Toussaint adalah kutukan.
Natalie sudah mengenal hampir semua orang dalam keluarga tersebut sejak kecil dan gadis itu percaya tidak ada sedikit pun keburikan pada paras semua anggota keluarga Toussaint. Ditambah lagi, mereka rata-rata memiliki otak cerdas yang lebih sering digunakan dalam kelicikan. Catherine juga Axel mungkin adalah yang paling tenang. Selain mereka berdua, Natalie tidak memiliki kesabaran lebih untuk menghadapi mereka. Terutama, Dietrich. Kapan pun lelaki itu muncul, dapat dipastikan hari Natalie bakal berakhir buruk. Seperti hari ini. "Nat! Tunggu aku! Astaga, apa telingamu sudah tuli? Nat—" Tangan Dietrich telah berhasil menyambar siku Natalie. Dalam sekejap, lelaki itu membalikkan badan Nat dan berbicara dengan nada menegur yang menyebalkan. "Dengarkan jika ada yang berbicara padamu." Natalie menghela napas. Ketika mendongak, gadis itu melihat sosok wajah tampan rupawan dengan ekspresi memelas yang membuat Nat seketika mendapatkan bombastic side eye dari orang sekitar. Nah, begitulah Toussaint begitu manipulatif sehingga kini Natalie merasa tersudut dan tersalahkan karena Dietrich mengejarnya dalam kondisi basah kuyup setengah kedinginan. Mon Dieu. Padahal lelaki ini tahu di mana letak ruang penyimpanan pakaian bersih dan handuk?! "Aku akan memberikan beberapa masukan yang membantu dalam rapat." Dietrich berkata. "Izinkan aku ikut." Natalie tidak punya pilihan lain selain membawa Dietrich ke ruang laundry, lalu mengambilkan sebuah handuk untuk lelaki itu. "Tidak. Tidak perlu. Nanti juga kering sendiri. Aku tidak takut dingin. Aku—" Natalie tidak mengizinkan Dietrich untuk menyelesaikan ucapan. Tangannya sudah bergerak untuk menyeka air dari kepala Dietrich dengan handuk—seolah ia sedang mengeringkan bulu pudel kesayangan keponakannya. Namun, Dietrich justru bersikap bagai pudel betulan dengan tertawa-tawa senang. "Sudah lama sekali tidak ada yang mengeringkan rambutku. Lakukan lagi, Nat. Sekalian pijat bagian sini. Berikan tekanan lagi, astaga. Kau ini sungguh tidak bertenaga atau kau belum makan? Porsi makanmu sedikit? Kalau betul begitu, malam ini biarkan aku yang mentraktirmu makan." Natalie memutar bola mata dan memerhatikan sekitar. Saat yakin tak ada satu pun yang akan mendengar pembicaraan mereka, gadis itu baru mulai membalas perkataan Dietrich. "Apakah kau tahu kalau kau berisik sekali, Di?” Pandangan Nat beralih pada karpet. “Oh, lihatlah kau sudah mengotori karpet Lyubova dengan semua air hujan yang menetes dari badanmu." Dietrich tertawa tidak terima. "Menurutmu, karena siapa aku basah? Hmm?" Natalie memutar bola mata sekali lagi. "Sudahlah. Keringkan badanmu, berganti pakaian dengan kemeja Lyubova, lalu pulanglah." Dietrich mengerutkan hidung. "Aku tidak terbiasa memakai pakaian pekerja." Natalie mendelik. "Oke. Baiklah. Aku akan berganti pakaian. Mon Dieu, kau ini bawel sekali. Persis seperti ibuku. Ah, tidak. Kau lebih mirip bibi Stéphanie." Dietrich mulai membuka pakaian sembarangan. Namun, Natalie sudah terbiasa. Dengan sopan, gadis itu mengalihkan pandangan ke arah lain. Arah mana pun selain perut sixpack Dietrich Toussaint. "Well. Aku memang anaknya." Dietrich menyemburkan tawa. "Kau benar." Natalie memandang keluar jendela. Ke