Tawa keduanya di awal tadi kini telah berganti menjadi suara desahan dan rintihan yang saling bersahutan. Tidak ada lagi candaan yang terlontar dari bibir, tidak ada senyum saling menggoda, atau tatapan malu-malu. Semua indera mereka terfokus hanya pada apa yang mereka miliki saat itu juga. Dan satu-satunya yang tersisa adalah rasa terbakar di bawah kulit mereka yang panas, yang saling bergesekan, yang saling merasakan kehadiran satu sama lain.Suara kenikmatan lolos dari bibir Sophia yang baru saja mendapatkan pelepasan pertamanya. Sophia menggeliat di sofa beledu merah itu, yang permukaan halusnya kini menggelitik kulit punggung Sophia yang menjadi sensitif oleh sentuhan apapun, terutama oleh sentuhan mahir pria di atasnya.Albert menjulang dengan tubuh perkasa tanpa balutan kain apapun, begitupun Sophia. Pakaian keduanya telah berserakan di atas lantai.Albert terkekeh di ceruk leher Sophia yang basah, tanpa nada humor sedikit pun pada suaranya. Alih-alih senang, Albert justru terd
Suara dengkuran halus di sampingnya meyakinkan Albert, bahwa dia memang masih berada di bumi. Di ruang lukisnya yang beraroma cat minyak, di atas sofanya yang beraroma mawar, ditambah aroma percintaan yang masih tercium pekat di sekitarnya.Albert belum merasa terpuaskan, tidak sepenuhnya, tidak sampai dirinya lelah dengan sendi-sendi yang seakan hendak copot.Seolah tidak ada habisnya… gairah ini.Albert menatap langit-langit, kesunyian di dalam ruangan membuatnya dapat mendengar dengan jelas deru napas wanita di dalam pelukannya. Dan Albert berperang dengan diri sendiri apakah dia harus membangunkan wanita itu dan memulai sesi percintaan yang lain atau dia harus menekan kembali hasratnya dalam-dalam, demi kebaikan wanita itu sendiri.Albert memilih keputusan yang terakhir. Dia pun bangkit dari tidurnya dengan gerakan yang sangat hati-hati agar tidak membangunkan wanita cantik yang tengah tertidur nyenyak itu.Saat Albert kemudian akhirnya berdiri di atas lantai, dia menatap kue yang
“Masih sakit?”Sophia menggeleng, mulutnya terbuka dengan napas terengah.“Kalau ini?” Albert menambah satu lagi jarinya masuk.Sophia terkesiap. “Se-sesak!”Albert tersenyum miring. “Tentu saja,” sahutnya parau.“A-Albert…!”“Rileks, Sophie.” Albert berbisik lembut di telinganya. “Tarik napas dalam-dalam dan hembuskan pelan. Tenangkan dirimu dan cobalah untuk merasakan jemariku di dalammu. Benar, seperti itu, Sayang.” Albert melenguh, ikut merasakan cengkeraman memabukkan di sekitar jarinya yang membuat pikirannya langsung melayang, membayangkan bagaimana rasanya kalau bagian dirinya yang lebih besar dari dua jari itu masuk ke sana.Sayang sekali, hanya ini yang bisa Albert lakukan karena Sophia jelas masih kesakitan. Albert tidak akan memaksakan kehendaknya.Menatap ekpresi penuh kenikmatan di wajah wanita itu sudah cukup bagi Albert sekarang. Sophia mendesah dan mengerang nikmat di bawahnya, menerima semua yang Albert berikan padanya.Kemudian Sophia mengakhirinya dengan rintihan p
