Toussaint adalah kutukan.
Natalie sudah mengenal hampir semua orang dalam keluarga tersebut sejak kecil dan gadis itu percaya tidak ada sedikit pun keburikan pada paras semua anggota keluarga Toussaint. Ditambah lagi, mereka rata-rata memiliki otak cerdas yang lebih sering digunakan dalam kelicikan. Catherine juga Axel mungkin adalah yang paling tenang. Selain mereka berdua, Natalie tidak memiliki kesabaran lebih untuk menghadapi mereka. Terutama, Dietrich. Kapan pun lelaki itu muncul, dapat dipastikan hari Natalie bakal berakhir buruk. Seperti hari ini. "Nat! Tunggu aku! Astaga, apa telingamu sudah tuli? Nat—" Tangan Dietrich telah berhasil menyambar siku Natalie. Dalam sekejap, lelaki itu membalikkan badan Nat dan berbicara dengan nada menegur yang menyebalkan. "Dengarkan jika ada yang berbicara padamu." Natalie menghela napas. Ketika mendongak, gadis itu melihat sosok wajah tampan rupawan dengan ekspresi memelas yang membuat Nat seketika mendapatkan bombastic side eye dari orang sekitar. Nah, begitulah Toussaint begitu manipulatif sehingga kini Natalie merasa tersudut dan tersalahkan karena Dietrich mengejarnya dalam kondisi basah kuyup setengah kedinginan. Mon Dieu. Padahal lelaki ini tahu di mana letak ruang penyimpanan pakaian bersih dan handuk?! "Aku akan memberikan beberapa masukan yang membantu dalam rapat." Dietrich berkata. "Izinkan aku ikut." Natalie tidak punya pilihan lain selain membawa Dietrich ke ruang laundry, lalu mengambilkan sebuah handuk untuk lelaki itu. "Tidak. Tidak perlu. Nanti juga kering sendiri. Aku tidak takut dingin. Aku—" Natalie tidak mengizinkan Dietrich untuk menyelesaikan ucapan. Tangannya sudah bergerak untuk menyeka air dari kepala Dietrich dengan handuk—seolah ia sedang mengeringkan bulu pudel kesayangan keponakannya. Namun, Dietrich justru bersikap bagai pudel betulan dengan tertawa-tawa senang. "Sudah lama sekali tidak ada yang mengeringkan rambutku. Lakukan lagi, Nat. Sekalian pijat bagian sini. Berikan tekanan lagi, astaga. Kau ini sungguh tidak bertenaga atau kau belum makan? Porsi makanmu sedikit? Kalau betul begitu, malam ini biarkan aku yang mentraktirmu makan." Natalie memutar bola mata dan memerhatikan sekitar. Saat yakin tak ada satu pun yang akan mendengar pembicaraan mereka, gadis itu baru mulai membalas perkataan Dietrich. "Apakah kau tahu kalau kau berisik sekali, Di?” Pandangan Nat beralih pada karpet. “Oh, lihatlah kau sudah mengotori karpet Lyubova dengan semua air hujan yang menetes dari badanmu." Dietrich tertawa tidak terima. "Menurutmu, karena siapa aku basah? Hmm?" Natalie memutar bola mata sekali lagi. "Sudahlah. Keringkan badanmu, berganti pakaian dengan kemeja Lyubova, lalu pulanglah." Dietrich mengerutkan hidung. "Aku tidak terbiasa memakai pakaian pekerja." Natalie mendelik. "Oke. Baiklah. Aku akan berganti pakaian. Mon Dieu, kau ini bawel sekali. Persis seperti ibuku. Ah, tidak. Kau lebih mirip bibi Stéphanie." Dietrich mulai membuka pakaian sembarangan. Namun, Natalie sudah terbiasa. Dengan sopan, gadis itu mengalihkan pandangan ke arah lain. Arah mana pun selain perut sixpack Dietrich Toussaint. "Well. Aku memang anaknya." Dietrich menyemburkan tawa. "Kau benar." Natalie memandang keluar jendela. Ke arah langit yang masih berwarna kelabu dan rintik hujan. "Tidak perlu ikut