“Apa kamu wanita itu?” Pertanyaan itu berhasil membuat tubuh Venina menegang. Dia memegang erat berkas di tangannya seolah benda itu adalah perisai yang akan menyelamatkannya.
“Saya… saya tidak mengerti maksud, Bapak,” sahutnya dengan gemetar.
“Apa kamu ada di ruangan saya semalam?” desak Erlangga dengan tak sabar.
Ayrin menghela napas sambil berusaha menenangkan diri agar keresahannya tak terlihat. “Saya langsung pulang, Pak.”
Namun, Erlangga tidak puas dengan jawaban itu. “Lalu kenapa kacamatamu ada di ruangan saya?” tanya Erlangga dengan suaranya yang berat, menekan Venina untuk memberikan penjelasan yang jelas.
Venina merasakan detak jantungnya semakin cepat. Dia merutuki dirinya sendiri karena kecerobohannya yang menyebabkan kacamatanya tertinggal di ruangan Erlangga. "Saya… saya tidak tahu, Pak," ucapnya yang terdengar bodoh, hampir terdengar seperti bisikan yang terhenti di tenggorokannya.
Jari-jemari Erlangga menyentuh wajahnya, membuat Venina terkejut. "Kamu tahu betul apa yang terjadi malam itu, Nina. Jangan berpura-pura seolah-olah kamu bisa melupakannya begitu saja," bisiknya dengan suara lembut, tetapi berisi ancaman yang tak terelakkan. “Kamulah wanita itu!”
Venina merasa dunianya berputar. Dia terperangah oleh kata-kata Erlangga. Seketika tubuhnya terasa lemas hingga dia terpaksa berlutut di hadapan pria itu. "Saya… saya janji akan melupakan semuanya dan tidak akan pernah membahasnya, Pak. Tapi tolong jangan pecat saya," pintanya dengan suara yang hampir tercekik oleh kecemasan.
Erlangga juga berlutut, menyamai posisi Venina. Dia mencengkeram kedua pipi wanita itu dengan keras. "Jadi, benar kamu memanfaatkan kondisi saya semalam?" tanyanya, suaranya terdengar dingin dan penuh dengan ketidakpercayaan.
Venina tertegun mendengar tuduhan itu. Dia tidak bisa mempercayai bahwa Erlangga mengira dirinya telah memanfaatkan kondisinya.
“Kenapa kamu diam, huh?” ejek Erlangga dengan sengit. Kemarahan dan kecurigaan terlihat jelas di matanya. “Apa benar yang saya katakan itu? Apa benar kamu kembali ke ruangan saya dan menggunakan kesempatan itu untuk bisa bersama dengan saya?”
Mendengar ejekan itu, amarah mulai membara di dalam diri Venina. Dia merasa terhina oleh perlakuan Erlangga yang meragukan integritasnya. "Apa yang sebenarnya Bapak ingin dengar dari saya?" tantangnya dengan berani, tatapannya menusuk tajam ke dalam mata pria itu.
“Jangan main-main dengan saya, Nina! Jangan paksa saya untuk berbuat lebih dari ini!” Erlangga menghempaskan tangannya, membuat Venina terduduk di lantai.
Venina menghela napas panjang sebelum menjawab atasannya itu, "Ya, kita memang bercinta semalam kalau memang itu yang ingin Bapak dengar," ucapnya dengan suara yang penuh dengan keberanian, meskipun tubuhnya gemetar oleh ketakutan.
Geraman kekesalan Erlangga menggema di ruangan itu. Dia merasa amarahnya meluap-luap, tetapi Venina tetap berdiri tegak, menahan pandangan tajam sang atasan. "Lebih baik Bapak memeriksa kamera pengawas untuk mengetahui semua yang terjadi. Mungkin semuanya akan lebih jelas," ujarnya dengan suara yang bergetar namun penuh dengan keberanian.
Dengan langkah mantap, Venina meninggalkan ruangan itu, meninggalkan Erlangga dengan sisa-sisa tenaga yang dia miliki.
***
Erlangga memijat pelipisnya dengan kuat. Perasaan jijik menyeruak dalam dirinya setelah melihat bagaimana caranya meluluhkan Venina. Dia telah merusak kehormatan wanita itu dengan cara yang paling kasar menurutnya.
Diingatnya kembali bagaimana ekspresi wanita mungil berkacamata itu ketika memandangnya dengan tajam meski seluruh tubuhnya gemetar.
"Ya, kita memang bercinta semalam kalau memang itu yang ingin Bapak dengar," suara Venina terus bergema di telinganya, menyebabkan kepalanya berdenyut-denyut.