Sophia terbangun dari tidurnya setelah beberapa menit di dalam pesawat. Setelahnya dia tidak bisa tidur lagi dalam perjalanan panjang menuju New York dan hanya mampu menonton wajah terlelap suaminya, tapi kegiatan itu Sophia lakukan dengan suka cita. Namun setiap kali Albert terbangun, dia akan pura-pura tertidur. Sophia sendiri tidak mengerti kenapa dia melakukan hal konyol seperti itu.Mereka kemudian sampai pada pagi hari dan kini tengah berada di dalam mobil yang akan langsung membawa mereka ke kediaman Abraham.Sophia bersandar di bahu Albert dengan manja sambil memakan cemilan manis yang lelaki itu belikan.“Apa kau baik-baik saja?” tanya Albert pelan.Sophia memerah, lalu menganggukkan kepala. “Aku telah tidur seperti kerbau. Sekarang aku merasa begitu berenergi seperti banteng,” tukasnya dengan nada penuh keyakinan.Tapi Albert menatapnya tidak percaya. “Sebaiknya kita ke dokter terlebih dulu untuk memeriksa kesehatanmu,” katanya.Sophia mengelak. “Apa?! Itu tidak perlu! Aku b
“Siapa? Di mana Dokter Franz?” tanya Albert.Sophia tidak ingin menganggap situasi ini lucu, tapi dia hampir terkekeh dibuatnya. Siapapun wanita itu, yang berlagak seolah mengenal suaminya. Padahal Albert sedikit pun tidak mengingatnya.“Kau tidak ingat aku? Aku Monica.” Wanita itu menyampirkan sejumput rambutnya ke belakang telinga. Melihat tatapan Albert yang seolah masih tidak memiliki petunjuk, wanita itu kembali berkata, “Kita pernah… ng….” Tatapan wanita itu kemudian tertuju pada Sophia dengan sungkan.“Kalian pernah apa?” tanya Sophia penasaran.Kernyitan di dahi Albert kemudian mengendur, dia ingat akan siapa wanita di hadapannya ini.Albert pun siap membantah, tapi kemudian Dokter Monica membuka suara lebih dulu, “Saya Dokter Monica, asisten Dokter Franz yang akan menggantikannya hari ini. Dokter Franz berhalangan hadir karena tugas mendadak di New Jersey.” Suaranya terdengar lebih resmi dan sopan. Hal itu membuat Sophia menatapnya heran karena perubahan yang begitu kilat.W
Sophia pikir, dia akan datang ke rumah itu seperti biasanya; tanpa kata-kata sambutan atau pelukan hangat, Sophia hanya perlu menggeret kopernya masuk dan mengunci pintu kamar, lalu ke luar saat makan malam untuk mendapati tidak satupun dari mereka penasaran akan kedatangannya.Tapi kini, ayah dan ibunya dengan bijaksana menyambutnya di pintu dan bahkan memberikannya pelukan selamat datang. Sophia yakin itu karena pengaruh kehadiran Albert Raymond bersamanya, tapi di dalam hati Sophia—dengan sangat menjengkelkan—merasa senang. Sophia tidak bisa menghentikan perasaan itu dan menyadari akan seberapa lemahnya dia bahwa setelah semua yang terjadi dia tidak pernah bisa mematikan perasaannya kepada kedua orang tuanya.“Sophie, bagaimana kabarmu, Nak? Sudah lama kau tidak ke sini ‘kan?” kata Mariane, ibu Sophia.Ini adalah rumah yang Sophia tinggali saat masih remaja dulu, sebelum Keluarga Abraham pindah ke Inggris dan Sophia menikah dengan Albert. Sekarang, rumah mereka di New York ini menj
Selesai makan siang, Albert dan Sophia kembali ke kamar.Ponsel Albert berdering. Sebelum mengangkatnya, dia berbalik ke arah sang istri yang tengah terduduk di ranjang dan berkata, “Minum itu!” tunjuknya pada beberapa butir obat—atau lebih tepatnya vitamin—yang diletakkan di nakas.Sophia hanya menatap pada piring kecil itu tanpa minat. Dia kesal karena Albert memperlakukannya seperti seseorang yang sakit, padahal dia baik-baik saja. Tapi pada akhirnya Sophia pun meminum tiga jenis vitamin itu secara bersamaan. Setelahnya, dia menatap Albert datar yang baru saja berhenti berbicara dengan lawan bicaranya dan menoleh ke arah Sophia.“Kau tahu kalau aku baik-baik saja,” tukas Sophia tanpa basa-basi, mendelik tajam pada suaminya.Albert balas menatapnya dengan tatapan menantang. Sambil menimang ponselnya di tangan, dia berkata datar, “Dana bilang akhir-akhir ini jadwal makanmu juga kacau.”Sophia mengernyit. “Aku tetap makan tiga kali sehari!” bantahnya.“Kau juga tidak meminum vitamin y
