"Apa yang kamu lakukan, Nina?" suara itu tiba-tiba terdengar, mengoyak keheningan dan membuat bulu kuduknya merinding.
Venina terperanjat mendengar suara itu. Mulutnya setengah terbuka dan napasnya tercekat ketika tatapannnya berserobok dengan mata Alfian.
“Kamu sedang apa?” ulang Alfian lagi dengan wajah tenangnya. Matanya tidak terlepas dari wajah Venina.
Venina menoleh dengan lambat, napasnya tercekat ketika mata bertemu dengan sosok Alfian. Tatapannya terpaku pada wajah tenang pria itu, namun tubuhnya bergetar dalam ketegangan yang tak terlukiskan.
"Saya.. saya harus pulang, Pak," ucap Venina dengan suara yang terbata-bata, mencoba menahan kecemasan yang melanda dirinya. Kehadiran Alfian membawa sedikit kelegaan, namun ketegangan masih menguasai dirinya.
Alfian mengernyitkan dahinya. “Pulang?” tanyanya sambil bersedekap.
Venina menganggukan kepalanya sambil mengalihkan pandangannya.”Saya… saya harus pergi sekarang, Pak.”
“Apa yang terjadi, Nina? Kenapa harus terburu-buru seperti ini? tanya Alfian yang kini melangkah mendekat ke arah Venina. “Bukankah masih ada beberapa pekerjaan yang harus dikerjakan di sini?”
Venina terdiam sejenak, mencoba merumuskan jawaban yang tepat. Namun, sebelum dia bisa mengatakannya, Alfian sudah menariknya menjauh ke tempat yang lebih sepi.
"Tunggu sebentar di sini," bisik Alfian sambil memberikan jaketnya kepada Venina sebelum melangkah pergi.
Terdiam dan bingung, Venina berdiri di tempatnya dengan hati yang berdebar kencang. Dia tidak tahu apa yang terjadi atau mengapa Alfian menariknya menjauh. Tetapi ketika dia mendengar suara Erlangga yang datang dari kejauhan, dia mulai memahami situasinya.
Dengan perasaan yang tercampur aduk, Venina merasa bahwa dia harus segera pergi dari sana dan menghilang secepatnya. Dia tidak ingin bertemu dengan Erlangga lagi setelah apa yang terjadi semalam. Rasa malu dan kecemasan mencampuri pikirannya saat dia melangkah menjauh dengan langkah cepat.
Tanpa berpikir panjang, Venina bergegas mencari taksi untuk membawanya ke bandara secepat mungkin. Matanya terus memantau sekitar, khawatir Erlangga akan muncul kapan saja. Setiap suara yang terdengar membuat hatinya berdebar lebih kencang.
Taksi akhirnya tiba, dan Venina segera melompat masuk dengan gerakan canggung.
"Ke bandara, secepatnya," ucapnya pada sopir taksi dengan suara yang bergetar, sementara dia memasuki kendaraan dengan hati yang berdebar kencang.
Taksi segera melaju meninggalkan hotel itu jauh di belakang, tetapi Venina masih merasa seperti dia tidak bisa bernafas. Pikirannya terus-menerus berputar, mencoba memahami betapa cepatnya semuanya berubah, betapa cepatnya hidupnya berubah menjadi seperti dalam mimpi buruk.
Dia menutup mata, berusaha menenangkan diri, tetapi bayangan Erlangga masih menghantui pikirannya.
***
Venina berdiri di depan meja Erlangga dengan tangan gemetar, menatap surat pengunduran dirinya yang dia letakkan di atasnya. Rasanya seperti sebuah akhir dari babak hidupnya yang lama, tempat di mana dia telah berjuang, berusaha, dan terjebak dalam hubungan yang rumit dengan atasannya sendiri.
Dengan napas yang terengah-engah, dia mencoba menenangkan diri, mengingat keputusannya untuk berhenti dari pekerjaan yang telah menjadi bagian dari hidupnya selama ini. Meskipun ada rasa lega karena Erlangga tidak ada di ruangannya saat ini, Venina tetap merasa cemas dengan langkah yang akan dia ambil selanjutnya.
"Sudahlah, Nina. Ini yang terbaik," bisiknya pada dirinya sendiri, mencoba menguatkan hatinya.
Dia memutuskan untuk berhenti sejenak, menatap sekeliling ruangan kantor yang telah menjadi saksi bisu dari banyak cerita dan perjuangannya. Sementara itu, perasaannya terus bergolak, mencoba memproses semua yang telah terjadi dalam waktu singkat.
