“Nah, gaun ini sangat pas di tubuhmu, Nina,” kata Alfian, wakil direktur yang baru saja bergabung di perusahaan yang juga menjadi atasan Venina untuk sementara waktu.
"Tapi… gaun ini…” Venina terdiam, merasa kesulitan untuk mengungkapkan ketidaknyamanannya. Dia tahu bahwa dia harus berbicara dengan hati-hati agar tidak menyinggung perasaan Alfian, tetapi sulit untuk menyembunyikan ketidaknyamanannya dengan gaun tersebut. “Sebaiknya saya mengganti pakaian saya, Pak. Saya tidak ingin mempermalukan Bapak.”
“Oh, ayolah, Nina! Tidak ada yang salah dengan gaunmu,” sahut Alfian dengan santai tanpa nada melecehkan. “Lagipula kita bukannya pergi ke acara resmi. Jadi, tidak perlu berpakaian terlalu formal.”
Venina mengangguk pelan, tapi hatinya tetap gelisah. Dia merasa canggung saat melihat sorot mata terkesan Alfian yang memandangnya. "Kamu cantik, dan saya yakin siapa pun yang melihatmu malam ini, dia akan terpikat. Jadi, sebaiknya kamu lebih percaya diri, Nina," tambahnya dengan nada meyakinkan.
Alfian sangatlah berbeda dengan Erlangga, pembawaan pria itu terasa lebih santai dan menyenangkan. Dia bisa mengubah suasana yang kaku dan menegangkan menjadi lebih hangat.
Tubuh Venina tersentak ketika merasakan tangan Alfian melingkar di pinggangnya. Dia menahan diri untuk tidak menepisnya, meskipun dalam hati dia merasa sedikit tidak nyaman oleh keberanian pria itu.
Venina menggigit bibir bawahnya dengan gemetar, dia mengikuti langkah Alfian ke arah ballroom dengan hati yang berdebar kencang. Gaun merah yang dia kenakan terasa seperti belenggu yang mengikatnya, terlalu ketat dan terlalu pendek menurutnya. Namun, dia berusaha menahan diri untuk tidak menunjukkan ketidaknyamanannya.
"Setidaknya coba sedikit," goda Alfian sambil menawarkan segelas wine kepadanya. "Rasanya tidak seburuk itu, kok."
“Maaf, Pak. Tapi saya tidak biasa minum,” tolak Venina sehalus mungkin. Tapi keengganannya hanya memancing reaksi dari Alfian.
“Astaga, memangnya berapa sih umurmu?” tanya Alfian dengan nada tidak percaya, membuat Venina merasa tersudut.
Venina hanya menundukkan kepalanya dengan tangan yang terus memeluk tubuhnya.
“Kamu harus belajar, Nina. Pertemuan dan perjamuan ini mungkin akan menjadi bagian kehidupanmu,” sambung Alfian, dia masih terus berusaha meyakinkan Venina.
Akhirnya Venina luluh. Dia merasa tidak enak dengan Alfian. Diambilnya gelas itu lalu disodorkannya ke dalam mulutnya.
“Tidak terlalu buruk, kan?” tanya Alfian dengan senyum puas, melihat Venina meminum wine-nya dengan canggung.
Venina mengangguk, meskipun dia masih merasa tidak nyaman dengan sensasi pahit dan manis yang menyelinap ke tenggorokannya.
Dia menggenggam erat gelas di tangannya saat pandangannya tak sengaja menangkap sosok Erlangga yang tengah berdiri di sudut ruangan dengan penampilan yang begitu segar dan menawan. Pria itu terlihat sangat tampan ketika sedang berbicara dengan para koleganya.
“Wow, pelan-pelan, Nina,” ujar Alfian ketika melihat Venina menghabiskan minumannya dalam sekali teguk.
“Rasanya cukup manis dan juga pahit untuk saya. Tapi saya menyukainya,” gumam Venina sambil terus memandang ke arah Erlangga.
