kami. Hanya untuk mandi saja biasanya aku pulang.
Aku mandi dan mengganti pakaianku. Ada satu rencana pada sabtu ini, yaitu mengunjungi suatu tempat yang harusnya aku kunjungi lagi. 1 Maret adalah senin depan, tapi aku tidak bisa berkunjung pada hari itu. Jadi, aku pilih sabtu ini.
Suasana hening tempat itu tentunya menjadi pengingat bahwasanya kita hanyalah manusia yang akan berakhir sendiri. Ribuan gundukan tanah menandakan tempat akhir persemayaman manusia. Aku berjalan di setapak kecil menuju satu pusara. Seharusnya, ada Rahima bersamaku. Sayangnya, kali ini aku harus meminta maaf kepada dia, dan kakakku.
“Assalamu’alaikum, Ya Ahlil Kubur,” ucapku pada angin yang berhembus. Sebuah salam untuk para penghuni yang telah beristirahat menunggu hari pengadilan. Semua manusia akan mengalaminya.
Aku berhenti di dekat satu pusara. Tertulis nama itu, nama yang sudah lama tidak ada, tapi legacy yang dia ciptakan akan terus berlanjut. Entah, apakah dia bangga, atau sedih karena tidak bisa menyaksikan hasil usahanya, aku tidak tahu. Aku duduk di dekat makam itu.
“Assalamu’alaikum Kak,” ucapku lemah. Ku keluarkan buku kecil dari tas slempang yang ku bawa. Tulisan-tulisan Kalam Allah terlihat begitu aku membukanya.
Setengah jam aku membacakan ayat-ayat di sana. Ini adalah sebuah kebiasaan bagiku dan Rahima, dan aku tahu dia merasa berat meninggalkannya. Jujur saja, aku dan Rahima sebenarnya sering ke sini, baik sendiri maupun berdua. Tapi, 1 Maret berarti berbeda. Hari kelahiran kami. Masih ingat aku hadiah terakhir Kak Hamid kepada kami, dua buah jam tangan kecil yang dia buat sebisanya. Aku tahu, dia mempelajari bidang yang bukan kekuatan utamanya untuk memberikan hadiah itu. Jam sederhana yang masih kami simpan sampai sekarang.
“Maaf Kak. Aku harus pergi dulu. Assalamu’alaikum,” ucapku terakhir sebelum pergi dari pusara itu. Rasanya sedih, tapi tetap harus kuat dan tabah. Aku dan Rahima telah mencapai lebih jauh daripada dahulu, sayang kakak kami tidak bisa menyaksikan. Aku pun kembali ke rumah.
Hari tujuh tahun itu masih membekas di ingatanku. Namun, aku selalu tidak ingin menyimpan kenangan suram itu. Selama belum ada yang melindungi Rahima secara menyeluruh, selama itu pula dia harus pantang menjatuhkan air dari matanya. Itulah pinta akhir kakak.
Hari pengangkatan itu penuh dengan drama. Banyak air mata, pukulan, dan rasa sakit. Namun, tidak ada satu air mata jatuh dariku. Hari itu, pengangkatan nyaris kacau karena dirinya seorang. Melihat adiknya dibuat menangis oleh senior-senior yang dimatanya tidak bertanggung jawab. Hanya demi sebuah tradisi. Kalau bukan karena salah satu senior asisten lab di sana menahannya, mungkin akan menjadi baku hantam keras malam itu.
Meskipun semuanya rekayasa, emosi itu nyata. Mereka memukul membabi buta, kekerasan yang tidak terkendali dengan baik untuk rekayasa. Dan fakta bahwa kami dipaksa angkatan sendiri untuk hadir pada hari itu membuat sebuah garis sekat pasca hari itu. Air yang jatuh dari mata Rahima dan luka yang dia alami karena fisiknya yang lemah itu berakhir menjadi sebuah bencana bagi himpunan.
Rahima sering menangis, bahkan untuk hal-hal terkecil. Menjadi sebuah beban bagi aku, untuk memastikan dia selalu tersenyum. Bahkan, banyak yang harus aku lakukan untuk merawat senyuman itu. Rahima selalu berusaha kuat, tapi bahkan dia sendiri mengakui bahwa dirinya sangatlah cengeng.
“Memang, kami dilindungi, dianggap sebagai benda berharga. Selama mutiara belum menghitam, selama itu kami berharga,” gumamku kala aku tiba di rumah. Ya, itulah yang aku pikirkan sekarang soal hari itu. Aku menggelengkan kepala.
“Sudahlah, sudah berlalu.” Aku memutuskan untuk membersihkan diriku.