arah langit yang masih berwarna kelabu dan rintik hujan. "Tidak perlu ikut rapat denganku. Aku yakin aku bisa menghadapi klien-klien ini sendiri. Apakah kau mengkhawatirkan aku, Di?" Dietrich memakai kaus lengan panjang berwarna putih dengan logo Lyubova, merapikan diri di depan cermin, lalu mengedikkan bahu dan tertawa. "Kau benar-benar dipenuhi rasa kepercayaan diri yang teramat berlebihan. Aku tidak mengkhawatirkanmu. Tidak sama sekali." Natalie mengangguk. Ia mencuri pandang sedikit ke belakang hanya untuk memastikan Dietrich sudah memakai pakaian dengan benar. "Aku mungkin tidak memiliki otak secemerlang kalian dari keluarga Toussaint. Namun, kurasa aku tidak terlalu bodoh." Dietrich mendengkus. "Sebaiknya begitu." Natalie tersenyum. "Jangan khawatir. Lyubova berada di tangan yang tepat. Aku bisa menanganinya." "Nat—" "Aku tahu kau punya banyak urusan, Dietrich. Akan ada RUPS—Rapat Umum Pemegang Saham—dalam beberapa hari di Patricia Royal Inn Worldwide Inc. Tolong jangan tambah beban pikiranmu dengan sesuatu seremeh Lyubova. Lagi pula, aku tidak sendirian di sini. Kat ada di bawah bersama suaminya. Chiara ada di dalam. Achilleas juga akan bergabung bersama kami lewat video conference. Pulanglah, Dietrich. Kau ditunggu di Brussel." Natalie berkata sungguh-sungguh. Dietrich terdiam agak lama. Namun, lelaki itu kemudian mengangguk. "Kalau begitu aku akan kembali setelah RUPS untuk menagih traktiran makan malam darimu." Natalie memberengut. "Tadi, kau sendiri yang bilang bahwa tenagaku menyedihkan dan kau bahkan merasa iba sampai ingin mentraktirku makan." Dietrich mengedikkan bahu. "Baiklah. Aku yang akan mentraktirmu makan. Sabtu malam. Pukul delapan tepat. Di Le Meurice Alain Ducasse." Tunggu sebentar. Mengapa Natalie merasa seolah dirinya sedang ... dijebak? Sebelum melangkah pergi, Dietrich berhenti dan menoleh sekali lagi. "Aku tidak menerima keterlambatan. Sampai jumpa hari Sabtu." ♡♡♡ Le Meurice Alain Ducasse memiliki ruang makan yang menampilkan kesan klasik. Tempat itu didominasi oleh cermin antik, lampu kristal, barang-barang dari perunggu, marmer, dan lukisan dinding. Jendela besar membingkai pemandangan yang menghadap langsung ke Jardins des Tuileries. Salah satu taman terindah yang paling disukai Natalie di seluruh penjuru Paris. Gadis itu menghabiskan hampir sepanjang minggu dengan bekerja. Akan tetapi, ada perasaan aneh yang mengganjal di dalam hatinya. Semuanya terlalu ... tenang. Bukannya dia tidak menyukai ketenangan. Hanya saja tidak bertemu dengan Dietrich membuat hati Nat jadi mengalami sebuah ketenangan yang aneh. Sepertinya begitulah rasanya ketika kau sudah tumbuh sejak kecil dengan seseorang, lalu tiba-tiba tidak bertemu dengannya. Natalie mendengkus. Mon Dieu. Dietrich bahkan bukan kakaknya sungguhan. Mengapa dia sampai harus repot-repot merasakan perasaan yang sulit untuk didefinisikan hanya karena tidak bertemu Dietrich? "Nona Casiraghi." Salah satu pelayan restoran datang menghampiri saat melihat Natalie memasuki area. "Anda sudah ditunggu." Natalie berhati-hati melirik jam tangannya. Belum pukul delapan, tapi Dietrich sudah datang? Seluruh ruangan didominasi desain klasik kontemporer berwarna putih. Namun, lelaki itu memakai pakaian