Alfian tersenyum bangga, dia terlihat seperti seorang guru yang baru saja berhasil mengajar muridnya. “Kamu akan semakin menyukainya ketika kamu sudah terbiasa dan menerima rasanya, Nina,” pungkasnya sambil mengisi gelas Venina kembali.
Venina meneguk minumannya kembali ketika melihat Erlangga tengah melangkah ke arahnya. Tenggorokannya sakit dan kepalanya terasa pusing saat menghirup aroma maskulin pria itu di dekatnya.
“Akhirnya kau muncul juga.” Alfian menepuk bahu Erlangga dengan santai. “Apa kabar kau, Ngga?”
Venina merasa tubuhnya semakin ringan. Samar-sama dia mendengar percakapan antara Alfian dan Erlangga.
“Bagaimana dengan Nathalia? Apa dia masih belum kembali?” tanya Alfian, mencoba untuk mengalihkan pembicaraan.
Erlangga tidak menjawab, tapi ekspresinya mengeras. Venina bisa merasakan ketegangan yang mengisi udara seketika.
“Dia menikah denganmu saat di puncak kariernya, Ngga. Wajar saja kalau dia merasa terkekang di dunia kita. Kau harus mengerti dan tidak bisa mengekangnya sesuai keinginanmu.”
Venina mengintip ke arah Erlangga, melihat bagaimana wajahnya berubah. Ada rasa sakit yang tersembunyi di balik ekspresi wajahnya yang tegang.
“Maaf, Pak. Kalau boleh, saya ingin kembali,” kata Venina pada Alfian, mencoba untuk menjauh dari Erlangga.
Alfian menatapnya dengan senyuman yang misterius. “Masih banyak yang belum kamu nikmati, Nina. Kamu yakin mau kembali secepat ini?” godanya.
Venina mengangguk, mencoba untuk menyembunyikan ketidaknyamanannya. “Kepala saya pusing, Pak,” ucapnya dengan penuh harap.
Alfian tertawa pelan, seolah menikmati situasi ini. “Kalau begitu, biar Angga saja yang mengantarmu,” ujarnya sambil menunjuk Erlangga yang berdiri di dekat Venina.
“Ah, tidak usah, Pak!” tolak Venina cepat. "Saya bisa pergi sendiri."
Tanpa menunggu reaksi Alfian, Venina sudah lebih dulu berbalik. Dengan sisa-sisa kesadarannya dia segera pergi dari sana. Mengabaikan perasaan ganjil yang mengusik hatinya.
Tubuh Venina terhuyung-huyung. Entah karena efek minuman atau karena ujung sepatunya yang terlalu tinggi. Dia hampir terjatuh dan menabrak sesuatu di dekatnya kalau saja tidak ada tangan kokoh yang menahan tubuhnya.
Venina terdiam, tak mampu berkata-kata ketika melihat sosok yang menolongnya. Hatinya berdebar kencang, tidak bisa mengabaikan getaran aneh yang muncul di dalam dirinya setiap kali dia berada di dekat pria itu.
“Lepas!” seru Venina sambil menghempaskan tangan Erlangga di tubuhnya.
“Kamu terlalu banyak minum. Biar saya mengantarmu,” tawar Erlangga dengan datar.
“Saya bisa kembali sendiri. Lebih baik kamu pergi dari sini!” Venina sendiri terkejut dengan nada bicaranya. Tetapi dia mencoba tidak peduli.
Dengan langkah tertatih-tatih, akhirnya Venina sampai di dalam lift. Namun, sebelum pintu tertutup, dia melihat Erlangga mengikutinya.
Mereka hanya berdua di dalam lift yang sempit itu. Tetapi tidak ada seorang pun yang bicara. Venina terus memeluk tubuhnya yang terasa dingin. Sementara Erlangga terus memandangnya.
