‘Hadiah utama.’ Sophia mengulang kata-kata itu di dalam benaknya, sembari menatap Albert dengan mata berurai air mata.Dia tidak bisa menebak hal apa yang Albert belum berikan padanya. Karena yang telah Sophia terima sekarang sudah terlalu berlebihan baginya, Sophia tidak yakin akan mampu menerima hadiah yang lain.“Apa itu?” tanya Sophia dengan suara parau.Albert menatapnya lurus-lurus, lalu menjawab, “Kau belum mendapatkan malam pertama kita.” Dia mengatakannya dengan sangat gamblang seolah itu sesepele bahasan cuaca.Saking terkejutnya, Sophia sampai cegukan, dan langsung menutup mulutnya karena respon memalukan itu.Albert tertawa kecil lalu mengusap punggung Sophia untuk menenangkannya.“I-itu…” lirih Sophia dengan mata berkaca-kaca diikuti wajah memerah padam.“Itu apa?” bisik Albert.“Aku tidak yakin punya sisa air mata untuk menangisi hadiah yang satu itu,” gumam Sophia, terdengar malu-malu.Albert langsung terbahak dibuatnya. Dia lalu memeluk Sophia lagi. “Jangan khawatir. K
Tawa keduanya di awal tadi kini telah berganti menjadi suara desahan dan rintihan yang saling bersahutan. Tidak ada lagi candaan yang terlontar dari bibir, tidak ada senyum saling menggoda, atau tatapan malu-malu. Semua indera mereka terfokus hanya pada apa yang mereka miliki saat itu juga. Dan satu-satunya yang tersisa adalah rasa terbakar di bawah kulit mereka yang panas, yang saling bergesekan, yang saling merasakan kehadiran satu sama lain.Suara kenikmatan lolos dari bibir Sophia yang baru saja mendapatkan pelepasan pertamanya. Sophia menggeliat di sofa beledu merah itu, yang permukaan halusnya kini menggelitik kulit punggung Sophia yang menjadi sensitif oleh sentuhan apapun, terutama oleh sentuhan mahir pria di atasnya.Albert menjulang dengan tubuh perkasa tanpa balutan kain apapun, begitupun Sophia. Pakaian keduanya telah berserakan di atas lantai.Albert terkekeh di ceruk leher Sophia yang basah, tanpa nada humor sedikit pun pada suaranya. Alih-alih senang, Albert justru terd
Suara dengkuran halus di sampingnya meyakinkan Albert, bahwa dia memang masih berada di bumi. Di ruang lukisnya yang beraroma cat minyak, di atas sofanya yang beraroma mawar, ditambah aroma percintaan yang masih tercium pekat di sekitarnya.Albert belum merasa terpuaskan, tidak sepenuhnya, tidak sampai dirinya lelah dengan sendi-sendi yang seakan hendak copot.Seolah tidak ada habisnya… gairah ini.Albert menatap langit-langit, kesunyian di dalam ruangan membuatnya dapat mendengar dengan jelas deru napas wanita di dalam pelukannya. Dan Albert berperang dengan diri sendiri apakah dia harus membangunkan wanita itu dan memulai sesi percintaan yang lain atau dia harus menekan kembali hasratnya dalam-dalam, demi kebaikan wanita itu sendiri.Albert memilih keputusan yang terakhir. Dia pun bangkit dari tidurnya dengan gerakan yang sangat hati-hati agar tidak membangunkan wanita cantik yang tengah tertidur nyenyak itu.Saat Albert kemudian akhirnya berdiri di atas lantai, dia menatap kue yang
“Masih sakit?”Sophia menggeleng, mulutnya terbuka dengan napas terengah.“Kalau ini?” Albert menambah satu lagi jarinya masuk.Sophia terkesiap. “Se-sesak!”Albert tersenyum miring. “Tentu saja,” sahutnya parau.“A-Albert…!”“Rileks, Sophie.” Albert berbisik lembut di telinganya. “Tarik napas dalam-dalam dan hembuskan pelan. Tenangkan dirimu dan cobalah untuk merasakan jemariku di dalammu. Benar, seperti itu, Sayang.” Albert melenguh, ikut merasakan cengkeraman memabukkan di sekitar jarinya yang membuat pikirannya langsung melayang, membayangkan bagaimana rasanya kalau bagian dirinya yang lebih besar dari dua jari itu masuk ke sana.Sayang sekali, hanya ini yang bisa Albert lakukan karena Sophia jelas masih kesakitan. Albert tidak akan memaksakan kehendaknya.Menatap ekpresi penuh kenikmatan di wajah wanita itu sudah cukup bagi Albert sekarang. Sophia mendesah dan mengerang nikmat di bawahnya, menerima semua yang Albert berikan padanya.Kemudian Sophia mengakhirinya dengan rintihan p
