Sophia bangun saat matahari tampaknya sudah terbit cukup tinggi. Tidak biasanya Sophia bangun sesiang ini karena sinar matahari biasanya pasti akan mengganggu tidurnya setiap pukul sepuluh pagi, menjadi alarm alami yang sengaja Sophia lakukan dengan membuka gorden kamarnya.Namun saat Sophia terbangun beberapa detik lalu, dia melihat gordennya tertutup dan kamarnya berada dalam remang-remang cahaya.Sophia menoleh ke samping tempat tidurnya dan mendapati sisi itu kosong.Tentu saja, Albert pasti sudah berangkat ke kantor.Sekalipun sudah bangun, tapi Sophia tidak juga bangkit dari ranjangnya. Sophia malah merapatkan selimutnya dan memejamkan matanya lagi.Namun belum sempat Sophia kembali ke alam tidur, suara pintu diketuk mengiterupsi.Sophia menduga kalau itu adalah Dana maka dia menggumamkan kata ‘masuk’ dan terkejut dengan suaranya sendiri yang terdengar sangat serak dan lemah.Dana masuk membawa nampan berisi makanan. Ekspresi di wajah keibuan wanita paruh baya itu tampak cemas.
Sophia tadi menganggap perkataan Albert yang mengatakan padanya untuk tidak pingsan dulu adalah hal yang sangat konyol dan berlebihan.Tapi sekarang, Sophia berbaring di atas ranjang dalam keadaan antara sadar dan tidak sadar. Tidak tahu bagaimana kondisinya bisa jadi seburuk ini, Sophia hanya ingat tadi karena terlalu pusing setelah telepon Albert, dia membaringkan tubuhnya lalu menutup mata.Tahu-tahu saat bangun, Albert sudah ada di kamarnya dengan seorang dokter wanita yang tengah memeriksa keadaannya.Sophia tidak kuasa membuka mata, dia hanya mendengar suara-suara di sekitarnya. Dan Sophia dapat mendengar seberapa cemasnya Albert, sesekali Sophia juga mendengar nada khawatir Dana, dan juga suara lembut nan profesional dokter yang menjelaskan mengenai kondisi Sophia.Sungguh, Sophia berharap bisa membuka mata, tapi sekujur tubuhnya terasa sakit dan dingin. Kepalanya berdentum sangat keras dan menyakitkan. Sedikit saja suara yang didengar telinganya akan membuat dentuman itu semak
“Pukul berapa sekarang?” tanya Sophia.“Sepuluh,” jawab Albert.“Malam?!” Sophia bertanya tidak percaya. “Jadi aku tidur selama itu,” gumamnya pada diri sendiri.Albert tersenyum datar. “Kupikir kau sama sekali tidak tidur, yang benar adalah kau pingsan selama hampir seharian ini.”Sophia mengibaskan tangannya acuh. “Aku tidak mungkin pingsan. Kau tidak bisa membedakan mana orang tidur dan pingsan ya?” Sophia masih tidak menyadari seberapa buruk kondisinya kali ini. Karena biasanya ketika demam, Sophia tidak pernah sampai jatuh pingsan begitu.Albert menatap Sophia tidak habis pikir.“Sudah kubilang, aku hanya kelelahan,” sambung Sophia lagi.Albert hanya menyahut dengan gumaman pelan.“Tidurlah,” katanya sebelum pergi membawa nampan, lalu kembali ke kamar Sophia dan langsung masuk ke kamar mandi. Setelah itu, Albert ke luar dan melangkah ke ranjang.“Kau mau apa?” tanya Sophia yang sedari tadi memperhatikan setiap gerak-gerik suaminya, alih-alih tidur seperti yang lelaki itu suruh.A
“Oh!” Sophia membulatkan matanya. Dia tidak menyangka kalau Albert akan mengatakan itu.‘… istriku.’ Sophia mengulang kata itu berulang kali dan tersenyum seperti orang bodoh.“Anggap saja ini timbal balik dari apa yang kau lakukan waktu itu.”Yang Albert maksud adalah ketika Sophia merawatnya saat dia sakit dulu.“Hm, baiklah. Cukup adil juga,” sahut Sophia kemudian, menyerah sekalipun dia masih merasa tidak enak.Mereka pun menghabiskan waktu mereka berduaan di kamar. Albert fokus dengan pekerjaannya, sedangkan Sophia duduk di sampingnya bergelung selimut sambil membaca buku dengan santai.“Aku ada pertemuan besok dengan editorku di luar,” ujar Sophia memecah keheningan syahdu di antara mereka.“Di mana?” tanya Albert.Sophia mengedikkan bahu. “Editorku yang akan memilih tempat besok. Seharusnya aku pergi pada akhir pekan nanti, tapi aku tidak punya waktu jadi memintanya untuk bertemu besok saja.”“Hm… pergilah kalau begitu.” Albert menggumam. Lalu dia tersadar pada apa yang Sophia
