“Siapa? Di mana Dokter Franz?” tanya Albert.Sophia tidak ingin menganggap situasi ini lucu, tapi dia hampir terkekeh dibuatnya. Siapapun wanita itu, yang berlagak seolah mengenal suaminya. Padahal Albert sedikit pun tidak mengingatnya.“Kau tidak ingat aku? Aku Monica.” Wanita itu menyampirkan sejumput rambutnya ke belakang telinga. Melihat tatapan Albert yang seolah masih tidak memiliki petunjuk, wanita itu kembali berkata, “Kita pernah… ng….” Tatapan wanita itu kemudian tertuju pada Sophia dengan sungkan.“Kalian pernah apa?” tanya Sophia penasaran.Kernyitan di dahi Albert kemudian mengendur, dia ingat akan siapa wanita di hadapannya ini.Albert pun siap membantah, tapi kemudian Dokter Monica membuka suara lebih dulu, “Saya Dokter Monica, asisten Dokter Franz yang akan menggantikannya hari ini. Dokter Franz berhalangan hadir karena tugas mendadak di New Jersey.” Suaranya terdengar lebih resmi dan sopan. Hal itu membuat Sophia menatapnya heran karena perubahan yang begitu kilat.W
Sophia pikir, dia akan datang ke rumah itu seperti biasanya; tanpa kata-kata sambutan atau pelukan hangat, Sophia hanya perlu menggeret kopernya masuk dan mengunci pintu kamar, lalu ke luar saat makan malam untuk mendapati tidak satupun dari mereka penasaran akan kedatangannya.Tapi kini, ayah dan ibunya dengan bijaksana menyambutnya di pintu dan bahkan memberikannya pelukan selamat datang. Sophia yakin itu karena pengaruh kehadiran Albert Raymond bersamanya, tapi di dalam hati Sophia—dengan sangat menjengkelkan—merasa senang. Sophia tidak bisa menghentikan perasaan itu dan menyadari akan seberapa lemahnya dia bahwa setelah semua yang terjadi dia tidak pernah bisa mematikan perasaannya kepada kedua orang tuanya.“Sophie, bagaimana kabarmu, Nak? Sudah lama kau tidak ke sini ‘kan?” kata Mariane, ibu Sophia.Ini adalah rumah yang Sophia tinggali saat masih remaja dulu, sebelum Keluarga Abraham pindah ke Inggris dan Sophia menikah dengan Albert. Sekarang, rumah mereka di New York ini menj
Selesai makan siang, Albert dan Sophia kembali ke kamar.Ponsel Albert berdering. Sebelum mengangkatnya, dia berbalik ke arah sang istri yang tengah terduduk di ranjang dan berkata, “Minum itu!” tunjuknya pada beberapa butir obat—atau lebih tepatnya vitamin—yang diletakkan di nakas.Sophia hanya menatap pada piring kecil itu tanpa minat. Dia kesal karena Albert memperlakukannya seperti seseorang yang sakit, padahal dia baik-baik saja. Tapi pada akhirnya Sophia pun meminum tiga jenis vitamin itu secara bersamaan. Setelahnya, dia menatap Albert datar yang baru saja berhenti berbicara dengan lawan bicaranya dan menoleh ke arah Sophia.“Kau tahu kalau aku baik-baik saja,” tukas Sophia tanpa basa-basi, mendelik tajam pada suaminya.Albert balas menatapnya dengan tatapan menantang. Sambil menimang ponselnya di tangan, dia berkata datar, “Dana bilang akhir-akhir ini jadwal makanmu juga kacau.”Sophia mengernyit. “Aku tetap makan tiga kali sehari!” bantahnya.“Kau juga tidak meminum vitamin y
