“Kalau kau tidak berniat menjawab, lebih baik jangan. Aku tidak suka menunggumu berpikir terlebih dahulu,” gerutu Sophia dengan nada kesal yang sangat kentara.Albert langsung terkekeh ketika mendengarnya. Perhatiannya terlalu disita oleh sosok indah di dalam kanvasnya, padahal dia tidak memikirkan apapun selain itu. Albert bahkan harus terdiam beberapa saat untuk mengingat pertanyaan yang tadi Sophia lontarkan.Lalu Albert menjawab, “Bukan ‘siapa’, tapi lebih tepatnya adalah ‘apa’.”“Maksudmu?” sahut Sophia bingung.“Aku menggunakan model dari alam untuk lukisan pemandanganku. Sisanya… berasal dari imajinasi.”Sophia langsung terdiam dengan rahang yang seolah akan jatuh ke lantai.Apa Albert sungguhan berpikir bahwa Sophia akan memercayai hal itu? Karena lihatlah semua lukisan di dalam ruangan ini. Wanita yang sedang tertidur di ranjang dengan nuansa putih itu, atau wanita di taman bunga yang mengenakan topi jerami dan gaun biru itu, dan lukisan-lukisan dengan figur seorang wanita la
Sesampainya Sophia di dalam mall, dia langsung disambut oleh hiru-pikuk pengunjung. Tapi karena Sophia dalam keadaan mood yang baik, dia melangkah dengan percaya diri, memasuki satu toko ke toko yang lain. Dalam waktu setengah jam, Sophia sudah menenteng dua tas berisi pakaian dari toko yang berbeda.Sophia memang bukan jenis orang yang kalau pergi shoping itu membutuhkan waktu yang sangat lama. Sophia hanya butuh satu lirikan untuk tahu gaun mana yang harus dia beli.Sebelum berniat untuk pulang, Sophia berpikir untuk membelikan Albert beberapa barang juga. Dia pun masuk ke sebuah toko yang menjual berbagai fashion pria.Sophia hanya pernah melihat Albert menggunakan dua jenis pakaian, kemeja yang dibalut jas resmi untuk bekerja dan kaos polos dengan bawahan celana kain setiap di rumah. Sophia tidak bisa membayangkan bagaimana rupa Albert saat lelaki itu mengunjungi tempat-tempat umum tanpa alasan bekerja.Apakah Albert suka menggunakan syal? Pikir Sophia sembari meraba permukaan lem
Sepanjang perjalanan menuju rumah, Sophia tidak bisa berhenti memikirkan ucapan Daniel. Terkadang pria itu terasa akrab baginya, tapi juga menjadi sangat asing dengan cara yang sangat misterius di lain waktu. Sophia mencoba menganggap itu hal yang wajar karena mereka memang belum lama saling mengenal.Namun, kalau Sophia pikir-pikir lagi, sikap Daniel padanya memang sering kali terasa aneh, pria itu kerap kali mengatakan sesuatu yang Sophia tidak mengerti. Dan Sophia tidak merasa bahwa Daniel memiliki rasa berlebih padanya, itulah kenapa Sophia tidak lagi menolak kehadiran pria itu.Kalau saja Daniel bersikap seperti Jefrey yang secara terang-terangan menatap Sophia dengan tatapan suka, hubungan mereka tidak akan menjadi seperti ini sekarang, sejak awal Sophia sudah akan menjauhinya. Karena Sophia tidak ingin membuang-buang waktu kepada seseorang yang pada akhirnya akan kecewa.Sesampainya di rumah, Sophia berjalan gontai menuju kamar lalu meletakkan belanjaannya begitu saja ke atas r
Sepuluh menit berlalu, Sophia mulai gelisah dan bertanya-tanya ke mana perginya Albert. Padahal tadi lelaki itu yang lebih dulu menyuruhnya datang. Apa karena Sophia bersiap-siap terlalu lama? Ini hari Kamis, Albert juga seharusnya pergi bekerja.“Benar!” seru Sophia sembari bangkit dari duduknya. Dia baru ingat bahwa hari ini adalah Kamis. Apa karena Sophia terlalu lama, jadi Albert pergi ke kantor lebih dulu?Sophia berdecak pelan, lalu mengangkat rok gaunnya, melangkah lebar-lebar menuju pintu dengan ekspresi kesal di wajah cantiknya.“Seharusnya dia tidak menyuruhku datang kalau memang niatnya untuk pergi. Dasar!” gerutu Sophia.Tepat sebelum tangannya menyentuh knop pintu, benda itu berputar terlebih dulu lalu daun pintu itu terdorong terbuka dari luar. Dahi Sophia nyaris terantuk karenanya.Dan yang muncul di ambang pintu itu adalah Albert, yang memiliki ekspresi sama terkejutnya seperti Sophia.“Kemana saja kau?!” tanya Sophia, nadanya mengalun sedikit lebih tinggi dari biasa.
