Seperginya Albert dari kediaman Raymond, dia tidak langsung pulang dan memutuskan untuk mampir ke salah satu bar mewah. Albert mengajak serta Maurice untuk minum-minum, tapi asisten pribadinya itu menolak dan hanya menemani Albert sembari mengerjakan pekerjaannya di ruangan VIP itu.Albert tidak bisa pulang sebelum emosinya kembali membaik. Dia begitu marah pada Millie dan pada waktu yang terbuang sia-sia dengan menyetujui pertemuan itu.“Haruskah aku meneleponnya?” kata Albert berulang kali sambil menatap ke arah layar ponselnya.Maurice yang mendengar itu hanya menyahut di awal dan tidak lagi menghiraukan bossnya karena lelaki itu sudah tampak mabuk.“Sebaiknya Anda pulang, Sir. Istri Anda pasti sudah menunggu di rumah,” kata Maurice pada akhirnya.Albert menggeleng, meneguk segelas lagi minumannya. “Istriku yang cantik.” Albert mengusap layar ponselnya, pada wallpaper bergambar wajah Sophia yang tampak sangat cantik dibalut dress putih yang tampak bersinar diterpa sinar matahari, f
Jemari lentik berkuku panjang yang dipoles cat berwarna merah itu mengetuk layar ponsel yang menyala, menampilkan sebuah isi pesan yang membuat si pemilik benda pintar itu mengernyit.[Dia baik-baik saja.]Adalah jawaban singkat yang sama sekali tidak dia duga.Millie terus mengetuk-ngetuk layar ponselnya sambil berharap layar itu retak oleh kukunya yang cantik. Dia tidak habis pikir pada si pengirim pesan.“Bagaimana kau bisa setidak peduli itu?” gumamnya heran, berbalut kesal. Seolah dia tidak menerima jawaban semacam itu dari pesan yang dikirimnya sebelumnya.Tapi pesan tulisan tidak bernada. Millie tidak akan tahu bagaimana perasaan wanita si pembalas pesan kalau dia tidak mendengar suaranya sendiri.Sophia Abraham pandai mengontrol emosi dan selalu bersikap dingin, pikir Millie. Maka dari itu, dia pun mulai memencet tombol ‘panggil’ pada ponselnya, kemudian meletakkan benda pipih itu di dekat telinga.“Ya, halo,” jawab sebuah suara saat panggilan itu terjawab.“Kau tidak akan ber
Dana mengayunkan sendok penggorengan di depan wajah Sophia yang sontak membuat Sophia tersadar.“Liurmu hampir menetes,” bisik Dana padanya.Sophia refleks mengusap mulutnya dan mendapati bahwa Dana hanya menggoda saja. Wanita paruh baya itu pun terkekeh geli.“Sophie? Kau memasak sesuatu?” Albert membuka suara, bertanya heran.Sophia membantah dengan gelengan kepala. Nada ngeri pada suara Albert membuatnya sedikit tersinggung, jadi dia membuatkan Albert teh hangat untuk membuat lelaki itu merasa lebih baik setelah mabuknya semalam.“Bagaimana keadaanmu?” tanya Sophia, meletakkan cangkir teh itu ke hadapan Albert.Albert tersenyum dan menggumam terima kasih. “Baik-baik saja,” jawabnya.“Syukurlah,” sahut Sophia.Setelah selesai menyajikan sarapan, Dana pamit pergi lebih dulu, meninggalkan Sophia dan Albert berdua saja.Sophia duduk di samping Albert dan mulai menikmati sarapannya.“Aku baru pertama kali melihat itu,” kata Albert, menunjuk pada kaktus di hadapan Sophia.Sophia tersenyu
Sekarang, berdiri di sana seorang diri membuat Sophia gugup. Terlebih karena Sophia yakin bahwa di dalam Albert pasti sudah menunggunya. Siap membicarakan sesuatu yang membuat Sophia semakin tegang. Untuk mencairkan suasana nanti, Sophia juga sudah menyiapkan sebuah topik yang hendak dia bahas dengan sang suami.Sophia mengetuk pintu kayu itu sebanyak tiga kali lalu menjedanya, sedikit mencongdongkan badan ke depan sehingga nyaris menempelkan telinganya ke pintu. Sophia tidak tahu kenapa dia melakukan itu, mungkin dia berharap bisa mendengar sesuatu dari dalam yang mampu mengurangi rasa gugupnya.Selama beberapa detik setelahnya, tidak ada tanda-tanda apapun atau suara apapun. Sophia mengetuk pintu lagi. “Apa dia belum datang?” gumamnya. Dia lalu membungkuk ke bagian kunci dan menutup sebelah matanya, mengintip dari lubang kunci itu berharap menemukan sesuatu, tapi yang Sophia lihat hanya gelap.Gelap, karena Albert berdiri di sana sebelum membuka pintu, lalu menatap heran pada Sophi
