Albert dibasahi keringat. Napasnya masih sedikit ngos-ngosan saat dia masuk dan mendekati sang istri.“Kupikir kau di mana,” katanya diikuti senyum lega.Sophia menyingkirkan perasaan yang tadi dirasakannya ke pojok ruang di hatinya dan balas menatap Albert dengan senyuman tipis.“Kau habis lari pagi?” tanya Sophia. “Hm,” jawab Albert sebelum matanya memandang tubuh Sophia dari atas sampai bawah. “Kenapa kau mengenakan bajumu yang kemarin?”Rasanya semakin susah bagi Sophia untuk menahan senyumnya tampak tulus. “Karena… aku mau pulang.”“Pulang? Kalau begitu….” Albert membuka lemari kayu itu, yang Sophia harap tidak pernah dia lihat lagi. “Gunakanlah pakaian ini,” kata Albert.Senyum di bibir Sophia hilang sepenuhnya. Perasaan yang sempat dia pendam tadi membludak ke luar.“Kau serius menyuruhku mengenakan itu?” tanya Sophia.“Ya,” jawab Albert, lalu tersadar pada nada suara Sophia yang terdengar dingin. “Ah, baju-baju ini memang lama, tapi setidaknya lebih baik dari pada harus menge
“Pakaian-pakaian itu… milik siapa?” tanya Sophia.Albert langsung terdiam. “Aku mengerti sekarang,” ucapnya.Sophia mengernyit. Dari respon Albert saja Sophia sudah memiliki firasat bahwa dia tidak akan menyukai jawabannya.“Kau berpikir itu milik mantan wanita-wanitaku?”Pertahanan diri Sophia untuk tidak menunjukkan perasaannya yang sebenarnya kini semakin menipis. “Bukan kah memang begitu?”Albert terkekeh sumbang. “Aku mengerti kenapa kau berpikir seperti itu. Tapi untuk langsung kabur seperti tadi tanpa mencoba mencari kebenarannya terlebih dahulu dariku adalah tindakan yang salah, Sophie,” kata Albert.Sophia dibuat sedikit kesal karena kesannya Albert malah menyalahkannya, tapi Sophia menahan diri. “Sudahlah, kalau kau tidak mau menjawab pertanyaanku, aku akan pergi saja.”Albert segera menghalangi Sophia lagi.“Albert, aku ingin menenangkan diri. Saat ini aku tahu bahwa aku sedang tidak berpikir secara rasional jadi aku mohon… biarkan aku pergi.” Suara Sophia terdengar memelas
Aroma yang begitu khas tercium setiap kali Sophia menarik napas dalam-dalam. Udara terasa sejuk juga hangat menerpa kulitnya. Suara gemerisik dedaunan dan ranting patah terdengar bersamaan dengan cicit burung yang saling bersahutan. Sophia naik ke salah satu dahan pohon ek yang paling rendah lalu duduk di sana. Tekstur kasar dan berlumut pada kulit pohon membuat gaunnya kotor, tapi Sophia sama sekali tidak menaruh peduli.Sekembalinya dari apartemen Albert, Sophia langsung berganti baju dan hendak pergi ke luar. Namun ketika melihat Jordy, supir pribadi Albert, menunggunya di ruang tamu, Sophia mengurungkan niat. Albert pasti sudah berpesan pada Jordy untuk mengantar Sophia ke mana pun Sophia hendak pergi. Padahal Sophia ingin pergi seorang diri, tujuannya adalah Richmond Park atay Hyde Park, tempat mana pun yang berdekatan dengan alam.Sophia mengurungkan niatnya untuk pergi, dan di sinilah dia, di bawah pohon ek tempatnya dan Albert piknik saat itu.Sekarang Sophia datang ke tempat
