Erlangga berjalan dengan langkah cepat di lorong kantor, matanya terus menatap jam tangannya yang menunjukkan waktu yang semakin mendesak. Dia tampak cemas dan gelisah, mengingatkan Emma, sekretaris barunya, untuk mengatur ulang jadwalnya hari ini."Tolong atur ulang jadwal saya hari ini. Dan tunda semua rapat. Saya sedang ada keperluan di luar," perintah Erlangga, suaranya dingin tanpa sepatah pun raut wajahnya mengarah pada Emma.Emma menatap Erlangga dengan sikap yang lugas, menerima perintahnya tanpa ragu. "Baik, Pak," jawabnya tanpa ragu.Erlangga melangkah meninggalkan meja kerjanya dengan langkah cepat, meninggalkan Emma yang sedang menyiapkan jadwalnya. Langkahnya cepat dan mantap, seolah ada sesuatu yang mengejar di belakangnya."Oh ya… satu hal lagi! Jan
Venina kembali ke kantor dengan langkah gontai setelah menyelesaikan tugas yang diberikan Alfian. Wajahnya masih memendam kelelahan ketika dia melangkah keluar dari lift. Namun, langkahnya terhenti mendadak saat dia bertemu dengan pria yang sama yang telah membuatnya merasa tidak nyaman di ruang direksi kemarin.Pria berperut buncit itu menatapnya dengan sorot mata penuh penilaian, membuatnya ingin segera pergi dari sana.“Kopi buatanmu kemarin enak sekali. Aku ingin kamu membuatkannya lagi dan mengantarkannya ke ruanganku,” ujar pria itu dengan senyum yang menyiratkan keangkuhan di bibirnya.Venina hanya terdiam, tidak berani menatap langsung pria itu. Jemarinya meremas-remas ujung roknya, mencoba menenangkan diri. “Kenapa? Kamu tidak mau melakukannya karena saya bukan direktur utama?” Pria itu semakin mendekat, membatasi ruang gerak Venina.“Baik, Pak. Tunggu sebentar,” Venina menjawab singkat, berusaha menghindar dan melangkah menjauh. Diusapnya wajahnya dengan kasar ketika pria
Suara langkah kaki Nathalia merayap pelan dari belakang, merangkul tubuh Erlangga dengan lembut. Hangatnya pelukan itu seolah menembus masalah yang mengganggu pikiran pria itu.“Kamu lagi memikirkan apa, sih?” tanya Nathalia sambil menyematkan dagunya di bahu Erlangga, mencoba mencari tahu apa yang mengganggu pikiran suaminya. “Soal pekerjaan yang masih belum selesai?”Erlangga menarik nafas dalam-dalam, membiarkan aroma rokoknya menyatu dengan udara sebelum menjawab, “Bukan apa-apa.”Namun, Nathalia bisa melihat kegelisahan di matanya. Dia mengambil rokok yang terselip di bibir suaminya dengan penuh kelembutan, menghirupnya dalam-dalam seolah meminum udara segar di pagi hari. Setelah mengembuskan asapnya dengan penuh kenikmatan, dia mengembalikan rokok itu ke bibir Erlangga.