“Jangan pedulikan saya!” ujar Venina dengan sinis sambil mengembalikan jas yang baru saja disampirkan Erlangga di bahunya.
“Jangan keras kepala, Nina. Saya tahu kamu tidak nyaman mengenakan gaun itu.”
Venina tersenyum pahit. Sementara kepalanya terus berdenyut-denyut. “Itu bukan urusan Bapak.”
“Kenapa kamu harus memaksakan diri seperti ini? Apa kamu tidak bisa menolak dan melawan jika merasa tidak nyaman?” desak Erlangga dengan dingin dan tegas “Kenapa kamu begitu mudah tergoyahkan?”
Venina merasa tersinggung dengan kata-kata itu. Dia melangkah maju sampai menabrak tubuh Erlangga. “Ya, saya memang seperti ini, Pak. Sulit melawan dan menolak. Dan hati saya juga mudah goyah. Jadi, sebaiknya Bapak hentikan pembicaraan ini. Sebelum saya salah paham dengan perhatian yang Bapak berikan.”
Ketika pintu lift terbuka, Venina melangkah lebih dulu. Namun, baru beberapa langkah, tubuhnya sudah limbung dan jatuh ke lantai.
Venina terus mengumpat dalam hatinya. Dia merutuki semua kesialannya. Diusapnya wajahnya kasar dan ditamparnya pipinya berkali-kali untuk menjaga kesadarannya.
“Apa yang Bapak lakukan? Tolong turunkan saya!” pekik Venina ketika merasakan tubuhnya melayang dalam pelukan Erlangga.
“Tunjukkan saja di mana kamarmu. Saya akan menurunkanmu di sana!” seru Erlangga dengan nada tak terbantahkan.
Venina menyandarkan kepalanya di bahu pria itu. Entah mendapat keberanian dari mana. Minuman terkutuk itu benar-benar membantunya. Bahkan, dia tidak sadar ketika Erlangga membawanya masuk ke kamar lain.
“Ini bukan kamar saya! Kenapa Bapak membawa saya ke sini?”
“Kenapa Bapak membawa saya ke sini?” ulang Venina dengan dingin setelah Erlangga menurunkan tubuhnya di atas ranjang. “Ini kamar saya. Gunakanlah saja kamar ini karena saya bisa memesan kamar lain,” sahut Erlangga dengan santai. “Nanti saya akan meminta bellboy untuk memindahkan barang-barangmu.”Venina merasa api kemarahan mulai membara di dalam dirinya. Dia menahan diri untuk tidak langsung meledak. “Tidak perlu, saya ingin tidur di kamar saya sendiri,” ucapnya dengan nada tegas.Namun, Erlangga menahan lengan Venina dengan lembut. “Mau sampai kapan kamu bersikap seperti anak kecil begini, Nina?” ujarnya dengan suara yang tenang, tetapi penuh dengan penegasan.Emosi Venina mendidih mendengar celaan tersebut. Dengan gerakan cepat, ia menarik tangannya kembali, tatapannya tajam ke arah Erlangga. “Sampai Bapak berhenti mempermainkan saya,” sahutnya dengan suara yang dipenuhi dengan kekesalan.“Mempermainkanmu?” tanya Erlangga dengan alis terangkat, tampak bingung dengan tuduhan terseb
