Langit tampak cerah di luar. Hujan telah berhenti, menyisakan tetesan air pada tetumbuhan dan atap rumah, diterpa cahaya yang membuatnya berkilauan seperti berlian yang dihamburkan. Tanah masih lembab, tapi sinar matahari begitu gigih menembus awan-awan kelabu, membentuk segaris pelangi yang melengkung di antara awan.Sophia hanya mampu menatap pemandangan itu dari balik kaca jendela yang mulai berembun oleh napasnya yang berembus ke luar. Tangannya terasa dingin saat dia menempelkannya ke kaca seolah hendak menggapai apa yang ada di luar sana.Pasti menyenangkan rasanya berjalan-jalan di luar sehabis hujan. Udara dingin yang menyegarkan akan langsung menyambut. Tapi di dalam sini pun, aroma petrikor masih dapat tercium dengan jelas, Sophia menghirupnya dalam-dalam.“Kau mau melakukannya di luar?” tanya sebuah suara di belakang Sophia.Sophia lantas berbalik seolah tengah kepergok melakukan sesuatu yang salah. Baru saja hati dan pikirannya terasa tenang, tapi kini setelah berbalik dan
Albert duduk di kursi tinggi dengan eagle di mana dia meletakkan sketchbook-nya di sana.Saat langkah Sophia terdengar, Albert menoleh pada wanita itu dan tidak bisa mengalihkan pandangannya sedikit pun, sampai Sophia duduk di sofa beledu merah yang telah Albert atur ke depan jendela, dengan posisi sedikit menyamping sehingga ketika Sophia duduk di sana, sebelah wajahnya akan disinari cahaya yang terang sedangkan sebelahnya lagi agak redup.Sophia duduk dengan kaku, sehingga Albert menyuruhnya untuk rileks.Albert juga memberinya beberapa intruksi, “Bisakah kau sedikit menyender? Ya, seperti itu. Turunkan sedikit bahumu! Benar. Lalu silangkan kakimu dan arahkan matamu ke sini.”Semua intruksi itu Sophia lakukan. Kini posisi duduknya terasa lebih nyaman, walau begitu tubuhnya tidak bisa sepenuhnya rileks.“Atur napasmu, Sophie,” kata Albert lagi.Sophia mengatur napasnya.“Aku… akan mulai,” gumam Albert dengan tangan memegang pensil, tapi tatapannya tidak juga teralih dari Sophia.Cara
Semenjak hari itu, Sophia selalu datang ke lantai tiga setiap kali Albert memanggilnya ke sana. Sophia mencoba menghindar, tetapi semakin lama dia menyadari bahwa yang dirasakannya bukanlah penolakan, melainkan rasa menyenangkan yang membuatnya bersemangat. Hanya saja kesenangan itu diikuti oleh resiko yang sangat besar sehingga Sophia terkadang mencari-cari alasan untuk tidak datang.Namun seperti yang Albert katakan, dia tidak menerima penolakan.Setiap hari, biasanya pada malam hari, sepulang kerja Albert akan langsung menyuruhnya bersiap-siap. Lelaki itu seolah tidak memiliki rasa lelah bahkan setelah bekerja seharian dan melakukan dua jam sesi melukis bersama Sophia.Sophia sendiri selalu merasa energinya terkuras habis setiap kali sesi melukis itu berakhir.Tidak seperti di awal, kini Albert telah menggunakan kanvas yang berukuran sangat besar. Dia tampak selayaknya seorang seniman, yang sangat ahli. Melihat wajah seriusnya telah menjadi candu bagi Sophia akhir-akhir ini. Kemudi
Albert terdengar mendengus kali ini. “Kau memberitahunya yang mana?” tanya pria itu lagi.“Hm? Yang mana… maksudmu?”“Istri… atau wanita simpanan?”Setelah mendengar itu, Sophia mematikan keran lalu berbalik. “Tentu saja istri!” jawabnya setengah membentak. Dia mendelik kesal pada Albert lalu mengibaskan tangannya ke depan, sengaja agar air cipratannya mengenai pria itu.Albert langsung memejamkan mata.Sophia berbalik menuju kulkas, menyembunyikan senyum kemenangannya. Segelas air dingin lalu menyegarkan tenggorokan Sophia yang kering. Sophia mendesah lega, tidak tahu tatapan menusuk dari seseorang tengah tertuju padanya.Albert melangkah mendekati sang istri, berdiri di hadapannya, dan menunduk menatapnya.Sophia balas menatap bingung.Lalu Albert tiba-tiba saja menunduk dan mengecup bibir Sophia yang basah dan sedikit terbuka. “Bersiap-siaplah,” bisiknya, tersenyum puas melihat respon sang istri.Setelah itu, Albert berbalik pergi tanpa mengatakan sepatah kata pun lagi.***Rasa ma