“Berhenti, Pak. Tolong jangan bicara lagi!” seru Venina, mencoba menahan gemetar di suaranya. “Saya rasa Bapak sudah terlalu mabuk. Jadi, jangan membicarakan hal yang akan Bapak sesali nantinya!”Erlangga tertawa pahit, suaranya gemetar. Kata-kata Venina menusuk ke dalam kesadarannya, menyadarkannya akan keadaannya yang kacau. “Saya rasa saya sudah menjadi gila, Nina!”Hati Venina terenyuh melihat keadaan Erlangga yang tampak sangat putus asa. Dia bisa merasakan getaran emosi yang memenuhi ruangan, tapi tidak tahu harus berbuat apa.Apakah pria itu baru saja bertengkar dengan istrinya? Atau ada masalah lain yang sedang mengganggunya? Pertanyaan-pertanyaan itu menghantui pikirannya, tapi dia tak berani bertanya.Venina benar-benar tidak tahu apa pun. Dia ingin sekali memeluk Erlangga, memberinya rasa nyaman, tapi dia takut. Takut akan apa yang mungkin terjadi jika dia membiarkan perasaannya menguasainya.Jika saja dia berani menyentuh pria itu, mungkin nantinya dia tidak akan pernah ma
Venina berbaring di atas tempat tidurnya, mencoba memejamkan mata dan melupakan segala sesuatu yang mengganggu. Tetapi kata-kata Erlangga terus terngiang di telinganya. Wajahnya terasa panas saat dia mengusapnya dengan kasar, mencoba mengusir pikiran-pikiran gelap yang tidak seharusnya.“Bagaimana kalau saya bercerai, Nina? Apa kecemasanmu akan hilang?” kata-kata itu seperti sebuah cambuk yang menghantamnya secara langsung. Venina menggigil dalam kegelapan kamarnya, merasa seperti tak bisa lagi bernapas."Tidak, Nina! Kamu sudah gila kalau sampai mengharapkannya," bisiknya pada dirinya sendiri, hampir seperti sebuah mantra untuk menenangkan diri. Dengan gerakan kasar, dia menendang selimutnya, mencoba memaksa dirinya untuk tidur dan melupakan segala sesuatunya. Tetapi upaya itu sia-sia, karena pikirannya terus memenuhi ruang dengan kegelisahan yang
Venina melangkah masuk ke ruang kerja Alfian dengan hati yang berdebar-debar. Sudah beberapa kali dia menelan ludah, mencoba mengumpulkan cukup keberanian untuk mengungkapkan apa yang sedang mengganggunya. Tetapi ketika matanya bertemu dengan sorot tajam Alfian, kata-kata seolah terjebak di tenggorokannya. “Ada apa, Nina?” Alfian memulai pembicaraan, tetapi ekspresinya menunjukkan ketertarikan dan sedikit kebingungan. Venina berdiri di depan meja Alfian, matanya bergerak ke segala penjuru ruangan, mencari keberanian dalam dirinya. Dia meremas jari tangannya, mencoba menenangkan diri sejenak sebelum membuka suara. “Saya…” suaranya terputus sebentar, dan dia menelan ludah lagi. “Saya….” “Katakan saja, Nina!” desak Alfian ketika dia melihat Venina masih berdiam diri. “Saya… saya ingin bertanya apa benar Bapak memecat Pak Bayu karena masalah kemarin?” Alfian mengangkat alisnya, menunjukkan keheranan. “Bayu? Siapa dia?” tanyanya dengan nada yang terdengar kurang berminat. “Dia… dia
Setelah sampai di Surabaya, Venina langsung menuju ke kantor cabang di sana. Wanita itu diberikan sejumlah tugas yang harus diselesaikan. Dia membenarkan kerah blusnya dan menyusun catatan dengan cermat, mencatat setiap instruksi yang diberikan oleh Alfian.Sementara itu, Alfian dan rekan kerjanya langsung menuju ke lokasi proyek perumahan yang baru saja dimulai. Venina hanya bisa membayangkan betapa sibuknya mereka dengan berbagai pertemuan dan perencanaan yang harus diselesaikan.“Saya akan usahakan untuk kembali secepatnya! Saya mohon bantuanmu di sini, Nina,” kata Alfian sebelum pergi.Saat Alfian kembali ke kantor cabang, matahari sudah hampir tenggelam di ufuk barat, menciptakan warna oranye dan merah yang memukau di langit. Namun, bukan itu yang menjadi perhatiannya sekarang.
Selama dalam perjalanan menuju hotel, Venina hanya terdiam. Matanya menatap kosong ke luar jendela, mencoba memahami alasan di balik keputusan Alfian. Di sebelahnya, Surya, sang supir, berkonsentrasi pada jalanan yang mereka lalui, tanpa sepatah kata pun yang terucap dari bibirnya.Di kursi belakang, Alfian dan Erlangga terlibat dalam pembicaraan bisnis yang serius. Suara-suara rendah mereka menyusup ke telinga Venina, namun isinya hanya hembusan angin yang berlalu begitu saja.Saat mobil berhenti di depan lobi hotel, hanya Venina dan Erlangga yang turun. Venina merasa heran dan bertanya-tanya mengapa Alfian tidak ikut turun. Tapi jawabannya datang sebelum dia sempat bertanya.“Saya akan kembali lebih dulu, Nina. Karena kebetulan urusan Pak Angga sudah selesai, dia bisa melanjutkan pekerjaannya.&rd