earth tone—pilihannya berkutat di sekitar cokelat, beige, sedikit krem, dan tampilan yang selalu dipadukan hingga detail terkecil. Meskipun tampil menonjol, Dietrich Toussaint tidak pernah menonjol dengan cara yang tidak nyaman untuk dilihat. Bahkan, Natalie tidak akan heran jika seseorang akan salah menduga Dietrich sebagai bintang film Hollywood yang sedang liburan. Pria tampan itu sedang bersandar santai dengan lengan terulur di sandaran kursi sampingnya. Posturnya santai, kakinya disilangkan. Pandangan matanya fokus di kejauhan, memandang daun-daun musim gugur di Jardin des Tuleries. Itu sebelum ia mendengar langkah kaki Natalie dan menoleh. "Aku sudah bilang bahwa aku tidak menolerir keterlambatan." Dietrich mulai bersungut-sungut. "Ini belum jam delapan." Natalie memprotes. "Aku sudah tiba di sini dan kau belum. Itu artinya kau terlambat." Dietrich membalas cepat. Natalie hendak memprotes lebih lanjut, tetapi memutuskan untuk mengurungkannya. Benar. Tidak ada gunanya berdebat dengan Dietrich—apalagi saat lelaki itu sudah mulai ngotot bahwa ia benar. "Bagaimana kabar bibi Stéphie?" Dietrich bertanya saat Natalie sudah duduk di hadapannya. Mereka berdua memesan beberapa menu, sebelum Natalie membiarkan pelayan untuk pergi. "Mama baik-baik saja. Dia sedang sibuk dengan beberapa acara kerajaan. Sesuatu semacam charity—pengumpulan dana untuk amal." "Papamu?" Dietrich bertanya lagi. "Papa sibuk dengan bisnisnya." Natalie menjawab. "Tolong jangan mulai bertanya tentang kakak-kakakku." Dietrich menyengir kuda. "Bagaimana dengan kakak-kakakmu?" Natalie memutar bola mata. "Mereka mulai terdengar seperti mama." Dietrich menaikkan kedua alisnya. "Maksudmu?" "Mereka mulai bertanya kapan aku akan menikah." Natalie mendengkus. "Seolah mereka berharap aku bisa menjawab kapan aku akan mati. Menikah itu bukan sesuatu yang bisa diusahakan sendirian, dan ketika aku menjawab begitu, mereka akan murka." Dietrich mulai tertawa terbahak-bahak. "Lain kali, nikmatilah liburanmu di Brussel. Kau tidak akan pusing dengan pertanyaan-pertanyaan yang melelahkan seperti itu." Natalie mengedikkan bahu. "Saran yang bagus." "Aku bersungguh-sungguh. Tidak akan ada yang menanyakan pertanyaan konyol semacam itu padamu." Dietrich tersenyum. "Paling-paling, Paman Axel hanya akan menjodohkanmu dengan Julien." Natalie memberengut dengan cara yang paling menggemaskan. "Tidak lucu." Namun, Dietrich tertawa terbahak-bahak. ♡♡♡Dietrich bersenandung riang selama menyetir sendiri kembali ke Brussel malam itu. Paris, Brussel, dan perjalanan di antara kedua kota itu diiringi langit cerah tak berawan, meski angin berembus lumayan kencang.Dietrich selalu menyukai musim gugur. Aroma daun kering, kayu-kayuan, perapian baru, rasa panas yang mulai berganti lebih sejuk, serta sederetan long coat fashionable yang tidak setebal bahan musim dingin, tapi juga tidak setipis baju di musim panas. Semuanya terasa sangat pas.Akan tetapi, ada satu hal yang merusak kesenangannya hari ini. Ketika membuka pintu ganda menuju ruang kerja kepala keluarga, Dietrich mendapati Paman Axel berada di balik mejanya. Menduduki kursinya lalu,l ketika melihat Dietrich masuk, sang paman mengeluarkan ekspresi tidak setuju karena Dietrich pulang lumayan larut."Ada masalah yang tidak bisa ditunda hingga besok, Paman?" Dietrich melepaskan coat-nya, lalu menuangkan scotch untuk dirinya sendiri. Permasalahan apa pun, jika butuh selarut ini untuk b
