“Pakaian-pakaian itu… milik siapa?” tanya Sophia.Albert langsung terdiam. “Aku mengerti sekarang,” ucapnya.Sophia mengernyit. Dari respon Albert saja Sophia sudah memiliki firasat bahwa dia tidak akan menyukai jawabannya.“Kau berpikir itu milik mantan wanita-wanitaku?”Pertahanan diri Sophia untuk tidak menunjukkan perasaannya yang sebenarnya kini semakin menipis. “Bukan kah memang begitu?”Albert terkekeh sumbang. “Aku mengerti kenapa kau berpikir seperti itu. Tapi untuk langsung kabur seperti tadi tanpa mencoba mencari kebenarannya terlebih dahulu dariku adalah tindakan yang salah, Sophie,” kata Albert.Sophia dibuat sedikit kesal karena kesannya Albert malah menyalahkannya, tapi Sophia menahan diri. “Sudahlah, kalau kau tidak mau menjawab pertanyaanku, aku akan pergi saja.”Albert segera menghalangi Sophia lagi.“Albert, aku ingin menenangkan diri. Saat ini aku tahu bahwa aku sedang tidak berpikir secara rasional jadi aku mohon… biarkan aku pergi.” Suara Sophia terdengar memelas
Aroma yang begitu khas tercium setiap kali Sophia menarik napas dalam-dalam. Udara terasa sejuk juga hangat menerpa kulitnya. Suara gemerisik dedaunan dan ranting patah terdengar bersamaan dengan cicit burung yang saling bersahutan. Sophia naik ke salah satu dahan pohon ek yang paling rendah lalu duduk di sana. Tekstur kasar dan berlumut pada kulit pohon membuat gaunnya kotor, tapi Sophia sama sekali tidak menaruh peduli.Sekembalinya dari apartemen Albert, Sophia langsung berganti baju dan hendak pergi ke luar. Namun ketika melihat Jordy, supir pribadi Albert, menunggunya di ruang tamu, Sophia mengurungkan niat. Albert pasti sudah berpesan pada Jordy untuk mengantar Sophia ke mana pun Sophia hendak pergi. Padahal Sophia ingin pergi seorang diri, tujuannya adalah Richmond Park atay Hyde Park, tempat mana pun yang berdekatan dengan alam.Sophia mengurungkan niatnya untuk pergi, dan di sinilah dia, di bawah pohon ek tempatnya dan Albert piknik saat itu.Sekarang Sophia datang ke tempat
“Ada apa, Miss?” tanya Jefrey di belakangnya. Lalu mengikuti arah pandang Sophia. “Albert Raymond, suami… Anda.” Jefrey kembali menggunakan bahasa yang sangat formal saat menggumamkan kalimat itu di belakangnya.Sophia kemudian berbalik pada Jefrey. “Kupikir sampai di sini saja, Sir Alfredo. Terima kasih sudah mengantarku,” kata Sophia dengan senyum ramah.Lalu tanpa menunggu jawaban apapun dari Jefrey, Sophia melanjutkan langkahnya yang sempat terhenti. Jantungnya berdetak semakin kencang pada setiap langkah yang dia ambil untuk mendekati suaminya.Sesaat setelah sampai di hadapan Albert, Sophia menyadari bahwa Albert ternyata tengah menatap ke belakang Sophia. Sophia yang penasaran ikut menoleh ke belakang dan mendapati kalau ternyata Jefrey masih berdiri di tempatnya tadi, menatap Sophia.“Siapa laki-laki itu?” tanya Albert, seperti yang sudah Sophia duga.Sophia berpikir sejenak. “Kalau tidak salah, dia menyebut namanya tadi Jefrey… Alfredo?” Sophia tampak tidak yakin. Dia ingat n
“Oh Dear, kau tidak perlu malu. Apa yang kemarin kau lakukan itu adalah sesuatu yang lumrah dilakukan oleh pasangan. Untuk apa merasa malu? Kalian juga sudah berstatus suami istri kan. Begini-begini aku pun pernah muda dan pernah merasakan namanya dimabuk cinta seperti kalian.”Sophia tersedak oleh tomat yang baru saja digigitnya di mulut. “Di-dimabuk c-cinta?!” pekik Sophia tertahan. “Dana, tolong jangan salah paham, kami tidak seperti itu.”Well, setidaknya tidak untuk Albert.Perumpamaan Dana memang terlalu berlebihan bagi Sophia.Sementara itu Dana menggeleng-geleng, tidak habis pikir pada majikannya ini. “Lalu kau sebut apa hubungan kalian kalau bukan itu?” tanya Dana sembari mencuci piring.Sophia memutar gelas air minumnya pelan. Dia bingung harus menjawab apa pada pertanyaan Dana itu. “Kita suami istri,” jawab Sophia pada akhirnya.Dana terkekeh. “Yah, kalian memang suami istri,” ucap Dana, tersenyum penuh arti.Sophia menunduk, menatap pantulan cahaya pada air di dalam gelasn
