Sophia pikir, dia akan datang ke rumah itu seperti biasanya; tanpa kata-kata sambutan atau pelukan hangat, Sophia hanya perlu menggeret kopernya masuk dan mengunci pintu kamar, lalu ke luar saat makan malam untuk mendapati tidak satupun dari mereka penasaran akan kedatangannya.Tapi kini, ayah dan ibunya dengan bijaksana menyambutnya di pintu dan bahkan memberikannya pelukan selamat datang. Sophia yakin itu karena pengaruh kehadiran Albert Raymond bersamanya, tapi di dalam hati Sophia—dengan sangat menjengkelkan—merasa senang. Sophia tidak bisa menghentikan perasaan itu dan menyadari akan seberapa lemahnya dia bahwa setelah semua yang terjadi dia tidak pernah bisa mematikan perasaannya kepada kedua orang tuanya.“Sophie, bagaimana kabarmu, Nak? Sudah lama kau tidak ke sini ‘kan?” kata Mariane, ibu Sophia.Ini adalah rumah yang Sophia tinggali saat masih remaja dulu, sebelum Keluarga Abraham pindah ke Inggris dan Sophia menikah dengan Albert. Sekarang, rumah mereka di New York ini menj
Selesai makan siang, Albert dan Sophia kembali ke kamar.Ponsel Albert berdering. Sebelum mengangkatnya, dia berbalik ke arah sang istri yang tengah terduduk di ranjang dan berkata, “Minum itu!” tunjuknya pada beberapa butir obat—atau lebih tepatnya vitamin—yang diletakkan di nakas.Sophia hanya menatap pada piring kecil itu tanpa minat. Dia kesal karena Albert memperlakukannya seperti seseorang yang sakit, padahal dia baik-baik saja. Tapi pada akhirnya Sophia pun meminum tiga jenis vitamin itu secara bersamaan. Setelahnya, dia menatap Albert datar yang baru saja berhenti berbicara dengan lawan bicaranya dan menoleh ke arah Sophia.“Kau tahu kalau aku baik-baik saja,” tukas Sophia tanpa basa-basi, mendelik tajam pada suaminya.Albert balas menatapnya dengan tatapan menantang. Sambil menimang ponselnya di tangan, dia berkata datar, “Dana bilang akhir-akhir ini jadwal makanmu juga kacau.”Sophia mengernyit. “Aku tetap makan tiga kali sehari!” bantahnya.“Kau juga tidak meminum vitamin y
Albert menutup pintu di belakangnya lalu menatap Luke Abraham dengan pandangan dingin.“Aku tidak datang ke sini untuk urusan bisnis. Temui sekretarisku kalau kau perlu sesuatu untuk didiskusikan,” kata Albert.Luke tekekeh sarkastik. “Aku tidak datang untuk menemuimu, Sir Raymond,” balas Luke dengan nada sopan yang tidak menunjukkan keramahan sedikit pun oleh nada yang dia gunakan. “Aku ke sini untuk menemui adikku,” lanjutnya.Albert sejak awal menyadari bahwa Luke membenci Sophia. Albert tidak pernah bisa lupa bagaimana rupa ekspresi di wajah istrinya saat pria di hadapannya ini mengatakan hal-hal yang penuh akan omong kosong.Albert tidak bisa melupakan akan kata-kata menghina yang pria itu lontarkan pada Sophia.“Istriku sedang istirahat, kau bisa menemuinya besok saat sarapan,” sahut Albert. Tubuhnya yang besar dan bahunya yang lebar menutup akses pintu sehingga yang hanya mampu Luke lakukan hanya menatap pria itu dengan aura permusuhan.Albert tidak menaruh peduli, dia membalas
Satu jam adalah waktu yang tidak sebentar. Sophia sudah menguap beberapa kali, tapi sedikitpun tidak berniat untuk beranjak dari tempatnya. Film sudah diputar, fokus semua orang tertuju ke sana. Sedang fokus Sophia sendiri tengah melanglangbuana.Sebenarnya apa sih yang Sophia tunggu? Dia sendiri tidak tahu. tapi dirinya merasa, kalau dia pergi sekarang maka dia akan kelewatan sesuatu yang penting. Tapi sesuatu yang penting itu entah apa.Dengan kantuk yang menggantung di bawah pelupuk matanya, Sophia bersandar di dada Albert. Lelaki itu menyambutnya dan memeluk tubuh Sophia mesra.Tanpa Sophia sadari, sedari tadi lirikan penasaran dan penuh tanya tertuju ke arah mereka berdua yang secara terang-terangan menunjukkan kemesraan mereka yang intim. Hubungan Sophia dan Albert memang sudah menjadi rahasia umum. Mereka menikah karena keterpaksaan. Selama setahun lebih hubungan mereka, tidak sedikitpun tampak bahwa mereka akan menjalin hubungan suami istri yang harmonis.Sehingga pemandangan