Ponselku terus berdering. Aku yang baru selesai mengganti baju memutuskan untuk tidak mengabaikan. Dosen-dosen suka menelpon diriku jika aku tidak menjawab dalam lima menit dari pesan mereka. Jadi, aku tahu aku punya sedikit waktu. Aku segera memeriksa ponsel setelah selesai.
Aini: Kak Affa!
Aini: Kak Affa! Balas dong!
Aini: Iiih! Kak Affa kok gak balas sih.
Aini: Kak Affaaaaaaa!
“Menyebalkan,” komentarku seraya menghapus pesan itu. Aku memutuskan untuk kembali berangkat ke kampus. Semoga Dekker bersedia membantu dengan pekerjaan dari klien kemarin. Aku perlu waktu lebih untuk menyelesaikan proses pengolahan data.
Sebuah pesan muncul di grup laboratorium. Langkahku untuk berangkat terhenti, dan membuka pesan yang masuk di ponselku.
Zul: Oi! Gimana wisuda?
Yusuf: Affa katanya minta si May ya yang ngurus kan? May, laporan.
May: Iya Kak. Ini banner baru selesai saya desain. Plakatnya juga sudah.
Dekker: Gak ada buat kek semacam snack gitu?
May: Ada kok Ker. Ini sudah diatur rencananya apa saja. Lab kan semester ini cuma 3 orang. Mas Faux. Mas Shad. Mba Smile.
Dekker: Iya sih.
Yusuf: Segerakan ya bannernya. Minggu depan pasti ramai.
Affa: Jangan seperti Yusuf tahun lalu, panik jadinya.
Yusuf: JANGAN DIINGETIN!
Zul: Yusuf sih sok santuy banget.
Affa: Ya sudah. Segera diselesaikan ya May. Aku tunggu laporannya di rapat koordinasi hari rabu, biar memastikan gak terlalu mepet.
Zul: Ya kali rapat dadakan kek kemarin lagi.
Affa: Maaf. Dosen-dosen baru kasih spesifikasi buat praktikum. Aku kemarin gak bisa mulai karena belum fix siapa aja mahasiswanya. Jadi terpaksa Jum’at bahasnya. Buat praktikum minggu depan hari Kamis sesuai kesepakatan sudah TM.
Zul: Iya. Gue ingat kok Fa. Tak pastiin kelar kok.
Affa: Kalau gak sesuai timeline bisa kena tegur kita. Jangan teledor ya.
Zul: Siap bos.
Yusuf: Modul revisi kemarin sudah selesai btw. Setor kapan?
Affa: Senin aja. Nanti aku bantu.
Aku memutuskan untuk menutp grup dan mengirimkan pesan pribadi ke Dekker. Tentunya, membicarakan proyek.
Affa: Dekker. Di lab?
Dekker: Iya mas. Ada apa ya?
Affa: Perlu orang buat proyekan. Kamu mau ga?
Dekker: Proyek apa mas? Kalau aplikasi sih boleh aja.
Affa: Aplikasi. Aku perlu bantuan buat polishing aja kok, gak dari nol. Ini sudah ready sebagian besar. Deadlinenya senin.
Dekker: UI UX atau fungsional?
Affa: UI UX.
Ya. Setelah bergelut tadi malam sampai subuh, aku selesai dengan fungsionalnya. Namun, kualitas antarmukanya masih berantakan.
Dekker: Boleh lah mas. Bisa kalau gak terlalu banyak.
Affa: Oke. Aku ke kampus sekarang.
Dekker: Sampean sudah rehat belum mas? Seingat saya mas kan lembur kata anak-anak.
Affa: Biasa aja.
Meskipun aku sebenarnya sedikit mengantuk. Tidak apa. Aku masih bisa membawa motor tanpa oleng. Aku pun menutup pesan itu. Waktunya untuk berangkat kembali ke kampus.