"Apa yang kamu lakukan, Nina?" suara itu tiba-tiba terdengar, mengoyak keheningan dan membuat bulu kuduknya merinding.Venina terperanjat mendengar suara itu. Mulutnya setengah terbuka dan napasnya tercekat ketika tatapannnya berserobok dengan mata Alfian.“Kamu sedang apa?” ulang Alfian lagi dengan wajah tenangnya. Matanya tidak terlepas dari wajah Venina.Venina menoleh dengan lambat, napasnya tercekat ketika mata bertemu dengan sosok Alfian. Tatapannya terpaku pada wajah tenang pria itu, namun tubuhnya bergetar dalam ketegangan yang tak terlukiskan."Saya.. saya harus pulang, Pak," ucap Venina dengan suara yang terbata-bata, mencoba menahan kecemasan yang melanda dirinya. Kehadiran Alfian membawa sedikit kelegaa
“Berengsek! Apa-apaan ini?”Erlangga duduk di belakang meja kerjanya dengan wajah yang berkerut kesal, menatap surat pengunduran diri Venina yang tergeletak di depannya. Tangannya meremas-remas kertas itu dengan gerakan kasar seolah-olah ingin menghancurkannya. Pikirannya masih terus memutar balik momen saat dia menyadari Venina telah menghilang dari kamar hotelnya. Rasa kecewa dan amarah bercampur aduk dalam dirinya."Sialan!" bentak Erlangga, membuang surat itu dengan kasar ke dalam kotak sampah di sebelah meja. Tapi bahkan ketika surat itu lenyap dari pandangannya, perasaan kecewa tak kunjung pergi.Alfian, yang duduk di sudut ruangan dengan santainya, mengangkat cangkir kopinya sambil menatap Erlangga dengan rasa pengertian yang dalam.“Sudahl
Setelah melepaskan diri dari Erlangga, Venina menjauh beberapa langkah, mencoba meredakan detak jantung yang berdegup kencang di dadanya. Matanya memandang Erlangga dengan tatapan tajam, mencoba menyingkirkan kecemasan yang merayap di dalam dirinya.“Hal apa lagi yang perlu dibicarakan di antara kita?” tanyanya sambil berusaha untuk tetap tenang.Namun, semua usahanya itu sia-sia ketika Erlangga mendekat, langkahnya mantap dan penuh keyakinan. Venina merasakan darahnya berdesir seketika, dan getaran itu semakin kuat ketika pria itu berbicara di telinganya. "Saya tidak bisa menerima surat pengunduran dirimu begitu saja, Venina," bisiknya dengan tegas, suaranya terdengar berat di telinganya.Venina menahan napasnya sejenak, mencoba meredakan denyutan yang semakin keras di dadanya. Dia membalas tatapan Erlangga, mencoba menunjukkan keteguhan hatinya. "Saya sudah memutuskan untuk berhenti bekerja. Saya tidak ingin kita berurusan lagi.”Erlangga tersenyum pahit. Dia mendekat lagi, tanganny
“Kamu pasti bisa melewatinya, Nina,” kata Venina pada dirinya sendiri dengan penuh semangat. Dia melangkah dengan langkah pasti menuju meja kerjanya. Di sela-sela langkahnya, dia mencoba menenangkan diri dari kecemasan yang memenuhi pikirannya. Sudah beberapa hari sejak dia kembali ke kantor setelah pembicaraannya dengan Erlangga. Dan kini Venina merasa sudah lebih santai karena tidak perlu berhadapan dengan pria itu lagi. Setidaknya sampai hari ini. Ketika dia mendengar suara langkah kaki mendekat, Venina menoleh dan melihat Alfian sudah berdiri di depannya.“Selamat bergabung kembali, Nina. Saya senang akhirnya kamu memutuskan untuk bekerja bersama kami lagi,” ujarnya dengan pembawaannya yang tenang dan senyum khasnya yang seakan tidak pernah hilang dari bibirnya. Venina membalas senyuman itu dengan canggung. Meskipun dia bersyukur tidak lagi harus berhadapan dengan Erlangga setiap hari, kehadiran Alfian dengan aura misteriusnya juga tidak membuatnya merasa lebih baik. "Terima k