Natalie pada awalnya begitu bersemangat untuk pergi liburan ke Brussel. Koper-kopernya sudah siap. Mobilnya juga hampir penuh—sebelum ibu, ayah dan kedua kakak laki-lakinya, beserta keluarga kecil mereka masing-masing, juga bergabung dengan Nat di hall depan istana milik Princess Stéphanie.Semua orang berpenampilan sangat chic, syal-syal hangat dikenakan. Tak lupa dengan scarf warna-warna merah dan cokelat di atas kepala. Plus, kacamata hitam super trendi."Mau ke mana kalian semua?" Natalie bertanya bingung.Semua orang saling berpandangan dengan alis terangkat, lalu meledak tertawa.Princess Stéphanie merangkul bahu putri bungsunya lalu tersenyum lebar, memamerkan deretan gigi-giginya yang putih mengkilap bak porselen. "Mau ke mana, katamu? Tentu saja kami ingin ikut denganmu ke Brussel! Kami juga mendapatkan tawaran liburan di kastil Toussaint. Bukan cuma kau."Natalie memaksa dirinya agar tidak meringis ngeri. "Undangan ... dari Dietrich?""Oh, bukan, Sayang. Dari kawan lamaku Ax
Ketika hari beranjak sore, Natalie mendengar pintu kamarnya diketuk pelan."Nona. Ini hampir waktunya minum teh. Apakah Anda sudah bangun? Kami bisa membantu Anda bersiap."Natalie merenggangkan tubuh, kemudian turun dari tempat tidur bertiang empat di sini dan mengenakan selop kamar. Perempuan itu beranjak ke pintu, membukanya, lalu membiarkan beberapa pelayan perempuan dari Toussaint untuk masuk."Nyonya Catherine berpesan agar kami membawakan sebaskom air es untuk menyegarkan wajah Anda." Salah satu dari mereka berujar.Yang lain ikut masuk dengan senang. "Kami juga membawakan pesan dari Tuan Julien."Oh, yang satu ini membuat Natalie mengernyit. "Julien?" Bukan Dietrich?"Oui, Mademoiselle—Ya, Nona." Salah satu pelayan menyodorkan nampan kecil, membuka tudung sajinya yang berwarna keperakan, kemudian membiarkan Natalie mengambil secarik kertas dengan tulisan cakar ayam dari sana.[Selamat sore, Nona Manis. Aku menunggu untuk mengobrol lebih banyak denganmu pada acara minum teh har
Natalie berpikir. Berpikir keras. Mengesampingkan seluruh perasaan asing menyakitkan yang menderanya, gadis cantik itu mulai mempertanyakan banyak hal. Ini adalah hidupnya. Kisah cintanya. Mengapa banyak sekali orang yang ingin ikut campur?Suasana minum teh di Toussaint begitu hangat dan seharusnya menyenangkan. Denting sendok kecil beradu dengan porselen Sevrés, aroma berbagai macam teh bercampur dengan susu dan madu, dan percakapan-percakapan ringan yang bergulir di seluruh ruangan.Namun, Natalie justru larut dalam lamunan."Nat?" Mungkin ini sudah ketiga kalinya sang mama memanggil—sebelum Natalie pada akhirnya menoleh."Oui—Ya?" Natalie membalas tatapan ibunya dengan sorot teguh tak menampilkan kerapuhan apa pun, meski jauh di dalam hati ia sedikit merasa hancur.Oke, lumayan banyak. Kehancurannya. Nat tidak tahu mengapa, tapi yang diinginkannya saat ini adalah kabur dan menangis di suatu tempat terpencil di sudut kastil atau berada di dalam perlindungan kamarnya dan tidak kelua