Albert hampir saja tersedak oleh ucapan wanita di hadapannya. Dia meletakkan kembali cangkir tehnya ke meja kemudian menatap Sophia tegas. Raut di wajah Albert berubah serius.“Aku sudah katakan padamu tadi, bahwa aku hendak membicarakan sesuatu,” jawab Albert.Sophia menegang. ‘Apa ini tentang dia yang mabuk semalam? Atau sesuatu tentang Millie? Atau apa?’ Sophia sama sekali tidak bisa menebak apa yang hendak Albert katakan padanya sampai harus seserius ini.Sophia pun berdeham pelan. “Aku juga punya sesuatu yang hendak aku katakan padamu,” ucapnya.Alis tebal milik Albert terangkat sebelah. “Apa itu?”“Kau duluan,” sahut Sophia.“Tidak, kau dulu.” Albert menatapnya menuntut.Sophia menyesal telah mengatakan itu lebih awal, maka dia pun menghela napas pasrah dan berkata, “Sebentar lagi hari thanksgiving, ayah dan ibuku mengundang kita untuk datang.”Kedua bahu Albert yang semula kaku oleh rasa antisipasi langsung merosot lega. “Hanya itu? Baiklah, kita akan datang.”Sophia melemparka
Langit tampak cerah di luar. Hujan telah berhenti, menyisakan tetesan air pada tetumbuhan dan atap rumah, diterpa cahaya yang membuatnya berkilauan seperti berlian yang dihamburkan. Tanah masih lembab, tapi sinar matahari begitu gigih menembus awan-awan kelabu, membentuk segaris pelangi yang melengkung di antara awan.Sophia hanya mampu menatap pemandangan itu dari balik kaca jendela yang mulai berembun oleh napasnya yang berembus ke luar. Tangannya terasa dingin saat dia menempelkannya ke kaca seolah hendak menggapai apa yang ada di luar sana.Pasti menyenangkan rasanya berjalan-jalan di luar sehabis hujan. Udara dingin yang menyegarkan akan langsung menyambut. Tapi di dalam sini pun, aroma petrikor masih dapat tercium dengan jelas, Sophia menghirupnya dalam-dalam.“Kau mau melakukannya di luar?” tanya sebuah suara di belakang Sophia.Sophia lantas berbalik seolah tengah kepergok melakukan sesuatu yang salah. Baru saja hati dan pikirannya terasa tenang, tapi kini setelah berbalik dan
Albert duduk di kursi tinggi dengan eagle di mana dia meletakkan sketchbook-nya di sana.Saat langkah Sophia terdengar, Albert menoleh pada wanita itu dan tidak bisa mengalihkan pandangannya sedikit pun, sampai Sophia duduk di sofa beledu merah yang telah Albert atur ke depan jendela, dengan posisi sedikit menyamping sehingga ketika Sophia duduk di sana, sebelah wajahnya akan disinari cahaya yang terang sedangkan sebelahnya lagi agak redup.Sophia duduk dengan kaku, sehingga Albert menyuruhnya untuk rileks.Albert juga memberinya beberapa intruksi, “Bisakah kau sedikit menyender? Ya, seperti itu. Turunkan sedikit bahumu! Benar. Lalu silangkan kakimu dan arahkan matamu ke sini.”Semua intruksi itu Sophia lakukan. Kini posisi duduknya terasa lebih nyaman, walau begitu tubuhnya tidak bisa sepenuhnya rileks.“Atur napasmu, Sophie,” kata Albert lagi.Sophia mengatur napasnya.“Aku… akan mulai,” gumam Albert dengan tangan memegang pensil, tapi tatapannya tidak juga teralih dari Sophia.Cara
Semenjak hari itu, Sophia selalu datang ke lantai tiga setiap kali Albert memanggilnya ke sana. Sophia mencoba menghindar, tetapi semakin lama dia menyadari bahwa yang dirasakannya bukanlah penolakan, melainkan rasa menyenangkan yang membuatnya bersemangat. Hanya saja kesenangan itu diikuti oleh resiko yang sangat besar sehingga Sophia terkadang mencari-cari alasan untuk tidak datang.Namun seperti yang Albert katakan, dia tidak menerima penolakan.Setiap hari, biasanya pada malam hari, sepulang kerja Albert akan langsung menyuruhnya bersiap-siap. Lelaki itu seolah tidak memiliki rasa lelah bahkan setelah bekerja seharian dan melakukan dua jam sesi melukis bersama Sophia.Sophia sendiri selalu merasa energinya terkuras habis setiap kali sesi melukis itu berakhir.Tidak seperti di awal, kini Albert telah menggunakan kanvas yang berukuran sangat besar. Dia tampak selayaknya seorang seniman, yang sangat ahli. Melihat wajah seriusnya telah menjadi candu bagi Sophia akhir-akhir ini. Kemudi