Albert menatap bangunan bak istana di hadapannya kemudian menghela napas. Sudah lama dia tidak mengunjungi kediaman Raymond ini—atau lebih tepatnya kediaman ayahnya. Setiap kali Albert datang berkunjung, yang terjadi setelahnya tidak pernah baik. Dia hanya datang jika sedang terpaksa, persis seperti sekarang.Millie Matthew, atau Millie Raymond, atau ibu tiri Albert, intinya… wanita itu menolak datang pada pertemuan bisnis yang hari ini telah diatur.Adrian Raymond, ayah Albert, mempercayakan istri mudanya itu untuk memulai bisnisnya sendiri di bawah naungan Raymond Group.Selama ini yang selalu menangani semuanya adalah sekretaris Millie sendiri. Tapi setiap kali ada pertemuan untuk membahas sesuatu, Millie-lah yang akan datang.Hari ini, Millie seharusnya memang datang ke pertemuan di kantor, tapi dia merengek seperti anak kecil untuk melakukan pertemuan itu di rumah karena kondisinya yang sedang tidak enak badan.Albert tentu saja menolak pada awalnya, karena untuk apa memaksakan d
Millie tersenyum sedu, lalu menatap Albert. “Aku sungguh-sungguh tidak menyangka bahwa kau akan mencintaiku sampai sebesar itu.”Albert sebenarnya tidak lagi marah pada wanita di hadapannya. Rasa amarah yang tertinggal dalam diri Albert sekarang hanyalah amarah pada dirinya sendiri, kecewa akan seberapa mudahnya dia ditipu oleh seorang wanita dengan kecantikannya.“Mencintaimu sebesar itu? Sekarang aku bahkan ragu bahwa aku pernah merasakannya.” Albert mendengus sinis.Perasaan yang dulu Albert rasakan pada Millie begitu menggebu-gebu. Pada usianya yang masih terbilang muda, Albert sangat naif. Karena sejak kecil dia dibesarkan dan dididik sebagai seorang pewaris, sehingga tidak pernah memiliki waktu atau berpikir untuk berurusan dengan wanita selain menyangkut bisnis. Kemudian tiba-tiba saja Millie Matthew datang, menggodanya.Seharusnya Albert curiga sejak awal akan kenapa tiba-tiba saja wanita dari kelas bawah itu datang padanya. Namun, saat itu Albert menganggap bahwa godaan itu a
Seperginya Albert dari kediaman Raymond, dia tidak langsung pulang dan memutuskan untuk mampir ke salah satu bar mewah. Albert mengajak serta Maurice untuk minum-minum, tapi asisten pribadinya itu menolak dan hanya menemani Albert sembari mengerjakan pekerjaannya di ruangan VIP itu.Albert tidak bisa pulang sebelum emosinya kembali membaik. Dia begitu marah pada Millie dan pada waktu yang terbuang sia-sia dengan menyetujui pertemuan itu.“Haruskah aku meneleponnya?” kata Albert berulang kali sambil menatap ke arah layar ponselnya.Maurice yang mendengar itu hanya menyahut di awal dan tidak lagi menghiraukan bossnya karena lelaki itu sudah tampak mabuk.“Sebaiknya Anda pulang, Sir. Istri Anda pasti sudah menunggu di rumah,” kata Maurice pada akhirnya.Albert menggeleng, meneguk segelas lagi minumannya. “Istriku yang cantik.” Albert mengusap layar ponselnya, pada wallpaper bergambar wajah Sophia yang tampak sangat cantik dibalut dress putih yang tampak bersinar diterpa sinar matahari, f
Jemari lentik berkuku panjang yang dipoles cat berwarna merah itu mengetuk layar ponsel yang menyala, menampilkan sebuah isi pesan yang membuat si pemilik benda pintar itu mengernyit.[Dia baik-baik saja.]Adalah jawaban singkat yang sama sekali tidak dia duga.Millie terus mengetuk-ngetuk layar ponselnya sambil berharap layar itu retak oleh kukunya yang cantik. Dia tidak habis pikir pada si pengirim pesan.“Bagaimana kau bisa setidak peduli itu?” gumamnya heran, berbalut kesal. Seolah dia tidak menerima jawaban semacam itu dari pesan yang dikirimnya sebelumnya.Tapi pesan tulisan tidak bernada. Millie tidak akan tahu bagaimana perasaan wanita si pembalas pesan kalau dia tidak mendengar suaranya sendiri.Sophia Abraham pandai mengontrol emosi dan selalu bersikap dingin, pikir Millie. Maka dari itu, dia pun mulai memencet tombol ‘panggil’ pada ponselnya, kemudian meletakkan benda pipih itu di dekat telinga.“Ya, halo,” jawab sebuah suara saat panggilan itu terjawab.“Kau tidak akan ber