Beranda / CEO / Hasrat Terlarang dengan Atasan / BAB 3 Apa yang kamu harapkan?

Share

BAB 3 Apa yang kamu harapkan?

Penulis: Prisma
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

"Kenapa kamu harus sebodoh ini, Nina?" umpatnya pada dirinya sendiri dengan nada penuh keputusasaan ketika dia baru saja keluar dari ruangan Erlangga.

Tubuhnya kembali bergetar ketika mengingat kata-kata lancangnya kepada atasannya itu. Dia menampar pipinya berkali-kali, mencoba mengusir semua bayangan buruk di kepalanya.

Namun, alih-alih tenang, perasaannya malah semakin tidak karuan ketika membayangkan bagaimana reaksi Erlangga saat melihat video yang menampilkan percintaan mereka semalam. Rasa malu dan penyesalan menyergapnya, dia merasa ingin tenggelam di dalam tanah dan menghilang dari pandangan semua orang.

"Aargh! Apa sih yang kamu pikirkan, Nina?" desisnya frustrasi pada dirinya sendiri. Tanpa berpikir panjang, dia mengambil keputusan untuk pergi ke rooftop, berharap pikiran dan perasaannya akan menjadi lebih tenang di sana.

Namun, harapannya tidak sesuai kenyataan. Setelah susah payah menaiki ratusan tangga sampai kakinya terasa sakit dan dadanya terasa panas, bayangan pria itu tetap tidak mau hilang juga dari kepalanya. 

Jantungnya berdebar kencang di dadanya saat merasakan tubuhnya tiba-tiba terjatuh ke dalam pelukan Erlangga. Jeritan pria itu menusuk telinganya “Kamu gila, huh?!”

‘Barangkali aku memang sudah gila?’ desah Venina dalam hati, dadanya terasa sesak oleh hembusan napas Erlangga yang memburu di dadanya. Setetes keringat dingin mengalir di pelipisnya yang pucat.

"Kamu pikir dengan mati semua masalah akan selesai?" pertanyaan Erlangga membuat Venina tersadar dari lamunan gelapnya. Apakah pria itu berpikir dia ingin mengakhiri hidupnya di sini?

Sebenarnya, Venina sempat memikirkan kemungkinan itu ketika dia berdiri di ujung gedung, mengukur ketinggian seolah sedang mempertimbangkan pilihan hidup dan mati. Dia tak menyangka bahwa Erlangga akan merengkuhnya seperti itu.

Kata-kata yang keluar dari bibir Erlangga selanjutnya benar-benar mengembalikan dirinya pada kenyataan. Matanya terasa panas ketika mendengar ucapan permintaan maaf yang begitu tulus dari pria itu. 

‘Sepertinya semuanya memang harus diselesaikan sekarang!’ pikirnya dengan mantap sampai akhirnya dia bisa memandang wajah Erlangga yang kembali membuatnya membeku. Tatapannya terasa tajam sekaligus hangat. Tetapi Venina tidak boleh terjebak lagi.

"Apa yang Bapak inginkan?" Venina berusaha keras mengucapkan pertanyaan itu sedatar mungkin. Dan sepertinya dia berhasil saat  melihat perubahan air muka atasannya itu.  

“Kita harus berbicara tentang semalam, Nina.”

Pertahanan diri Venina langsung roboh seketika. Melihat ketegasan pria itu membuatnya tak berdaya. Ingatan tentang malam yang mereka habiskan bersama mengalir deras dalam pikiran Venina. Dan sesuatu yang diucapkan Erlangga setelahnya membuatnya terguncang.

"Kemungkinan kalau saja kamu akan hamil." Venina merasa seakan-akan tercekik oleh kata-kata itu. Bagaimana jika dirinya hamil? Dan bagaimana Erlangga akan meresponsnya?

“Jadi, apa yang ingin Bapak katakan?” tanya Venina dengan ragu-ragu. Dia memaksakan diri untuk menatap atasannya lebih lama. 

“Apa yang kamu harapkan dari saya?”