Albert menutup pintu di belakangnya lalu menatap Luke Abraham dengan pandangan dingin.“Aku tidak datang ke sini untuk urusan bisnis. Temui sekretarisku kalau kau perlu sesuatu untuk didiskusikan,” kata Albert.Luke tekekeh sarkastik. “Aku tidak datang untuk menemuimu, Sir Raymond,” balas Luke dengan nada sopan yang tidak menunjukkan keramahan sedikit pun oleh nada yang dia gunakan. “Aku ke sini untuk menemui adikku,” lanjutnya.Albert sejak awal menyadari bahwa Luke membenci Sophia. Albert tidak pernah bisa lupa bagaimana rupa ekspresi di wajah istrinya saat pria di hadapannya ini mengatakan hal-hal yang penuh akan omong kosong.Albert tidak bisa melupakan akan kata-kata menghina yang pria itu lontarkan pada Sophia.“Istriku sedang istirahat, kau bisa menemuinya besok saat sarapan,” sahut Albert. Tubuhnya yang besar dan bahunya yang lebar menutup akses pintu sehingga yang hanya mampu Luke lakukan hanya menatap pria itu dengan aura permusuhan.Albert tidak menaruh peduli, dia membalas
Matahari pagi menerpa wajahnya, memberikan ilusi seolah sinar suci keluar dari pori-porinya. Dan semua anak rambutnya yang berantakan di kepala dan sekitar wajah nya, berwarna keemasan alih-alih cokelat gelap.Albert tersenyum, menatap Sophia dengan mata teduh. Kebiasaan yang sudah dimilikinya sejak lama; bangun pagi-pagi supaya bisa menyisihkan waktu setidaknya setengah jam untuk berpuas diri menatap wajah istrinya itu.Anak pertama mereka sudah lahir, putra bermahkota yang membawa pesan baik; Istvanzino Raymond.Perhatian keduanya jadi terbagi antara satu sama lain dengan anak mereka yang baru berusia satu tahun. Tidak banyak waktu yang Albert habiskan bersama Sophia, begitu pun sebaliknya. Tapi itu tidak apa, karena dia menyayangi putranya lebih dari apapun, dia akan mengorbankan segalanya. Dan Albert tidak ragu bahwa Sophia juga pasti akan melakukan hal yang sama.Hanya pada waktu pagi hari, beberapa saat sebelum Istvanzino terbangun, Albert memiliki
“Albert.”Albert yang tengah memusatkan tatapannya pada layar laptop menoleh pada Sophia yang berdiri di hadapannya sembari berkacak pinggang. Perutnya yang telah membesar mengintip keluar dari kaus polos yang dia kenakan, dan pemandangan itu benar-benar menggemaskan, sukses mengalihkan fokus Albert seketika.“Ada apa, Sophie?”Kening wanita itu berkerut-kerut dalam. Albert mengernyit, kemudian bertanya dengan nada cemas. “Kenapa? Apa perutmu sakit?”Sophia menggeleng.“Lalu?”“Apa kau ingat dengan kalung yang … dulu aku berikan padamu?”“Kalung yang mana?”Tatapan mata Sophia tampak gelisah. Dia mencoba untuk menjelaskan sesuatu yang tampaknya sulit untuk dia jelaskan.“Kalung … yang dulu sering aku kenakan,” ucapnya.Albert mencoba untuk mengingat-ingat, tidak butuh lama dia pun langsung teringat. Tapi keberadaan benda tersebut memang benar-benar telah Albert lupakan.“Ya, kenapa dengan kalung itu?” tanya