Albert menutup pintu di belakangnya lalu menatap Luke Abraham dengan pandangan dingin.“Aku tidak datang ke sini untuk urusan bisnis. Temui sekretarisku kalau kau perlu sesuatu untuk didiskusikan,” kata Albert.Luke tekekeh sarkastik. “Aku tidak datang untuk menemuimu, Sir Raymond,” balas Luke dengan nada sopan yang tidak menunjukkan keramahan sedikit pun oleh nada yang dia gunakan. “Aku ke sini untuk menemui adikku,” lanjutnya.Albert sejak awal menyadari bahwa Luke membenci Sophia. Albert tidak pernah bisa lupa bagaimana rupa ekspresi di wajah istrinya saat pria di hadapannya ini mengatakan hal-hal yang penuh akan omong kosong.Albert tidak bisa melupakan akan kata-kata menghina yang pria itu lontarkan pada Sophia.“Istriku sedang istirahat, kau bisa menemuinya besok saat sarapan,” sahut Albert. Tubuhnya yang besar dan bahunya yang lebar menutup akses pintu sehingga yang hanya mampu Luke lakukan hanya menatap pria itu dengan aura permusuhan.Albert tidak menaruh peduli, dia membalas
Satu jam adalah waktu yang tidak sebentar. Sophia sudah menguap beberapa kali, tapi sedikitpun tidak berniat untuk beranjak dari tempatnya. Film sudah diputar, fokus semua orang tertuju ke sana. Sedang fokus Sophia sendiri tengah melanglangbuana.Sebenarnya apa sih yang Sophia tunggu? Dia sendiri tidak tahu. tapi dirinya merasa, kalau dia pergi sekarang maka dia akan kelewatan sesuatu yang penting. Tapi sesuatu yang penting itu entah apa.Dengan kantuk yang menggantung di bawah pelupuk matanya, Sophia bersandar di dada Albert. Lelaki itu menyambutnya dan memeluk tubuh Sophia mesra.Tanpa Sophia sadari, sedari tadi lirikan penasaran dan penuh tanya tertuju ke arah mereka berdua yang secara terang-terangan menunjukkan kemesraan mereka yang intim. Hubungan Sophia dan Albert memang sudah menjadi rahasia umum. Mereka menikah karena keterpaksaan. Selama setahun lebih hubungan mereka, tidak sedikitpun tampak bahwa mereka akan menjalin hubungan suami istri yang harmonis.Sehingga pemandangan
Saat sampai di dalam kamar mereka yang senyap, Albert menutup pintu dan menyandarkan punggung Sophia di baliknya, sedang lengan Albert yang kokoh bertumpu di kedua sisi wajah wanita itu.“Katakan padaku dengan jujur,” kata Albert, menatap Sophia dengan tatapan tajam.“Hm?” Sedangkan yang ditatap tampak bingung dan bertanya-tanya. “Apa itu?”“Apa alasanmu memberikan hadiah kepada Daniel Mateo, sedangkan tidak pernah sekalipun kau memberikanku, yang berstatus sebagai suamimu, hadiah apapun.”Sophia masih tampak tidak mengerti. Mengingat-ingat hadiah apa yang Albert bicarakan.Lalu Sophia pun teringat pada hari dia pergi ke mall dan bertemu dengan Daniel.“Ah, itu!” seru Sophia tiba-tiba yang membuat Albert menatapnya semakin tajam.“Ya, apa itu?” desis Albert dengan nada menuntut.Sophia lalu tersenyum menyesal. “Maaf,” katanya.Albert mendengus pendek. “Aku tidak meminta maafmu. Aku hanya ingin tahu apa alasanmu memberikan hadiah kepada pria lain. Apa dia lebih berarti dari suamimu se
Kakak lelakinya itu balas menatap Sophia dengan pandangan rumit, memaku Sophia di tempatnya seperti orang bodoh.Luke malangkah mendekatinya, lalu berdiri di samping Sophia, memandang air kolam berenang yang beriak tenang.Luke membuka suara, “Di mana suamimu?”