Apalagi yang bisa saya harapkan? Pada akhirnya semua kesalahan ini hanya saya yang akan menanggungnya, kan? Venina sudah membuka mulutnya, tetapi dia mengurungkan niatnya itu.  Dipandangnya wajah Erlangga dengan pahit. Dia berharap atasannya  itu bisa menembus perasaannya yang tak terlukiskan ini. 

“Saya tidak mengharapkan apa-apa, Pak. Saya sadar akan posisi saya.”

Air muka Erlangga berubah, tetapi Venina tidak bisa menebak apa yang sedang pria itu pikirkan. 

“Lalu apa yang kamu inginkan?” tanya Erlangga lagi. 

Mengulang waktu dan tidak akan membiarkan semua ini terjadi. Ingin sekali Venina meneriakkan kata-kata itu. Namun dirinya tidak punya keberanian. 

“Apa yang kamu inginkan, Nina?” ulang pria itu dengan tidak sabar. 

Venina menarik napas dalam-dalam, mencoba merangkai kata-kata yang tepat dalam pikirannya yang kacau. “Saya hanya ingin tetap bekerja dan melanjutkan hidup saya, Pak,” ujarnya dengan hati-hati, mencoba menekan getaran yang ada di dalam suaranya.

Erlangga mendengarkan dengan seksama, matanya menyelidiki setiap ekspresi wajah Venina. Ada sesuatu yang bergetar di dalam dirinya, namun dia menyembunyikan dengan cermat di balik raut wajah yang tenang.“Lalu bagaimana kalau kamu hamil nanti? Apa yang akan kamu lakukan?”

Venina terdiam cukup lama. Pertanyaan itu sangat mengusik pikirannya. Apalagi saat menatap wajah Erlangga yang begitu tenang saat mengucapkan kata-katanya. 

“Jawaban apa yang Bapak harapkan dari saya?” ucapnya dengan ragu, matanya menatap atasannya itu dengan perasaan campur aduk.

“Saya akan menghargai keputusanmu, Nina. Kalau memang kamu ingin mempertahankan atau menggugurkannya, saya akan menerima semua pilihanmu.” Suara Erlangga terdengar begitu mantap, namun di balik kepercayaan dirinya itu, ada getaran kegelisahan yang sulit untuk disembunyikan.

“Tapi saya belum tentu hamil,” sahut Venina dengan kesal. Dia melanjutkan ucapannya dengan menggebu-gebu, “Dan juga dari semua opsi yang ada, saya tidak pernah berpikir untuk membunuh darah daging saya sendiri.”

"Kemungkinan itu pasti ada, Nina," jawab Erlangga dengan tenang, tapi kata-katanya menusuk tajam ke dalam hati Venina. “Saya benar-benar tidak masalah kalau kamu memilih untuk mempertahankannya.”

Venina hanya diam karena dia tidak tahu harus menjawab apa. Semua ini terjadi terlalu cepat. Dan dia merasa belum siap menghadapinya.

“Saya akan mendukung keputusanmu dan bertanggung jawab. Kamu tidak perlu khawatir, Nina,” lanjut Erlangga, seolah mengerti kegelisahan sekretarisnya itu.

Intensitas kata-kata Erlangga mengejutkan Venina. “Tanggung jawab?” gumamnya pelan dengan nada tak percaya. 

Venina menunggu jawaban pria itu sampai hampir lupa bernapas. Dia ingin segera mendengar maksud dari tanggung jawab yang dikatakan olehnya. 

“Kalau memang nanti kamu hamil dan memilih untuk mempertahankannya, saya akan menanggung semua biaya hidupmu dan anak itu. Kamu bisa tinggal di tempat yang kamu inginkan, saya akan menyiapkan semuanya.”

“Saya pastikan kalian akan aman dan tidak kekurangan apapun. Hidup kalian akan terjamin,” lanjutnya lagi dengan sungguh-sungguh.

Guratan kekecewaan memenuhi hati Venina. Butuh waktu sepersekian detik baginya untuk bisa bernapas kembali. 

Kamu benar-benar sangat bodoh, Nina. Apa yang mau kamu harapkan? Tanggung jawab seperti apa yang kamu pikir akan dia berikan? Sampai mati pun dia akan berpikir seribu kali untuk membawamu masuk ke dalam kehidupannya.” Suara kegelisahan itu bergema di dalam dadanya.  