Perhatian Erlangga teralihkan ketika ponselnya berdering. Dia menyambar ponselnya dengan gerakan cepat, tangannya gemetar saat dia menjawab panggilan. "Batalkan semua pertemuan saya hari ini!" perintahnya pada Riko, asistennya, dengan suara yang tegas.
"Oh ya, tolong panggilkan Venina. Suruh dia ke ruangan saya sekarang!" tambah Erlangga sebelum mengakhiri panggilan.
Tak lama, ponsel Erlangga kembali berdering. Riko mengabarkan bahwa Venina tidak ada di ruangannya dan dia tidak bisa menghubunginya.
Erlangga langsung bangkit dari kursinya, jantungnya berdegup kencang. Pikirannya dipenuhi oleh segala kemungkinan mengerikan yang bisa saja terjadi pada wanita itu. Venina pergi dalam kondisi emosi, sementara wajahnya tampak begitu pucat. Mungkinkah dia…
Dengan langkah cepat, Erlangga keluar dari ruangannya. Tatapannya menyapu meja Venina, mencari-cari tanda-tanda keberadaannya. Namun, tidak ada apa-apa kecuali tas dan ponselnya yang tergeletak di atas meja.
Entah karena naluri atau pemikiran lainnya, Erlangga langsung menuju ke lift dan menekan tombol untuk naik ke lantai atas. Dia menunggu dengan tidak sabar sampai akhirnya pintu lift terbuka, lalu dengan langkah cepat, dia melangkah keluar dan menaiki tangga menuju rooftop.
Ketika dia sampai di atas, napasnya tersengal-sengal. Dia melihat Venina berdiri di tepi gedung, tubuhnya terayun di ambang bahaya. "Kamu gila, huh?!" jerit Erlangga, langkahnya terburu-buru mendekati Venina. Dengan cepat, dia menarik tubuh mungil itu ke dalam pelukannya.
"Kamu pikir dengan mati semua masalah akan selesai?" desis Erlangga, suaranya penuh dengan kecemasan dan kekesalan. Dia merasakan detak jantungnya berdebar liar di dada Venina, memadukan dengan irama yang sama di dalam dadanya sendiri.
"Apa yang kamu pikirkan, Nina?" Erlangga mencoba menenangkan diri sebelum berbicara lebih lanjut. Dia melepaskan pelukannya lalu menatap wanita di hadapannya lekat-lekat. “Apa kamu benar-benar ingin membunuh diri dan membuat saya merasa bersalah selamanya?”
Namun, tanggapan Venina tak kunjung datang. Dia hanya menundukkan kepalanya, bibirnya bergetar tanpa suara. Dan dalam keheningan itu, Erlangga merasa sesak. Apa yang sudah dia lakukan? Bagaimana dia bisa sampai melakukan hal itu pada sekretarisnya yang polos dan tampak naif ini?
“Maafkan saya, Nina. Maafkan semua kesalahan saya semalam,” ujarnya dengan tulus. Diremasnya bahu Venina dengan lembut. Diletakkannya satu jarinya di bawah dagu wanita itu agar menatapnya.
“Lihat saya, Nina!” Erlangga menjaga suaranya agar terdengar netral.
Wanita itu mengangkat wajahnya, dan dalam tatapannya Erlangga bisa melihat campuran antara kegetiran dan keputusasaan. Wajahnya pucat, dan matanya terlihat begitu lelah. "Apa yang Bapak inginkan?" tanyanya dengan suara yang datar, membuat Erlangga terkejut. Tidak pernah sebelumnya dia mendengar nada seperti itu dari Venina.
“Kita harus berbicara tentang semalam, Nina,” kata Erlangga dengan tegas. Membuat tubuh Venina menegang dan semburat merah mewarnai pipinya yang pucat itu.
Tanpa disangka, reaksi Venina memicu sesuatu dalam diri Erlangga. Gambaran tubuh wanita itu, lembut dan menggoda, tiba-tiba saja muncul di benaknya. Dia merasakan denyutan getaran di seluruh tubuhnya.
Kini, dia tidak perlu bertanya-tanya seperti apa tubuh Venina di balik pakaian kerjanya yang monoton dan tampak longgar di tubuhnya itu. Dia sudah tahu. Dan dia harus menghapus semua ingatan itu dari benaknya.
“Apalagi yang harus dibicarakan?” Tangan Venina saling bertautan. Terlihat buku-buku jarinya memutih ketika dia meremasnya dengan kuat.
"Kita harus membicarakan tentang kemungkinan yang bisa saja terjadi kedepannya," ujar Erlangga dengan tegas, mencoba menemukan kata-kata yang tepat untuk mengungkapkan ketakutannya.
"Kemungkinan apa?" Venina menatapnya dengan dahi berkerut, mencoba memahami apa yang sedang dibicarakan oleh Erlangga.