rapat denganku. Aku yakin aku bisa menghadapi klien-klien ini sendiri. Apakah kau mengkhawatirkan aku, Di?" Dietrich memakai kaus lengan panjang berwarna putih dengan logo Lyubova, merapikan diri di depan cermin, lalu mengedikkan bahu dan tertawa. "Kau benar-benar dipenuhi rasa kepercayaan diri yang teramat berlebihan. Aku tidak mengkhawatirkanmu. Tidak sama sekali." Natalie mengangguk. Ia mencuri pandang sedikit ke belakang hanya untuk memastikan Dietrich sudah memakai pakaian dengan benar. "Aku mungkin tidak memiliki otak secemerlang kalian dari keluarga Toussaint. Namun, kurasa aku tidak terlalu bodoh." Dietrich mendengkus. "Sebaiknya begitu." Natalie tersenyum. "Jangan khawatir. Lyubova berada di tangan yang tepat. Aku bisa menanganinya." "Nat—" "Aku tahu kau punya banyak urusan, Dietrich. Akan ada RUPS—Rapat Umum Pemegang Saham—dalam beberapa hari di Patricia Royal Inn Worldwide Inc. Tolong jangan tambah beban pikiranmu dengan sesuatu seremeh Lyubova. Lagi pula, aku tidak sendirian di sini. Kat ada di bawah bersama suaminya. Chiara ada di dalam. Achilleas juga akan bergabung bersama kami lewat video conference. Pulanglah, Dietrich. Kau ditunggu di Brussel." Natalie berkata sungguh-sungguh. Dietrich terdiam agak lama. Namun, lelaki itu kemudian mengangguk. "Kalau begitu aku akan kembali setelah RUPS untuk menagih traktiran makan malam darimu." Natalie memberengut. "Tadi, kau sendiri yang bilang bahwa tenagaku menyedihkan dan kau bahkan merasa iba sampai ingin mentraktirku makan." Dietrich mengedikkan bahu. "Baiklah. Aku yang akan mentraktirmu makan. Sabtu malam. Pukul delapan tepat. Di Le Meurice Alain Ducasse." Tunggu sebentar. Mengapa Natalie merasa seolah dirinya sedang ... dijebak? Sebelum melangkah pergi, Dietrich berhenti dan menoleh sekali lagi. "Aku tidak menerima keterlambatan. Sampai jumpa hari Sabtu." ♡♡♡ Le Meurice Alain Ducasse memiliki ruang makan yang menampilkan kesan klasik. Tempat itu didominasi oleh cermin antik, lampu kristal, barang-barang dari perunggu, marmer, dan lukisan dinding. Jendela besar membingkai pemandangan yang menghadap langsung ke Jardins des Tuileries. Salah satu taman terindah yang paling disukai Natalie di seluruh penjuru Paris. Gadis itu menghabiskan hampir sepanjang minggu dengan bekerja. Akan tetapi, ada perasaan aneh yang mengganjal di dalam hatinya. Semuanya terlalu ... tenang. Bukannya dia tidak menyukai ketenangan. Hanya saja tidak bertemu dengan Dietrich membuat hati Nat jadi mengalami sebuah ketenangan yang aneh. Sepertinya begitulah rasanya ketika kau sudah tumbuh sejak kecil dengan seseorang, lalu tiba-tiba tidak bertemu dengannya. Natalie mendengkus. Mon Dieu. Dietrich bahkan bukan kakaknya sungguhan. Mengapa dia sampai harus repot-repot merasakan perasaan yang sulit untuk didefinisikan hanya karena tidak bertemu Dietrich? "Nona Casiraghi." Salah satu pelayan restoran datang menghampiri saat melihat Natalie memasuki area. "Anda sudah ditunggu." Natalie berhati-hati melirik jam tangannya. Belum pukul delapan, tapi Dietrich sudah datang? Seluruh ruangan didominasi desain klasik kontemporer berwarna putih. Namun, lelaki itu memakai pakaian earth tone—pilihannya berkutat di sekitar cokelat, beige, sedikit krem, dan tampilan yang selalu dipadukan hingga detail terkecil. Meskipun tampil menonjol, Dietrich