Natalie pada awalnya begitu bersemangat untuk pergi liburan ke Brussel. Koper-kopernya sudah siap. Mobilnya juga hampir penuh—sebelum ibu, ayah dan kedua kakak laki-lakinya, beserta keluarga kecil mereka masing-masing, juga bergabung dengan Nat di hall depan istana milik Princess Stéphanie.
Semua orang berpenampilan sangat chic, syal-syal hangat dikenakan. Tak lupa dengan scarf warna-warna merah dan cokelat di atas kepala. Plus, kacamata hitam super trendi. "Mau ke mana kalian semua?" Natalie bertanya bingung. Semua orang saling berpandangan dengan alis terangkat, lalu meledak tertawa. Princess Stéphanie merangkul bahu putri bungsunya lalu tersenyum lebar, memamerkan deretan gigi-giginya yang putih mengkilap bak porselen. "Mau ke mana, katamu? Tentu saja kami ingin ikut denganmu ke Brussel! Kami juga mendapatkan tawaran liburan di kastil Toussaint. Bukan cuma kau." Natalie memaksa dirinya agar tidak meringis ngeri. "Undangan ... dari Dietrich?" "Oh, bukan, Sayang. Dari kawan lamaku Axel yang senior. Sudah, jangan banyak bicara. Mari kita semua berangkat. Jet pribadi Lexstream sudah menunggu di bandara terdekat." Princess Stéphanie mendorong punggung Nat sedikit agar gadis itu berjalan lebih cepat. Natalie merasakan dirinya digandeng dan didorong masuk ke sebuah limosin dengan lambang kerajaan. Keponakan-keponakannya, anak dari kakak pertama, berceloteh riang gembira selama limosin mereka melintasi French Riviera yang indah dan Nat merasa ini adalah mimpi buruk. Mimpi yang benar-benar buruk. Dia yang pada awalnya menyetujui saran Dietrich untuk pergi liburan ke Brussel demi menghindari keluarganya sendiri. Mengapa sekarang semua orang jadi ikut? Mon Dieu! "Natalie." Princess Stéphanie memanggil sembari menurunkan kacamata hitamnya sedikit. "Berhentilah menekuk mukamu seperti itu. Jika keluarga Toussaint melihatmu memberengut, mungkin mereka mengira kau bagai tahanan yang terpaksa ikut ke Brussel!" Natalie menghela napas. "Jangan mendengkus juga." Princess Stéphanie memperingatkan. Natalie menahan mulut untuk tidak mengeluarkan protes. "Nah, begitu. Tersenyum. Jadilah wanita bangsawan anggun yang pantas dipinang oleh Toussaint." Princess Stéphanie mengeluarkan kipas kecil dari dalam tas tangannya lalu mulai mengipasi dirinya sendiri. "Aku penasaran dengan calon menantuku. Well, aku belum pernah punya menantu laki-laki." Natalie mengikuti arah pandang ibunya. Dua orang kakak Nat, semuanya laki-laki—membuat Princess Stéphanie mendapatkan dua menantu perempuan. Natalie menyandarkan kepala pada sandaran jok, kemudian memutar bola mata. "Jangan berharap banyak padaku. Oh, astaga, Mama. Kau bahkan sudah punya banyak cucu." "Cucu dari anak laki-laki itu berbeda dengan cucu dari anak perempuan. Aku juga ingin melihatmu hamil dan melahirkan seperti Catherine. Sudah berapa bulan kehamilannya sekarang?" Princess Stéphanie menoleh pada Natalie. Natalie mengedikkan bahu. "Dia terlihat seperti siap melahirkan kapan saja." "Begitulah yang kudengar kalau kau hamil kembar." Princess Stéphanie berkata. "Lady Louise pasti senang sekali karena anak perempuannya sudah menghasilkan hampir empat cucu. Itukah sebabnya Dietrich dibiarkan bebas dan tidak menikah juga sampai sekarang?" Oh, Natalie tahu ini. Percakapan yang berkaitan dengan Toussaint dan sahabatnya Catherine, pada akhirnya hanya akan menuju topik yang