“Belum bangun,” jawab Sophia singkat.Luke mendengus geli. “Apa dia memiliki kebiasaan bangun siang? Pengusaha sukses sepertinya?”Sophia menjawab dengan tenang, “Dia kelelahan semalam.” Mengingat bagaimana Albert harus bekerja di hari liburnya yang tidak terduga membuat Sophia sedikit sedih. Semalam Albert sepertinya begadang dan baru sempat tidur saat dini hari tadi.Namun jawaban Sophia itu justru diartikan berbeda oleh pria di sampingnya. Luke mengira ‘kelelahan’ yang Sophia maksud adalah karena aktivitas malam mereka sebagai pasangan suami istri. Luke menyadari bahwa hubungan Sophia dan Albert telah jauh membaik dari sebelumnya, tidak menutup kemungkinan bahwa mereka sudah sering melakukan ‘itu’.Luke kemudian berdeham pel
Sophia sudah bisa memahami kenapa Mariane, Billie, Paula, dan Luke, begitu membencinya. Mereka merasa dikhianati oleh kelakuan ayahnya, dan buah rasa sakit itu adalah Sophia.Ketika orang merasakan sakit, mereka pasti ingin rasa sakit itu segera hilang dari diri mereka ‘kan?Dan keluarganya, berhasil mengenyahkan buah rasa sakit itu dengan menikahkannya dengan pria yang terkenal tidak baik.Mereka menontonnya menderita dengan kehidupan pernikahan yang tidak bahagia.Sophia selalu bertanya-tanya, apa itu membuat mereka puas? Kalau Sophia tidak mencintai Albert sejak awal, mungkin rasanya tidak akan terlalu menyakitkan menyaksikan suaminya bermesraan dengan wanita lain. Tapi tidak ada yang bisa disalahkan, karena pernikahan itu terjadi tidak sepenuhnya atas keinginan keluarganya, tapi juga keinginan hati Sophia sendiri. Dan Sophia tidak bisa menyalahkan siapapun atas perasaan yang dia rasakan bukan?“Lalu kenapa sekarang?” gumam Sophia pada dirinya sendiriKenapa setelah berhasil menyin
Albert membawa Sophia ke mobil dengan susah payah, menggendong istrinya yang terus saja memberontak. Pengunjung lain yang ada di luar mulai menatap mereka aneh, bahkan salah seorang penjaga mendekati Albert dengan tatapan penuh curiga.“Dia istriku,” sahut Albert tanpa menghentikan langkahnya, si penjaga pun kembali mundur.Pintu dibuka, Albert memasukkan Sophia ke dalam dan memasangkannya safety-belt juga.“Apa yang kau lakukan?! Biarkan aku pergi!” berontak Sophia dengan tenaga yang mulai melemah.Albert tidak menghiraukannya dan segera berlari ke sisi lain mobil kemudian masuk ke dalam. Tepat ketika Albert menyalakan mesin, Sophia membuka sabuk pengamannya lalu bergerak cepat membuka pintu. Tapi gerakan Albert lebih cepat lagi, menangkap tubuh istrinya itu dan mendorongnya ke kursi, lalu tanpa peringatan menyatukan bibir mereka dalam pagutan yang dalam.Rontaan Sophia melemah, tangannya yang mencengkeram lengan Albert per
Sophia benar-benar pergi menemui Alexander, tapi dia tidak menunggu besok melainkan melakukannya malam itu juga. Saat Sophia bertemu dengannya di lobi perusahaan, Alexander tengah dalam perjalanan untuk pulang. Dia terkejut ketika melihat Sophia berada di sana.“Sophia,” katanya.Sophia tersenyum ramah. “Halo, Alex.”Beberapa saat kemudian, keduanya telah berada di sebuah bar yang menyajikan anggur. Alexander sengaja mengatakan bahwa dia hendak mengunjungi tempat ini untuk melepas penatnya setelah seharian kerja. Sophia awalnya meminta waktu lelaki itu sejenak, tapi Alexander menolaknya mentah-mentah.“Aku pesan champagne,” kata Sophia pada si bartender yang duduk di balik meja. Dia mengangguk lalu mulai menyiapkan pesanan Sophia.“Aku juga,” kata Alexander ikut.Sophia menatapnya, dan Alex memberikannya senyum penuh arti. “Kau tahu? Sekarang setiap kali aku meminum champagne, aku selalu