Natalie dan Chiara berkuda santai di sepanjang track pacuan yang berada tepat melewati ruang perjamuan minum teh. Pada saat melaluinya, kepala Natalie tidak bisa berhenti untuk menoleh—meski apa yang terjadi di dalam tidak sepenuhnya dapat terlihat dari luar."Aku akan dijodohkan dengan Julien Toussaint." Nat tidak tahan untuk tidak menyemburkan semuanya pada Chiara saat mereka berdua sudah tidak berada di jarak dengar siapa pun.Chiara menoleh. Matanya melebar. "Julien? Julien?! Bukankah dia jahil sekali? Tidak. Tidak mungkin. Kalian sama sekali tidak cocok. Dia bahkan tidak terlalu menyukaimu, Nat!"Natalie melajukan kuda milik Paman Axel pelan-pelan. "Aku tahu. Kami bahkan ... tidak berteman. Tidak sedekat itu, tapi dia memujiku cantik."Chiara menghela napas. Wajahnya mendongak ke langit seolah meminta pertolongan kepada Tuhan. "Kau memang cantik. Semua orang bisa melihatnya. Sedikit pujian dari Julien Toussaint seharusnya tidak menggoyahkanmu."Natalie mengedikkan bahu. "Aku tida
Dietrich tidak sempat berpikir panjang. Ketika semua orang berhamburan keluar membentuk kerumunan di sepanjang pacuan kuda, dia mengikuti arus. Bedanya, saat berhasil keluar melewati pintu-pintu kaca berornamen keemasan dari tempat perjamuan minum teh, Dietrich langsung berderap cepat menuju istal."Siapkan kudaku!" Lelaki tampan itu berteriak pada siapa pun yang bisa mendengarnya di dalam istal.Kuda miliknya, sebuah kuda hitam besar yang tak kalah garang dibanding milik Paman Axel, siap dalam waktu singkat. Masih mengenakan jas dan pakaian semi formal, Dietrich melompat naik ke atas kudanya sendiri.Setelah itu dia dan kudanya berderap bagai satu kesatuan menuju ke pacuan kuda. Berusaha mengejar kuda yang ditunggangi oleh Natalie.Di sisi lain, Natalie berusaha melakukan teknik scrunch. Dengan satu tangan, gadis itu menyatukan tali kekang dan menyelipkan tangannya yang lain di bawah tali tersebut, untuk membuat "remasan" yang ketat pada leher kuda. Hal ini akan memicu rangsang pada
"Kau tampak kacau." Julien dan Axel Junior mengunjungi Dietrich di ruang kerja kepala keluarga Toussaint sebelum makan malam.Yah, benar. Dietrich memang kacau. Kacau balau! Lelaki tampan itu mengurung diri berteman dengan vodka milik Vladimir Alexandrov yang tertinggal—atau sengaja ditinggal—di perpustakaan. Rambutnya kusut masai. Bekas diacak-acak berulang kali oleh tangannya sendiri.Dietrich merebahkan diri di kursi kebesaran milik Toussaint. Sebelah tangannya masih menggenggam leher botol vodka, sedangkan yang sebelah lagi terkulai di sisi tubuh. Pikirannya melanglang buana entah ke mana bahkan si pria tampan masih tetap bergeming saat kedua sepupunya masuk ke ruangan."Aku tidak ada di sana, tapi aku mendengar apa yang terjadi." Axel Junior berkata dengan nada geli yang terdengar kental. "Kudengar Natalie Casiraghi menunggangi kuda milik papa.""Kuda balap." Dietrich membetulkan dengan sengit."Oke. Kuda balap milik papa." Axel Junior membetulkan. Lelaki itu menarik kursi di had