Sophia terbangun dari tidurnya setelah beberapa menit di dalam pesawat. Setelahnya dia tidak bisa tidur lagi dalam perjalanan panjang menuju New York dan hanya mampu menonton wajah terlelap suaminya, tapi kegiatan itu Sophia lakukan dengan suka cita. Namun setiap kali Albert terbangun, dia akan pura-pura tertidur. Sophia sendiri tidak mengerti kenapa dia melakukan hal konyol seperti itu.Mereka kemudian sampai pada pagi hari dan kini tengah berada di dalam mobil yang akan langsung membawa mereka ke kediaman Abraham.Sophia bersandar di bahu Albert dengan manja sambil memakan cemilan manis yang lelaki itu belikan.“Apa kau baik-baik saja?” tanya Albert pelan.Sophia memerah, lalu menganggukkan kepala. “Aku telah tidur seperti kerbau. Sekarang aku merasa begitu berenergi seperti banteng,” tukasnya dengan nada penuh keyakinan.Tapi Albert menatapnya tidak percaya. “Sebaiknya kita ke dokter terlebih dulu untuk memeriksa kesehatanmu,” katanya.Sophia mengelak. “Apa?! Itu tidak perlu! Aku b
“Siapa? Di mana Dokter Franz?” tanya Albert.Sophia tidak ingin menganggap situasi ini lucu, tapi dia hampir terkekeh dibuatnya. Siapapun wanita itu, yang berlagak seolah mengenal suaminya. Padahal Albert sedikit pun tidak mengingatnya.“Kau tidak ingat aku? Aku Monica.” Wanita itu menyampirkan sejumput rambutnya ke belakang telinga. Melihat tatapan Albert yang seolah masih tidak memiliki petunjuk, wanita itu kembali berkata, “Kita pernah… ng….” Tatapan wanita itu kemudian tertuju pada Sophia dengan sungkan.“Kalian pernah apa?” tanya Sophia penasaran.Kernyitan di dahi Albert kemudian mengendur, dia ingat akan siapa wanita di hadapannya ini.Albert pun siap membantah, tapi kemudian Dokter Monica membuka suara lebih dulu, “Saya Dokter Monica, asisten Dokter Franz yang akan menggantikannya hari ini. Dokter Franz berhalangan hadir karena tugas mendadak di New Jersey.” Suaranya terdengar lebih resmi dan sopan. Hal itu membuat Sophia menatapnya heran karena perubahan yang begitu kilat.W
Sophia pikir, dia akan datang ke rumah itu seperti biasanya; tanpa kata-kata sambutan atau pelukan hangat, Sophia hanya perlu menggeret kopernya masuk dan mengunci pintu kamar, lalu ke luar saat makan malam untuk mendapati tidak satupun dari mereka penasaran akan kedatangannya.Tapi kini, ayah dan ibunya dengan bijaksana menyambutnya di pintu dan bahkan memberikannya pelukan selamat datang. Sophia yakin itu karena pengaruh kehadiran Albert Raymond bersamanya, tapi di dalam hati Sophia—dengan sangat menjengkelkan—merasa senang. Sophia tidak bisa menghentikan perasaan itu dan menyadari akan seberapa lemahnya dia bahwa setelah semua yang terjadi dia tidak pernah bisa mematikan perasaannya kepada kedua orang tuanya.“Sophie, bagaimana kabarmu, Nak? Sudah lama kau tidak ke sini ‘kan?” kata Mariane, ibu Sophia.Ini adalah rumah yang Sophia tinggali saat masih remaja dulu, sebelum Keluarga Abraham pindah ke Inggris dan Sophia menikah dengan Albert. Sekarang, rumah mereka di New York ini menj
Selesai makan siang, Albert dan Sophia kembali ke kamar.Ponsel Albert berdering. Sebelum mengangkatnya, dia berbalik ke arah sang istri yang tengah terduduk di ranjang dan berkata, “Minum itu!” tunjuknya pada beberapa butir obat—atau lebih tepatnya vitamin—yang diletakkan di nakas.Sophia hanya menatap pada piring kecil itu tanpa minat. Dia kesal karena Albert memperlakukannya seperti seseorang yang sakit, padahal dia baik-baik saja. Tapi pada akhirnya Sophia pun meminum tiga jenis vitamin itu secara bersamaan. Setelahnya, dia menatap Albert datar yang baru saja berhenti berbicara dengan lawan bicaranya dan menoleh ke arah Sophia.“Kau tahu kalau aku baik-baik saja,” tukas Sophia tanpa basa-basi, mendelik tajam pada suaminya.Albert balas menatapnya dengan tatapan menantang. Sambil menimang ponselnya di tangan, dia berkata datar, “Dana bilang akhir-akhir ini jadwal makanmu juga kacau.”Sophia mengernyit. “Aku tetap makan tiga kali sehari!” bantahnya.“Kau juga tidak meminum vitamin y