“Berengsek! Apa-apaan ini?”
Erlangga duduk di belakang meja kerjanya dengan wajah yang berkerut kesal, menatap surat pengunduran diri Venina yang tergeletak di depannya. Tangannya meremas-remas kertas itu dengan gerakan kasar seolah-olah ingin menghancurkannya. Pikirannya masih terus memutar balik momen saat dia menyadari Venina telah menghilang dari kamar hotelnya. Rasa kecewa dan amarah bercampur aduk dalam dirinya.
"Sialan!" bentak Erlangga, membuang surat itu dengan kasar ke dalam kotak sampah di sebelah meja. Tapi bahkan ketika surat itu lenyap dari pandangannya, perasaan kecewa tak kunjung pergi.
Alfian, yang duduk di sudut ruangan dengan santainya, mengangkat cangkir kopinya sambil menatap Erlangga dengan rasa pengertian yang dalam.
“Sudahlah, Ngga. Jangan terlalu dipikirkan,” ucap Alfian sambil menyesap kopinya. “Mungkin memang inilah yang terbaik untuk kalian berdua.”
Kata-kata itu hanya membuat api kemarahannya semakin berkobar. "Aku tidak bisa menerimanya begitu saja! Dia tidak bisa menghindar seperti ini!" serunya dengan penuh ketegasan.
Erlangga benar-benar tak habis pikir dengan pikiran wanita itu. Jika saja dia berurusan dengan wanita lain, dia yakin mungkin saja saat ini dirinya sudah diperas dan diancam untuk bertanggung jawab. Namun, Venina berbeda… dia pikir wanita itu akan kembali, tetapi nyatanya tidak.
“Semua pasti ada alasannya. Mungkin Venina juga punya alasan tersendiri. Kalau memang itu keinginannya… ya biarkan saja. Untuk apa kesal begini? Toh masih banyak sekertaris yang lebih kompeten dan menarik dari gadis itu,” lanjut Alfian, mencoba meredakan kemarahan Erlangga.
Erlangga hanya mendengus, tidak puas dengan jawaban itu. Baginya, alasan apa pun yang mungkin dimiliki oleh Venina tidak bisa menghapuskan rasa kecewa dan amarah yang merajalela dalam dirinya. Dia masih merasa diabaikan.
“Kenapa kau tidak menghalanginya?” tuntut Erlangga dengan jengkel. “Atau setidaknya tahan dia sampai aku datang!”
Alfian hanya menggelengkan kepala dengan tegas.“Aku tidak bisa menghalanginya, Ngga,” balasnya dengan tenang. “Wajah gadis itu sudah sangat pucat dan tertekan.”
Wajah Erlangga semakin memerah, kekesalannya semakin meluap saat mendengar penjelasan Alfian. "Sialan!" erangnya dengan penuh frustrasi. Pikirannya berkecamuk, membayangkan bagaimana putus asanya wanita itu.
Tanpa ragu lagi, Erlangga meraih kunci mobilnya dan bangkit dari tempat duduknya. Dia merasa tidak bisa tinggal diam lagi di balik meja kerjanya.
“Kau mau pergi ke mana?” tanya Alfian sambil terus memandangi gerak-gerik Erlangga.
“Kalau kau mau menemuinya, aku sarankan kau tidak memaksanya,” sambung Alfian ketika sahabatnya itu sampai di ambang pintu.
Erlangga menatap Alfian dengan pandangan tajam sebelum berbicara dengan nada tegas, “Kalau memang kau tidak ada pekerjaan lagi. Uruslah semua pekerjaanku yang tertunda.”
Alfian hanya tersenyum penuh arti saat Erlangga melangkah keluar dari ruangan dengan langkah yang mantap.
***
Venina duduk di tepi ranjangnya, matanya menerawang ke langit-langit kamarnya. Suasana hening di kamarnya terputus oleh suara ketukan pintu yang tiba-tiba. Ia menoleh ke arah pintu dan melihat ibunya masuk dengan wajah yang tampak agak cemas.
"Ada apa, Bu?" tanya Venina dengan nada penasaran, mencoba membaca ekspresi wajah ibunya.
Nadia menghela napas ringan sebelum menjawab, "Ada yang mencari kamu, Nina. Katanya dari kantor."
Wajah Venina langsung memperlihatkan ekspresi keheranan. "Siapa, Bu?"