sebenarnya. Dietrich. "Dietrich tidak berminat menikah." Natalie mengingatkan ibunya sekali lagi. "Dia menyatakan dengan jelas bahwa dia akan melajang seumur hidup. Prinsip bagus yang akan dengan senang hati kuikuti jika saja Mama tidak terlalu ... cerewet." Princess Stéphanie ingin marah, tapi tawa justru menyembur dari mulutnya. "Kau baru saja bilang aku apa? Cerewet? Dan, apa katamu tadi? Kau ingin mengikuti prinsip melajang seumur hidup?" Natalie mengedikkan bahu. "Entahlah. Itu tidak terdengar terlalu buruk. Lagi pula, aku sudah single seumur hidup. Melanjutkannya tidak akan membuat perubahan apa pun. Atau mungkin ... jika Mama mengizinkanku pergi one night stand seperti Chiara, aku bisa punya kesempatan yang lebih besar untuk punya pacar." Sebuah pukulan keras mendarat di paha Natalie—diiringi kerlingan tajam dari ibunya. "Oke, tidak. Aku tidak melakukan itu." Natalie menyerah dengan cepat sebelum pukulan lain ia terima. ♡♡♡ Rombongan keluarga Princess Stéphanie tiba di Brussel ketika matahari sudah cukup tinggi. Seluruh keluarga Toussaint menyambut mereka di grand hall. Sementara ibu dan ayahnya sibuk menyapa Kakek Auguste, Paman Axel, dan para tetua yang lain, Natalie berjalan menghampiri Catherine. "Mon Dieu. Perutmu tampak semakin besar saja, padahal kita baru tidak bertemu selama ... seminggu? Dua minggu?" Natalie mengulurkan tangan untuk membelai perut sahabatnya tanpa sungkan. Catherine memeluk Natalie dalam dekapan sayang. Suaminya tidak tampak di mana-mana lalu kedua anaknya digendong oleh Dietrich yang berdiri sigap di sisi perempuan itu. Dietrich tampak ingin mengulurkan tangan untuk menyambut Natalie. Namun, kedua tangannya disibukkan oleh Anastasia dan Tatiana, dua bocah kembar perempuan berambut pirang yang merupakan anak-anak Catherine dan Vladimir Alexandrov. "Bibi Natalie!" Nasya dan Tata berteriak heboh. Tangan-tangan mereka terjulur untuk menggapai Natalie. Natalie tersenyum setengah hati. Mendekati kedua bocah itu butuh kewaspadaan ekstra—karena siapa yang tahu tingkah barbar apa lagi yang sanggup mereka lakukan? "Keponakan-keponakanku tidak menggigit, Nat." Dietrich terkekeh geli. Natalie pada akhirnya maju dan mencium pipi Nasya dan Tata satu per satu. "Halo, kalian berdua. Apa kabar?" "Baik, Bibi Nat! Kami dapat baju baru!" Nasya mengibarkan rok musim gugurnya yang berwarna merah. Tata juga tidak mau kalah dengan memamerkan roknya yang berwarna kuning. "Lihat ini, Bibi Natalie!" "Peluk kami!" Nasya mengulurkan kedua tangannya. Natalie jadi terpaksa meraih Nasya dari gendongan Dietrich. Dietrich menyerahkan keponakannya dengan hati-hati. "Kau bisa menggendongnya, Nat? Awas, Nasya cukup berat." Natalie menggunakan kedua tangannya untuk mendekap bocah berpipi gembul itu. "Mon Dieu—Ya Tuhan. Kau beri makan apa saja si Nasya, Dietrich? Dia jauh lebih berat dibandingkan terakhir kali aku menggendongnya!" Dietrich tertawa. "Dia pemakan segala. Bukan salahku kalau dia jadi bertambah berat. Salahkan ayahnya!" Natalie menoleh pada Catherine. "Di mana ayah mereka?" Catherine mengedikkan bahu. "Mengurus sesuatu di New York. Dia dan adik-adiknya akan tiba di sini besok atau lusa." Dietrich mengerang kecil, sedangkan Natalie berbinar-binar senang. "Oh, adik-adiknya akan ikut? Aku sudah rindu melihat para pria Alexandrov bermain shirtless—tanpa pakaian bagian atas—di rerumputan." Dietrich