Natalie tidak heran jika pada pengaturan tempat duduk untuk makan malam, dirinya mendapatkan kursi di samping Julien Toussaint. Sementara itu, lewat sudut matanya, Nat bisa melihat Dietrich berada di kepala meja. Tampak begitu berwibawa sebagai head of the family—kepala keluarga Toussaint.Nat sama sekali tidak pernah membayangkan bahwa Dietrich akan cocok sekali mengemban posisi tersebut. Kecongkakan yang hanya dapat dilahirkan dari kekayaan tak habis tujuh turunan sebelumnya, ditambah kepercayaan diri mutlak yang berasal murni dari dalam jiwa lelaki itu, membuat Dietrich seolah tak tersentuh. Pria tampan itu bersinar terang, pembawaannya menimbulkan kesan yang kuat—seolah dirinya adalah raja.Dietrich terlihat berbincang dengan beberapa orang penting dari anggota senat. Meskipun tampak akrab dengan para pria paruh baya tersebut, Natalie menyadari bahwa pria-pria yang diundang kemari semuanya memiliki anak gadis yang belum menikah! Mon Dieu. Toussaint sepertinya tidak main-main kali
Dietrich tersenyum lega. "Papa Casiraghi, kau memang yang terbaik."Mr. Casiraghi terkekeh senang. "Ayo, kemarilah. Kita duduk dan minum cokelat panas bersama. Di luar sana dingin sekali. Paling tidak, di dalam rumah harus hangat."Dietrich dan Natalie ikut duduk di sofa-sofa besar bersama keluarga Natalie yang lain. Pintu telah ditutup dan perapian elektronik sudah dinyalakan. Cokelat panas—seperti yang dijanjikan oleh Mr. Casiraghi—terhidang tak lama kemudian.Princess Stéphanie merangkul Natalie. "Apakah kalian merekam proses pernikahannya? Sejak dulu, aku menganggap pernikahan private adalah yang terbaik. Sayang sekali aku tidak bisa melakukannya, karena aku adalah anak raja. Namun, aku senang Natalie bisa melakukan itu denganmu, Dietrich," ucap Princess Stéphanie.Kalimat itu sontak membuat Dietrich hampir tersedak cokelat panas. "Bibi—maksudku, Mama Stéphie—serius?"Princess Stéphanie terkekeh. "Ya. Aku sebetulnya tidak terlalu suka jadi tontonan. Natalie pun begitu. Benar, ‘kan
Monako di musim dingin terasa sangat nyaman bagi Dietrich. Udara di sini relatif hangat—dibandingkan bumi belahan utara tempat dia biasa tinggal. Monte Carlo, sebuah kota yang memiliki kediaman Princess Stéphanie di dalamnya, adalah salah satu tempat yang dapat dikatakan memiliki kenangan-kenangan indah untuknya.Well, kecuali saat Natalie mengembalikan cincin pemberiannya di pinggir pantai. Dietrich jelas membenci saat itu.Kediaman Princess Stéphanie sangat terkenal. Meski rumah itu milik pribadi, Mr. Casiraghi setuju membukanya untuk umum dalam perayaan-perayaan tertentu. Misalnya saja, acara ulang tahun sang istri di tanggal tiga belas September atau, perayaan hari jadi pernikahan mereka berdua.Dietrich selalu datang dengan keluarganya. Tidak ada alasan untuk tidak datang. Dietrich dan papanya, Anthony Toussaint, jelas kalah telak jika Catherine sudah merengek atau Lady Louise yang mengomel karena tidak ingin ketinggalan acara temannya.Dietrich melenggang bebas ke mana pun di ru
Tidak pernah terbayangkan dalam hidup Dietrich bahwa dia akan menikahi Natalie. Apa lagi, akan bertemu dengan keluarga Bibi Stéphanie dengan maksud dan tujuan ingin meminta maaf karena telah membawa putri berharga mereka kawin lari di Las Vegas. Sekarang, semuanya menjadi runyam. Bahkan, pria tampan itu terancam akan memiliki lebih banyak lebam pada wajah dan rahangnya.Namun, Dietrich tidak peduli. Lelaki itu dikenal sebagai makhluk egois yang mementingkan penampilan tampannya di atas segalanya. Tetapi, sungguh. Kali ini dia tidak peduli apakah dia akan dipukul sampai habis atau apa pun—karena Dietrich benar-benar merasa pantas untuk mendapatkannya."Mon Amour ...." Dietrich meraih tangan Natalie.Natalie—yang tengah memperhatikan ponsel dan menggulir pemberitaan heboh di media tentang pernikahannya yang batal dengan Douglas Kennedy—menoleh. "Mmm?""Kira-kira Nathaniel akan memukulku berapa kali?" Dietrich memandang Natalie was-was. Sebelah tangannya menyentuh pipinya yang memiliki b