“Bo-bolehkah aku membuka penutup mata ini?” tanya Sophia dengan suara menciut.Tidak ada jawaban.Sophia semakin gugup dan cemas.“Albert… apa aku membuat kesalahan? Kalau ya, kumohon jangan begini. Ayo kita bicarakan baik-baik.” Sophia kini nyaris merengek seperti anak kecil, air mata sudah menggenang di pelupuk matanya.Tapi lagi-lagi, tidak ada satu pun suara yang menjawabnya.“Albert…,” lirih Sophia.Sebenarnya, Sophia bisa saja melepas penutup mata itu karena kedua tangannya bebas. Tapi dengan kehadiran Albert di sana, Sophia tidak berani melakukannya.“Ke mana saja kau kemarin, hm? Sampai membuatmu kelelahan dan tidur seharian.”Sophia menghela napas lega saat akhirnya mendengar suara Albert. Pria itu sepertinya berada tidak terlalu jauh dari tempat Sophia.“Aku pergi ke mall,” jawab Sophia.“Lalu?”“Lalu di sana aku bertemu dengan Da—” Sophia kemudian tersadar. “Tunggu, kau marah karena itu?” tukasnya tidak percaya.“Tidak.”“Kau bilang tidak tapi—”“Lanjutkan! Apa yang kau lak
‘Hadiah utama.’ Sophia mengulang kata-kata itu di dalam benaknya, sembari menatap Albert dengan mata berurai air mata.Dia tidak bisa menebak hal apa yang Albert belum berikan padanya. Karena yang telah Sophia terima sekarang sudah terlalu berlebihan baginya, Sophia tidak yakin akan mampu menerima hadiah yang lain.“Apa itu?” tanya Sophia dengan suara parau.Albert menatapnya lurus-lurus, lalu menjawab, “Kau belum mendapatkan malam pertama kita.” Dia mengatakannya dengan sangat gamblang seolah itu sesepele bahasan cuaca.Saking terkejutnya, Sophia sampai cegukan, dan langsung menutup mulutnya karena respon memalukan itu.Albert tertawa kecil lalu mengusap punggung Sophia untuk menenangkannya.“I-itu…” lirih Sophia dengan mata berkaca-kaca diikuti wajah memerah padam.“Itu apa?” bisik Albert.“Aku tidak yakin punya sisa air mata untuk menangisi hadiah yang satu itu,” gumam Sophia, terdengar malu-malu.Albert langsung terbahak dibuatnya. Dia lalu memeluk Sophia lagi. “Jangan khawatir. K
Tawa keduanya di awal tadi kini telah berganti menjadi suara desahan dan rintihan yang saling bersahutan. Tidak ada lagi candaan yang terlontar dari bibir, tidak ada senyum saling menggoda, atau tatapan malu-malu. Semua indera mereka terfokus hanya pada apa yang mereka miliki saat itu juga. Dan satu-satunya yang tersisa adalah rasa terbakar di bawah kulit mereka yang panas, yang saling bergesekan, yang saling merasakan kehadiran satu sama lain.Suara kenikmatan lolos dari bibir Sophia yang baru saja mendapatkan pelepasan pertamanya. Sophia menggeliat di sofa beledu merah itu, yang permukaan halusnya kini menggelitik kulit punggung Sophia yang menjadi sensitif oleh sentuhan apapun, terutama oleh sentuhan mahir pria di atasnya.Albert menjulang dengan tubuh perkasa tanpa balutan kain apapun, begitupun Sophia. Pakaian keduanya telah berserakan di atas lantai.Albert terkekeh di ceruk leher Sophia yang basah, tanpa nada humor sedikit pun pada suaranya. Alih-alih senang, Albert justru terd
Suara dengkuran halus di sampingnya meyakinkan Albert, bahwa dia memang masih berada di bumi. Di ruang lukisnya yang beraroma cat minyak, di atas sofanya yang beraroma mawar, ditambah aroma percintaan yang masih tercium pekat di sekitarnya.Albert belum merasa terpuaskan, tidak sepenuhnya, tidak sampai dirinya lelah dengan sendi-sendi yang seakan hendak copot.Seolah tidak ada habisnya… gairah ini.Albert menatap langit-langit, kesunyian di dalam ruangan membuatnya dapat mendengar dengan jelas deru napas wanita di dalam pelukannya. Dan Albert berperang dengan diri sendiri apakah dia harus membangunkan wanita itu dan memulai sesi percintaan yang lain atau dia harus menekan kembali hasratnya dalam-dalam, demi kebaikan wanita itu sendiri.Albert memilih keputusan yang terakhir. Dia pun bangkit dari tidurnya dengan gerakan yang sangat hati-hati agar tidak membangunkan wanita cantik yang tengah tertidur nyenyak itu.Saat Albert kemudian akhirnya berdiri di atas lantai, dia menatap kue yang