“Ada apa, Miss?” tanya Jefrey di belakangnya. Lalu mengikuti arah pandang Sophia. “Albert Raymond, suami… Anda.” Jefrey kembali menggunakan bahasa yang sangat formal saat menggumamkan kalimat itu di belakangnya.Sophia kemudian berbalik pada Jefrey. “Kupikir sampai di sini saja, Sir Alfredo. Terima kasih sudah mengantarku,” kata Sophia dengan senyum ramah.Lalu tanpa menunggu jawaban apapun dari Jefrey, Sophia melanjutkan langkahnya yang sempat terhenti. Jantungnya berdetak semakin kencang pada setiap langkah yang dia ambil untuk mendekati suaminya.Sesaat setelah sampai di hadapan Albert, Sophia menyadari bahwa Albert ternyata tengah menatap ke belakang Sophia. Sophia yang penasaran ikut menoleh ke belakang dan mendapati kalau ternyata Jefrey masih berdiri di tempatnya tadi, menatap Sophia.“Siapa laki-laki itu?” tanya Albert, seperti yang sudah Sophia duga.Sophia berpikir sejenak. “Kalau tidak salah, dia menyebut namanya tadi Jefrey… Alfredo?” Sophia tampak tidak yakin. Dia ingat n
“Oh Dear, kau tidak perlu malu. Apa yang kemarin kau lakukan itu adalah sesuatu yang lumrah dilakukan oleh pasangan. Untuk apa merasa malu? Kalian juga sudah berstatus suami istri kan. Begini-begini aku pun pernah muda dan pernah merasakan namanya dimabuk cinta seperti kalian.”Sophia tersedak oleh tomat yang baru saja digigitnya di mulut. “Di-dimabuk c-cinta?!” pekik Sophia tertahan. “Dana, tolong jangan salah paham, kami tidak seperti itu.”Well, setidaknya tidak untuk Albert.Perumpamaan Dana memang terlalu berlebihan bagi Sophia.Sementara itu Dana menggeleng-geleng, tidak habis pikir pada majikannya ini. “Lalu kau sebut apa hubungan kalian kalau bukan itu?” tanya Dana sembari mencuci piring.Sophia memutar gelas air minumnya pelan. Dia bingung harus menjawab apa pada pertanyaan Dana itu. “Kita suami istri,” jawab Sophia pada akhirnya.Dana terkekeh. “Yah, kalian memang suami istri,” ucap Dana, tersenyum penuh arti.Sophia menunduk, menatap pantulan cahaya pada air di dalam gelasn
Albert menatap bangunan bak istana di hadapannya kemudian menghela napas. Sudah lama dia tidak mengunjungi kediaman Raymond ini—atau lebih tepatnya kediaman ayahnya. Setiap kali Albert datang berkunjung, yang terjadi setelahnya tidak pernah baik. Dia hanya datang jika sedang terpaksa, persis seperti sekarang.Millie Matthew, atau Millie Raymond, atau ibu tiri Albert, intinya… wanita itu menolak datang pada pertemuan bisnis yang hari ini telah diatur.Adrian Raymond, ayah Albert, mempercayakan istri mudanya itu untuk memulai bisnisnya sendiri di bawah naungan Raymond Group.Selama ini yang selalu menangani semuanya adalah sekretaris Millie sendiri. Tapi setiap kali ada pertemuan untuk membahas sesuatu, Millie-lah yang akan datang.Hari ini, Millie seharusnya memang datang ke pertemuan di kantor, tapi dia merengek seperti anak kecil untuk melakukan pertemuan itu di rumah karena kondisinya yang sedang tidak enak badan.Albert tentu saja menolak pada awalnya, karena untuk apa memaksakan d
Millie tersenyum sedu, lalu menatap Albert. “Aku sungguh-sungguh tidak menyangka bahwa kau akan mencintaiku sampai sebesar itu.”Albert sebenarnya tidak lagi marah pada wanita di hadapannya. Rasa amarah yang tertinggal dalam diri Albert sekarang hanyalah amarah pada dirinya sendiri, kecewa akan seberapa mudahnya dia ditipu oleh seorang wanita dengan kecantikannya.