Toussaint tidak pernah menonjol dengan cara yang tidak nyaman untuk dilihat. Bahkan, Natalie tidak akan heran jika seseorang akan salah menduga Dietrich sebagai bintang film Hollywood yang sedang liburan. Pria tampan itu sedang bersandar santai dengan lengan terulur di sandaran kursi sampingnya. Posturnya santai, kakinya disilangkan. Pandangan matanya fokus di kejauhan, memandang daun-daun musim gugur di Jardin des Tuleries. Itu sebelum ia mendengar langkah kaki Natalie dan menoleh. "Aku sudah bilang bahwa aku tidak menolerir keterlambatan." Dietrich mulai bersungut-sungut. "Ini belum jam delapan." Natalie memprotes. "Aku sudah tiba di sini dan kau belum. Itu artinya kau terlambat." Dietrich membalas cepat. Natalie hendak memprotes lebih lanjut, tetapi memutuskan untuk mengurungkannya. Benar. Tidak ada gunanya berdebat dengan Dietrich—apalagi saat lelaki itu sudah mulai ngotot bahwa ia benar. "Bagaimana kabar bibi Stéphie?" Dietrich bertanya saat Natalie sudah duduk di hadapannya. Mereka berdua memesan beberapa menu, sebelum Natalie membiarkan pelayan untuk pergi. "Mama baik-baik saja. Dia sedang sibuk dengan beberapa acara kerajaan. Sesuatu semacam charity—pengumpulan dana untuk amal." "Papamu?" Dietrich bertanya lagi. "Papa sibuk dengan bisnisnya." Natalie menjawab. "Tolong jangan mulai bertanya tentang kakak-kakakku." Dietrich menyengir kuda. "Bagaimana dengan kakak-kakakmu?" Natalie memutar bola mata. "Mereka mulai terdengar seperti mama." Dietrich menaikkan kedua alisnya. "Maksudmu?" "Mereka mulai bertanya kapan aku akan menikah." Natalie mendengkus. "Seolah mereka berharap aku bisa menjawab kapan aku akan mati. Menikah itu bukan sesuatu yang bisa diusahakan sendirian, dan ketika aku menjawab begitu, mereka akan murka." Dietrich mulai tertawa terbahak-bahak. "Lain kali, nikmatilah liburanmu di Brussel. Kau tidak akan pusing dengan pertanyaan-pertanyaan yang melelahkan seperti itu." Natalie mengedikkan bahu. "Saran yang bagus." "Aku bersungguh-sungguh. Tidak akan ada yang menanyakan pertanyaan konyol semacam itu padamu." Dietrich tersenyum. "Paling-paling, Paman Axel hanya akan menjodohkanmu dengan Julien." Natalie memberengut dengan cara yang paling menggemaskan. "Tidak lucu." Namun, Dietrich tertawa terbahak-bahak. ♡♡♡Dietrich bersenandung riang selama menyetir sendiri kembali ke Brussel malam itu. Paris, Brussel, dan perjalanan di antara kedua kota itu diiringi langit cerah tak berawan, meski angin berembus lumayan kencang.Dietrich selalu menyukai musim gugur. Aroma daun kering, kayu-kayuan, perapian baru, rasa panas yang mulai berganti lebih sejuk, serta sederetan long coat fashionable yang tidak setebal bahan musim dingin, tapi juga tidak setipis baju di musim panas. Semuanya terasa sangat pas.Akan tetapi, ada satu hal yang merusak kesenangannya hari ini. Ketika membuka pintu ganda menuju ruang kerja kepala keluarga, Dietrich mendapati Paman Axel berada di balik mejanya. Menduduki kursinya lalu,l ketika melihat Dietrich masuk, sang paman mengeluarkan ekspresi tidak setuju karena Dietrich pulang lumayan larut."Ada masalah yang tidak bisa ditunda hingga besok, Paman?" Dietrich melepaskan coat-nya, lalu menuangkan scotch untuk dirinya sendiri. Permasalahan apa pun, jika butuh selarut ini untuk b