“Kalau kau tidak berniat menjawab, lebih baik jangan. Aku tidak suka menunggumu berpikir terlebih dahulu,” gerutu Sophia dengan nada kesal yang sangat kentara.Albert langsung terkekeh ketika mendengarnya. Perhatiannya terlalu disita oleh sosok indah di dalam kanvasnya, padahal dia tidak memikirkan apapun selain itu. Albert bahkan harus terdiam beberapa saat untuk mengingat pertanyaan yang tadi Sophia lontarkan.Lalu Albert menjawab, “Bukan ‘siapa’, tapi lebih tepatnya adalah ‘apa’.”“Maksudmu?” sahut Sophia bingung.“Aku menggunakan model dari alam untuk lukisan pemandanganku. Sisanya… berasal dari imajinasi.”Sophia langsung terdiam dengan rahang yang seolah akan jatuh ke lantai.Apa Albert sungguhan berpikir bahwa Sophia akan memercayai hal itu? Karena lihatlah semua lukisan di dalam ruangan ini. Wanita yang sedang tertidur di ranjang dengan nuansa putih itu, atau wanita di taman bunga yang mengenakan topi jerami dan gaun biru itu, dan lukisan-lukisan dengan figur seorang wanita la
Sesampainya Sophia di dalam mall, dia langsung disambut oleh hiru-pikuk pengunjung. Tapi karena Sophia dalam keadaan mood yang baik, dia melangkah dengan percaya diri, memasuki satu toko ke toko yang lain. Dalam waktu setengah jam, Sophia sudah menenteng dua tas berisi pakaian dari toko yang berbeda.Sophia memang bukan jenis orang yang kalau pergi shoping itu membutuhkan waktu yang sangat lama. Sophia hanya butuh satu lirikan untuk tahu gaun mana yang harus dia beli.Sebelum berniat untuk pulang, Sophia berpikir untuk membelikan Albert beberapa barang juga. Dia pun masuk ke sebuah toko yang menjual berbagai fashion pria.Sophia hanya pernah melihat Albert menggunakan dua jenis pakaian, kemeja yang dibalut jas resmi untuk bekerja dan kaos polos dengan bawahan celana kain setiap di rumah. Sophia tidak bisa membayangkan bagaimana rupa Albert saat lelaki itu mengunjungi tempat-tempat umum tanpa alasan bekerja.Apakah Albert suka menggunakan syal? Pikir Sophia sembari meraba permukaan lem
Sepanjang perjalanan menuju rumah, Sophia tidak bisa berhenti memikirkan ucapan Daniel. Terkadang pria itu terasa akrab baginya, tapi juga menjadi sangat asing dengan cara yang sangat misterius di lain waktu. Sophia mencoba menganggap itu hal yang wajar karena mereka memang belum lama saling mengenal.Namun, kalau Sophia pikir-pikir lagi, sikap Daniel padanya memang sering kali terasa aneh, pria itu kerap kali mengatakan sesuatu yang Sophia tidak mengerti. Dan Sophia tidak merasa bahwa Daniel memiliki rasa berlebih padanya, itulah kenapa Sophia tidak lagi menolak kehadiran pria itu.Kalau saja Daniel bersikap seperti Jefrey yang secara terang-terangan menatap Sophia dengan tatapan suka, hubungan mereka tidak akan menjadi seperti ini sekarang, sejak awal Sophia sudah akan menjauhinya. Karena Sophia tidak ingin membuang-buang waktu kepada seseorang yang pada akhirnya akan kecewa.Sesampainya di rumah, Sophia berjalan gontai menuju kamar lalu meletakkan belanjaannya begitu saja ke atas r
Sepuluh menit berlalu, Sophia mulai gelisah dan bertanya-tanya ke mana perginya Albert. Padahal tadi lelaki itu yang lebih dulu menyuruhnya datang. Apa karena Sophia bersiap-siap terlalu lama? Ini hari Kamis, Albert juga seharusnya pergi bekerja.“Benar!” seru Sophia sembari bangkit dari duduknya. Dia baru ingat bahwa hari ini adalah Kamis. Apa karena Sophia terlalu lama, jadi Albert pergi ke kantor lebih dulu?Sophia berdecak pelan, lalu mengangkat rok gaunnya, melangkah lebar-lebar menuju pintu dengan ekspresi kesal di wajah cantiknya.“Seharusnya dia tidak menyuruhku datang kalau memang niatnya untuk pergi. Dasar!” gerutu Sophia.Tepat sebelum tangannya menyentuh knop pintu, benda itu berputar terlebih dulu lalu daun pintu itu terdorong terbuka dari luar. Dahi Sophia nyaris terantuk karenanya.Dan yang muncul di ambang pintu itu adalah Albert, yang memiliki ekspresi sama terkejutnya seperti Sophia.“Kemana saja kau?!” tanya Sophia, nadanya mengalun sedikit lebih tinggi dari biasa.