“Kamu yakin pesan ke anak tekkom itu?” tanya temanku saat kelompok mata kuliahku berkumpul. Aku menganggukkan kepala. Setidaknya, meskipun aku jarang berinteraksi dengan laki-laki yang aku kenal awalnya dari sebuah komunitas kepenulisan.“Kenapa yakin sih, Aristy?” tanya temanku yang lain. Bukan apa, cuma semenjak dua tahun lalu dia jadi satu dari dua orang yang sering aku rujukkan. Aku tersenyum.“Sebenarnya sudah kenal sama Affa semenjak dulu sih. Gak akrab, cuma dia tipikal yang pasti selesai,” jawabku sekenanya, “lagipula, dia kasih kompensasi juga. Padahal dia sendiri bilang itu harga aslinya satu juta,” lanjutku.“Heh. Kamu gak bilang apa-apa lho Aristy!” balas teman-temanku terkejut. Mungkin fakta bahwasanya Affa ternyata salah satu orang yang sering terlibat proyek kampus sudah ter
Tidak perlu alasan untuk berbuat baik.“Makasih banyak atas bantuannya, Dekker,” ucapku kepada asisten yang satu tahun dibawahku secara akademis. Dekker menganggukkan kepalanya.“Makasih juga lho mas. Dapat 150 ribu lagi dari UI UX. Emang berapa sih bayarannya mas seluruh aplikasi gitu?” tanya Dekker.“400 ribu. Itu harga khusus,” jawabku datar. Dekker terkejut mendengarnya.“Seriusan mas!? Biasanya sampean sampe 1 juta per proyek. Makanya anak-anak tekno takut pesan ke sampean kecuali emang mau ngambis,” balas Dekker terkejut. Ya, aku tahu semua aplikasi yang aku kembangkan selalu mendapat juara di teknopreneur, bahkan beberapa dilombakan oleh klien. Ah, yang penting aku dapat share.
“Kepada kelompok 4 dipersilahkan maju,” ucap sang dosen mempersilahkan kami untuk mempresentasikan ide bisnis dan progresnya. Salah satu temanku yang cukup jago dengan presentasi berusaha menunjukkan kemampuan presentasinya sebaik mungkin. Ya, aku tidak suka dengan kondisi seperti sekarang, maju di depan kelas.Temanku menunjukkan demonstrasi aplikasi, dan saat sebuah logo unik menampilkan diri di awal aplikasi, sang dosen terlihat terkejut untuk beberapa saat sebelum dia kembali menormalkan netranya. Apa yang membuat logo aneh dalam aplikasi yang diberikan Affa bisa memberikan reaksi itu?Demonstrasi aplikasi berjalan lancar. Penjelasan juga selesai. Dan kala sesi tanya jawab, teman-temanku bisa melakukan tugasnya dengan baik. Setidaknya mereka tidak sepenuhnya menyebalkan, dan benar-benar membantu.“Oh ya. Saya mau tanya, kalian
Tidak semua hal akan membekas dalam ingatan manusia.“Kenapa tiba-tiba dia membahas itu?” komentarku seraya masuk ke lab, tentunya mengucapkan salam. Aku yang baru selesai bimbingan, segera duduk ke kursi asisten milikku.“Eh, di sini ada yang kemarin sekelas dengan klien-klienku tahun lalu?” tanyaku kepada asisten-asisten di laboratorium. May menganggukkan kepala.“Ada satu di tempat saya Mas. Waktu itu sih dosennya komentar keknya mereka serius banget sama bisnis mereka. Cuma itu aja sih,” jawab May. Aku mencoba berpikir. Oke, itu menjelaskan kenapa Aristy bertanya tentang logo. Tapi...Bagaimana dia tahu tentang kakakku?“Oh ya Mas, baru ingat lag
Tembuslah ilusi yang mereka ciptakan. Jangan tertawan oleh manisnya tipu daya.Bagi warga biasa, keberadaan Zero Law Tolerance System, disingkat ZLTS, adalah sebuah misteri. Sistem keamanan dan deteksi tingkat tinggi ini dipakai dalam pelacakan, proses penembusan data, hingga pengawasan pergerakan semua warga negara di Indonesia guna melindungi warga negara dari kejahatan. Nama ZLTS adalah nama proyek di perusahaan Arrow-Azhar. Nama teknologi ini di pemerintah adalah Sistem Keamanan Siber Nasional, disingkat SKSN, bukan sksd.Sistem ini adalah pelanggaran terhebat terhadap hak kerahasiaan seluruh warga negara. Dengan topeng demokrasi, sistem seperti ini digunakan oleh pemerintah untuk mengawasi kemungkinan peristiwa kejahatan. Namun, aku pribadi merasa ini bisa lebih menakutkan. Aku hanya berharap, kare
Semua orang punya kelebihannya dan kekurangannya sendiri.Aku bukannya lari dari masalah logo itu. Aku hanya tidak ingin membuka luka yang telah ditutup rapat. Biarkan saja sejarah logo itu tenggelam, dan menjadi sebuah mitos yang tidak pernah dijelaskan. Lagipula, logo itu adalah simbol kegelapan negeri ini sekarang.Kenapa kegelapan? Karena orang dibaliknya adalah cikal bakal keberadaan Azhar EduTech. Keberadaan orang-orang baru yang berkuasa dan memainkan kehidupan seperti pion. Aku pun melihat diriku demikian, hanyalah pion di tangan Mas Azhar dan Mas Arrow.Subuh itu aku laksanakan dengan khidmat. Namun, rasanya seperti ada yang salah kala aku selesai.“Jika aku menyelesaikan semua ini, maka sama saja aku berkontribusi membawa keg
“Aku sih gak senang kita lanjutin ini,” keluh salah satu rekan kelompokku. Aku hanya mendengarkan mereka dengan bosan.“Coba kalo gak ada logo itu. Sekarang kita sudah diperhatikan sama semua dosen tekno,” keluh rekan kelompok yang lain. Aku juga tidak terlalu tertarik melanjutkan, tapi tidak ada salahnya dicoba. Siapa tahu bagus kan?“Ini gara-gara kamu, Aristy!” tuduh salah satu anggota. Aku langsung berdiri dari tempat aku duduk. Dia ingin ribut? Akan aku berikan.“Heh! Kemarin yang ngurus BMS dan kejar-kejaran buat setor itu aku ya!” balasku ketus. Terserah mereka akan memusuhiku setelah ini. Keterlaluan saja sekarang menyalahkanku. Kemarin-kemarin kalian pada nongki gak jelas abai sampai aku gelabakan jam 11 malam buat selesaikan BMS yang belum rampung. Mana ada tugas Studio juga. Sial emang!