Natalie pada awalnya begitu bersemangat untuk pergi liburan ke Brussel. Koper-kopernya sudah siap. Mobilnya juga hampir penuh—sebelum ibu, ayah dan kedua kakak laki-lakinya, beserta keluarga kecil mereka masing-masing, juga bergabung dengan Nat di hall depan istana milik Princess Stéphanie.Semua orang berpenampilan sangat chic, syal-syal hangat dikenakan. Tak lupa dengan scarf warna-warna merah dan cokelat di atas kepala. Plus, kacamata hitam super trendi."Mau ke mana kalian semua?" Natalie bertanya bingung.Semua orang saling berpandangan dengan alis terangkat, lalu meledak tertawa.Princess Stéphanie merangkul bahu putri bungsunya lalu tersenyum lebar, memamerkan deretan gigi-giginya yang putih mengkilap bak porselen. "Mau ke mana, katamu? Tentu saja kami ingin ikut denganmu ke Brussel! Kami juga mendapatkan tawaran liburan di kastil Toussaint. Bukan cuma kau."Natalie memaksa dirinya agar tidak meringis ngeri. "Undangan ... dari Dietrich?""Oh, bukan, Sayang. Dari kawan lamaku Ax
Ketika hari beranjak sore, Natalie mendengar pintu kamarnya diketuk pelan."Nona. Ini hampir waktunya minum teh. Apakah Anda sudah bangun? Kami bisa membantu Anda bersiap."Natalie merenggangkan tubuh, kemudian turun dari tempat tidur bertiang empat di sini dan mengenakan selop kamar. Perempuan itu beranjak ke pintu, membukanya, lalu membiarkan beberapa pelayan perempuan dari Toussaint untuk masuk."Nyonya Catherine berpesan agar kami membawakan sebaskom air es untuk menyegarkan wajah Anda." Salah satu dari mereka berujar.Yang lain ikut masuk dengan senang. "Kami juga membawakan pesan dari Tuan Julien."Oh, yang satu ini membuat Natalie mengernyit. "Julien?" Bukan Dietrich?"Oui, Mademoiselle—Ya, Nona." Salah satu pelayan menyodorkan nampan kecil, membuka tudung sajinya yang berwarna keperakan, kemudian membiarkan Natalie mengambil secarik kertas dengan tulisan cakar ayam dari sana.[Selamat sore, Nona Manis. Aku menunggu untuk mengobrol lebih banyak denganmu pada acara minum teh har
Natalie berpikir. Berpikir keras. Mengesampingkan seluruh perasaan asing menyakitkan yang menderanya, gadis cantik itu mulai mempertanyakan banyak hal. Ini adalah hidupnya. Kisah cintanya. Mengapa banyak sekali orang yang ingin ikut campur?Suasana minum teh di Toussaint begitu hangat dan seharusnya menyenangkan. Denting sendok kecil beradu dengan porselen Sevrés, aroma berbagai macam teh bercampur dengan susu dan madu, dan percakapan-percakapan ringan yang bergulir di seluruh ruangan.Namun, Natalie justru larut dalam lamunan."Nat?" Mungkin ini sudah ketiga kalinya sang mama memanggil—sebelum Natalie pada akhirnya menoleh."Oui—Ya?" Natalie membalas tatapan ibunya dengan sorot teguh tak menampilkan kerapuhan apa pun, meski jauh di dalam hati ia sedikit merasa hancur.Oke, lumayan banyak. Kehancurannya. Nat tidak tahu mengapa, tapi yang diinginkannya saat ini adalah kabur dan menangis di suatu tempat terpencil di sudut kastil atau berada di dalam perlindungan kamarnya dan tidak kelua