Ruang makan di kastil Toussaint pagi itu ramai sekali. Acara makan pagi kali ini diselenggarakan secara tidak formal. Bahkan, anak-anak juga diizinkan untuk ikut makan bersama."Natalie!" Catherine berseru riang saat melihat sahabat yang kini telah menjadi kakak iparnya itu memasuki ruangan. "Sini! Duduklah bersama kami! Kau juga, Dietrich!"Maka, Natalie dan Dietrich duduk bersama dengan Catherine dan keluarga kecilnya, setelah berkeliling mengucapkan salam pada meja-meja lain yang berisi para tetua."Bonjour—Selamat pagi," sapa Natalie. Wanita itu tampak cerah dengan sebuah senyuman yang sungguh menampilkan kebahagiaan.Catherine kesulitan berdiri untuk menyapa, jadi Natalie merunduk untuk mencium kedua pipi sahabatnya itu."Pagi, Nat. Apakah tidurmu nyenyak?" Catherine bertanya.Natalie melirik Dietrich. Dietrich berdeham dengan wajah merona sedikit.Natalie tergelak ringan. "Well, ya. Kami tidur nyenyak. Bagaimana denganmu?"Catherine menunjuk perutnya. "Tidak senyenyak dirimu, te
Namun, apa yang dilakukan oleh Dietrich selanjutnya justru membuat Nat semakin gelisah. Kepalanya menjadi pening dengan serbuan sensasi yang melandanya bertubi-tubi. Dietrich membisikkan kalimat-kalimat lembut yang nyaris tak terdengar di telinga Nat—di atas perut wanita itu. Sepertinya, Dietrich sedang memberikan salam pada anak mereka dan hal itu membuat Natalie begitu tersentuh hingga hampir menangis. Kemudian ciuman Dietrich bergerak semakin ke selatan menuju area kewanitaannya yang telah basah."Let me kiss you—Biarkan aku menciummu ...." ucap Dietrich di antara paha Natalie yang merapat dengan kaku. "Let me love you, Nat—Biarkan aku mencintaimu, Nat ...."Natalie terisak keras di saat Dietrich benar-benar membuka dirinya. Mulut pria itu terasa panas di bawah sana. Bibirnya lembut dan basah membelai bagian luar labia Natalie hingga kepala perempuan cantik itu terlempar ke kanan dan ke kiri.Cairan kewanitaan Natalie mengalir semakin banyak. Akan tetapi, Dietrich melakukan hal gi
Tidak ada percakapan yang terjadi saat Dietrich dan Natalie bergerak menuju kamar mereka di quartier kamar tidur anggota keluarga. Bulan yang tersamarkan oleh awan menggantung rendah di langit Belgia. Sinarnya menembus jendela-jendela kaca kuno besar di salah satu sisi koridor. Membaur layaknya cincin asap besar di kegelapan malam musim dingin.Tangan Dietrich dan Natalie saling bertaut. Sesekali mereka menoleh untuk melemparkan sebuah senyuman satu sama lain. Pipi Dietrich merah sebelah. Rahangnya terasa kaku, dan wajah Natalie masih menampakkan sisa-sisa air mata. Namun, itu semua tidak menghalangi mereka untuk berbahagia.Saat sampai di depan pintu ganda yang menghubungkan dua kamar terbesar di kastil ini, jantung Natalie mengentak cepat. Ini bukan kamar Dietrich yang dulu—jelas bukan kamar yang sama dengan kamar Dietrich yang dimasukinya diam-diam bersama Catherine di masa remaja.Kamar ini ... adalah kamar The Lord and The Lady of The House."Dietrich ...." Tangan Natalie dengan