Jangan termakan oleh ilusi kebebasan yang palsu.“Terima kasih untuk hari ini,” ucap Mas Azhar saat izin pamit hari itu. Aku hanya menganggukkan kepalaku. Jangan terlalu banyak berkomentar, cukup akhiri saja.“Sama-sama Mas. Saya pulang dulu,” balasku dengan hormat. Beliau menganggukkan kepala dan mempersilahkanku pulang. Netra ini sempat memperhatikan perempuan yang menjadi asisten beliau, namun abaikan saja.Setelah aku tiba di rumah, baru aku lepaskan semua deru nafas yang tersembunyi. Pekatnya kegelapan yang menyelimut tempat itu seakan menelanku hidup-hidup. Menyebalkan sekali.“Berat sekali,” gumamku. Aku meletakkan laptopku di meja kamarku. Jam menunjukkan angka 9 malam, dan aku lelah. Ponselku berd
Dering ponsel di jam dua malam itu mengejutkanku dari tidur nyenyakku setelah perjalanan indah bersama Fafa, kekasihku. Aku melihat sebuah nama yang cukup familiar di ponselku.“Huh? Malam, Zul,” ucapku pelan seraya mengangkat panggilan itu. Kesadaranku masih sebelumnya pulih.“Fafa diserang Mut!” teriak Zul di saluran seberang, membuatku langsung mengerjap sepenuhnya ke dunia nyata.“Apa!? Serius Zul!” teriakku tidak percaya. Kalau ini lelucon, aku pastikan Zul akan ku blacklist.“Serius oi! Aku gak main-main ini! Langsung di RS X Harapan, segera!” Aku langsung menjatuhkan ponselku. Peristiwa macam apa ini?Dengan kepanikan, aku segera berganti pakaian. Terburu-buru, suara
“Aku terlalu sibuk dengan luka yang ku biarkan menghancurkanku.”Selesai makan, Mutia membuka percakapan. Aku memberi isyarat privasi kepada para pelayan, yang diikuti dengan mereka keluar dari ruangan.“Jujur saja, aku masih terkejut, Fa,” ucap Mutia pelan. Dia tampak memilah kata-kata yang ingin dia lontarkan.“Kenapa?” tanyaku datar. Aku meletakkan kedua tangan di depan wajahku, seakan berpikir.“Soal pekerjaanmu. Kamu sungguh-sungguh bekerja di sana? Entah kenapa... rasanya aneh,” jawabnya ragu. Maksudnya meragukannya.“Bekerja di Azhar EduTech tidak masuk akal jika melihat sekilas dari fakta aku baru kuliahan. Tapi, lihat sendiri,” balasku se
“Kepercayaan adalah benda termahal yang kita jual kepada orang lain.”“Selamat pagi, Affa,” ucap Mas Azhar kala aku tiba. Semua anggota lainnya sudah terkumpul, dan jam menunjukkan angka 7 lewat 58. Dua menit lagi.“Selamat pagi Pak. Selamat pagi rekan-rekan semua,” sapaku kepada semua rekan tim yang hadir. Mas Azhar pun memulai rapat pagi itu.Jam menunjukkan angkat 11 lewat 30 saat Mas Azhar memperkenankan kami istirahat. Aku membuka ponselku, dan melihat banyak pesan dari Mutia dan telepon tidak terangkat langsung masuk sebagai notifikasi.“Good job, jammer,” keluhku.Mutia: Say?Mutia:
“Tanpa hati, semuanya akan menjadi berat.”“SERIUSAN!?” teriakan itu dilontarkan oleh May kala anak-anak lab menghubungi asisten yang sedang lomba itu. Aku melihat asisten lainnya hanya menganggukkan kepala. Jam menunjukkan angka 7 malam.“Heh. Ada yang video gak eh!?” tanyanya lagi. Yusuf langsung memberikan jawaban.“Sudah aku rekam,” jawab Yusuf setegar mungkin. Ayolah Suf. Aku tidak sebodoh itu untuk tidak melihat kamu patah hati.“Widih. Mas Yusuf gapapa tuh?” sindir May langsung. Anak itu memang sangat frontal ya.“Tangguh dong,” balas Zul membantu Yusuf. Yusuf langsung memberikan tos kepada rekannya itu, yang dibalas dengan cepat oleh Zul.&