Natalie dan Chiara berkuda santai di sepanjang track pacuan yang berada tepat melewati ruang perjamuan minum teh. Pada saat melaluinya, kepala Natalie tidak bisa berhenti untuk menoleh—meski apa yang terjadi di dalam tidak sepenuhnya dapat terlihat dari luar."Aku akan dijodohkan dengan Julien Toussaint." Nat tidak tahan untuk tidak menyemburkan semuanya pada Chiara saat mereka berdua sudah tidak berada di jarak dengar siapa pun.Chiara menoleh. Matanya melebar. "Julien? Julien?! Bukankah dia jahil sekali? Tidak. Tidak mungkin. Kalian sama sekali tidak cocok. Dia bahkan tidak terlalu menyukaimu, Nat!"Natalie melajukan kuda milik Paman Axel pelan-pelan. "Aku tahu. Kami bahkan ... tidak berteman. Tidak sedekat itu, tapi dia memujiku cantik."Chiara menghela napas. Wajahnya mendongak ke langit seolah meminta pertolongan kepada Tuhan. "Kau memang cantik. Semua orang bisa melihatnya. Sedikit pujian dari Julien Toussaint seharusnya tidak menggoyahkanmu."Natalie mengedikkan bahu. "Aku tida
Dietrich tidak sempat berpikir panjang. Ketika semua orang berhamburan keluar membentuk kerumunan di sepanjang pacuan kuda, dia mengikuti arus. Bedanya, saat berhasil keluar melewati pintu-pintu kaca berornamen keemasan dari tempat perjamuan minum teh, Dietrich langsung berderap cepat menuju istal."Siapkan kudaku!" Lelaki tampan itu berteriak pada siapa pun yang bisa mendengarnya di dalam istal.Kuda miliknya, sebuah kuda hitam besar yang tak kalah garang dibanding milik Paman Axel, siap dalam waktu singkat. Masih mengenakan jas dan pakaian semi formal, Dietrich melompat naik ke atas kudanya sendiri.Setelah itu dia dan kudanya berderap bagai satu kesatuan menuju ke pacuan kuda. Berusaha mengejar kuda yang ditunggangi oleh Natalie.Di sisi lain, Natalie berusaha melakukan teknik scrunch. Dengan satu tangan, gadis itu menyatukan tali kekang dan menyelipkan tangannya yang lain di bawah tali tersebut, untuk membuat "remasan" yang ketat pada leher kuda. Hal ini akan memicu rangsang pada
"Kau tampak kacau." Julien dan Axel Junior mengunjungi Dietrich di ruang kerja kepala keluarga Toussaint sebelum makan malam.Yah, benar. Dietrich memang kacau. Kacau balau! Lelaki tampan itu mengurung diri berteman dengan vodka milik Vladimir Alexandrov yang tertinggal—atau sengaja ditinggal—di perpustakaan. Rambutnya kusut masai. Bekas diacak-acak berulang kali oleh tangannya sendiri.Dietrich merebahkan diri di kursi kebesaran milik Toussaint. Sebelah tangannya masih menggenggam leher botol vodka, sedangkan yang sebelah lagi terkulai di sisi tubuh. Pikirannya melanglang buana entah ke mana bahkan si pria tampan masih tetap bergeming saat kedua sepupunya masuk ke ruangan."Aku tidak ada di sana, tapi aku mendengar apa yang terjadi." Axel Junior berkata dengan nada geli yang terdengar kental. "Kudengar Natalie Casiraghi menunggangi kuda milik papa.""Kuda balap." Dietrich membetulkan dengan sengit."Oke. Kuda balap milik papa." Axel Junior membetulkan. Lelaki itu menarik kursi di had
Natalie tidak heran jika pada pengaturan tempat duduk untuk makan malam, dirinya mendapatkan kursi di samping Julien Toussaint. Sementara itu, lewat sudut matanya, Nat bisa melihat Dietrich berada di kepala meja. Tampak begitu berwibawa sebagai head of the family—kepala keluarga Toussaint.Nat sama sekali tidak pernah membayangkan bahwa Dietrich akan cocok sekali mengemban posisi tersebut. Kecongkakan yang hanya dapat dilahirkan dari kekayaan tak habis tujuh turunan sebelumnya, ditambah kepercayaan diri mutlak yang berasal murni dari dalam jiwa lelaki itu, membuat Dietrich seolah tak tersentuh. Pria tampan itu bersinar terang, pembawaannya menimbulkan kesan yang kuat—seolah dirinya adalah raja.Dietrich terlihat berbincang dengan beberapa orang penting dari anggota senat. Meskipun tampak akrab dengan para pria paruh baya tersebut, Natalie menyadari bahwa pria-pria yang diundang kemari semuanya memiliki anak gadis yang belum menikah! Mon Dieu. Toussaint sepertinya tidak main-main kali