“Mencintaimu sebesar itu? Sekarang aku bahkan ragu bahwa aku pernah merasakannya.” Albert mendengus sinis.Perasaan yang dulu Albert rasakan pada Millie begitu menggebu-gebu. Pada usianya yang masih terbilang muda, Albert sangat naif. Karena sejak kecil dia dibesarkan dan dididik sebagai seorang pewaris, sehingga tidak pernah memiliki waktu atau berpikir untuk berurusan dengan wanita selain menyangkut bisnis. Kemudian tiba-tiba saja Millie Matthew datang, menggodanya.Seharusnya Albert curiga sejak awal akan kenapa tiba-tiba saja wanita dari kelas bawah itu datang padanya. Namun, saat itu Albert menganggap bahwa godaan itu a
Seperginya Albert dari kediaman Raymond, dia tidak langsung pulang dan memutuskan untuk mampir ke salah satu bar mewah. Albert mengajak serta Maurice untuk minum-minum, tapi asisten pribadinya itu menolak dan hanya menemani Albert sembari mengerjakan pekerjaannya di ruangan VIP itu.Albert tidak bisa pulang sebelum emosinya kembali membaik. Dia begitu marah pada Millie dan pada waktu yang terbuang sia-sia dengan menyetujui pertemuan itu.“Haruskah aku meneleponnya?” kata Albert berulang kali sambil menatap ke arah layar ponselnya.Maurice yang mendengar itu hanya menyahut di awal dan tidak lagi menghiraukan bossnya karena lelaki itu sudah tampak mabuk.“Sebaiknya Anda pulang, Sir. Istri Anda pasti sudah menunggu di rumah,” kata Maurice pada akhirnya.Albert menggeleng, meneguk segelas lagi minumannya. “Istriku yang cantik.” Albert mengusap layar ponselnya, pada wallpaper bergambar wajah Sophia yang tampak sangat cantik dibalut dress putih yang tampak bersinar diterpa sinar matahari, f
Albert membawa Sophia ke mobil dengan susah payah, menggendong istrinya yang terus saja memberontak. Pengunjung lain yang ada di luar mulai menatap mereka aneh, bahkan salah seorang penjaga mendekati Albert dengan tatapan penuh curiga.“Dia istriku,” sahut Albert tanpa menghentikan langkahnya, si penjaga pun kembali mundur.Pintu dibuka, Albert memasukkan Sophia ke dalam dan memasangkannya safety-belt juga.“Apa yang kau lakukan?! Biarkan aku pergi!” berontak Sophia dengan tenaga yang mulai melemah.Albert tidak menghiraukannya dan segera berlari ke sisi lain mobil kemudian masuk ke dalam. Tepat ketika Albert menyalakan mesin, Sophia membuka sabuk pengamannya lalu bergerak cepat membuka pintu. Tapi gerakan Albert lebih cepat lagi, menangkap tubuh istrinya itu dan mendorongnya ke kursi, lalu tanpa peringatan menyatukan bibir mereka dalam pagutan yang dalam.Rontaan Sophia melemah, tangannya yang mencengkeram lengan Albert per
Sophia benar-benar pergi menemui Alexander, tapi dia tidak menunggu besok melainkan melakukannya malam itu juga. Saat Sophia bertemu dengannya di lobi perusahaan, Alexander tengah dalam perjalanan untuk pulang. Dia terkejut ketika melihat Sophia berada di sana.“Sophia,” katanya.Sophia tersenyum ramah. “Halo, Alex.”Beberapa saat kemudian, keduanya telah berada di sebuah bar yang menyajikan anggur. Alexander sengaja mengatakan bahwa dia hendak mengunjungi tempat ini untuk melepas penatnya setelah seharian kerja. Sophia awalnya meminta waktu lelaki itu sejenak, tapi Alexander menolaknya mentah-mentah.“Aku pesan champagne,” kata Sophia pada si bartender yang duduk di balik meja. Dia mengangguk lalu mulai menyiapkan pesanan Sophia.“Aku juga,” kata Alexander ikut.Sophia menatapnya, dan Alex memberikannya senyum penuh arti. “Kau tahu? Sekarang setiap kali aku meminum champagne, aku selalu
