Semenjak hari itu, Sophia selalu datang ke lantai tiga setiap kali Albert memanggilnya ke sana. Sophia mencoba menghindar, tetapi semakin lama dia menyadari bahwa yang dirasakannya bukanlah penolakan, melainkan rasa menyenangkan yang membuatnya bersemangat. Hanya saja kesenangan itu diikuti oleh resiko yang sangat besar sehingga Sophia terkadang mencari-cari alasan untuk tidak datang.Namun seperti yang Albert katakan, dia tidak menerima penolakan.Setiap hari, biasanya pada malam hari, sepulang kerja Albert akan langsung menyuruhnya bersiap-siap. Lelaki itu seolah tidak memiliki rasa lelah bahkan setelah bekerja seharian dan melakukan dua jam sesi melukis bersama Sophia.Sophia sendiri selalu merasa energinya terkuras habis setiap kali sesi melukis itu berakhir.Tidak seperti di awal, kini Albert telah menggunakan kanvas yang berukuran sangat besar. Dia tampak selayaknya seorang seniman, yang sangat ahli. Melihat wajah seriusnya telah menjadi candu bagi Sophia akhir-akhir ini. Kemudi
Albert terdengar mendengus kali ini. “Kau memberitahunya yang mana?” tanya pria itu lagi.“Hm? Yang mana… maksudmu?”“Istri… atau wanita simpanan?”Setelah mendengar itu, Sophia mematikan keran lalu berbalik. “Tentu saja istri!” jawabnya setengah membentak. Dia mendelik kesal pada Albert lalu mengibaskan tangannya ke depan, sengaja agar air cipratannya mengenai pria itu.Albert langsung memejamkan mata.Sophia berbalik menuju kulkas, menyembunyikan senyum kemenangannya. Segelas air dingin lalu menyegarkan tenggorokan Sophia yang kering. Sophia mendesah lega, tidak tahu tatapan menusuk dari seseorang tengah tertuju padanya.Albert melangkah mendekati sang istri, berdiri di hadapannya, dan menunduk menatapnya.Sophia balas menatap bingung.Lalu Albert tiba-tiba saja menunduk dan mengecup bibir Sophia yang basah dan sedikit terbuka. “Bersiap-siaplah,” bisiknya, tersenyum puas melihat respon sang istri.Setelah itu, Albert berbalik pergi tanpa mengatakan sepatah kata pun lagi.***Rasa ma
“Kalau kau tidak berniat menjawab, lebih baik jangan. Aku tidak suka menunggumu berpikir terlebih dahulu,” gerutu Sophia dengan nada kesal yang sangat kentara.Albert langsung terkekeh ketika mendengarnya. Perhatiannya terlalu disita oleh sosok indah di dalam kanvasnya, padahal dia tidak memikirkan apapun selain itu. Albert bahkan harus terdiam beberapa saat untuk mengingat pertanyaan yang tadi Sophia lontarkan.Lalu Albert menjawab, “Bukan ‘siapa’, tapi lebih tepatnya adalah ‘apa’.”“Maksudmu?” sahut Sophia bingung.“Aku menggunakan model dari alam untuk lukisan pemandanganku. Sisanya… berasal dari imajinasi.”Sophia langsung terdiam dengan rahang yang seolah akan jatuh ke lantai.Apa Albert sungguhan berpikir bahwa Sophia akan memercayai hal itu? Karena lihatlah semua lukisan di dalam ruangan ini. Wanita yang sedang tertidur di ranjang dengan nuansa putih itu, atau wanita di taman bunga yang mengenakan topi jerami dan gaun biru itu, dan lukisan-lukisan dengan figur seorang wanita la
Sesampainya Sophia di dalam mall, dia langsung disambut oleh hiru-pikuk pengunjung. Tapi karena Sophia dalam keadaan mood yang baik, dia melangkah dengan percaya diri, memasuki satu toko ke toko yang lain. Dalam waktu setengah jam, Sophia sudah menenteng dua tas berisi pakaian dari toko yang berbeda.Sophia memang bukan jenis orang yang kalau pergi shoping itu membutuhkan waktu yang sangat lama. Sophia hanya butuh satu lirikan untuk tahu gaun mana yang harus dia beli.Sebelum berniat untuk pulang, Sophia berpikir untuk membelikan Albert beberapa barang juga. Dia pun masuk ke sebuah toko yang menjual berbagai fashion pria.Sophia hanya pernah melihat Albert menggunakan dua jenis pakaian, kemeja yang dibalut jas resmi untuk bekerja dan kaos polos dengan bawahan celana kain setiap di rumah. Sophia tidak bisa membayangkan bagaimana rupa Albert saat lelaki itu mengunjungi tempat-tempat umum tanpa alasan bekerja.Apakah Albert suka menggunakan syal? Pikir Sophia sembari meraba permukaan lem