"Kemungkinan kalau saja kamu akan hamil," ujar Erlangga dengan hati-hati, menelan ludah saat dia mengungkapkan kata-kata itu. "Karena sepertinya kita melakukannya tanpa pengaman."
Venina terdiam, matanya membesar mendengar kata-kata itu. “Hamil?” gumamnya sambil mengusap perutnya tanpa sadar. Bagaimana mungkin dia tidak memikirkan kemungkinan itu setelah apa yang terjadi di antara mereka?
"Kenapa kamu harus sebodoh ini, Nina?" umpatnya pada dirinya sendiri dengan nada penuh keputusasaan ketika dia baru saja keluar dari ruangan Erlangga.Tubuhnya kembali bergetar ketika mengingat kata-kata lancangnya kepada atasannya itu. Dia menampar pipinya berkali-kali, mencoba mengusir semua bayangan buruk di kepalanya.Namun, alih-alih tenang, perasaannya malah semakin tidak karuan ketika membayangkan bagaimana reaksi Erlangga saat melihat video yang menampilkan percintaan mereka semalam. Rasa malu dan penyesalan menyergapnya, dia merasa ingin tenggelam di dalam tanah dan menghilang dari pandangan semua orang."Aargh! Apa sih yang kamu pikirkan, Nina?" desisnya frustrasi pada dirinya sendiri. Tanpa berpikir panjang, dia mengambil keputusan untuk pergi ke rooftop, berharap pikiran dan perasaannya akan menjadi lebih tenang di sana.Namun, harapannya tidak sesuai kenyataan. Setelah susah payah menaiki ratusan tangga sampai kakinya terasa sakit dan dadanya terasa panas, bayangan pria i
“Nah, gaun ini sangat pas di tubuhmu, Nina,” kata Alfian, wakil direktur yang baru saja bergabung di perusahaan yang juga menjadi atasan Venina untuk sementara waktu."Tapi… gaun ini…” Venina terdiam, merasa kesulitan untuk mengungkapkan ketidaknyamanannya. Dia tahu bahwa dia harus berbicara dengan hati-hati agar tidak menyinggung perasaan Alfian, tetapi sulit untuk menyembunyikan ketidaknyamanannya dengan gaun tersebut. “Sebaiknya saya mengganti pakaian saya, Pak. Saya tidak ingin mempermalukan Bapak.”“Oh, ayolah, Nina! Tidak ada yang salah dengan gaunmu,” sahut Alfian dengan santai tanpa nada melecehkan. “Lagipula kita bukannya pergi ke acara resmi. Jadi, tidak perlu berpakaian terlalu formal.”Venina mengangguk pelan, tapi hatinya tetap gelisah. Dia merasa canggung saat melihat sorot mata terkesan Alfian yang memandangnya. "Kamu cantik, dan saya yakin siapa pun yang melihatmu malam ini, dia akan terpikat. Jadi, sebaiknya kamu lebih percaya diri, Nina," tambahnya dengan nada meyaki
“Kenapa Bapak membawa saya ke sini?” ulang Venina dengan dingin setelah Erlangga menurunkan tubuhnya di atas ranjang. “Ini kamar saya. Gunakanlah saja kamar ini karena saya bisa memesan kamar lain,” sahut Erlangga dengan santai. “Nanti saya akan meminta bellboy untuk memindahkan barang-barangmu.”Venina merasa api kemarahan mulai membara di dalam dirinya. Dia menahan diri untuk tidak langsung meledak. “Tidak perlu, saya ingin tidur di kamar saya sendiri,” ucapnya dengan nada tegas.Namun, Erlangga menahan lengan Venina dengan lembut. “Mau sampai kapan kamu bersikap seperti anak kecil begini, Nina?” ujarnya dengan suara yang tenang, tetapi penuh dengan penegasan.Emosi Venina mendidih mendengar celaan tersebut. Dengan gerakan cepat, ia menarik tangannya kembali, tatapannya tajam ke arah Erlangga. “Sampai Bapak berhenti mempermainkan saya,” sahutnya dengan suara yang dipenuhi dengan kekesalan.“Mempermainkanmu?” tanya Erlangga dengan alis terangkat, tampak bingung dengan tuduhan terseb
"Apa yang kamu lakukan, Nina?" suara itu tiba-tiba terdengar, mengoyak keheningan dan membuat bulu kuduknya merinding.Venina terperanjat mendengar suara itu. Mulutnya setengah terbuka dan napasnya tercekat ketika tatapannnya berserobok dengan mata Alfian.“Kamu sedang apa?” ulang Alfian lagi dengan wajah tenangnya. Matanya tidak terlepas dari wajah Venina.Venina menoleh dengan lambat, napasnya tercekat ketika mata bertemu dengan sosok Alfian. Tatapannya terpaku pada wajah tenang pria itu, namun tubuhnya bergetar dalam ketegangan yang tak terlukiskan."Saya.. saya harus pulang, Pak," ucap Venina dengan suara yang terbata-bata, mencoba menahan kecemasan yang melanda dirinya. Kehadiran Alfian membawa sedikit kelegaa