“Saya akan mengatasi dan menanggung hidup saya sendiri. Pak Angga tidak perlu khawatir.” Venina mendorong tubuh Erlangga, berusaha untuk menyingkir dan mencari tempat untuk menenangkan diri. Tetapi tangannya sudah lebih dulu di tahan oleh pria itu.

“Dengarkan saya, Nina. Saya mengatakan semua ini bukan untuk menyinggungmu. Saya hanya ingin menebus kesalahan yang saya buat supaya kamu tidak  menderita karena harus mengurus bayi itu sendiri.” Jemari Erlangga menekan lengan Venina dengan erat. “Hanya ini penawaran terbaik yang bisa saya berikan.”

“Sudahlah, Pak. Rasanya masih terlalu jauh untuk membicarakan ini sekarang,” sergah Venina dengan getir. Dia mencoba melepaskan diri dari cengkeraman atasannya itu. “Lagipula saya juga belum tentu hamil.”

“Kita tidak mungkin bersama, Nina. Jadi tolong jangan mempersulit segalanya!” seru Erlangga membuat tubuh Venina membeku. 

“Lupakanlah saja semuanya, Pak. Anggap saja yang terjadi itu tanggung jawab saya. Biar saya yang menanggung semuanya.” Sesaat Venina bisa melihat wajah Erlangga yang terperangah saat mendengar ucapannya. 

“Apa sebenarnya yang kamu inginkan, Nina? Pernikahan? Apa itu yang kamu harapkan?”

Bab terkait

  • Hasrat Terlarang dengan Atasan   BAB 4 Gaun Merah yang Membelenggu

    “Nah, gaun ini sangat pas di tubuhmu, Nina,” kata Alfian, wakil direktur yang baru saja bergabung di perusahaan yang juga menjadi atasan Venina untuk sementara waktu."Tapi… gaun ini…” Venina terdiam, merasa kesulitan untuk mengungkapkan ketidaknyamanannya. Dia tahu bahwa dia harus berbicara dengan hati-hati agar tidak menyinggung perasaan Alfian, tetapi sulit untuk menyembunyikan ketidaknyamanannya dengan gaun tersebut. “Sebaiknya saya mengganti pakaian saya, Pak. Saya tidak ingin mempermalukan Bapak.”“Oh, ayolah, Nina! Tidak ada yang salah dengan gaunmu,” sahut Alfian dengan santai tanpa nada melecehkan. “Lagipula kita bukannya pergi ke acara resmi. Jadi, tidak perlu berpakaian terlalu formal.”Venina mengangguk pelan, tapi hatinya tetap gelisah. Dia merasa canggung saat melihat sorot mata terkesan Alfian yang memandangnya. "Kamu cantik, dan saya yakin siapa pun yang melihatmu malam ini, dia akan terpikat. Jadi, sebaiknya kamu lebih percaya diri, Nina," tambahnya dengan nada meyaki

  • Hasrat Terlarang dengan Atasan   BAB 5 Merasa Dipermainkan

    “Kenapa Bapak membawa saya ke sini?” ulang Venina dengan dingin setelah Erlangga menurunkan tubuhnya di atas ranjang. “Ini kamar saya. Gunakanlah saja kamar ini karena saya bisa memesan kamar lain,” sahut Erlangga dengan santai. “Nanti saya akan meminta bellboy untuk memindahkan barang-barangmu.”Venina merasa api kemarahan mulai membara di dalam dirinya. Dia menahan diri untuk tidak langsung meledak. “Tidak perlu, saya ingin tidur di kamar saya sendiri,” ucapnya dengan nada tegas.Namun, Erlangga menahan lengan Venina dengan lembut. “Mau sampai kapan kamu bersikap seperti anak kecil begini, Nina?” ujarnya dengan suara yang tenang, tetapi penuh dengan penegasan.Emosi Venina mendidih mendengar celaan tersebut. Dengan gerakan cepat, ia menarik tangannya kembali, tatapannya tajam ke arah Erlangga. “Sampai Bapak berhenti mempermainkan saya,” sahutnya dengan suara yang dipenuhi dengan kekesalan.“Mempermainkanmu?” tanya Erlangga dengan alis terangkat, tampak bingung dengan tuduhan terseb