Erlangga berjalan dengan langkah cepat di lorong kantor, matanya terus menatap jam tangannya yang menunjukkan waktu yang semakin mendesak. Dia tampak cemas dan gelisah, mengingatkan Emma, sekretaris barunya, untuk mengatur ulang jadwalnya hari ini."Tolong atur ulang jadwal saya hari ini. Dan tunda semua rapat. Saya sedang ada keperluan di luar," perintah Erlangga, suaranya dingin tanpa sepatah pun raut wajahnya mengarah pada Emma.Emma menatap Erlangga dengan sikap yang lugas, menerima perintahnya tanpa ragu. "Baik, Pak," jawabnya tanpa ragu.Erlangga melangkah meninggalkan meja kerjanya dengan langkah cepat, meninggalkan Emma yang sedang menyiapkan jadwalnya. Langkahnya cepat dan mantap, seolah ada sesuatu yang mengejar di belakangnya."Oh ya… satu hal lagi! Jan
Venina kembali ke kantor dengan langkah gontai setelah menyelesaikan tugas yang diberikan Alfian. Wajahnya masih memendam kelelahan ketika dia melangkah keluar dari lift. Namun, langkahnya terhenti mendadak saat dia bertemu dengan pria yang sama yang telah membuatnya merasa tidak nyaman di ruang direksi kemarin.Pria berperut buncit itu menatapnya dengan sorot mata penuh penilaian, membuatnya ingin segera pergi dari sana.“Kopi buatanmu kemarin enak sekali. Aku ingin kamu membuatkannya lagi dan mengantarkannya ke ruanganku,” ujar pria itu dengan senyum yang menyiratkan keangkuhan di bibirnya.Venina hanya terdiam, tidak berani menatap langsung pria itu. Jemarinya meremas-remas ujung roknya, mencoba menenangkan diri. “Kenapa? Kamu tidak mau melakukannya karena saya bukan direktur utama?” Pria itu semakin mendekat, membatasi ruang gerak Venina.“Baik, Pak. Tunggu sebentar,” Venina menjawab singkat, berusaha menghindar dan melangkah menjauh. Diusapnya wajahnya dengan kasar ketika pria
Suara langkah kaki Nathalia merayap pelan dari belakang, merangkul tubuh Erlangga dengan lembut. Hangatnya pelukan itu seolah menembus masalah yang mengganggu pikiran pria itu.“Kamu lagi memikirkan apa, sih?” tanya Nathalia sambil menyematkan dagunya di bahu Erlangga, mencoba mencari tahu apa yang mengganggu pikiran suaminya. “Soal pekerjaan yang masih belum selesai?”Erlangga menarik nafas dalam-dalam, membiarkan aroma rokoknya menyatu dengan udara sebelum menjawab, “Bukan apa-apa.”Namun, Nathalia bisa melihat kegelisahan di matanya. Dia mengambil rokok yang terselip di bibir suaminya dengan penuh kelembutan, menghirupnya dalam-dalam seolah meminum udara segar di pagi hari. Setelah mengembuskan asapnya dengan penuh kenikmatan, dia mengembalikan rokok itu ke bibir Erlangga.