“Semua pilihan yang kita ciptakan, akan memiliki konsekuensi. Kita yang melarikan diri dari kenyataan pun, sadar akan hal ini.”“Maaf... saya telat,” ucapku dengan nada rendah kala aku tiba di laboratorium. Kesulitan tidur tadi malam karena kaset memori peristiwa hari sabtu kemarin masih berputar di otakku.“Tidak apa, Fa,” ucap Mutia, mewakili kelompoknya. Aku melihat praktikan lainnya tampak berbisik kecil ke diri mereka masing-masing. Antara hinaan, ejekan, atau apalah itu, aku tidak peduli opini mereka.“Langsung masuk saja. Asistensinya di ruangan lab,” komentarku kepada mereka seraya membuka pintu laboratorium.“Assalamu’alaikum,” sapaku kala memasuki laboratorium. Balas
Jangan lupa untuk selalu memakai wajah poker, seperti seorang Kaito Kid.“Hei Affa!” suara tinggi itu mengejutkanku, membuatku menghentikan langkah dan membalikkan wajah, untuk dihadiahi dengan sebuah bogem mentah di wajah.“Apaan sih, Aristy!?” tanyaku ketus. Aristy mencoba mengoreksi tangannya yang baru saja membogem mentah wajahku.“Egois sekali,” jawabnya dingin.“Apa yang egois? Toh benar saja toh?” tanyaku datar. Aristy menatapku tajam.“Egois bangke! Lu gak sadar kalau tuh cewek mewek gara-gara lu bangke!” balasnya ketus. Terus, masalahnya apa dengan itu?“Lalu?”“Kamu takut kehilangan kan? Sikapmu i
Kala kita meyakini bahwa semua beban kita bisa diselesaikan, kala itu kita mulai mencari jalan keluar dari beban itu dengan kepala dingin.Aristy: [Lihat Status] Takut kehilangan ya?Affa: Iya.Aristy: Kenapa?Affa: Hmmm....Aristy: Ya sudah. Gak ada yang maksa kok.Aku menutup percakapan itu dan menghembuskan nafas berat. Mungkin tidak ada salahnya menjelaskan sedikit. Setidaknya, beban di benakku bisa ku lepas.Affa: Aku kehilangan orang berharga dalam hidupku dulu.Aristy: Turut berduka.
Ada harapan yang tidak tertulis, selain dalam hati.Aristy: Semua ada di chat kemarin.Affa: Aku sudah baca semua itu.Aristy: Apa kurang? Aku sudah memberikan percakapan intinya.Affa: Rasanya masih ada yang kurang.Aristy: Saat kamu bilang di grup dulu kamu menyukai seniormu, dia nangis kejer di chat denganku. Aku aja sampai harus tenangin tuh anak.Affa: Oh, 3 tahun lalu.Aristy: 2 tahun lalu dia mulai mencoba move on, tapi tidak bisa.Affa: Kenapa?
Hati itu unik. Dia tidak mengikuti akal yang dimiliki manusia.Affa: Oh ya. Aku mulai kepikiran. Kamu akrab sama Aini?Aristy: Kenapa memangnya?Affa: Mau tanya. Aku jengkel soalnya.Aristy: Keknya kamu yang gak peka.Affa: Apa maksudmu?Aku merasa tersinggung dengan kalimat itu entah kenapa. Ini seperti Rahima mengejekku dengan kata ‘tidak peka’. Bedanya, ini adalah seorang perempuan yang tidak pernah bertemu denganku. Orang asing. Dia berani mengejekku.Aristy: Darimana aku harus mulai menjelaskan ya?