berdeham. "Perempuan muda bermartabat seharusnya tidak—" "Ssshhh!" Natalie memotongnya cepat. "Perempuan muda bermartabat juga butuh cuci mata." Dietrich mendelik. Sementara itu, adiknya tertawa terbahak-bahak. Catherine memandang bolak-balik interaksi antara Dietrich dan Natalie lalu, seulas senyum mengembang di bibirnya. "Nat, masuklah. Ayo, kutunjukkan kamarmu. Kau pasti lelah setelah perjalanan panjang." Catherine mengusulkan. Natalie mengangguk. Perempuan itu mencium Nasya dua kali lagi sebelum menyerahkannya kembali pada Dietrich. "Sampai jumpa nanti, Di." Dietrich balas mengangguk. Pandangannya mengikuti kedua perempuan muda yang mulai menghilang di balik koridor-koridor panjang usai memberikan salam pada para tetua. Ketika telah berbelok, Catherine berbisik di telinga Natalie. "Hampir dua minggu ini Dietrich bertingkah aneh. Apakah kau tahu sebabnya?" Natalie mengernyit. "Bertingkah aneh ... seperti apa?" Catherine mengedikkan bahu. "Seperti ... sedang banyak pikiran. Aku sering melihatnya melamun di atas berkas-berkas perusahaan. Dan, ketika membaca laporan keuangan bulanan, kurasa pikirannya tidak ada di sana." Natalie jadi ikut penasaran. "Mungkin, bisnis sedang tidak berjalan seperti biasanya?" "Nonsense. Bisnis baik-baik saja. Aku juga sempat berbicara pada Vladimir—siapa tahu dia bisa menawarkan bantuan atau apa pun pada Dietrich, jika Dietrich mengalami kesulitan. Namun, Vladimir bilang, Patricia Royal Inn Worldwide Inc. berjalan dengan baik." Catherine berkata. "Kupikir kau tahu sesuatu, Nat, karena dia jadi begini sepulang dari Paris untuk menemuimu, kalau tidak salah? Apakah dia menceritakan sesuatu?" Natalie mengingat-ingat kembali. Dalam pikirannya, tidak ada apa pun. "Kami hanya makan malam dan berjalan-jalan sebentar di Taman Tuileries lalu dia mengundangku liburan di Brussel." Catherine mengangguk-angguk. "Katakan padaku jika kau tahu sesuatu nanti, Nat. Aku mengkhawatirkan Dietrich." Natalie terdiam agak lama, tetapi pada akhirnya mengangguk juga. "Ini dia kamarmu." Catherine berkata pada saat mereka berdua sampai di sebuah pintu ganda besar. "Kalau butuh apa pun, kau tahu di mana kamarku, tapi, hati-hati jangan sampai salah masuk. Kamarku dan kamar Dietrich bersebelahan dan pintunya sama persis." Kat mengedipkan salah satu matanya sebelum melangkah pergi sambil tertawa. Natalie memberengut. "Sahabat macam apa kau? Mana mungkin aku salah masuk kamar?!" Meskipun begitu, ketika Catherine sudah pergi sambil tertawa terbahak-bahak, Natalie berbaring nyalang di kamarnya di kastil Toussaint. Dia jadi memikirkan Dietrich—ini pasti berkat kekhawatiran Catherine akan kakaknya itu tadi. Dietrich sedang mencemaskan sesuatu? Memangnya apa yang bisa dicemaskan oleh seorang Dietrich? Hidup lelaki itu sempurna. Dia adalah seorang kepala keluarga dari Toussaint—salah satu keluarga paling berpengaruh di Belgia pada khususnya, dan Eropa daratan pada umumnya. Perusahaan di bawah wewenangnya adalah satu satu perusahaan perhotelan paling stabil di seluruh dunia. Plus, keluarganya tidak sebawel keluarga Natalie—yang tidak pernah berhenti meminta Nat menikah. Natalie melepas sepatunya dan berguling miring. Apa yang terjadi pada Dietrich? ♡♡♡Ketika hari beranjak sore, Natalie mendengar pintu kamarnya diketuk pelan."Nona. Ini hampir waktunya minum teh. Apakah Anda sudah bangun? Kami