  • Hasrat Terlarang dengan Atasan   BAB 6 Mengundurkan diri

    "Apa yang kamu lakukan, Nina?" suara itu tiba-tiba terdengar, mengoyak keheningan dan membuat bulu kuduknya merinding.Venina terperanjat mendengar suara itu. Mulutnya setengah terbuka dan napasnya tercekat ketika tatapannnya berserobok dengan mata Alfian.“Kamu sedang apa?” ulang Alfian lagi dengan wajah tenangnya. Matanya tidak terlepas dari wajah Venina.Venina menoleh dengan lambat, napasnya tercekat ketika mata bertemu dengan sosok Alfian. Tatapannya terpaku pada wajah tenang pria itu, namun tubuhnya bergetar dalam ketegangan yang tak terlukiskan."Saya.. saya harus pulang, Pak," ucap Venina dengan suara yang terbata-bata, mencoba menahan kecemasan yang melanda dirinya. Kehadiran Alfian membawa sedikit kelegaa

  • Hasrat Terlarang dengan Atasan   BAB 7 Pembicaraan yang belum selesai

    “Berengsek! Apa-apaan ini?”Erlangga duduk di belakang meja kerjanya dengan wajah yang berkerut kesal, menatap surat pengunduran diri Venina yang tergeletak di depannya. Tangannya meremas-remas kertas itu dengan gerakan kasar seolah-olah ingin menghancurkannya. Pikirannya masih terus memutar balik momen saat dia menyadari Venina telah menghilang dari kamar hotelnya. Rasa kecewa dan amarah bercampur aduk dalam dirinya."Sialan!" bentak Erlangga, membuang surat itu dengan kasar ke dalam kotak sampah di sebelah meja. Tapi bahkan ketika surat itu lenyap dari pandangannya, perasaan kecewa tak kunjung pergi.Alfian, yang duduk di sudut ruangan dengan santainya, mengangkat cangkir kopinya sambil menatap Erlangga dengan rasa pengertian yang dalam.“Sudahl

  • Hasrat Terlarang dengan Atasan   BAB 8 Hubungan berdasarkan kebutuhan

    Setelah melepaskan diri dari Erlangga, Venina menjauh beberapa langkah, mencoba meredakan detak jantung yang berdegup kencang di dadanya. Matanya memandang Erlangga dengan tatapan tajam, mencoba menyingkirkan kecemasan yang merayap di dalam dirinya.“Hal apa lagi yang perlu dibicarakan di antara kita?” tanyanya sambil berusaha untuk tetap tenang.Namun, semua usahanya itu sia-sia ketika Erlangga mendekat, langkahnya mantap dan penuh keyakinan. Venina merasakan darahnya berdesir seketika, dan getaran itu semakin kuat ketika pria itu berbicara di telinganya. "Saya tidak bisa menerima surat pengunduran dirimu begitu saja, Venina," bisiknya dengan tegas, suaranya terdengar berat di telinganya.Venina menahan napasnya sejenak, mencoba meredakan denyutan yang semakin keras di dadanya. Dia membalas tatapan Erlangga, mencoba menunjukkan keteguhan hatinya. "Saya sudah memutuskan untuk berhenti bekerja. Saya tidak ingin kita berurusan lagi.”Erlangga tersenyum pahit. Dia mendekat lagi, tanganny

  • Hasrat Terlarang dengan Atasan   BAB 9 Kecerobohan yang menjengkelkan

    “Kamu pasti bisa melewatinya, Nina,” kata Venina pada dirinya sendiri dengan penuh semangat. Dia melangkah dengan langkah pasti menuju meja kerjanya. Di sela-sela langkahnya, dia mencoba menenangkan diri dari kecemasan yang memenuhi pikirannya. Sudah beberapa hari sejak dia kembali ke kantor setelah pembicaraannya dengan Erlangga. Dan kini Venina merasa sudah lebih santai karena tidak perlu berhadapan dengan pria itu lagi. Setidaknya sampai hari ini. Ketika dia mendengar suara langkah kaki mendekat, Venina menoleh dan melihat Alfian sudah berdiri di depannya.“Selamat bergabung kembali, Nina. Saya senang akhirnya kamu memutuskan untuk bekerja bersama kami lagi,” ujarnya dengan pembawaannya yang tenang dan senyum khasnya yang seakan tidak pernah hilang dari bibirnya. Venina membalas senyuman itu dengan canggung. Meskipun dia bersyukur tidak lagi harus berhadapan dengan Erlangga setiap hari, kehadiran Alfian dengan aura misteriusnya juga tidak membuatnya merasa lebih baik. "Terima k

  • Hasrat Terlarang dengan Atasan   BAB 10 Siapa pria itu?