Saat dia hampir akan meninggalkan ruangan itu, terdengar langkah kaki yang mendekat. Venina memalingkan pandangannya dan melihat Alfian berdiri di ambang pintu. Hatinya berdebar keras, dan dia merasa seperti dunia di sekitarnya berhenti berputar untuk sejenak.
Alfian melangkah masuk dengan langkah mantap, matanya menatap Venina dengan tajam, seolah-olah mencoba mencari jawaban atas kehadirannya yang tiba-tiba. "Venina," sapanya dengan suara yang tenang, tetapi penuh dengan ketegasan.
Venina mencoba untuk tidak menunjukkan betapa terkejutnya dia dengan kemunculan Alfian. "Pak Alfian," jawabnya dengan suara yang sedikit gemetar, mencoba menutupi rasa cemas di dalam dirinya.
Alfian mendekati Venina dengan langkah yang mantap, tatapannya tidak berubah dari sebelumnya. "Akhirnya kamu kembali juga.”
Venina merasa tegang. Dia merasakan tubuhnya menjadi kaku, tidak tahu apa yang harus dikatakan pada Alfian. Dia hanya ingin pergi dan melupakan semuanya.
Alfian melangkah mendekati Venina, menyadari kegelisahan yang terpancar dari wajah wanita itu. “Apa kamu baik-baik saja, Nina?” tanyanya dengan suara yang masih lembut. “Saya khawatir karena kamu menghilang begitu saja kemarin dan tidak ada kabar setelahnya.”
Venina menelan ludah, mencoba untuk menemukan kata-kata yang tepat. "Saya… saya baik-baik saja, Pak. Dan maaf karena saya pergi begitu saja.”
Alfian menatapnya dengan tatapan yang penuh pengertian. "Saya mengerti. Tapi, bolehkah saya tahu apa yang terjadi? Apa yang membuatmu begitu terburu-buru?" tanyanya dengan lembut.
Venina merasakan napasnya tersangkut di tenggorokan. “Tidak… tidak ada apa-apa, Pak. Saya hanya tidak bisa bekerja lagi di sini?”
“Jadi, kamu mau mengundurkan diri?” desak Alfian dengan wajah tenangnya yang semakin membuat Venina merasa tak nyaman.
“Maaf karena saya membuat keputusan yang tiba-tiba, Pak,” tambah Venina, mencoba untuk tetap tenang meskipun jantungnya berdegup kencang dalam kecemasan yang meluap-luap.
Alfian mengangguk, tetapi ekspresinya masih penuh tanda tanya. “Kamu yakin akan pergi begitu saja seperti ini tanpa bertemu dengan Erlangga dulu?”
Tubuh Venina semakin menegang dan lidahnya terasa kelu. Dia ingin cepat keluar dari situasi ini secepatnya.
Alfian menatap Venina dengan ekspresi yang berubah-ubah. "Baiklah," lanjutnya akhirnya setelah beberapa saat terdiam. "Saya tidak bisa memaksamu untuk tetap tinggal kalau memang kamu sudah membuat keputusan."
Venina merasa lega mendengar kata-kata itu, tetapi masih ada rasa cemas yang menghantuinya. "Terima kasih, Pak Alfian," ucapnya dengan suara yang bergetar.
Alfian mengangguk, lalu melangkah mendekati Venina. "Semoga kamu mendapatkan apa yang kamu cari, Venina," ucapnya dengan lembut sambil menepuk bahu wanita itu. “Dan ingatlah kalau terkadang ada saatnya kita harus bersenang-senang dan tidak menganggap suatu hal dengan terlalu serius.”
Venina menelan ludahnya dengan susah payah, mencoba mencerna perkataan Alfian yang terasa sangat tersirat untuknya. Entah khayalannya saja atau bagaimana, dia merasa jika pria itu baru saja tersenyum dengan penuh arti padanya.
“Baik, Pak,” ucap Venina setelah cukup lama diam. “Sekali lagi terima kasih,” tambahnya sebelum melanjutkan langkahnya, meninggalkan Alfian di ruangan itu.
“Sampai jumpa lagi, Nina. Saya punya firasat kalau kamu akan segera kembali lagi!” seru Alfian ketika Venina sampai di ambang pintu.
Venina hanya menoleh sebentar sambil tersenyum kecil. Dia tidak tahu apa maksud perkataan pria itu yang terdengar sangat lantang di telinganya.
