Natalie pada awalnya begitu bersemangat untuk pergi liburan ke Brussel. Koper-kopernya sudah siap. Mobilnya juga hampir penuh—sebelum ibu, ayah dan kedua kakak laki-lakinya, beserta keluarga kecil mereka masing-masing, juga bergabung dengan Nat di hall depan istana milik Princess Stéphanie.
Semua orang berpenampilan sangat chic, syal-syal hangat dikenakan. Tak lupa dengan scarf warna-warna merah dan cokelat di atas kepala. Plus, kacamata hitam super trendi. "Mau ke mana kalian semua?" Natalie bertanya bingung. Semua orang saling berpandangan dengan alis terangkat, lalu meledak tertawa. Princess Stéphanie merangkul bahu putri bungsunya lalu tersenyum lebar, memamerkan deretan gigi-giginya yang putih mengkilap bak porselen. "Mau ke mana, katamu? Tentu saja kami ingin ikut denganmu ke Brussel! Kami juga mendapatkan tawaran liburan di kastil Toussaint. Bukan cuma kau." Natalie memaksa dirinya agar tidak meringis ngeri. "Undangan ... dari Dietrich?" "Oh, bukan, Sayang. Dari kawan lamaku Axel yang senior. Sudah, jangan banyak bicara. Mari kita semua berangkat. Jet pribadi Lexstream sudah menunggu di bandara terdekat." Princess Stéphanie mendorong punggung Nat sedikit agar gadis itu berjalan lebih cepat. Natalie merasakan dirinya digandeng dan didorong masuk ke sebuah limosin dengan lambang kerajaan. Keponakan-keponakannya, anak dari kakak pertama, berceloteh riang gembira selama limosin mereka melintasi French Riviera yang indah dan Nat merasa ini adalah mimpi buruk. Mimpi yang benar-benar buruk. Dia yang pada awalnya menyetujui saran Dietrich untuk pergi liburan ke Brussel demi menghindari keluarganya sendiri. Mengapa sekarang semua orang jadi ikut? Mon Dieu! "Natalie." Princess Stéphanie memanggil sembari menurunkan kacamata hitamnya sedikit. "Berhentilah menekuk mukamu seperti itu. Jika keluarga Toussaint melihatmu memberengut, mungkin mereka mengira kau bagai tahanan yang terpaksa ikut ke Brussel!" Natalie menghela napas. "Jangan mendengkus juga." Princess Stéphanie memperingatkan. Natalie menahan mulut untuk tidak mengeluarkan protes. "Nah, begitu. Tersenyum. Jadilah wanita bangsawan anggun yang pantas dipinang oleh Toussaint." Princess Stéphanie mengeluarkan kipas kecil dari dalam tas tangannya lalu mulai mengipasi dirinya sendiri. "Aku penasaran dengan calon menantuku. Well, aku belum pernah punya menantu laki-laki." Natalie mengikuti arah pandang ibunya. Dua orang kakak Nat, semuanya laki-laki—membuat Princess Stéphanie mendapatkan dua menantu perempuan. Natalie menyandarkan kepala pada sandaran jok, kemudian memutar bola mata. "Jangan berharap banyak padaku. Oh, astaga, Mama. Kau bahkan sudah punya banyak cucu." "Cucu dari anak laki-laki itu berbeda dengan cucu dari anak perempuan. Aku juga ingin melihatmu hamil dan melahirkan seperti Catherine. Sudah berapa bulan kehamilannya sekarang?" Princess Stéphanie menoleh pada Natalie. Natalie mengedikkan bahu. "Dia terlihat seperti siap melahirkan kapan saja." "Begitulah yang kudengar kalau kau hamil kembar." Princess Stéphanie berkata. "Lady Louise pasti senang sekali karena anak perempuannya sudah menghasilkan hampir empat cucu. Itukah sebabnya Dietrich dibiarkan bebas dan tidak menikah juga sampai sekarang?" Oh, Natalie tahu ini. Percakapan yang berkaitan dengan Toussaint dan sahabatnya Catherine, pada akhirnya hanya akan menuju topik yang sebenarnya. Dietrich. "Dietrich tidak berminat menikah." Natalie mengingatkan ibunya sekali lagi. "Dia menyatakan dengan jelas bahwa dia akan melajang seumur hidup. Prinsip bagus yang akan dengan senang hati kuikuti jika saja Mama tidak terlalu ... cerewet." Princess Stéphanie ingin marah, tapi tawa justru menyembur dari mulutnya. "Kau baru saja bilang aku apa? Cerewet? Dan, apa katamu tadi? Kau ingin mengikuti prinsip melajang seumur hidup?" Natalie mengedikkan bahu. "Entahlah. Itu tidak terdengar terlalu buruk. Lagi pula, aku sudah single seumur hidup. Melanjutkannya tidak akan membuat perubahan apa pun. Atau mungkin ... jika Mama mengizinkanku pergi one night stand seperti Chiara, aku bisa punya kesempatan yang lebih besar untuk punya