Natalie memang berada di dalam elemennya. Wanita cantik itu duduk di sebuah kursi rotan, di hadapan bunga-bunga bermekaran, pada dua musim semi selanjutnya. Ruangan di sekelilingnya besar, memiliki sirkulasi udara yang sangat baik, dan berbatasan langsung dengan halaman belakang. Sebuah kebun, penuh tanah berumput, yang sudah jarang ada di properti milik pribadi di Paris.Perempuan itu menarik napas dalam-dalam sembari tersenyum. Ini adalah aroma favoritnya sepanjang masa. Perpaduan lavendel, mawar, dan wisteria yang wangi semerbak bercampur menjadi satu di udara."Kau seharusnya menambahkan wisteria di acara pernikahanmu," kata seseorang yang datang dari belakangnya.Tanpa berbalik pun, Natalie sudah terlalu mengenal suara itu. "Menurutmu begitu, Madame Vernoux?"Seorang wanita pemilik kedai bunga terkenal di Paris ini, Madame Vernoux, mengambil tempat duduk di samping Natalie. Natalie adalah pelanggan favoritnya. Tak perlu mengatakan apa pun, tetapi Madame Vernoux selalu mengabaikan
"Ya. Ya … berhasil dengan pujian. Sempurna. Kau benar-benar nakal, Mon Amour." Dietrich masih terengah-engah. Namun, kejantanannya terasa menyembul sekali lagi. Menekan perut Natalie yang duduk di pangkuannya.Sial.Dietrich akhirnya tidak dapat menahannya lagi. Sang presdir tampan kini sepenuhnya menanggapi rayuan Natalie. Tangannya menelusup di balik piyama wanita cantik itu, menyentuh punggungnya yang halus.Bibir Natalie menuruni rahang Dietrich ... mengecap aroma di lehernya lalu, beralih sedikit ke belakang telinga lelaki itu—yang kini Natalie tahu, menjadi titik dimana Dietrich takkan bisa menolaknya. Natalie menjilat belakang telinga Dietrich yang seketika membuat lenguhan pria tampan itu keluar tertahan.Dietrich membenarkan posisi duduknya. Tangannya turun ... beralih menyibak bagian bawah piyama Natalie. Menjamah paha sang istri hingga membangkitkan sensasi geli yang menyenangkan.Dietrich menyentuh bagian lembap diantara kedua kaki Natalie. Wanita cantik itu benar-benar ti
Awalnya, Natalie merasa tidak yakin dengan apa yang akan dilakukannya. Berbagai macam ketakutan menyeruak di dalam hatinya. Bagaimana jika keluarga Toussaint menolaknya? Bagaimana jika mereka merasa terhina dengan apa yang telah dilakukannya? Namun, rupanya itu semua tidak terjadi.Natalie selalu diterima dengan tangan terbuka. Sejak dulu pun begitu. Semua orang bersikap baik padanya—bahkan seolah tidak pernah terjadi apa-apa. Satu-satunya hal yang dapat dikeluhkan oleh Nat adalah pekerjaan suaminya.Well, masa bulan madu memang sudah berakhir, tapi bukankah terlalu cepat?Dietrich sibuk sekali. Meski tidak pergi ke mana-mana, tetapi lelaki itu selalu mengubur diri dalam pekerjaan. Sudah hampir dua bulan Natalie tinggal di dalam kastil Toussaint. Namun, perempuan itu bahkan lebih sering melihat Nasya dan Tata—serta Catherine, tentu saja—ketimbang suaminya sendiri."Dietrich berada di ruang kerjanya lagi?" Catherine menebak saat melihat raut wajah Natalie yang masam seusai makan malam.