bisa membantu Anda bersiap."Natalie merenggangkan tubuh, kemudian turun dari tempat tidur bertiang empat di sini dan mengenakan selop kamar. Perempuan itu beranjak ke pintu, membukanya, lalu membiarkan beberapa pelayan perempuan dari Toussaint untuk masuk."Nyonya Catherine berpesan agar kami membawakan sebaskom air es untuk menyegarkan wajah Anda." Salah satu dari mereka berujar.Yang lain ikut masuk dengan senang. "Kami juga membawakan pesan dari Tuan Julien."Oh, yang satu ini membuat Natalie mengernyit. "Julien?" Bukan Dietrich?"Oui, Mademoiselle—Ya, Nona." Salah satu pelayan menyodorkan nampan kecil, membuka tudung sajinya yang berwarna keperakan, kemudian membiarkan Natalie mengambil secarik kertas dengan tulisan cakar ayam dari sana.[Selamat sore, Nona Manis. Aku menunggu untuk mengobrol lebih banyak denganmu pada acara minum teh har
Natalie berpikir. Berpikir keras. Mengesampingkan seluruh perasaan asing menyakitkan yang menderanya, gadis cantik itu mulai mempertanyakan banyak hal. Ini adalah hidupnya. Kisah cintanya. Mengapa banyak sekali orang yang ingin ikut campur?Suasana minum teh di Toussaint begitu hangat dan seharusnya menyenangkan. Denting sendok kecil beradu dengan porselen Sevrés, aroma berbagai macam teh bercampur dengan susu dan madu, dan percakapan-percakapan ringan yang bergulir di seluruh ruangan.Namun, Natalie justru larut dalam lamunan."Nat?" Mungkin ini sudah ketiga kalinya sang mama memanggil—sebelum Natalie pada akhirnya menoleh."Oui—Ya?" Natalie membalas tatapan ibunya dengan sorot teguh tak menampilkan kerapuhan apa pun, meski jauh di dalam hati ia sedikit merasa hancur.Oke, lumayan banyak. Kehancurannya. Nat tidak tahu mengapa, tapi yang diinginkannya saat ini adalah kabur dan menangis di suatu tempat terpencil di sudut kastil atau berada di dalam perlindungan kamarnya dan tidak kelua
Natalie dan Chiara berkuda santai di sepanjang track pacuan yang berada tepat melewati ruang perjamuan minum teh. Pada saat melaluinya, kepala Natalie tidak bisa berhenti untuk menoleh—meski apa yang terjadi di dalam tidak sepenuhnya dapat terlihat dari luar."Aku akan dijodohkan dengan Julien Toussaint." Nat tidak tahan untuk tidak menyemburkan semuanya pada Chiara saat mereka berdua sudah tidak berada di jarak dengar siapa pun.Chiara menoleh. Matanya melebar. "Julien? Julien?! Bukankah dia jahil sekali? Tidak. Tidak mungkin. Kalian sama sekali tidak cocok. Dia bahkan tidak terlalu menyukaimu, Nat!"Natalie melajukan kuda milik Paman Axel pelan-pelan. "Aku tahu. Kami bahkan ... tidak berteman. Tidak sedekat itu, tapi dia memujiku cantik."Chiara menghela napas. Wajahnya mendongak ke langit seolah meminta pertolongan kepada Tuhan. "Kau memang cantik. Semua orang bisa melihatnya. Sedikit pujian dari Julien Toussaint seharusnya tidak menggoyahkanmu."Natalie mengedikkan bahu. "Aku tida
Dietrich tidak sempat berpikir panjang. Ketika semua orang berhamburan keluar membentuk kerumunan di sepanjang pacuan kuda, dia mengikuti arus. Bedanya, saat berhasil keluar melewati pintu-pintu kaca berornamen keemasan dari tempat perjamuan minum teh, Dietrich langsung berderap cepat menuju istal."Siapkan kudaku!" Lelaki tampan itu berteriak pada siapa pun yang bisa mendengarnya di dalam istal.Kuda miliknya, sebuah kuda hitam besar yang tak kalah garang dibanding milik Paman Axel, siap dalam waktu singkat. Masih mengenakan jas dan pakaian semi formal, Dietrich melompat naik ke atas kudanya sendiri.Setelah itu dia dan kudanya berderap bagai satu kesatuan menuju ke pacuan kuda. Berusaha mengejar kuda yang ditunggangi oleh Natalie.Di sisi lain, Natalie berusaha melakukan teknik scrunch. Dengan satu tangan, gadis itu menyatukan tali kekang dan menyelipkan tangannya yang lain di bawah tali tersebut, untuk membuat "remasan" yang ketat pada leher kuda. Hal ini akan memicu rangsang pada