“Ibu juga nggak tahu. Ibu lupa tanya namanya. Tapi tadi dia bilang kalau ada hal peting yang mau dibicarakan sama kamu,” jelas Nadia.
Venina meremas-remas jari-jemarinya. Dia menggelengkan kepala, mencoba menyingkirkan pikiran negatif yang mulai merayapi benaknya.
“Yang datang laki-laki, Bu?” tanya Venina, mencoba mempersempit kemungkinan.
Nadia mengangguk. “Lebih baik kamu temui dulu saja, Nina. Siapa tahu memang penting.”
Setelah ibunya keluar dari kamarnya, Venina duduk diam, mencoba meredakan ketegangan yang mulai menghimpit dadanya. Siapa yang bisa datang mencarinya? Seingatnya, ia tidak memiliki hubungan dekat dengan siapapun di kantor.
Venina merasa semakin gelisah. Tiba-tiba, pikirannya melayang pada Erlangga. Namun, dia menepis pikiran itu dengan cepat. Tidak mungkin, kan? Dia menggelengkan kepala, mencoba mengusir pikiran-pikiran yang tidak diinginkan.
"Dia nggak mungkin ada di sini, kan?" gumamnya pada dirinya sendiri, berusaha meyakinkan bahwa Erlangga tidak mungkin datang mencarinya di sini.
Namun, meskipun dia mencoba mengusir pikiran itu, bayangan Erlangga tetap menghantui pikirannya. Dengan hati yang masih berdebar kencang, Venina mengambil nafas dalam-dalam sebelum akhirnya keluar dari kamarnya untuk menemui tamunya.
Venina merasakan detak jantungnya berdegup kencang begitu tatapannya bertemu dengan mata Erlangga. Tubuhnya seketika menegang, dan ia merasakan denyutan di sepanjang urat nadinya. Matanya membelalak, mencoba mencerna kenyataan di depannya. Ini tidak mungkin. Erlangga di sini, di rumahnya.
Refleks, dia memejamkan matanya, berharap ketika membuka mata lagi, Erlangga akan menghilang seperti ilusi.
“Nggak mungkin,” teriaknya dalam hati.
Namun, ketika matanya kembali terbuka, sosok Erlangga masih ada di hadapannya. Matanya menatapnya dengan tajam, seakan mencoba menembus setiap pikiran dan perasaannya. Venina merasa dadanya terasa sesak, dan napasnya tersengal-sengal.
"Venina..." suara Erlangga memecah keheningan yang mencekam ruangan. "Ada beberapa hal yang harus kita bicarakan."
Napas Venina terasa tersangkut di tenggorokannya. Dia merasa ingin berteriak, ingin mengusir Erlangga dari hadapannya, tetapi kata-kata itu terjebak di dalam dadanya. Tubuhnya seolah-olah membeku di tempat.
Venina menelan ludah dengan susah payah, mencoba menemukan keberanian untuk menjawab. "Tidak… tidak ada yang perlu dibicarakan lagi. Semuanya sudah berakhir," ujarnya dengan suara yang gemetar, mencoba menahan getar kecemasan yang melanda tubuhnya.
Erlangga tidak menyerah begitu saja. Dia melangkah mendekati Venina, menempatkan dirinya di depannya dengan wajah yang tetap serius. "Kita harus bicara, Venina. Ada hal-hal yang perlu kita selesaikan," kata Erlangga dengan nada yang datar, namun terdengar begitu tegas.
Venina menghela napas panjang, mencoba menenangkan dirinya sendiri meskipun kecemasan masih menyelimuti dirinya. “Kita tidak bisa bicara di sini," bisiknya dengan tegang.
Erlangga menatapnya dengan ekspresi serius. "Baiklah. Kita bisa bicara di tempat lain."
Tubuh Venina menegang ketika Erlangga mengulurkan tangannya untuk meraih bahunya, tapi dia tetap diam, membiarkan tangan itu menyentuhnya. Hatinya berdebar kencang saat pria itu membimbingnya keluar dari rumah.