Venina sedang menyiapkan teh di dapur ketika Erlangga menghampirinya dengan wajah serius. "Nina, kita harus bicara soal Erna," ujarnya dengan nada tegas.Venina menghela napas panjang, sudah menduga arah pembicaraan ini. "Ada apa lagi, Mas?""Saya rasa kita harus lebih tegas. Erna harus menggugurkan kandungannya," Erlangga berkata tanpa basa-basi.Cangkir teh di tangan Venina hampir terlepas. Dia menatap suaminya dengan tatapan tak percaya. "Apa? Mas bercanda, kan?""Saya serius, Nina. Ini demi masa depan Erna. Dia masih terlalu muda, belum siap jadi ibu," Erlangga bersikeras.Venina menatap suaminya dengan tajam, "Mas, aku nggak nyangka kamu bisa ngomong kayak gitu. Erna itu anak kita, darah daging kita sendiri. Gimana bisa
Erlangga berdiri kaku di depan ruang pemeriksaan, matanya tak lepas dari pintu yang tertutup rapat, seolah-olah bisa menembus dinding untuk melihat keadaan putrinya. Kekhawatiran terukir jelas di wajahnya, campuran antara rasa takut akan kondisi Erna dan amarah yang masih bergolak dalam dadanya.“Erna…," bisiknya berulang-ulang, suaranya serak oleh emosi yang tak terbendung. Tangannya mengepal dan mengendur secara bergantian, menunjukkan pergulatan batin yang hebat di dalam dirinya.Venina berdiri di sampingnya, berusaha menenangkan suaminya dengan kata-kata lembut di tengah kecemasannya sendiri. "Erna akan baik-baik saja, Mas. Dia gadis yang kuat."Erlangga menoleh tajam, rahangnya mengeras. Dia masih belum bisa memaafkan Venina yang telah menyembunyikan kehamilan Erna darinya. "Baik-baik saja?" desisn
Erlangga dengan mata berkilat penuh amarah, menerobos masuk ke ruang rapat tanpa peduli tatapan kaget karyawan di sekelilingnya. Fokusnya hanya tertuju pada satu orang: Arya Prasetya.Tanpa basa-basi dan tanpa peduli dengan kehadiran orang lain di ruangan itu, Erlangga mencengkeram kerah kemeja Arya dengan kekuatan yang bahkan mengejutkan dirinya sendiri."Brengsek kau!" desis Erlangga, giginya bergemeletuk menahan amarah yang sudah di ujung tanduk.Arya, yang biasanya tampil penuh wibawa, kini hanya bisa pasrah. Dia tahu hari ini akan tiba, hari di mana Erlangga akan datang padanya.Begitu berada di luar, Erlangga melepaskan cengkeramannya hanya untuk melayangkan pukulan telak ke wajah Arya. Suara debuman keras terdengar ketika tubuh Arya terhempas ke dinding. Namun, Ar
"Mama, cukup!" teriak Erlangga, suaranya bergetar menahan amarah. "Berhentilah menyakiti Venina dan menghancurkan keluarga saya!"Amita mendengus keras, matanya menyipit penuh kebencian. "Menghancurkan keluargamu? Justru wanita itu yang menghancurkan segalanya!" Dia menunjuk Venina dengan jari gemetar. "Kamu tidak bisa memperlakukan Mama seperti ini hanya karena wanita penghasut seperti dia, Angga!"Erlangga menarik napas dalam, berusaha mengendalikan emosinya. "Mama, please. Hentikan semua ini."Namun Amita seolah kerasukan. Dia melanjutkan dengan suara melengking, "Kamu tidak bisa menjadi anak durhaka hanya karena membela wanita penggoda yang telah membunuh Nathalia dan membuat Erna kehilangan kasih sayang!"Kata-kata itu menjadi pemicu yang menghancurkan pertaha
Mobil melaju dalam keheningan yang mencekam. Venina mencengkeram setir erat, sesekali melirik ke arah Erna yang duduk diam di sampingnya. Putrinya itu tampak tenggelam dalam pikirannya sendiri, matanya kosong menatap jalanan yang bergerak cepat di luar jendela.Venina ingin sekali memecah kesunyian ini, ingin memeluk Erna dan mengatakan bahwa semuanya akan baik-baik saja. Namun, dia tahu ini bukan saat yang tepat. Luka dan kebencian yang selama ini tertanam di hati gadis itu tidak bisa begitu saja hilang dalam sekejap.Erna, di sisi lain, merasakan pergolakan batin yang hebat. Selama ini dia selalu percaya bahwa ibunya adalah wanita jahat yang telah menghancurkan keluarganya. Tapi hari ini, untuk pertama kalinya, dia melihat sisi lain dari Venina. Sisi seorang ibu yang rela berjuang melawan dunia demi anaknya.Setel