"Kau tampak kacau." Julien dan Axel Junior mengunjungi Dietrich di ruang kerja kepala keluarga Toussaint sebelum makan malam.Yah, benar. Dietrich memang kacau. Kacau balau! Lelaki tampan itu mengurung diri berteman dengan vodka milik Vladimir Alexandrov yang tertinggal—atau sengaja ditinggal—di perpustakaan. Rambutnya kusut masai. Bekas diacak-acak berulang kali oleh tangannya sendiri.Dietrich merebahkan diri di kursi kebesaran milik Toussaint. Sebelah tangannya masih menggenggam leher botol vodka, sedangkan yang sebelah lagi terkulai di sisi tubuh. Pikirannya melanglang buana entah ke mana bahkan si pria tampan masih tetap bergeming saat kedua sepupunya masuk ke ruangan."Aku tidak ada di sana, tapi aku mendengar apa yang terjadi." Axel Junior berkata dengan nada geli yang terdengar kental. "Kudengar Natalie Casiraghi menunggangi kuda milik papa.""Kuda balap." Dietrich membetulkan dengan sengit."Oke. Kuda balap milik papa." Axel Junior membetulkan. Lelaki itu menarik kursi di had
Natalie tidak heran jika pada pengaturan tempat duduk untuk makan malam, dirinya mendapatkan kursi di samping Julien Toussaint. Sementara itu, lewat sudut matanya, Nat bisa melihat Dietrich berada di kepala meja. Tampak begitu berwibawa sebagai head of the family—kepala keluarga Toussaint.Nat sama sekali tidak pernah membayangkan bahwa Dietrich akan cocok sekali mengemban posisi tersebut. Kecongkakan yang hanya dapat dilahirkan dari kekayaan tak habis tujuh turunan sebelumnya, ditambah kepercayaan diri mutlak yang berasal murni dari dalam jiwa lelaki itu, membuat Dietrich seolah tak tersentuh. Pria tampan itu bersinar terang, pembawaannya menimbulkan kesan yang kuat—seolah dirinya adalah raja.Dietrich terlihat berbincang dengan beberapa orang penting dari anggota senat. Meskipun tampak akrab dengan para pria paruh baya tersebut, Natalie menyadari bahwa pria-pria yang diundang kemari semuanya memiliki anak gadis yang belum menikah! Mon Dieu. Toussaint sepertinya tidak main-main kali
Natalie terpaku. Seluruh tubuhnya lunglai bagai tak bertulang. Seolah kejadian dengan kuda belum cukup buruk, saat ini reputasinya terancam hancur akibat berduaan dengan lelaki di semak-semak. Namun, justru bukan itu yang Nat pikirkan.Ini adalah Dietrich Toussaint.Lelaki ini berhasil memporak-porandakan seluruh hidupnya dalam sekejap. Memberikannya begitu saja pada Julien, menyambarnya dari atas kuda dan memarahinya habis-habisan di depan seluruh tamu kalangan atas, dan kini ... menciumnya.Mon Dieu!Natalie tidak percaya ini. Dia sedang ... berciuman dengan Dietrich Toussaint?!Nat berusaha melepaskan diri—sebelum kesadaran akan apa yang sebaiknya tidak dilakukan hilang dari pikirannya. Akan tetapi, ketika gadis cantik itu merasakan tangan Dietrich diletakkan di pinggangnya, kemudian turun untuk menangkup bokongnya, seluruh pergolakan batin Nat menguap ke awan.Gadis itu menyerah terhadap rasa nikmat. Mon Dieu—Ya, Tuhan! Natalie belum pernah dicium sebelumnya. Akan tetapi, tidak ad