Sepanjang perjalanan menuju rumah, Sophia tidak bisa berhenti memikirkan ucapan Daniel. Terkadang pria itu terasa akrab baginya, tapi juga menjadi sangat asing dengan cara yang sangat misterius di lain waktu. Sophia mencoba menganggap itu hal yang wajar karena mereka memang belum lama saling mengenal.Namun, kalau Sophia pikir-pikir lagi, sikap Daniel padanya memang sering kali terasa aneh, pria itu kerap kali mengatakan sesuatu yang Sophia tidak mengerti. Dan Sophia tidak merasa bahwa Daniel memiliki rasa berlebih padanya, itulah kenapa Sophia tidak lagi menolak kehadiran pria itu.Kalau saja Daniel bersikap seperti Jefrey yang secara terang-terangan menatap Sophia dengan tatapan suka, hubungan mereka tidak akan menjadi seperti ini sekarang, sejak awal Sophia sudah akan menjauhinya. Karena Sophia tidak ingin membuang-buang waktu kepada seseorang yang pada akhirnya akan kecewa.Sesampainya di rumah, Sophia berjalan gontai menuju kamar lalu meletakkan belanjaannya begitu saja ke atas r
Sepuluh menit berlalu, Sophia mulai gelisah dan bertanya-tanya ke mana perginya Albert. Padahal tadi lelaki itu yang lebih dulu menyuruhnya datang. Apa karena Sophia bersiap-siap terlalu lama? Ini hari Kamis, Albert juga seharusnya pergi bekerja.“Benar!” seru Sophia sembari bangkit dari duduknya. Dia baru ingat bahwa hari ini adalah Kamis. Apa karena Sophia terlalu lama, jadi Albert pergi ke kantor lebih dulu?Sophia berdecak pelan, lalu mengangkat rok gaunnya, melangkah lebar-lebar menuju pintu dengan ekspresi kesal di wajah cantiknya.“Seharusnya dia tidak menyuruhku datang kalau memang niatnya untuk pergi. Dasar!” gerutu Sophia.Tepat sebelum tangannya menyentuh knop pintu, benda itu berputar terlebih dulu lalu daun pintu itu terdorong terbuka dari luar. Dahi Sophia nyaris terantuk karenanya.Dan yang muncul di ambang pintu itu adalah Albert, yang memiliki ekspresi sama terkejutnya seperti Sophia.“Kemana saja kau?!” tanya Sophia, nadanya mengalun sedikit lebih tinggi dari biasa.
“Bo-bolehkah aku membuka penutup mata ini?” tanya Sophia dengan suara menciut.Tidak ada jawaban.Sophia semakin gugup dan cemas.“Albert… apa aku membuat kesalahan? Kalau ya, kumohon jangan begini. Ayo kita bicarakan baik-baik.” Sophia kini nyaris merengek seperti anak kecil, air mata sudah menggenang di pelupuk matanya.Tapi lagi-lagi, tidak ada satu pun suara yang menjawabnya.“Albert…,” lirih Sophia.Sebenarnya, Sophia bisa saja melepas penutup mata itu karena kedua tangannya bebas. Tapi dengan kehadiran Albert di sana, Sophia tidak berani melakukannya.“Ke mana saja kau kemarin, hm? Sampai membuatmu kelelahan dan tidur seharian.”Sophia menghela napas lega saat akhirnya mendengar suara Albert. Pria itu sepertinya berada tidak terlalu jauh dari tempat Sophia.“Aku pergi ke mall,” jawab Sophia.“Lalu?”“Lalu di sana aku bertemu dengan Da—” Sophia kemudian tersadar. “Tunggu, kau marah karena itu?” tukasnya tidak percaya.“Tidak.”“Kau bilang tidak tapi—”“Lanjutkan! Apa yang kau lak
‘Hadiah utama.’ Sophia mengulang kata-kata itu di dalam benaknya, sembari menatap Albert dengan mata berurai air mata.Dia tidak bisa menebak hal apa yang Albert belum berikan padanya. Karena yang telah Sophia terima sekarang sudah terlalu berlebihan baginya, Sophia tidak yakin akan mampu menerima hadiah yang lain.“Apa itu?” tanya Sophia dengan suara parau.Albert menatapnya lurus-lurus, lalu menjawab, “Kau belum mendapatkan malam pertama kita.” Dia mengatakannya dengan sangat gamblang seolah itu sesepele bahasan cuaca.Saking terkejutnya, Sophia sampai cegukan, dan langsung menutup mulutnya karena respon memalukan itu.Albert tertawa kecil lalu mengusap punggung Sophia untuk menenangkannya.“I-itu…” lirih Sophia dengan mata berkaca-kaca diikuti wajah memerah padam.“Itu apa?” bisik Albert.“Aku tidak yakin punya sisa air mata untuk menangisi hadiah yang satu itu,” gumam Sophia, terdengar malu-malu.Albert langsung terbahak dibuatnya. Dia lalu memeluk Sophia lagi. “Jangan khawatir. K