“Berengsek! Apa-apaan ini?”Erlangga duduk di belakang meja kerjanya dengan wajah yang berkerut kesal, menatap surat pengunduran diri Venina yang tergeletak di depannya. Tangannya meremas-remas kertas itu dengan gerakan kasar seolah-olah ingin menghancurkannya. Pikirannya masih terus memutar balik momen saat dia menyadari Venina telah menghilang dari kamar hotelnya. Rasa kecewa dan amarah bercampur aduk dalam dirinya."Sialan!" bentak Erlangga, membuang surat itu dengan kasar ke dalam kotak sampah di sebelah meja. Tapi bahkan ketika surat itu lenyap dari pandangannya, perasaan kecewa tak kunjung pergi.Alfian, yang duduk di sudut ruangan dengan santainya, mengangkat cangkir kopinya sambil menatap Erlangga dengan rasa pengertian yang dalam.“Sudahl
Setelah melepaskan diri dari Erlangga, Venina menjauh beberapa langkah, mencoba meredakan detak jantung yang berdegup kencang di dadanya. Matanya memandang Erlangga dengan tatapan tajam, mencoba menyingkirkan kecemasan yang merayap di dalam dirinya.“Hal apa lagi yang perlu dibicarakan di antara kita?” tanyanya sambil berusaha untuk tetap tenang.Namun, semua usahanya itu sia-sia ketika Erlangga mendekat, langkahnya mantap dan penuh keyakinan. Venina merasakan darahnya berdesir seketika, dan getaran itu semakin kuat ketika pria itu berbicara di telinganya. "Saya tidak bisa menerima surat pengunduran dirimu begitu saja, Venina," bisiknya dengan tegas, suaranya terdengar berat di telinganya.Venina menahan napasnya sejenak, mencoba meredakan denyutan yang semakin keras di dadanya. Dia membalas tatapan Erlangga, mencoba menunjukkan keteguhan hatinya. "Saya sudah memutuskan untuk berhenti bekerja. Saya tidak ingin kita berurusan lagi.”Erlangga tersenyum pahit. Dia mendekat lagi, tanganny
“Kamu pasti bisa melewatinya, Nina,” kata Venina pada dirinya sendiri dengan penuh semangat. Dia melangkah dengan langkah pasti menuju meja kerjanya. Di sela-sela langkahnya, dia mencoba menenangkan diri dari kecemasan yang memenuhi pikirannya. Sudah beberapa hari sejak dia kembali ke kantor setelah pembicaraannya dengan Erlangga. Dan kini Venina merasa sudah lebih santai karena tidak perlu berhadapan dengan pria itu lagi. Setidaknya sampai hari ini. Ketika dia mendengar suara langkah kaki mendekat, Venina menoleh dan melihat Alfian sudah berdiri di depannya.“Selamat bergabung kembali, Nina. Saya senang akhirnya kamu memutuskan untuk bekerja bersama kami lagi,” ujarnya dengan pembawaannya yang tenang dan senyum khasnya yang seakan tidak pernah hilang dari bibirnya. Venina membalas senyuman itu dengan canggung. Meskipun dia bersyukur tidak lagi harus berhadapan dengan Erlangga setiap hari, kehadiran Alfian dengan aura misteriusnya juga tidak membuatnya merasa lebih baik. "Terima k
Erlangga berjalan dengan langkah cepat di lorong kantor, matanya terus menatap jam tangannya yang menunjukkan waktu yang semakin mendesak. Dia tampak cemas dan gelisah, mengingatkan Emma, sekretaris barunya, untuk mengatur ulang jadwalnya hari ini."Tolong atur ulang jadwal saya hari ini. Dan tunda semua rapat. Saya sedang ada keperluan di luar," perintah Erlangga, suaranya dingin tanpa sepatah pun raut wajahnya mengarah pada Emma.Emma menatap Erlangga dengan sikap yang lugas, menerima perintahnya tanpa ragu. "Baik, Pak," jawabnya tanpa ragu.Erlangga melangkah meninggalkan meja kerjanya dengan langkah cepat, meninggalkan Emma yang sedang menyiapkan jadwalnya. Langkahnya cepat dan mantap, seolah ada sesuatu yang mengejar di belakangnya."Oh ya… satu hal lagi! Jan