Bulan-bulan berlalu begitu saja.Musim dingin telah berganti menjadi musim semi, kemudian matahari terasa semakin tinggi dan musim panas pun datang. Usia kandungan Sophia sudah menginjak minggu ke dua puluh enam, atau sekitar tujuh bulan.Semuanya masih terasa sama, kecuali tubuhnya yang membesar dan keposesifan suaminya yang semakin menjadi. Selain perut yang membuncit, Sophia tidak mengalami perubahan signifikan pada area tubuhnya yang lain, tapi justru Albert yang mengalami perubahan-perubahan itu.Selama tiga minggu terakhir, Albert merutinkan olahraga untuk menjaga kondisi tubuhnya dalam bentuk yang ideal. Dia telah memakan makanan yang seharusnya Sophia makan, dia melakukan hal-hal yang seharusnya Sophia ingin lakukan. Dia juga masih sangat sensitif pada aroma dan masing sering muntah-muntah.Sophia tidak mengerti kenapa justru Albert yang mengalami semua itu. Bukankah seharusnya dirinya sebagai ibu yang mengandung? Tapi Dokter mengatakan bahwa itu
Siang yang mendung ini Sophia bangun dengan perasaan ringan di dadanya. Dia menggeliat sekaligus menguap untuk melemaskan otot-ototnya yang kaku. Saat melirik pada jendela yang gordennya telah terbuka, salju turun dari langit dan semuanya nyaris tampak berwarna putih.Sophia pun bangkit duduk sembari menahan selimut untuk menutupi dadanya. Dia mengusap leher ketika mengingat aktivitasnya semalam dengan sang suami, Sophia nyaris merasa bahwa sentuhan pria itu masih tertinggal di kulitnya.Saat menoleh ke samping, dia tidak menemukan Albert di sana, dan seprai terasa dingin yang artinya Albert sudah bangun cukup lama. Sophia lantas bangkit, lalu dilepasnya selimut yang tadi menutupi tubuhnya, kemudian berjalan tanpa sehelai benang pun menuju tempat lilin aroma terapi masih menyala, Sophia meniupnya.Dia membutuhkan benda itu, karena ada begitu banyak lukisan di kamarnya ini sekarang. Aroma cat minyak masih tercium dari lukisan-lukisan yang belum sepenuhnya kering,
Suara deburan ombak memecah kesunyian malam. Semilir angin kencang bertiup, membawa aroma laut yang khas, menerbangkan embun air asin ke bibir pantai. Paula yakin kalau dia berdiri lebih lama di sana dia mungkin akan kembali ke kamar hotelnya dengan pakaian basah.Di akhir tahun yang terasa dingin di Inggris, membuat Paula memutuskan untuk berlibur ke Miami. Dia tidak pernah menyukai musim dingin. Baginya fashion di musim dingin itu terlalu membosankan, dia punya segudang pakaian untuk dipadupadankan di lemarinya.Namun jauh di dalam, alasan mengapa Paula pergi adalah bukan karena itu. Melainkan sesuatu yang mengganggu sikap rasionalnya akhir-akhir ini.Alexander Harrison. Pria yang dia pikir akan benar-benar memberinya cincin pertunangan, pergi meninggalkannya, sama seperti pria-pria sebelumnya.Melihat bagaimana Sophia, adik bungsunya yang kaku itu, bahagia dengan curahan cinta dari seorang pria, membuat Paula iri. Terlebih, pria itu adalah Albert Raymo