"Tuan Dietrich, Nyonya Natalie ...."Dietrich dan Natalie menoleh di saat yang bersamaan, ketika mereka mendengar Ashley Morgans memanggil. Ketukan sepatu hak tinggi wanita itu bahkan sama sekali tidak terdengar saking kedua sejoli itu melupakan dunia seisinya dan hanya memperhatikan pasangannya.di sisi lain Ashley meringis saat melihat wajah Natalie Casiraghi memerah. Wanita bangsawan yang telah resmi menjadi majikannya setelah menikah dengan Dietrich itu terlihat malu dan penuh penyesalan."Ah, begini. Tuan Axel Senior memanggil saya untuk beberapa urusan pekerjaan di Brussel. Saya rasa ...." Ashley menunjuk Natalie dan Dietrich yang sudah dalam pose setengah berpelukan itu, lalu melanjutkan, "Saya rasa jasa saya sudah tidak dibutuhkan di sini. Bukan begitu?"Dietrich tersenyum dan mengangguk. "Paman Axel memanggilmu? Wah, kau benar-benar wanita yang sangat sibuk, Ash. Baiklah. Tentu saja kau boleh pergi. Aku akan segera mengirim hadiah ke nomor rekeningmu."Ashley Morgans mengangg
Natalie terkesiap kasar. Matanya mulai berair, tetapi pipinya bersemburat merah jambu.Dietrich tadi hampir menyemburkan tawa. Hampir. Beruntung, pria tampan itu dapat membekap mulutnya sendiri tepat waktu. Wah, wah. Ini benar-benar pertunjukan menarik. Seumur hidup, Dietrich belum pernah melihat Natalie mengamuk.Oh, jangan salah. Amukannya sungguh dahsyat—sampai semua orang di ruangan yang sama menahan napas. Namun, entah mengapa, di mata Dietrich, Natalie terlihat ... menggemaskan.Dan manis.Mon Dieu. Sekarang rona merah yang merayapi wajah hingga leher dan dada perempuan itu tampak terlalu menggiurkan untuk ditampik."Tentu saja tidak ...." Natalie menjawab dengan suara bergetar."Apakah kau tidak ingin aku menikah dengan Ashley Morgans?" Dietrich bertanya lagi.Natalie mulai menangis. "Itu ... urusanmu! Terserah padamu ingin menikah dengan siapa."Dietrich menggeram tidak puas. "Jadi, kau baik-baik saja mendengar aku akan menikah dengan orang lain? Come on. Setidaknya jujurlah p
Natalie cukup terkejut bagaimana berita-berita mencengangkan yang mengguncang dirinya hingga ke inti, belakangan ini tidak membuatnya langsung pingsan di tempat."Tunggu. Tunggu dulu. Kau akan ... menikah dengan Ashley?" Natalie mendelik tak percaya. "Ashley Morgans?"Dietrich melirik Ashley yang tampak kaku, serta gelisah, di tempatnya berdiri lalu mengembalikan perhatiannya pada Natalie. "Apakah ada yang salah dengan Ashley? Menurutmu ... ada yang kurang dari dia?"Natalie menelan ludah, lalu buru-buru menggeleng. "Tidak. Tentu saja bukan itu maksudku. Ash, aku tidak bermaksud apa-apa. Jangan salah paham. Aku ...."Natalie memutuskan untuk mengatur napasnya dulu sebentar, sebelum ia merasa semakin pusing dan agak tersengal. Wanita cantik itu kemudian mendongak dengan pandangan menantang pada Dietrich. Kebencian terpancar jelas di matanya."Kita bahkan belum resmi bercerai. Tapi, bisa-bisanya kau—" Natalie memejamkan mata dan menggigit bibir. Suara yang dihasilkan selanjutnya terdeng