Sudah lama rasanya Sophia tidak pergi ke luar. Dia agak sedikit terkejut dengan banyaknya orang yang berlalu lalang di jalan. Tapi seperti biasa, Sophia selalu berhasil berpura-pura seolah dia tidak merasa terganggu sedikitpun. Terlebih ketika Sophia memasuki café, beberapa pasang mata langsung tertuju padanya. Café yang editor baru Sophia sarankan adalalh café yang cukup terkenal di kalangan sosialita. Jadi Sophia sudah bisa menduga bahwa beberapa dari mereka mungkin mengenalnya, entah sebagai putri bungsu Abraham yang sombong, atau sebagai istri bodoh Albert Raymond.Yang mana pun, Sophia menutup perasaannya agar dia tidak menaruh peduli dan pergi langsung ke ruangan VIP yang telah sang editor pesan. Ruangan itu sepi dan hanya tiga meja yang diisi oleh pengunjung, termasuk Sophia dan sang editor.“Miss Lina Huang?” sapa Sophia pada seorang wanita cantik yang tengah menatap ke luar jendela. Wanita itu menoleh. Matanya yang sipit menatap Sophia terkejut. “Miss Sailendra Audrie,” uc
Albert tengah duduk di kursi meeting itu seorang diri dengan ekspresi datar, makanan tersaji di hadapannya, dan sekretaris wanitanya membantu menyajikan pesanan makanan itu satu per satu. Ketika mendengar pintu terbuka, Albert menoleh dan terkejut melihat Sophia berada di sana. Albert lantas bangkit dan berjalan menghampiri wanita itu.“Sophie, aku tidak tahu kalau kau akan datang,” kata Albert, benar-benar masih tidak menyangka kalau istrinya itu ada di hadapannya. Albert melihat Sophia memeluk erat sebuah tas berbentuk persegi di dadanya.“Apa itu?” tanya Albert, menatap Sophia yang tidak kunjung bersuara.Sophia tadinya sedikit kecewa ketika melihat bahwa Albert ternyata hendak makan siang. Dan disajikan sendiri oleh sekretaris wanitanya yang Sophia tidak terlalu suka. Wanita itu bahkan secara terang-terangan menatapnya sinis di belakang Albert. Sophia yakin, kalau Albert berbalik sekarang, wanita bermuka dua itu pasti akan tersenyum manis tanpa dosa.“Aku kan sudah bilang akan me
Café itu cukup sepi oleh pengunjung. Ketika Sophia muncul di pintu, seorang pelayan datang dengan ramah menghampiri dan mempersilakan mereka masuk, lalu menuntun mereka berdua menuju ruang VIP. Sophia rasa Luke sudah memesan tempat terlebih dahulu. Café ini berinterior mewah sekaligus klasik. Pelayanannya pun setara dengan restoran berbintang lima.Saat pintu VIP terbuka, Sophia mengedarkan pandang dan tidak menemukan pengunjung lain selain kakaknya yang duduk seorang diri di meja yang terletak di tengah ruangan. Saat mata mereka bertemu, Sophia bisa melihat senyum di bibir lelaki itu, atau itu hanya khayalannya saja? Karena tepat setelah mata Luke melihat ke arah Albert, ekspresinya berubah masam.Sophia dan Albert pun melangkah mendekati meja Luke dan duduk di hadapan lelaki itu.“Kau tidak bilang akan mengajaknya,” ujar Luke menatap Sophia.“Kau juga tidak bilang padanya untuk datang sendiri,” sahut Albert dengan senyum datar.Sophia memandang keduanya bergantian lalu berdeham. So
“Sophie! Wah, ini benar-benar kebetulan yang tidak disangka,” kata Daniel sesaat setelah dia sampai di hadapan Sophia, menatap Sophia dan Albert bergantian.Sophia tersenyum sedikit. “Benar, kebe—”“Lalu kenapa?” Albert tiba-tiba menyela.Sophia memiringkan kepalanya bertanya apa yang lelaki itu maksud.Albert kemudian menatap Sophia. “Kenapa memangnya kalau ini hanya kebetulan? Tidak ada artinya. Ayo, cepat, kita harus segera membeli bahan-bahan sebelum waktu makan malam lewat,” kata Albert dengan wajah memberengut.Sophia pun menyadari alasan kenapa Albert bersikap seperti itu, dia menyahut cepat, “Kau benar, kita harus cepat.” Tapi Sophia tentu saja tidak berniat untuk mengabaikan Daniel begitu saja. “Kau sudah makan malam?” bisik Daniel di saamping Sophia. Suaranya cukup besar untuk didengar oleh Albert, tapi Albert tidak mengatakan apapun.Sophia menggeleng. “Kami berbelanja untuk memasak makan malam,” jawabnya.“Ah begitu.” Daniel mengangguk-anggukkan kepalanya mengerti. Ketika