Sore itu Sophia terbangun dalam keadaan linglung. Dia terdiam beberapa saat sebelum deringan di ponselnya berbunyi. Sebuah pesan masuk dari Luke Abraham.Sophia, yang belum benar-benar mengumpulkan kesadarannya pun langsung menatap layar ponselnya dengan mata memicing. Setelah beberapa hari tidak ada kabar, baru kali ini Luke kembali menghubunginya. Dan isi pesan tersebut membuat Sophia semakin keheranan.[Pulanglah sebentar ke Kediaman Abraham, aku punya berita penting yang harus aku beri tahukan padamu.]Sophia lalu bangun dari tidurnya dan pergi bersiap-siap sembari menduga-duga berita penting apa yang hendak Luke katakan.Apa Paula atau Billie akan menikah? Atau Luke sendiri yang sudah menemukan pasangan untuk membangun rumah tangga? Apa pun itu, Sophia tetap dibuat penasaran.Dua jam kemudian Sophia sampai di Kediaman Abraham, tepat saat makan malam. Namun, saat Sophia masuk, Luke sudah menyambutnya di depan pintu.Saat So
Sophia keluar dari kamarnya pada waktu makan siang. Saat itu, Albert sudah pergi dengan amarah yang tidak bisa terucapkan.Sophia menunduk, menatap makanan di piringnya tanpa minat.“Sophie? Kau baik-baik saja?” tanya Laura pada putrinya yang tampak sedu itu.“Hm,” sahut Sophia.“Apa kau dan Albert sudah berbicara?” tanya Laura lagi, menatapnya penasaran.Saat sedang berada di ruang santai tadi, Albert sempat mendatanginya untuk pamit. Laura tidak menyangka kalau menantu lelakinya itu akan bersikap penuh sopan padanya dan benar-benar menganggapnya sebagai ibu. Sudah terlalu lama Laura jauh dari kehidupan Sophia sehingga terkadang dia merasa dirinya tidak pantas untuk mencampuri urusan-urusan sang putri.Tapi kali ini, Laura begitu penasaran.“Ya, Mom,” jawab Sophia, diikuti helaan napas pendek.“Ada apa denganmu? Bukankah seharusnya kau senang dia pergi?” tukas Daniel
Sophia menjauh dari pintu saat Albert membukanya. Dia hendak menghindar supaya tidak ketahuan menguping, tapi selimut yang melilit tubuhnya itu terinjak sehingga Sophia terjatuh ke lantai dengan kedua tangan sebagai tumpuan.“Sophie!” seru Albert terkejut, lalu langsung berlari membantu Sophia untuk bangun. “Kau tidak apa-apa?” tanya Albert.Sophia bergeming. Dia memang tidak apa-apa, tidak ada yang sakit. Tapi menyadari bahwa dirinya baru saja hampir menyakiti sang janin di perut, membuatnya tertegun. Bagaimana kalau tadi dia tidak memiliki refleks cepat sehingga jatuh dengan perutnya yang mendarat lebih dulu? Sophia tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi. Memang belum genap satu bulan dia mengetahui dirinya tengah hamil, tapi Sophia telah mengikat hubungan yang sangat erat dengan bayi di dalam perutnya dan kehilangannya adalah hal terakhir yang Sophia inginkan.Melihat tatapan kosong di mata wanita itu, Albert menjadi cemas. &ldq