pacar." Sebuah pukulan keras mendarat di paha Natalie—diiringi kerlingan tajam dari ibunya. "Oke, tidak. Aku tidak melakukan itu." Natalie menyerah dengan cepat sebelum pukulan lain ia terima. ♡♡♡ Rombongan keluarga Princess Stéphanie tiba di Brussel ketika matahari sudah cukup tinggi. Seluruh keluarga Toussaint menyambut mereka di grand hall. Sementara ibu dan ayahnya sibuk menyapa Kakek Auguste, Paman Axel, dan para tetua yang lain, Natalie berjalan menghampiri Catherine. "Mon Dieu. Perutmu tampak semakin besar saja, padahal kita baru tidak bertemu selama ... seminggu? Dua minggu?" Natalie mengulurkan tangan untuk membelai perut sahabatnya tanpa sungkan. Catherine memeluk Natalie dalam dekapan sayang. Suaminya tidak tampak di mana-mana lalu kedua anaknya digendong oleh Dietrich yang berdiri sigap di sisi perempuan itu. Dietrich tampak ingin mengulurkan tangan untuk menyambut Natalie. Namun, kedua tangannya disibukkan oleh Anastasia dan Tatiana, dua bocah kembar perempuan berambut pirang yang merupakan anak-anak Catherine dan Vladimir Alexandrov. "Bibi Natalie!" Nasya dan Tata berteriak heboh. Tangan-tangan mereka terjulur untuk menggapai Natalie. Natalie tersenyum setengah hati. Mendekati kedua bocah itu butuh kewaspadaan ekstra—karena siapa yang tahu tingkah barbar apa lagi yang sanggup mereka lakukan? "Keponakan-keponakanku tidak menggigit, Nat." Dietrich terkekeh geli. Natalie pada akhirnya maju dan mencium pipi Nasya dan Tata satu per satu. "Halo, kalian berdua. Apa kabar?" "Baik, Bibi Nat! Kami dapat baju baru!" Nasya mengibarkan rok musim gugurnya yang berwarna merah. Tata juga tidak mau kalah dengan memamerkan roknya yang berwarna kuning. "Lihat ini, Bibi Natalie!" "Peluk kami!" Nasya mengulurkan kedua tangannya. Natalie jadi terpaksa meraih Nasya dari gendongan Dietrich. Dietrich menyerahkan keponakannya dengan hati-hati. "Kau bisa menggendongnya, Nat? Awas, Nasya cukup berat." Natalie menggunakan kedua tangannya untuk mendekap bocah berpipi gembul itu. "Mon Dieu—Ya Tuhan. Kau beri makan apa saja si Nasya, Dietrich? Dia jauh lebih berat dibandingkan terakhir kali aku menggendongnya!" Dietrich tertawa. "Dia pemakan segala. Bukan salahku kalau dia jadi bertambah berat. Salahkan ayahnya!" Natalie menoleh pada Catherine. "Di mana ayah mereka?" Catherine mengedikkan bahu. "Mengurus sesuatu di New York. Dia dan adik-adiknya akan tiba di sini besok atau lusa." Dietrich mengerang kecil, sedangkan Natalie berbinar-binar senang. "Oh, adik-adiknya akan ikut? Aku sudah rindu melihat para pria Alexandrov bermain shirtless—tanpa pakaian bagian atas—di rerumputan." Dietrich berdeham. "Perempuan muda bermartabat seharusnya tidak—" "Ssshhh!" Natalie memotongnya cepat. "Perempuan muda bermartabat juga butuh cuci mata." Dietrich mendelik. Sementara itu, adiknya tertawa terbahak-bahak. Catherine memandang bolak-balik interaksi antara Dietrich dan Natalie lalu, seulas senyum mengembang di bibirnya. "Nat, masuklah. Ayo, kutunjukkan kamarmu. Kau pasti lelah setelah perjalanan panjang." Catherine mengusulkan. Natalie mengangguk. Perempuan itu mencium Nasya dua kali lagi sebelum menyerahkannya kembali pada Dietrich. "Sampai jumpa nanti, Di." Dietrich balas mengangguk. Pandangannya mengikuti kedua perempuan muda yang mulai menghilang di balik koridor-koridor panjang usai memberikan salam pada para tetua. Ketika telah berbelok, Catherine berbisik di telinga Natalie. "Hampir dua minggu ini Dietrich bertingkah aneh. Apakah kau tahu sebabnya?" Natalie mengernyit. "Bertingkah aneh ... seperti apa?" Catherine mengedikkan bahu. "Seperti ... sedang banyak pikiran. Aku sering melihatnya melamun di atas berkas-berkas perusahaan. Dan, ketika membaca laporan keuangan bulanan, kurasa pikirannya tidak ada di sana." Natalie jadi ikut penasaran. "Mungkin, bisnis sedang tidak berjalan seperti biasanya?" "Nonsense. Bisnis baik-baik saja. Aku juga sempat berbicara pada Vladimir—siapa tahu dia bisa menawarkan bantuan atau apa pun pada Dietrich, jika Dietrich mengalami kesulitan. Namun, Vladimir bilang, Patricia Royal Inn Worldwide Inc. berjalan dengan