Saat sampai di dalam kamar mereka yang senyap, Albert menutup pintu dan menyandarkan punggung Sophia di baliknya, sedang lengan Albert yang kokoh bertumpu di kedua sisi wajah wanita itu.“Katakan padaku dengan jujur,” kata Albert, menatap Sophia dengan tatapan tajam.“Hm?” Sedangkan yang ditatap tampak bingung dan bertanya-tanya. “Apa itu?”“Apa alasanmu memberikan hadiah kepada Daniel Mateo, sedangkan tidak pernah sekalipun kau memberikanku, yang berstatus sebagai suamimu, hadiah apapun.”Sophia masih tampak tidak mengerti. Mengingat-ingat hadiah apa yang Albert bicarakan.Lalu Sophia pun teringat pada hari dia pergi ke mall dan bertemu dengan Daniel.“Ah, itu!” seru Sophia tiba-tiba yang membuat Albert menatapnya semakin tajam.“Ya, apa itu?” desis Albert dengan nada menuntut.Sophia lalu tersenyum menyesal. “Maaf,” katanya.Albert mendengus pendek. “Aku tidak meminta maafmu. Aku hanya ingin tahu apa alasanmu memberikan hadiah kepada pria lain. Apa dia lebih berarti dari suamimu se
Kakak lelakinya itu balas menatap Sophia dengan pandangan rumit, memaku Sophia di tempatnya seperti orang bodoh.Luke malangkah mendekatinya, lalu berdiri di samping Sophia, memandang air kolam berenang yang beriak tenang.Luke membuka suara, “Di mana suamimu?”“Belum bangun,” jawab Sophia singkat.Luke mendengus geli. “Apa dia memiliki kebiasaan bangun siang? Pengusaha sukses sepertinya?”Sophia menjawab dengan tenang, “Dia kelelahan semalam.” Mengingat bagaimana Albert harus bekerja di hari liburnya yang tidak terduga membuat Sophia sedikit sedih. Semalam Albert sepertinya begadang dan baru sempat tidur saat dini hari tadi.Namun jawaban Sophia itu justru diartikan berbeda oleh pria di sampingnya. Luke mengira ‘kelelahan’ yang Sophia maksud adalah karena aktivitas malam mereka sebagai pasangan suami istri. Luke menyadari bahwa hubungan Sophia dan Albert telah jauh membaik dari sebelumnya, tidak menutup kemungkinan bahwa mereka sudah sering melakukan ‘itu’.Luke kemudian berdeham pel
Sophia sudah bisa memahami kenapa Mariane, Billie, Paula, dan Luke, begitu membencinya. Mereka merasa dikhianati oleh kelakuan ayahnya, dan buah rasa sakit itu adalah Sophia.Ketika orang merasakan sakit, mereka pasti ingin rasa sakit itu segera hilang dari diri mereka ‘kan?Dan keluarganya, berhasil mengenyahkan buah rasa sakit itu dengan menikahkannya dengan pria yang terkenal tidak baik.Mereka menontonnya menderita dengan kehidupan pernikahan yang tidak bahagia.Sophia selalu bertanya-tanya, apa itu membuat mereka puas? Kalau Sophia tidak mencintai Albert sejak awal, mungkin rasanya tidak akan terlalu menyakitkan menyaksikan suaminya bermesraan dengan wanita lain. Tapi tidak ada yang bisa disalahkan, karena pernikahan itu terjadi tidak sepenuhnya atas keinginan keluarganya, tapi juga keinginan hati Sophia sendiri. Dan Sophia tidak bisa menyalahkan siapapun atas perasaan yang dia rasakan bukan?“Lalu kenapa sekarang?” gumam Sophia pada dirinya sendiriKenapa setelah berhasil menyin
“Kau tidak mau membicarakannya padaku sekarang?” kata Albert, bersandar di sofa sembari mengusap puncak kepala sang istri yang tertidur di pahanya, selagi mata Albert terfokus pada layar laptop di meja.“Kau sedang bekerja,” sahut Sophia datar.Albert menunduk, menatap kelopak mata istrinya yang terpejam rapat. “Tapi aku akan mendengarkan.”Sophia kemudian berkata setelah terdiam cukup lama. “Apa menurutmu ada orang yang benar-benar tulus meminta maaf pada kesalahan yang telah lama mereka lakukan?”Deg!Pertanyaan itu menohok Albert, lebih dari yang Sophia pikir. Albert menatap intens kelopak mata Sophia, yang menyembunyikan manik bulat indah itu di baliknya. Andai Sophia membuka matanya sekarang, supaya Albert bisa menebak apa yang perempuan itu rasakan di dalam, karena mata selalu bisa berkata lebih jujur dari yang bisa dilakukan lidah.Kenapa Sophia bertanya demikian? Apa seseorang yang pernah menyakitinya selama ini tiba-tiba meminta maaf padanya? Sehingga Sophia mempertanyakan ke