Rasanya dingin.Sekujur tubuh dan ulu hatinya seolah membeku. Jalanan yang ramai tidak berhasil menepis rasa kesepian dan keputusasaan yang dia rasakan di dalam. Ucapan wanita itu terus terngiang dalam benaknya.Sophia Raymond.Apakah ini karma? pikir Cecilia.Sekarang, setelah dia tahu bahwa anak di dalam perutnya bukanlah anaknya bersama Albert, rasanya sedikit menyakitkan dan sulit dipercaya. Tapi kalau bukan Albert, siapa? Cecilia tahu bahwa dia telah bersikap seperti wanita murahan ketika memutuskan untuk mendekati Albert Raymond, namun pesona pria itu tidak bisa dia bantah, dan ayahnya saat itu begitu bangga ketika tahu Cecilia memiliki hubungan dekat dengan seorang seperti Albert.Cecilia merasa bahwa dia tidak bisa kehilangan lelaki itu, apapun alasannya, karena itu artinya dia akan kehilangan perhatian keluarganya juga. Sebab hanya dengan bersama Albert, dia akan dianggap berguna oleh ayahnya yang serakah.Namun kini, saat Cecilia s
Setelah menceritakannya pada Sophia, Albert bertanya, “Kenapa kau tidak mengangkat teleponku atau membaca pesanku?”Sophia menatap Albert dengan pelototan tajam dan juga balas bertanya, “Kenapa kau mematikan ponselmu?”“Baterainya habis.”Sophia lantas mengangguk paham. “Ponselku tertinggal di mobil Daniel saat tadi aku mencoba menghubungimu berulang kali. Mom jatuh sakit lagi jadi Daniel ingin aku datang menemaninya sementara dia memiliki urusan penting di kantor yang harus diurus. Aku mengobrol dengan Mom dan baru selesai satu jam lalu. Kemudian aku bangun karena pemanas di kamarku tidak berfungsi dengan baik.”Helaan napas lega menyahut penjelasannya.Tersenyum tenang, Albert menidurkan kepalanya lagi dan membawa Sophia bersamanya.Dia melirik setelan pakaian kerjanya yang teronggok di atas karpet. “Seharusnya kau melepas milikmu juga,” ucapnya berbisik.Sophia menggumam.
Sophia menarik selimut semakin rapat menutupi tubuhnya. Kamar ini memiliki penghangat ruangan yang buruk, mungkin karena sudah bertahun-tahun tidak digunakan. Sophia bersumpah bahwa dia akan berbicara pada Daniel mengenai hal ini besok. Dan oleh rasa dingin itulah Sophia terbangun dari tidurnya.Langsung diliriknya jam di atas nakas, ternyata dia baru terlelap selama satu jam. Setelah menemani ibunya di kamar sampai wanita itu terlelap, Sophia langsung ke kamarnya sendiri dan berbaring, tidak berniat untuk tidur, tapi kemudian jatuh tertidur.Sophia pun bangkit berdiri, dia butuh air hangat atau sesuatu yang mampu menepis rasa dingin itu. Sophia bangkit dan mencari ponselnya, lalu kemudian tersadar bahwa benda itu tertinggal di mobil Daniel.Dia belum memberi tahu Albert. Jadi Sophia memakai jubah tidurnya dan pergi ke luar kamar dengan tergesa, untuk pergi ke telepon rumah dan segera menghubungi suaminya itu. Albert pasti khawatir saat pulang ke apartemen dan t
Kemudian, sebuah deringan membuyarkan lamunan Sophia. Wanita itu sejenak mengedarkan pandang dan sadar bahwa dirinya tengah duduk di sofa, di dalam apartemen yang sepi, seorang diri. Kejadian tadi pagi masih begitu lekat dalam ingatannya.Sophia pun menghela napas.Pagi tadi, Albert hanya memberikannya satu pelepasan dengan permainan jarinya, bersikeras bahwa mereka harus menemui dokter terlebih dahulu untuk melakukan lebih dari itu. Kemudian Albert melesat ke kamar mandi, berada di sana cukup lama dan berangkat kerja setelahnya.Sophia menatap langit yang kini sudah gelap, lalu mengambil ponselnya yang sedari tadi berdering dan melihat nama Daniel tertera di sana. Sophia mengangkatnya.“Daniel.”“Sophie, kau di mana?”“Aku masih di apartemen Albert,” jawab Sophia. Dia sudah memberi tahu Daniel dan Luke beberapa hari lalu mengenai akhir dari permasalahan rumah tangganya. Mereka terdengar lega, tapi sekalig