"Ke mana saja kau?"Acara makan malam sudah berganti. Ketika Natalie kembali ke tempat acara, para pria sudah pergi ke ruangan sebelah untuk menghisap cerutu dan membicarakan hal-hal yang tidak seharusnya didengar oleh para wanita. Waktu istirahat ini bisa berlangsung selama beberapa lama sampai semua orang siap untuk berkumpul kembali di ballroom—tempat diadakannya pesta dansa.Jadi, Chiara menggunakan kesempatan ini untuk menghadang dan menggandeng Natalie agar gadis itu duduk bersamanya di sebuah meja melingkar. Salah satu kursi lainnya sudah diduduki oleh Catherine."Aku ... yah, kau tahu ke mana aku pergi." Natalie praktis menggumam saat menjawab pertanyaan Chiara.Chiara berbisik. "Apakah kau menemui Dietrich?"Nat mengedikkan bahu. "Begitulah."Kedua perempuan muda itu mengerling sekilas pada Catherine. Sungguh aneh. Betul-betul aneh rasanya membicarakan kakak Catherine saat wanita itu sedang berada di sini bersama mereka.Akan tetapi, Catherine mengibaskan tangan dan tertawa.
Ruang makan di kastil Toussaint pagi itu ramai sekali. Acara makan pagi kali ini diselenggarakan secara tidak formal. Bahkan, anak-anak juga diizinkan untuk ikut makan bersama."Natalie!" Catherine berseru riang saat melihat sahabat yang kini telah menjadi kakak iparnya itu memasuki ruangan. "Sini! Duduklah bersama kami! Kau juga, Dietrich!"Maka, Natalie dan Dietrich duduk bersama dengan Catherine dan keluarga kecilnya, setelah berkeliling mengucapkan salam pada meja-meja lain yang berisi para tetua."Bonjour—Selamat pagi," sapa Natalie. Wanita itu tampak cerah dengan sebuah senyuman yang sungguh menampilkan kebahagiaan.Catherine kesulitan berdiri untuk menyapa, jadi Natalie merunduk untuk mencium kedua pipi sahabatnya itu."Pagi, Nat. Apakah tidurmu nyenyak?" Catherine bertanya.Natalie melirik Dietrich. Dietrich berdeham dengan wajah merona sedikit.Natalie tergelak ringan. "Well, ya. Kami tidur nyenyak. Bagaimana denganmu?"Catherine menunjuk perutnya. "Tidak senyenyak dirimu, te
Namun, apa yang dilakukan oleh Dietrich selanjutnya justru membuat Nat semakin gelisah. Kepalanya menjadi pening dengan serbuan sensasi yang melandanya bertubi-tubi. Dietrich membisikkan kalimat-kalimat lembut yang nyaris tak terdengar di telinga Nat—di atas perut wanita itu. Sepertinya, Dietrich sedang memberikan salam pada anak mereka dan hal itu membuat Natalie begitu tersentuh hingga hampir menangis. Kemudian ciuman Dietrich bergerak semakin ke selatan menuju area kewanitaannya yang telah basah."Let me kiss you—Biarkan aku menciummu ...." ucap Dietrich di antara paha Natalie yang merapat dengan kaku. "Let me love you, Nat—Biarkan aku mencintaimu, Nat ...."Natalie terisak keras di saat Dietrich benar-benar membuka dirinya. Mulut pria itu terasa panas di bawah sana. Bibirnya lembut dan basah membelai bagian luar labia Natalie hingga kepala perempuan cantik itu terlempar ke kanan dan ke kiri.Cairan kewanitaan Natalie mengalir semakin banyak. Akan tetapi, Dietrich melakukan hal gi