Dietrich dan Natalie pergi ke Brussel di saat salju turun semakin tebal di akhir tahun. Para paparazzi sudah tidak tampak di sekitar apartemen Dietrich di Paris—sepertinya mereka pulang ke tempat asal masing-masing untuk liburan natal dan tahun baru. Pada saat Dietrich dan Natalie keluar dari gedung apartemen, rasanya sejuk sekali. Seolah mereka berdua baru saja menghirup udara kebebasan.Monsieur Randall mengantarkan mereka berdua menuju Charles de Gaulle. Kemudian, saat mendarat di Brussel, Paman Axel mengirimkan sebuah Rolls Royce yang mengantarkan mereka langsung menuju kastil Toussaint."Dietrich aku gugup sekali ...." Natalie berbisik pelan saat mobil yang mereka berdua tumpangi memasuki pintu gerbang kastil.Dietrich mengangguk pada sang istri. Tangannya meremas tangan Natalie pelan. "Aku juga. Tapi, jangan khawatir. Kita bisa menghadapi ini bersama-sama.""Kuharap mereka tidak terlalu marah.” Natalie balas meremas tangan suaminya.Dietrich tidak menyukai raut cemas di wajah Na
[From: Catherine To: Dietrich Kami semua sudah kembali ke Brussel. Pulanglah, Di, dan bawa istrimu ke rumah. Tunggu. Kau benar-benar sudah menikah dengan Nat?]Dietrich mendapatkan pesan tersebut beberapa hari kemudian. Dia dan Natalie sudah tinggal cukup lama—bersembunyi, meski tempat persembunyian itu tidak dapat dikatakan terpencil—dari semua hal yang memusingkan. Keduanya mematikan ponsel selama berhari-hari. Pun dengan sengaja tidak menyalakan ponsel dan tidak keluar dari apartemen untuk menghindari para pencari berita.Saat dirasa seluruh kontroversi sudah mulai mereda, Dietrich baru membuka ponsel dan menemukan pesan dari sang adik.Jemari lelaki itu dengan cepat mengetikkan balasan.[To: Catherine From: Dietrich Ya. Aku sudah menikah dengan Nat. Apakah Kakek marah besar? Bagaimana dengan suamimu? Kennedy sekarang memusuhi kita? Lalu ... apakah Bibi Stéphanie murka?]Balasan Catherine datang dengan agak terlalu cepat.[From: Catherine To: Dietrich Kakek, Papa, Paman
Natalie tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi di sini, tetapi saat membuka mata dan melihat Dietrich yang tertidur pulas setelah penerbangan panjang belasan jam menuju Paris, perempuan itu baru sadar bahwa dia sekarang sudah menikah. Ini sudah hampir 24 jam berlalu, tetapi Natalie masih belum menyangka bahwa dirinya sekarang sudah berstatus menjadi istri pria yang sejak dulu ia impikan ini.Dia sedang mengandung anak dari Dietrich.Masa depan memang sebuah misteri, tetapi apa yang akhir-akhir ini terjadi benar-benar menjungkirbalikkan dunia Natalie tanpa sisa.Pun tentang pernyataan cinta Dietrich .... Entahlah. Natalie tidak bisa berpikir jernih sekarang. Wanita itu menggigit bibir. Ia ingin memercayai suaminya. Namun, rasanya benar-benar sulit. Benarkah Dietrich merasakan hal yang sama untuknya? Atau ... pria itu hanya ingin sekadar menenangkan dan memaksanya masuk ke dalam jurang pernikahan yang sama-sama tidak mereka inginkan pada awalnya?"Hei, kau tidak tidur?" Suara parau khas