    Erlangga berjalan dengan langkah cepat di lorong kantor, matanya terus menatap jam tangannya yang menunjukkan waktu yang semakin mendesak. Dia tampak cemas dan gelisah, mengingatkan Emma, sekretaris barunya, untuk mengatur ulang jadwalnya hari ini."Tolong atur ulang jadwal saya hari ini. Dan tunda semua rapat. Saya sedang ada keperluan di luar," perintah Erlangga, suaranya dingin tanpa sepatah pun raut wajahnya mengarah pada Emma.Emma menatap Erlangga dengan sikap yang lugas, menerima perintahnya tanpa ragu. "Baik, Pak," jawabnya tanpa ragu.Erlangga melangkah meninggalkan meja kerjanya dengan langkah cepat, meninggalkan Emma yang sedang menyiapkan jadwalnya. Langkahnya cepat dan mantap, seolah ada sesuatu yang mengejar di belakangnya."Oh ya… satu hal lagi! Jan

  • Hasrat Terlarang dengan Atasan   BAB 11 Manusia tidak tahu diri

    Venina kembali ke kantor dengan langkah gontai setelah menyelesaikan tugas yang diberikan Alfian. Wajahnya masih memendam kelelahan ketika dia melangkah keluar dari lift. Namun, langkahnya terhenti mendadak saat dia bertemu dengan pria yang sama yang telah membuatnya merasa tidak nyaman di ruang direksi kemarin.Pria berperut buncit itu menatapnya dengan sorot mata penuh penilaian, membuatnya ingin segera pergi dari sana.“Kopi buatanmu kemarin enak sekali. Aku ingin kamu membuatkannya lagi dan mengantarkannya ke ruanganku,” ujar pria itu dengan senyum yang menyiratkan keangkuhan di bibirnya.Venina hanya terdiam, tidak berani menatap langsung pria itu. Jemarinya meremas-remas ujung roknya, mencoba menenangkan diri. “Kenapa? Kamu tidak mau melakukannya karena saya bukan direktur utama?” Pria itu semakin mendekat, membatasi ruang gerak Venina.“Baik, Pak. Tunggu sebentar,” Venina menjawab singkat, berusaha menghindar dan melangkah menjauh. Diusapnya wajahnya dengan kasar ketika pria

Bab terbaru

  • Hasrat Terlarang dengan Atasan   BAB 129 (Final Chapter)

    Venina sedang menyiapkan teh di dapur ketika Erlangga menghampirinya dengan wajah serius. "Nina, kita harus bicara soal Erna," ujarnya dengan nada tegas.Venina menghela napas panjang, sudah menduga arah pembicaraan ini. "Ada apa lagi, Mas?""Saya rasa kita harus lebih tegas. Erna harus menggugurkan kandungannya," Erlangga berkata tanpa basa-basi.Cangkir teh di tangan Venina hampir terlepas. Dia menatap suaminya dengan tatapan tak percaya. "Apa? Mas bercanda, kan?""Saya serius, Nina. Ini demi masa depan Erna. Dia masih terlalu muda, belum siap jadi ibu," Erlangga bersikeras.Venina menatap suaminya dengan tajam, "Mas, aku nggak nyangka kamu bisa ngomong kayak gitu. Erna itu anak kita, darah daging kita sendiri. Gimana bisa