Tidak ada percakapan yang terjadi saat Dietrich dan Natalie bergerak menuju kamar mereka di quartier kamar tidur anggota keluarga. Bulan yang tersamarkan oleh awan menggantung rendah di langit Belgia. Sinarnya menembus jendela-jendela kaca kuno besar di salah satu sisi koridor. Membaur layaknya cincin asap besar di kegelapan malam musim dingin.Tangan Dietrich dan Natalie saling bertaut. Sesekali mereka menoleh untuk melemparkan sebuah senyuman satu sama lain. Pipi Dietrich merah sebelah. Rahangnya terasa kaku, dan wajah Natalie masih menampakkan sisa-sisa air mata. Namun, itu semua tidak menghalangi mereka untuk berbahagia.Saat sampai di depan pintu ganda yang menghubungkan dua kamar terbesar di kastil ini, jantung Natalie mengentak cepat. Ini bukan kamar Dietrich yang dulu—jelas bukan kamar yang sama dengan kamar Dietrich yang dimasukinya diam-diam bersama Catherine di masa remaja.Kamar ini ... adalah kamar The Lord and The Lady of The House."Dietrich ...." Tangan Natalie dengan
Dietrich dan Natalie pergi ke Brussel di saat salju turun semakin tebal di akhir tahun. Para paparazzi sudah tidak tampak di sekitar apartemen Dietrich di Paris—sepertinya mereka pulang ke tempat asal masing-masing untuk liburan natal dan tahun baru. Pada saat Dietrich dan Natalie keluar dari gedung apartemen, rasanya sejuk sekali. Seolah mereka berdua baru saja menghirup udara kebebasan.Monsieur Randall mengantarkan mereka berdua menuju Charles de Gaulle. Kemudian, saat mendarat di Brussel, Paman Axel mengirimkan sebuah Rolls Royce yang mengantarkan mereka langsung menuju kastil Toussaint."Dietrich aku gugup sekali ...." Natalie berbisik pelan saat mobil yang mereka berdua tumpangi memasuki pintu gerbang kastil.Dietrich mengangguk pada sang istri. Tangannya meremas tangan Natalie pelan. "Aku juga. Tapi, jangan khawatir. Kita bisa menghadapi ini bersama-sama.""Kuharap mereka tidak terlalu marah.” Natalie balas meremas tangan suaminya.Dietrich tidak menyukai raut cemas di wajah Na
[From: Catherine To: Dietrich Kami semua sudah kembali ke Brussel. Pulanglah, Di, dan bawa istrimu ke rumah. Tunggu. Kau benar-benar sudah menikah dengan Nat?]Dietrich mendapatkan pesan tersebut beberapa hari kemudian. Dia dan Natalie sudah tinggal cukup lama—bersembunyi, meski tempat persembunyian itu tidak dapat dikatakan terpencil—dari semua hal yang memusingkan. Keduanya mematikan ponsel selama berhari-hari. Pun dengan sengaja tidak menyalakan ponsel dan tidak keluar dari apartemen untuk menghindari para pencari berita.Saat dirasa seluruh kontroversi sudah mulai mereda, Dietrich baru membuka ponsel dan menemukan pesan dari sang adik.Jemari lelaki itu dengan cepat mengetikkan balasan.[To: Catherine From: Dietrich Ya. Aku sudah menikah dengan Nat. Apakah Kakek marah besar? Bagaimana dengan suamimu? Kennedy sekarang memusuhi kita? Lalu ... apakah Bibi Stéphanie murka?]Balasan Catherine datang dengan agak terlalu cepat.[From: Catherine To: Dietrich Kakek, Papa, Paman
Natalie tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi di sini, tetapi saat membuka mata dan melihat Dietrich yang tertidur pulas setelah penerbangan panjang belasan jam menuju Paris, perempuan itu baru sadar bahwa dia sekarang sudah menikah. Ini sudah hampir 24 jam berlalu, tetapi Natalie masih belum menyangka bahwa dirinya sekarang sudah berstatus menjadi istri pria yang sejak dulu ia impikan ini.Dia sedang mengandung anak dari Dietrich.Masa depan memang sebuah misteri, tetapi apa yang akhir-akhir ini terjadi benar-benar menjungkirbalikkan dunia Natalie tanpa sisa.Pun tentang pernyataan cinta Dietrich .... Entahlah. Natalie tidak bisa berpikir jernih sekarang. Wanita itu menggigit bibir. Ia ingin memercayai suaminya. Namun, rasanya benar-benar sulit. Benarkah Dietrich merasakan hal yang sama untuknya? Atau ... pria itu hanya ingin sekadar menenangkan dan memaksanya masuk ke dalam jurang pernikahan yang sama-sama tidak mereka inginkan pada awalnya?"Hei, kau tidak tidur?" Suara parau khas