Mungkinkah sebenarnya Alfian sudah tahu apa yang terjadi antara dirinya dan Erlangga? Atau mungkin pria itu hanya sedang mengujinya? Entah kemungkinan mana yang benar, tetapi Venina bertekad dengan sepenuh hati jika dirinya tidak akan kembali lagi.
Setidaknya itulah keyakinannya saat ini, tanpa tahu apa yang akan terjadi…
“Berengsek! Apa-apaan ini?”Erlangga duduk di belakang meja kerjanya dengan wajah yang berkerut kesal, menatap surat pengunduran diri Venina yang tergeletak di depannya. Tangannya meremas-remas kertas itu dengan gerakan kasar seolah-olah ingin menghancurkannya. Pikirannya masih terus memutar balik momen saat dia menyadari Venina telah menghilang dari kamar hotelnya. Rasa kecewa dan amarah bercampur aduk dalam dirinya."Sialan!" bentak Erlangga, membuang surat itu dengan kasar ke dalam kotak sampah di sebelah meja. Tapi bahkan ketika surat itu lenyap dari pandangannya, perasaan kecewa tak kunjung pergi.Alfian, yang duduk di sudut ruangan dengan santainya, mengangkat cangkir kopinya sambil menatap Erlangga dengan rasa pengertian yang dalam.“Sudahl
Setelah melepaskan diri dari Erlangga, Venina menjauh beberapa langkah, mencoba meredakan detak jantung yang berdegup kencang di dadanya. Matanya memandang Erlangga dengan tatapan tajam, mencoba menyingkirkan kecemasan yang merayap di dalam dirinya.“Hal apa lagi yang perlu dibicarakan di antara kita?” tanyanya sambil berusaha untuk tetap tenang.Namun, semua usahanya itu sia-sia ketika Erlangga mendekat, langkahnya mantap dan penuh keyakinan. Venina merasakan darahnya berdesir seketika, dan getaran itu semakin kuat ketika pria itu berbicara di telinganya. "Saya tidak bisa menerima surat pengunduran dirimu begitu saja, Venina," bisiknya dengan tegas, suaranya terdengar berat di telinganya.Venina menahan napasnya sejenak, mencoba meredakan denyutan yang semakin keras di dadanya. Dia membalas tatapan Erlangga, mencoba menunjukkan keteguhan hatinya. "Saya sudah memutuskan untuk berhenti bekerja. Saya tidak ingin kita berurusan lagi.”Erlangga tersenyum pahit. Dia mendekat lagi, tanganny
“Kamu pasti bisa melewatinya, Nina,” kata Venina pada dirinya sendiri dengan penuh semangat. Dia melangkah dengan langkah pasti menuju meja kerjanya. Di sela-sela langkahnya, dia mencoba menenangkan diri dari kecemasan yang memenuhi pikirannya. Sudah beberapa hari sejak dia kembali ke kantor setelah pembicaraannya dengan Erlangga. Dan kini Venina merasa sudah lebih santai karena tidak perlu berhadapan dengan pria itu lagi. Setidaknya sampai hari ini. Ketika dia mendengar suara langkah kaki mendekat, Venina menoleh dan melihat Alfian sudah berdiri di depannya.“Selamat bergabung kembali, Nina. Saya senang akhirnya kamu memutuskan untuk bekerja bersama kami lagi,” ujarnya dengan pembawaannya yang tenang dan senyum khasnya yang seakan tidak pernah hilang dari bibirnya. Venina membalas senyuman itu dengan canggung. Meskipun dia bersyukur tidak lagi harus berhadapan dengan Erlangga setiap hari, kehadiran Alfian dengan aura misteriusnya juga tidak membuatnya merasa lebih baik. "Terima k
Erlangga berjalan dengan langkah cepat di lorong kantor, matanya terus menatap jam tangannya yang menunjukkan waktu yang semakin mendesak. Dia tampak cemas dan gelisah, mengingatkan Emma, sekretaris barunya, untuk mengatur ulang jadwalnya hari ini."Tolong atur ulang jadwal saya hari ini. Dan tunda semua rapat. Saya sedang ada keperluan di luar," perintah Erlangga, suaranya dingin tanpa sepatah pun raut wajahnya mengarah pada Emma.Emma menatap Erlangga dengan sikap yang lugas, menerima perintahnya tanpa ragu. "Baik, Pak," jawabnya tanpa ragu.Erlangga melangkah meninggalkan meja kerjanya dengan langkah cepat, meninggalkan Emma yang sedang menyiapkan jadwalnya. Langkahnya cepat dan mantap, seolah ada sesuatu yang mengejar di belakangnya."Oh ya… satu hal lagi! Jan