  • Hasrat Terlarang dengan Atasan   BAB 128 Gejolak Perasaan 3

    Erlangga berdiri kaku di depan ruang pemeriksaan, matanya tak lepas dari pintu yang tertutup rapat, seolah-olah bisa menembus dinding untuk melihat keadaan putrinya. Kekhawatiran terukir jelas di wajahnya, campuran antara rasa takut akan kondisi Erna dan amarah yang masih bergolak dalam dadanya.“Erna…," bisiknya berulang-ulang, suaranya serak oleh emosi yang tak terbendung. Tangannya mengepal dan mengendur secara bergantian, menunjukkan pergulatan batin yang hebat di dalam dirinya.Venina berdiri di sampingnya, berusaha menenangkan suaminya dengan kata-kata lembut di tengah kecemasannya sendiri. "Erna akan baik-baik saja, Mas. Dia gadis yang kuat."Erlangga menoleh tajam, rahangnya mengeras. Dia masih belum bisa memaafkan Venina yang telah menyembunyikan kehamilan Erna darinya. "Baik-baik saja?" desisn

  • Hasrat Terlarang dengan Atasan   BAB 127 Gejolak Perasaan 2

    Erlangga dengan mata berkilat penuh amarah, menerobos masuk ke ruang rapat tanpa peduli tatapan kaget karyawan di sekelilingnya. Fokusnya hanya tertuju pada satu orang: Arya Prasetya.Tanpa basa-basi dan tanpa peduli dengan kehadiran orang lain di ruangan itu, Erlangga mencengkeram kerah kemeja Arya dengan kekuatan yang bahkan mengejutkan dirinya sendiri."Brengsek kau!" desis Erlangga, giginya bergemeletuk menahan amarah yang sudah di ujung tanduk.Arya, yang biasanya tampil penuh wibawa, kini hanya bisa pasrah. Dia tahu hari ini akan tiba, hari di mana Erlangga akan datang padanya.Begitu berada di luar, Erlangga melepaskan cengkeramannya hanya untuk melayangkan pukulan telak ke wajah Arya. Suara debuman keras terdengar ketika tubuh Arya terhempas ke dinding. Namun, Ar

  • Hasrat Terlarang dengan Atasan   BAB 126 Gejolak Perasaan

    "Mama, cukup!" teriak Erlangga, suaranya bergetar menahan amarah. "Berhentilah menyakiti Venina dan menghancurkan keluarga saya!"Amita mendengus keras, matanya menyipit penuh kebencian. "Menghancurkan keluargamu? Justru wanita itu yang menghancurkan segalanya!" Dia menunjuk Venina dengan jari gemetar. "Kamu tidak bisa memperlakukan Mama seperti ini hanya karena wanita penghasut seperti dia, Angga!"Erlangga menarik napas dalam, berusaha mengendalikan emosinya. "Mama, please. Hentikan semua ini."Namun Amita seolah kerasukan. Dia melanjutkan dengan suara melengking, "Kamu tidak bisa menjadi anak durhaka hanya karena membela wanita penggoda yang telah membunuh Nathalia dan membuat Erna kehilangan kasih sayang!"Kata-kata itu menjadi pemicu yang menghancurkan pertaha

  • Hasrat Terlarang dengan Atasan   BAB 125 Kilatan Kemarahan 2

    Mobil melaju dalam keheningan yang mencekam. Venina mencengkeram setir erat, sesekali melirik ke arah Erna yang duduk diam di sampingnya. Putrinya itu tampak tenggelam dalam pikirannya sendiri, matanya kosong menatap jalanan yang bergerak cepat di luar jendela.Venina ingin sekali memecah kesunyian ini, ingin memeluk Erna dan mengatakan bahwa semuanya akan baik-baik saja. Namun, dia tahu ini bukan saat yang tepat. Luka dan kebencian yang selama ini tertanam di hati gadis itu tidak bisa begitu saja hilang dalam sekejap.Erna, di sisi lain, merasakan pergolakan batin yang hebat. Selama ini dia selalu percaya bahwa ibunya adalah wanita jahat yang telah menghancurkan keluarganya. Tapi hari ini, untuk pertama kalinya, dia melihat sisi lain dari Venina. Sisi seorang ibu yang rela berjuang melawan dunia demi anaknya.Setel