Dietrich merasa was-was. “Jangan bilang kau merasa ragu? Kau tidak bisa meninggalkanku di altar, Nat ….”Natalie menelan ludah dan menghindari tatapan Dietrich. “Nat, Pastor Ryan sudah menunggu kita. Dia hampir membeku kedinginan,” ucap Dietrich dengan keputusasaan. “Jangan lakukan ini padaku. Kumohon padamu ….” Natalie menghela napas. Ketika mendongak, matanya berkaca-kaca. “Aku tidak ingin kau menyesal, Dietrich kau bahkan … tidak mencintaiku.” Air mata Natalie menetes. Lalu, tetesan itu berubah menjadi deras. Dietrich tertegun. “Siapa yang mengatakan itu padamu?” Natalie menggeleng cepat. “Bukan siapa yang mengatakan apa. Ini adalah tentang kau tidak mengatakan apa-apa.” Dietrich memandang Natalie tak percaya. “Apakah kau tidak bisa melihat bahwa seumur hidupku, orang yang paling kupedulikan adalah kau? Tidak bisakah kau merasakan bahwa aku menc—“ “Cukup. Jangan membohongi kita berdua, Di. Kau sendiri yang mengatakan bahwa cinta itu omong kosong? Kau tidak mencintaiku. Tidak
Tak lebih dari dua jam kemudian, Natalie dan Dietrich sudah duduk di sebuah penerbangan first class menuju Nevada. Keduanya cekikikan bersama-sama. Meski para pramugari sedang menuangkan anggur—untuk Dietrich dan jus untuk Natalie, mereka berdua tidak bisa berhenti tertawa."Apakah kau bisa membayangkan raut wajah Vladimir saat kita kabur?" Dietrich tertawa tengil. "Malam ini agak gelap. Aku tidak bisa melihatnya dengan jelas, tetapi aku bisa membayangkannya."Natalie tertawa lagi. "Kau benar-benar nakal, kau tahu?" Dietrich mencolek hidung Natalie sekilas. "Coba tebak, karena siapa aku jadi begini?" Natalie menepuk dada Dietrich main-main. Kebahagiaan membuncah di dadanya. Sebentar lagi. Hanya tinggal sebentar lagi mereka berstatus sebagai suami istri.Seharusnya Natalie malu. Dia bukan hanya mendobrak tradisi agung pernikahan keluarga kerajaan, tetapi juga menurunkan standar pernikahan ke posisi paling bawah. Pernikahan drive-thru. Sekarang bukan hanya makanan cepat saji saja yang
Dietrich mendekatkan wajahnya, memosisikan bibir Natalie sehingga bertaut dengannya. Lidahnya menyusuri bibir manis beraroma mint milik Natalie. Napas Natalie terengah ketika Dietrich menekan lidahnya lebih dalam menjelajahi mulut Natalie. Sedikit terburu-buru didesak hasrat, Dietrich tak bisa menahannya lagi. Natalie adalah miliknya dan ia sudah menginginkan Nat sejak lama. Tubuh Natalie dengan mudah dikuasainya. Tangan Dietrich menurun ke pundak Nat, membelai kulit halus yang terbuka itu. Dietrich menyesap sisi leher Natalie—yang seketika membuat desah wanita cantik itu terlontar begitu saja. Kemudian, si presdir tampan mencium dan menenggelamkan wajahnya di leher Natalie. Suara ciuman yang menggelora berhenti sejenak. Dietrich melepaskan dan menatap wajah Natalie yang sudah memerah. Sementara itu, sorot mata Natalie tampak sayu sekaligus bergairah. Sial. Bagaimana Dietrich dapat berhenti sekarang? Miliknya yang mengeras bergesekan dengan milik Natalie yang terasa basah. Dietr