Sore itu Sophia terbangun dalam keadaan linglung. Dia terdiam beberapa saat sebelum deringan di ponselnya berbunyi. Sebuah pesan masuk dari Luke Abraham.Sophia, yang belum benar-benar mengumpulkan kesadarannya pun langsung menatap layar ponselnya dengan mata memicing. Setelah beberapa hari tidak ada kabar, baru kali ini Luke kembali menghubunginya. Dan isi pesan tersebut membuat Sophia semakin keheranan.[Pulanglah sebentar ke Kediaman Abraham, aku punya berita penting yang harus aku beri tahukan padamu.]Sophia lalu bangun dari tidurnya dan pergi bersiap-siap sembari menduga-duga berita penting apa yang hendak Luke katakan.Apa Paula atau Billie akan menikah? Atau Luke sendiri yang sudah menemukan pasangan untuk membangun rumah tangga? Apa pun itu, Sophia tetap dibuat penasaran.Dua jam kemudian Sophia sampai di Kediaman Abraham, tepat saat makan malam. Namun, saat Sophia masuk, Luke sudah menyambutnya di depan pintu.Saat So
Sophia keluar dari kamarnya pada waktu makan siang. Saat itu, Albert sudah pergi dengan amarah yang tidak bisa terucapkan.Sophia menunduk, menatap makanan di piringnya tanpa minat.“Sophie? Kau baik-baik saja?” tanya Laura pada putrinya yang tampak sedu itu.“Hm,” sahut Sophia.“Apa kau dan Albert sudah berbicara?” tanya Laura lagi, menatapnya penasaran.Saat sedang berada di ruang santai tadi, Albert sempat mendatanginya untuk pamit. Laura tidak menyangka kalau menantu lelakinya itu akan bersikap penuh sopan padanya dan benar-benar menganggapnya sebagai ibu. Sudah terlalu lama Laura jauh dari kehidupan Sophia sehingga terkadang dia merasa dirinya tidak pantas untuk mencampuri urusan-urusan sang putri.Tapi kali ini, Laura begitu penasaran.“Ya, Mom,” jawab Sophia, diikuti helaan napas pendek.“Ada apa denganmu? Bukankah seharusnya kau senang dia pergi?” tukas Daniel
Sophia menjauh dari pintu saat Albert membukanya. Dia hendak menghindar supaya tidak ketahuan menguping, tapi selimut yang melilit tubuhnya itu terinjak sehingga Sophia terjatuh ke lantai dengan kedua tangan sebagai tumpuan.“Sophie!” seru Albert terkejut, lalu langsung berlari membantu Sophia untuk bangun. “Kau tidak apa-apa?” tanya Albert.Sophia bergeming. Dia memang tidak apa-apa, tidak ada yang sakit. Tapi menyadari bahwa dirinya baru saja hampir menyakiti sang janin di perut, membuatnya tertegun. Bagaimana kalau tadi dia tidak memiliki refleks cepat sehingga jatuh dengan perutnya yang mendarat lebih dulu? Sophia tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi. Memang belum genap satu bulan dia mengetahui dirinya tengah hamil, tapi Sophia telah mengikat hubungan yang sangat erat dengan bayi di dalam perutnya dan kehilangannya adalah hal terakhir yang Sophia inginkan.Melihat tatapan kosong di mata wanita itu, Albert menjadi cemas. &ldq