Ketegangan memenuhi ruangan itu seperti listrik statis yang siap meledak. Amita, dengan wajah merah padam dan mata berkilat-kilat penuh amarah, menatap Venina seolah-olah ingin menghancurkannya di tempat."Berani-beraninya kamu datang ke sini!" desis Amita, suaranya penuh kebencian. "Kamu pikir kamu siapa, tiba-tiba muncul dan merusak segalanya?"Venina, yang berdiri tegak di ambang pintu, tak gentar menghadapi tatapan membunuh mertuanya. Matanya terfokus pada Erna yang terbaring pucat di ranjang pemeriksaan."Erna, Sayang," panggil Venina lembut, mengabaikan Amita. "Kamu nggak apa-apa?"Amita mendengus keras. "Jangan pura-pura peduli, dasar wanita jalang! Kamu tidak punya hak atas Erna!"Venina menoleh tajam ke arah Amita, m
Erna meringkuk di sudut kamarnya, tubuhnya gemetar hebat seolah dilanda demam. Matanya yang sembab menatap kosong ke dinding, sementara tangannya tak henti-hentinya mengusap perutnya yang masih rata. Pikirannya berkecamuk, suara-suara dalam kepalanya saling berteriak."Om Arya..." nama itu terucap lirih, penuh kepedihan. Pria beristri itu, yang hanya menghabiskan satu malam bersamanya, kini telah meninggalkan jejak yang tak terhapuskan dalam hidupnya. Erna terisak, "Kenapa? Kenapa harus seperti ini?"Pikirannya terus berkecamuk, bayangan-bayangan mengerikan berkelebat di benaknya. Wajah kecewa papanya, tatapan jijik dari masyarakat, masa depannya yang hancur... tapi kemudian, dia membayangkan senyum seorang bayi, tawa kecil yang mungkin tak akan pernah dia dengar. Air matanya kembali mengalir deras.Suara ketukan pi
Erna merebahkan tubuhnya di atas ranjang, matanya memandang kosong ke arah langit-langit kamar. Kepalanya berdenyut-denyut menahan gejolak emosi yang bergejolak di dalam dirinya.Sepeninggal Om Arya, gadis itu merasa hidupnya seolah runtuh berkeping-keping. Hatinya seakan terkoyak, meninggalkan luka yang mungkin tak akan pernah sembuh. Semua kebahagiaan yang sempat dirasakannya kini berganti dengan rasa sakit yang menyeruak.Tanpa terasa, air mata mulai mengalir di pipinya. Erna menangis dalam diam, tak sanggup lagi menahan gejolak perasaannya. Kenapa Om Arya tega membuangnya begitu saja? Kenapa pria itu begitu keras kepala dengan keputusannya?Erna mengerang frustrasi, menutupi wajahnya dengan bantal, berharap bisa meredam tangisannya. Namun, isak tangisnya tetap lolos, membuat tubuhnya berguncang hebat.
Arya turun dari ranjang, berlutut di samping Erna. Dengan lembut ia mengangkat dagu gadis itu, memaksa Erna menatap matanya. "Dengarkan Om, Erna. Kamu adalah gadis yang luar biasa. Kamu cantik, pintar, dan punya hati yang baik. Suatu hari nanti, kamu akan menemukan pria yang tepat untukmu. Pria yang bisa mencintaimu sepenuhnya, tanpa beban masa lalu atau kewajiban lain.""Tapi aku maunya Om Arya!" Erna berseru frustasi, air matanya mengalir deras. "Apa kurangnya aku, Om? Apa yang harus aku lakukan supaya Om mau sama aku?"Arya menggeleng pelan, matanya menyiratkan kesedihan yang mendalam. "Bukan masalah kurang atau lebih, Erna. Ini masalah benar dan salah. Hubungan kita... ini salah. Harus berakhir di sini.""Nggak! Aku nggak mau!" Erna mencengkeram lengan Arya erat. "Om nggak bisa ninggalin aku gitu aja setelah apa