“Albert?” lirih sebuah suara.Albert langsung tersadar dan sedikit menunduk, melihat sepasang kelopak mata yang bergerak, walau dia tidak bisa melihat mata Sophia sepenuhnya, tapi Albert tahu istrinya itu telah terjaga.“Apa aku membangunkanmu?” tanya Albert kemudian. Detak jantungnya kembali melaju cepat, oleh rasa takut kalau Sophia akan tersadar dan menyudahi semuanya.“Hm,” sahut wanita itu.Dan beberapa menit berlalu, hal yang Albert khawatirkan tidak kunjung terjadi. Dia pun menunduk lagi dan melihat Sophia masih tidak bergeming.“Albert,” kata wanita itu.Tubuh Albert langsung menegang. “Ya?”“Bagaimana kabar Cecil?”“….”“Hm?” ucap Sophia lagi.“Kenapa kau bertanya?” sahut Albert.“Aku hanya penasaran. Bukankah tadi kalian saling mengirim pesan?”Sejenak, Albert
Albert menekan tubuh Sophia dengan tubuhnya sendiri. Memagut bibir ranum itu, melumatnya lembut, dan merasakan perlakuan yang sama pada bibirnya.Rasanya seperti di surga; memeluk dan mencium wanita yang dicintainya ini.Tidak ada yang bisa Albert pikirkan selain luapan emosi di antara mereka, yang dia tuangkan dalam rengkuhan penuh hasrat itu.Suara cecap bibir saling bersahutan di kamar dengan suasana sunyi, menambah semangat kedua insan yang tengah saling memadu kasih. Bahkan sekali pun oksigen di paru-paru masing-masing mulai menipis, mereka masih enggan untuk menjauh.Sampai akhirnya dada Sophia semakin terasa sesak, dia pun menepuk bahu Albert dan mendorongnya, namun menyisakan jarak yang tidak cukup jauh.“Albert?” lirih Sophia dengan napas memburu.Albert menyahutinya dengan gumaman singkat, lalu beralih untuk mengecup leher istrinya itu, memeluknya kian erat, seolah takut bahwa Sophia akan berubah pikiran dan mendorongny
Suara dering notifikasi dari ponsel kembali membuat dua pasang mata itu terbuka. Karena nada dering yang sama, mereka sibuk mengecek ponsel masing-masing yang diletakkan di nakas.Sophia yang lebih dulu menyadari bahwa itu bukan bunyi dari ponselnya, pun kembali berbaring tidur.Saking sunyinya suasana di antara mereka, Sophia sampai bisa mendengar suara jari Albert mengetuk pada layar, mengetik sesuatu di sana. Sophia tidak tahan untuk tidak bertanya-tanya siapa yang kiranya menghubungi Albert selarut ini.Pasti wanita itu.Sophia tersenyum getir, lalu memperbaiki posisi tidurnya agar lebih nyaman.Nyaris saja Sophia lupa, bahwa ada sesuatu yang sangat serius di antara dirinya dan Albert. Lagi-lagi Sophia mengingatkan diri sendiri untuk tidak lagi terjatuh pada pesona pria itu, untuk melupakannya dan membuat kehidupan baru dengan anaknya kelak.Sedang Sophia sibuk dengan pikirannya sendiri, Albert juga sama. Dia membalas sebuah email yang b
Albert duduk di samping Sophia dalam diam. Menatap udara dengan tatapan nyaris kosong. Sementara itu, Sophia sibuk mengetik sesuatu di laptopnya, yang Albert yakini pasti naskah novel yang tengah dia garap.Anehnya, keheningan di antara mereka kali ini terasa tidak menggangu. Seolah memang itulah yang mereka butuhkan. Duduk berdua, tanpa kata-kata yang akan berakhir menyakiti mereka sendiri.Albert teringat akan lima buku karya Sailendra A. di rumah yang baru-baru ini dia beli untuk memuaskan rasa rindunya pada sang istri. Albert memang baru membaca beberapa lembar saja, dia belum memiliki waktu luang untuk menghabiskan membaca semuanya.Namun, walau begitu, Albert sudah tahu bahwa Sophia adalah penulis yang hebat.Saat sedang memikirkan itu, perhatian Albert teralihkan oleh suara jari Sophia yang menari di atas keyboard-nya yang terdengar semakin keras. Ekspresi di wajah wanita itu juga tampak mengerut kesal.“Kenapa?” tanya Albert pad