Natalie ingin memikirkan sesuatu. Apa pun untuk mengalihkan kegelisahan yang terus melandanya sejak semalam. Sosok cantik tersebut tidak dapat tidur. Tidak bernafsu makan. Seluruh tubuhnya tidak bisa berfungsi dengan baik semenjak ia mendengar berita mencengangkan itu.Rasanya, Nat masih tidak percaya.Perempuan itu menghela napas panjang lalu melangkah masuk ke dalam shower room dan mengguyur dirinya sendiri dengan air hangat. Ia lelah. Yang diinginkannya adalah tidur. Tetapi, otaknya menolak berhenti berputar. Pikirannya penuh. Usaha memejamkan mata seperti apa pun tidak juga berhasil membuatnya terlelap. Jadi, Natalie memutuskan untuk pergi ke Lyubova saja.Meskipun tidak terlalu berhasil menutupi bengkak di matanya akibat terlalu banyak menangis, setidaknya Natalie berhasil sampai di kantornya tanpa kesulitan lain. Beberapa orang menyapanya hati-hati—seolah ia adalah barang pecah belah—dan beberapa lainnya menyembunyikan pandangan kasihan.Nat benci dua-duanya.Wanita cantik itu b
Di saat Natalie berpikir bahwa semuanya akan baik-baik saja dan kembali normal, Dietrich sungguh bersikap mengejutkan. Mengejutkan dan sialnya ... menyebalkan. Ini tidak mungkin, bukan?Natalie memejamkan mata, lalu berusaha mengingat kembali semuanya. Semua yang pernah pria itu lakukan dalam kurun waktu ... semenjak Natalie dapat mengingat.Dietrich selalu ada di sana. Menjadi bagian besar dalam hidup Natalie. Pria itu tidak pernah meninggalkannya sendirian. Keberadaannya dapat dirasakan oleh Natalie melalui banyak hal, meski mereka tinggal berjarak—lewat surat, e-mail, hadiah-hadiah yang dikirim random maupun terjadwal, serta pesan-pesan teks singkat yang terkadang masuk ke dalam ponsel Natalie tanpa tahu waktu.Yang jelas, Natalie tahu Dietrich tidak pernah dekat dengan perempuan lain. Perempuan dalam hidup lelaki itu hanya ada tiga. Ibunya, Catherine, dan Natalie. Banyak gadis-gadis bangsawan mengejar perhatiannya. Akan tetapi, Dietrich tidak pernah memberikan apa yang mereka ingi
Natalie kesal bukan main. Dasar Dietrich kurang ajar. Berani sekali lelaki itu mengganti password apartemen dan membuat Natalie mempermalukan diri sendiri di hadapan para resepsionis dan pegawai apartemen lainnya?Lihat saja. Perempuan itu akan membuat perhitungan. Sepertinya sudah sangat lama semenjak Dietrich merasakan kemarahan Natalie, ya?Siang itu, Natalie pergi ke Lyubova. Lalu, menunggu di sana bersama dengan teman-temannya, Chiara dan Achilleas, seolah tidak ada yang salah. Seolah tidak ada yang terjadi.Natalie berhasil mengalihkan pikirannya dari sang suami selama beberapa jam. Lyubova rupanya cukup sibuk di awal tahun. Setelah liburan Natal dan tahun baru selesai, kantor-kantor mulai beroperasi kembali. Banyak perusahaan yang memakai jasa mereka untuk membuat acara lalu ada sebuah pesanan pesta pernikahan.Natalie selalu super excited dengan pesanan pesta pernikahan."Siapa nama pengantinnya?" Natalie mulai memberondong Chiara dengan pertanyaan. "Apakah mereka jatuh cinta