Setelah melepaskan diri dari Erlangga, Venina menjauh beberapa langkah, mencoba meredakan detak jantung yang berdegup kencang di dadanya. Matanya memandang Erlangga dengan tatapan tajam, mencoba menyingkirkan kecemasan yang merayap di dalam dirinya.“Hal apa lagi yang perlu dibicarakan di antara kita?” tanyanya sambil berusaha untuk tetap tenang.Namun, semua usahanya itu sia-sia ketika Erlangga mendekat, langkahnya mantap dan penuh keyakinan. Venina merasakan darahnya berdesir seketika, dan getaran itu semakin kuat ketika pria itu berbicara di telinganya. "Saya tidak bisa menerima surat pengunduran dirimu begitu saja, Venina," bisiknya dengan tegas, suaranya terdengar berat di telinganya.Venina menahan napasnya sejenak, mencoba meredakan denyutan yang semakin keras di dadanya. Dia membalas tatapan Erlangga, mencoba menunjukkan keteguhan hatinya. "Saya sudah memutuskan untuk berhenti bekerja. Saya tidak ingin kita berurusan lagi.”Erlangga tersenyum pahit. Dia mendekat lagi, tanganny
“Kamu pasti bisa melewatinya, Nina,” kata Venina pada dirinya sendiri dengan penuh semangat. Dia melangkah dengan langkah pasti menuju meja kerjanya. Di sela-sela langkahnya, dia mencoba menenangkan diri dari kecemasan yang memenuhi pikirannya. Sudah beberapa hari sejak dia kembali ke kantor setelah pembicaraannya dengan Erlangga. Dan kini Venina merasa sudah lebih santai karena tidak perlu berhadapan dengan pria itu lagi. Setidaknya sampai hari ini. Ketika dia mendengar suara langkah kaki mendekat, Venina menoleh dan melihat Alfian sudah berdiri di depannya.“Selamat bergabung kembali, Nina. Saya senang akhirnya kamu memutuskan untuk bekerja bersama kami lagi,” ujarnya dengan pembawaannya yang tenang dan senyum khasnya yang seakan tidak pernah hilang dari bibirnya. Venina membalas senyuman itu dengan canggung. Meskipun dia bersyukur tidak lagi harus berhadapan dengan Erlangga setiap hari, kehadiran Alfian dengan aura misteriusnya juga tidak membuatnya merasa lebih baik. "Terima k
Erlangga berjalan dengan langkah cepat di lorong kantor, matanya terus menatap jam tangannya yang menunjukkan waktu yang semakin mendesak. Dia tampak cemas dan gelisah, mengingatkan Emma, sekretaris barunya, untuk mengatur ulang jadwalnya hari ini."Tolong atur ulang jadwal saya hari ini. Dan tunda semua rapat. Saya sedang ada keperluan di luar," perintah Erlangga, suaranya dingin tanpa sepatah pun raut wajahnya mengarah pada Emma.Emma menatap Erlangga dengan sikap yang lugas, menerima perintahnya tanpa ragu. "Baik, Pak," jawabnya tanpa ragu.Erlangga melangkah meninggalkan meja kerjanya dengan langkah cepat, meninggalkan Emma yang sedang menyiapkan jadwalnya. Langkahnya cepat dan mantap, seolah ada sesuatu yang mengejar di belakangnya."Oh ya… satu hal lagi! Jan
Venina kembali ke kantor dengan langkah gontai setelah menyelesaikan tugas yang diberikan Alfian. Wajahnya masih memendam kelelahan ketika dia melangkah keluar dari lift. Namun, langkahnya terhenti mendadak saat dia bertemu dengan pria yang sama yang telah membuatnya merasa tidak nyaman di ruang direksi kemarin.Pria berperut buncit itu menatapnya dengan sorot mata penuh penilaian, membuatnya ingin segera pergi dari sana.“Kopi buatanmu kemarin enak sekali. Aku ingin kamu membuatkannya lagi dan mengantarkannya ke ruanganku,” ujar pria itu dengan senyum yang menyiratkan keangkuhan di bibirnya.Venina hanya terdiam, tidak berani menatap langsung pria itu. Jemarinya meremas-remas ujung roknya, mencoba menenangkan diri. “Kenapa? Kamu tidak mau melakukannya karena saya bukan direktur utama?” Pria itu semakin mendekat, membatasi ruang gerak Venina.“Baik, Pak. Tunggu sebentar,” Venina menjawab singkat, berusaha menghindar dan melangkah menjauh. Diusapnya wajahnya dengan kasar ketika pria
Suara langkah kaki Nathalia merayap pelan dari belakang, merangkul tubuh Erlangga dengan lembut. Hangatnya pelukan itu seolah menembus masalah yang mengganggu pikiran pria itu.“Kamu lagi memikirkan apa, sih?” tanya Nathalia sambil menyematkan dagunya di bahu Erlangga, mencoba mencari tahu apa yang mengganggu pikiran suaminya. “Soal pekerjaan yang masih belum selesai?”Erlangga menarik nafas dalam-dalam, membiarkan aroma rokoknya menyatu dengan udara sebelum menjawab, “Bukan apa-apa.”Namun, Nathalia bisa melihat kegelisahan di matanya. Dia mengambil rokok yang terselip di bibir suaminya dengan penuh kelembutan, menghirupnya dalam-dalam seolah meminum udara segar di pagi hari. Setelah mengembuskan asapnya dengan penuh kenikmatan, dia mengembalikan rokok itu ke bibir Erlangga.