  • Hasrat Terlarang dengan Atasan   BAB 124 Kilatan Kemarahan

    Ketegangan memenuhi ruangan itu seperti listrik statis yang siap meledak. Amita, dengan wajah merah padam dan mata berkilat-kilat penuh amarah, menatap Venina seolah-olah ingin menghancurkannya di tempat."Berani-beraninya kamu datang ke sini!" desis Amita, suaranya penuh kebencian. "Kamu pikir kamu siapa, tiba-tiba muncul dan merusak segalanya?"Venina, yang berdiri tegak di ambang pintu, tak gentar menghadapi tatapan membunuh mertuanya. Matanya terfokus pada Erna yang terbaring pucat di ranjang pemeriksaan."Erna, Sayang," panggil Venina lembut, mengabaikan Amita. "Kamu nggak apa-apa?"Amita mendengus keras. "Jangan pura-pura peduli, dasar wanita jalang! Kamu tidak punya hak atas Erna!"Venina menoleh tajam ke arah Amita, m

  • Hasrat Terlarang dengan Atasan   BAB 123 Sejarah yang terulang 2

    Erna meringkuk di sudut kamarnya, tubuhnya gemetar hebat seolah dilanda demam. Matanya yang sembab menatap kosong ke dinding, sementara tangannya tak henti-hentinya mengusap perutnya yang masih rata. Pikirannya berkecamuk, suara-suara dalam kepalanya saling berteriak."Om Arya..." nama itu terucap lirih, penuh kepedihan. Pria beristri itu, yang hanya menghabiskan satu malam bersamanya, kini telah meninggalkan jejak yang tak terhapuskan dalam hidupnya. Erna terisak, "Kenapa? Kenapa harus seperti ini?"Pikirannya terus berkecamuk, bayangan-bayangan mengerikan berkelebat di benaknya. Wajah kecewa papanya, tatapan jijik dari masyarakat, masa depannya yang hancur... tapi kemudian, dia membayangkan senyum seorang bayi, tawa kecil yang mungkin tak akan pernah dia dengar. Air matanya kembali mengalir deras.Suara ketukan pi

  • Hasrat Terlarang dengan Atasan   BAB 122 Sejarah yang terulang 1

    Erna merebahkan tubuhnya di atas ranjang, matanya memandang kosong ke arah langit-langit kamar. Kepalanya berdenyut-denyut menahan gejolak emosi yang bergejolak di dalam dirinya.Sepeninggal Om Arya, gadis itu merasa hidupnya seolah runtuh berkeping-keping. Hatinya seakan terkoyak, meninggalkan luka yang mungkin tak akan pernah sembuh. Semua kebahagiaan yang sempat dirasakannya kini berganti dengan rasa sakit yang menyeruak.Tanpa terasa, air mata mulai mengalir di pipinya. Erna menangis dalam diam, tak sanggup lagi menahan gejolak perasaannya. Kenapa Om Arya tega membuangnya begitu saja? Kenapa pria itu begitu keras kepala dengan keputusannya?Erna mengerang frustrasi, menutupi wajahnya dengan bantal, berharap bisa meredam tangisannya. Namun, isak tangisnya tetap lolos, membuat tubuhnya berguncang hebat.

  • Hasrat Terlarang dengan Atasan   BAB 121 Bara Tak Terkendali 4

    Arya turun dari ranjang, berlutut di samping Erna. Dengan lembut ia mengangkat dagu gadis itu, memaksa Erna menatap matanya. "Dengarkan Om, Erna. Kamu adalah gadis yang luar biasa. Kamu cantik, pintar, dan punya hati yang baik. Suatu hari nanti, kamu akan menemukan pria yang tepat untukmu. Pria yang bisa mencintaimu sepenuhnya, tanpa beban masa lalu atau kewajiban lain.""Tapi aku maunya Om Arya!" Erna berseru frustasi, air matanya mengalir deras. "Apa kurangnya aku, Om? Apa yang harus aku lakukan supaya Om mau sama aku?"Arya menggeleng pelan, matanya menyiratkan kesedihan yang mendalam. "Bukan masalah kurang atau lebih, Erna. Ini masalah benar dan salah. Hubungan kita... ini salah. Harus berakhir di sini.""Nggak! Aku nggak mau!" Erna mencengkeram lengan Arya erat. "Om nggak bisa ninggalin aku gitu aja setelah apa

DMCA.com Protection Status