“Albert?” lirih sebuah suara.Albert langsung tersadar dan sedikit menunduk, melihat sepasang kelopak mata yang bergerak, walau dia tidak bisa melihat mata Sophia sepenuhnya, tapi Albert tahu istrinya itu telah terjaga.“Apa aku membangunkanmu?” tanya Albert kemudian. Detak jantungnya kembali melaju cepat, oleh rasa takut kalau Sophia akan tersadar dan menyudahi semuanya.“Hm,” sahut wanita itu.Dan beberapa menit berlalu, hal yang Albert khawatirkan tidak kunjung terjadi. Dia pun menunduk lagi dan melihat Sophia masih tidak bergeming.“Albert,” kata wanita itu.Tubuh Albert langsung menegang. “Ya?”“Bagaimana kabar Cecil?”“….”“Hm?” ucap Sophia lagi.“Kenapa kau bertanya?” sahut Albert.“Aku hanya penasaran. Bukankah tadi kalian saling mengirim pesan?”Sejenak, Albert
Albert menekan tubuh Sophia dengan tubuhnya sendiri. Memagut bibir ranum itu, melumatnya lembut, dan merasakan perlakuan yang sama pada bibirnya.Rasanya seperti di surga; memeluk dan mencium wanita yang dicintainya ini.Tidak ada yang bisa Albert pikirkan selain luapan emosi di antara mereka, yang dia tuangkan dalam rengkuhan penuh hasrat itu.Suara cecap bibir saling bersahutan di kamar dengan suasana sunyi, menambah semangat kedua insan yang tengah saling memadu kasih. Bahkan sekali pun oksigen di paru-paru masing-masing mulai menipis, mereka masih enggan untuk menjauh.Sampai akhirnya dada Sophia semakin terasa sesak, dia pun menepuk bahu Albert dan mendorongnya, namun menyisakan jarak yang tidak cukup jauh.“Albert?” lirih Sophia dengan napas memburu.Albert menyahutinya dengan gumaman singkat, lalu beralih untuk mengecup leher istrinya itu, memeluknya kian erat, seolah takut bahwa Sophia akan berubah pikiran dan mendorongny
Suara dering notifikasi dari ponsel kembali membuat dua pasang mata itu terbuka. Karena nada dering yang sama, mereka sibuk mengecek ponsel masing-masing yang diletakkan di nakas.Sophia yang lebih dulu menyadari bahwa itu bukan bunyi dari ponselnya, pun kembali berbaring tidur.Saking sunyinya suasana di antara mereka, Sophia sampai bisa mendengar suara jari Albert mengetuk pada layar, mengetik sesuatu di sana. Sophia tidak tahan untuk tidak bertanya-tanya siapa yang kiranya menghubungi Albert selarut ini.Pasti wanita itu.Sophia tersenyum getir, lalu memperbaiki posisi tidurnya agar lebih nyaman.Nyaris saja Sophia lupa, bahwa ada sesuatu yang sangat serius di antara dirinya dan Albert. Lagi-lagi Sophia mengingatkan diri sendiri untuk tidak lagi terjatuh pada pesona pria itu, untuk melupakannya dan membuat kehidupan baru dengan anaknya kelak.Sedang Sophia sibuk dengan pikirannya sendiri, Albert juga sama. Dia membalas sebuah email yang b
Albert duduk di samping Sophia dalam diam. Menatap udara dengan tatapan nyaris kosong. Sementara itu, Sophia sibuk mengetik sesuatu di laptopnya, yang Albert yakini pasti naskah novel yang tengah dia garap.Anehnya, keheningan di antara mereka kali ini terasa tidak menggangu. Seolah memang itulah yang mereka butuhkan. Duduk berdua, tanpa kata-kata yang akan berakhir menyakiti mereka sendiri.Albert teringat akan lima buku karya Sailendra A. di rumah yang baru-baru ini dia beli untuk memuaskan rasa rindunya pada sang istri. Albert memang baru membaca beberapa lembar saja, dia belum memiliki waktu luang untuk menghabiskan membaca semuanya.Namun, walau begitu, Albert sudah tahu bahwa Sophia adalah penulis yang hebat.Saat sedang memikirkan itu, perhatian Albert teralihkan oleh suara jari Sophia yang menari di atas keyboard-nya yang terdengar semakin keras. Ekspresi di wajah wanita itu juga tampak mengerut kesal.“Kenapa?” tanya Albert pad