“Berhenti, Pak. Tolong jangan bicara lagi!” seru Venina, mencoba menahan gemetar di suaranya. “Saya rasa Bapak sudah terlalu mabuk. Jadi, jangan membicarakan hal yang akan Bapak sesali nantinya!”Erlangga tertawa pahit, suaranya gemetar. Kata-kata Venina menusuk ke dalam kesadarannya, menyadarkannya akan keadaannya yang kacau. “Saya rasa saya sudah menjadi gila, Nina!”Hati Venina terenyuh melihat keadaan Erlangga yang tampak sangat putus asa. Dia bisa merasakan getaran emosi yang memenuhi ruangan, tapi tidak tahu harus berbuat apa.Apakah pria itu baru saja bertengkar dengan istrinya? Atau ada masalah lain yang sedang mengganggunya? Pertanyaan-pertanyaan itu menghantui pikirannya, tapi dia tak berani bertanya.Venina benar-benar tidak tahu apa pun. Dia ingin sekali memeluk Erlangga, memberinya rasa nyaman, tapi dia takut. Takut akan apa yang mungkin terjadi jika dia membiarkan perasaannya menguasainya.Jika saja dia berani menyentuh pria itu, mungkin nantinya dia tidak akan pernah ma
Venina berbaring di atas tempat tidurnya, mencoba memejamkan mata dan melupakan segala sesuatu yang mengganggu. Tetapi kata-kata Erlangga terus terngiang di telinganya. Wajahnya terasa panas saat dia mengusapnya dengan kasar, mencoba mengusir pikiran-pikiran gelap yang tidak seharusnya.“Bagaimana kalau saya bercerai, Nina? Apa kecemasanmu akan hilang?” kata-kata itu seperti sebuah cambuk yang menghantamnya secara langsung. Venina menggigil dalam kegelapan kamarnya, merasa seperti tak bisa lagi bernapas."Tidak, Nina! Kamu sudah gila kalau sampai mengharapkannya," bisiknya pada dirinya sendiri, hampir seperti sebuah mantra untuk menenangkan diri. Dengan gerakan kasar, dia menendang selimutnya, mencoba memaksa dirinya untuk tidur dan melupakan segala sesuatunya. Tetapi upaya itu sia-sia, karena pikirannya terus memenuhi ruang dengan kegelisahan yang
Venina melangkah masuk ke ruang kerja Alfian dengan hati yang berdebar-debar. Sudah beberapa kali dia menelan ludah, mencoba mengumpulkan cukup keberanian untuk mengungkapkan apa yang sedang mengganggunya. Tetapi ketika matanya bertemu dengan sorot tajam Alfian, kata-kata seolah terjebak di tenggorokannya. “Ada apa, Nina?” Alfian memulai pembicaraan, tetapi ekspresinya menunjukkan ketertarikan dan sedikit kebingungan. Venina berdiri di depan meja Alfian, matanya bergerak ke segala penjuru ruangan, mencari keberanian dalam dirinya. Dia meremas jari tangannya, mencoba menenangkan diri sejenak sebelum membuka suara. “Saya…” suaranya terputus sebentar, dan dia menelan ludah lagi. “Saya….” “Katakan saja, Nina!” desak Alfian ketika dia melihat Venina masih berdiam diri. “Saya… saya ingin bertanya apa benar Bapak memecat Pak Bayu karena masalah kemarin?” Alfian mengangkat alisnya, menunjukkan keheranan. “Bayu? Siapa dia?” tanyanya dengan nada yang terdengar kurang berminat. “Dia… dia