Venina kembali ke kantor dengan langkah gontai setelah menyelesaikan tugas yang diberikan Alfian. Wajahnya masih memendam kelelahan ketika dia melangkah keluar dari lift. Namun, langkahnya terhenti mendadak saat dia bertemu dengan pria yang sama yang telah membuatnya merasa tidak nyaman di ruang direksi kemarin.Pria berperut buncit itu menatapnya dengan sorot mata penuh penilaian, membuatnya ingin segera pergi dari sana.“Kopi buatanmu kemarin enak sekali. Aku ingin kamu membuatkannya lagi dan mengantarkannya ke ruanganku,” ujar pria itu dengan senyum yang menyiratkan keangkuhan di bibirnya.Venina hanya terdiam, tidak berani menatap langsung pria itu. Jemarinya meremas-remas ujung roknya, mencoba menenangkan diri. “Kenapa? Kamu tidak mau melakukannya karena saya bukan direktur utama?” Pria itu semakin mendekat, membatasi ruang gerak Venina.“Baik, Pak. Tunggu sebentar,” Venina menjawab singkat, berusaha menghindar dan melangkah menjauh. Diusapnya wajahnya dengan kasar ketika pria
Suara langkah kaki Nathalia merayap pelan dari belakang, merangkul tubuh Erlangga dengan lembut. Hangatnya pelukan itu seolah menembus masalah yang mengganggu pikiran pria itu.“Kamu lagi memikirkan apa, sih?” tanya Nathalia sambil menyematkan dagunya di bahu Erlangga, mencoba mencari tahu apa yang mengganggu pikiran suaminya. “Soal pekerjaan yang masih belum selesai?”Erlangga menarik nafas dalam-dalam, membiarkan aroma rokoknya menyatu dengan udara sebelum menjawab, “Bukan apa-apa.”Namun, Nathalia bisa melihat kegelisahan di matanya. Dia mengambil rokok yang terselip di bibir suaminya dengan penuh kelembutan, menghirupnya dalam-dalam seolah meminum udara segar di pagi hari. Setelah mengembuskan asapnya dengan penuh kenikmatan, dia mengembalikan rokok itu ke bibir Erlangga.
“Berhenti, Pak. Tolong jangan bicara lagi!” seru Venina, mencoba menahan gemetar di suaranya. “Saya rasa Bapak sudah terlalu mabuk. Jadi, jangan membicarakan hal yang akan Bapak sesali nantinya!”Erlangga tertawa pahit, suaranya gemetar. Kata-kata Venina menusuk ke dalam kesadarannya, menyadarkannya akan keadaannya yang kacau. “Saya rasa saya sudah menjadi gila, Nina!”Hati Venina terenyuh melihat keadaan Erlangga yang tampak sangat putus asa. Dia bisa merasakan getaran emosi yang memenuhi ruangan, tapi tidak tahu harus berbuat apa.Apakah pria itu baru saja bertengkar dengan istrinya? Atau ada masalah lain yang sedang mengganggunya? Pertanyaan-pertanyaan itu menghantui pikirannya, tapi dia tak berani bertanya.Venina benar-benar tidak tahu apa pun. Dia ingin sekali memeluk Erlangga, memberinya rasa nyaman, tapi dia takut. Takut akan apa yang mungkin terjadi jika dia membiarkan perasaannya menguasainya.Jika saja dia berani menyentuh pria itu, mungkin nantinya dia tidak akan pernah ma
Venina berbaring di atas tempat tidurnya, mencoba memejamkan mata dan melupakan segala sesuatu yang mengganggu. Tetapi kata-kata Erlangga terus terngiang di telinganya. Wajahnya terasa panas saat dia mengusapnya dengan kasar, mencoba mengusir pikiran-pikiran gelap yang tidak seharusnya.“Bagaimana kalau saya bercerai, Nina? Apa kecemasanmu akan hilang?” kata-kata itu seperti sebuah cambuk yang menghantamnya secara langsung. Venina menggigil dalam kegelapan kamarnya, merasa seperti tak bisa lagi bernapas."Tidak, Nina! Kamu sudah gila kalau sampai mengharapkannya," bisiknya pada dirinya sendiri, hampir seperti sebuah mantra untuk menenangkan diri. Dengan gerakan kasar, dia menendang selimutnya, mencoba memaksa dirinya untuk tidur dan melupakan segala sesuatunya. Tetapi upaya itu sia-sia, karena pikirannya terus memenuhi ruang dengan kegelisahan yang