baik." Catherine berkata. "Kupikir kau tahu sesuatu, Nat, karena dia jadi begini sepulang dari Paris untuk menemuimu, kalau tidak salah? Apakah dia menceritakan sesuatu?" Natalie mengingat-ingat kembali. Dalam pikirannya, tidak ada apa pun. "Kami hanya makan malam dan berjalan-jalan sebentar di Taman Tuileries lalu dia mengundangku liburan di Brussel." Catherine mengangguk-angguk. "Katakan padaku jika kau tahu sesuatu nanti, Nat. Aku mengkhawatirkan Dietrich." Natalie terdiam agak lama, tetapi pada akhirnya mengangguk juga. "Ini dia kamarmu." Catherine berkata pada saat mereka berdua sampai di sebuah pintu ganda besar. "Kalau butuh apa pun, kau tahu di mana kamarku, tapi, hati-hati jangan sampai salah masuk. Kamarku dan kamar Dietrich bersebelahan dan pintunya sama persis." Kat mengedipkan salah satu matanya sebelum melangkah pergi sambil tertawa. Natalie memberengut. "Sahabat macam apa kau? Mana mungkin aku salah masuk kamar?!" Meskipun begitu, ketika Catherine sudah pergi sambil tertawa terbahak-bahak, Natalie berbaring nyalang di kamarnya di kastil Toussaint. Dia jadi memikirkan Dietrich—ini pasti berkat kekhawatiran Catherine akan kakaknya itu tadi. Dietrich sedang mencemaskan sesuatu? Memangnya apa yang bisa dicemaskan oleh seorang Dietrich? Hidup lelaki itu sempurna. Dia adalah seorang kepala keluarga dari Toussaint—salah satu keluarga paling berpengaruh di Belgia pada khususnya, dan Eropa daratan pada umumnya. Perusahaan di bawah wewenangnya adalah satu satu perusahaan perhotelan paling stabil di seluruh dunia. Plus, keluarganya tidak sebawel keluarga Natalie—yang tidak pernah berhenti meminta Nat menikah. Natalie melepas sepatunya dan berguling miring. Apa yang terjadi pada Dietrich? ♡♡♡Ketika hari beranjak sore, Natalie mendengar pintu kamarnya diketuk pelan."Nona. Ini hampir waktunya minum teh. Apakah Anda sudah bangun? Kami bisa membantu Anda bersiap."Natalie merenggangkan tubuh, kemudian turun dari tempat tidur bertiang empat di sini dan mengenakan selop kamar. Perempuan itu beranjak ke pintu, membukanya, lalu membiarkan beberapa pelayan perempuan dari Toussaint untuk masuk."Nyonya Catherine berpesan agar kami membawakan sebaskom air es untuk menyegarkan wajah Anda." Salah satu dari mereka berujar.Yang lain ikut masuk dengan senang. "Kami juga membawakan pesan dari Tuan Julien."Oh, yang satu ini membuat Natalie mengernyit. "Julien?" Bukan Dietrich?"Oui, Mademoiselle—Ya, Nona." Salah satu pelayan menyodorkan nampan kecil, membuka tudung sajinya yang berwarna keperakan, kemudian membiarkan Natalie mengambil secarik kertas dengan tulisan cakar ayam dari sana.[Selamat sore, Nona Manis. Aku menunggu untuk mengobrol lebih banyak denganmu pada acara minum teh har
Natalie berpikir. Berpikir keras. Mengesampingkan seluruh perasaan asing menyakitkan yang menderanya, gadis cantik itu mulai mempertanyakan banyak hal. Ini adalah hidupnya. Kisah cintanya. Mengapa banyak sekali orang yang ingin ikut campur?Suasana minum teh di Toussaint begitu hangat dan seharusnya menyenangkan. Denting sendok kecil beradu dengan porselen Sevrés, aroma berbagai macam teh bercampur dengan susu dan madu, dan percakapan-percakapan ringan yang bergulir di seluruh ruangan.Namun, Natalie justru larut dalam lamunan."Nat?" Mungkin ini sudah ketiga kalinya sang mama memanggil—sebelum Natalie pada akhirnya menoleh."Oui—Ya?" Natalie membalas tatapan ibunya dengan sorot teguh tak menampilkan kerapuhan apa pun, meski jauh di dalam hati ia sedikit merasa hancur.Oke, lumayan banyak. Kehancurannya. Nat tidak tahu mengapa, tapi yang diinginkannya saat ini adalah kabur dan menangis di suatu tempat terpencil di sudut kastil atau berada di dalam perlindungan kamarnya dan tidak kelua
Natalie dan Chiara berkuda santai di sepanjang track pacuan yang berada tepat melewati ruang perjamuan minum teh. Pada saat melaluinya, kepala Natalie tidak bisa berhenti untuk menoleh—meski apa yang terjadi di dalam tidak sepenuhnya dapat terlihat dari luar."Aku akan dijodohkan dengan Julien Toussaint." Nat tidak tahan untuk tidak menyemburkan semuanya pada Chiara saat mereka berdua sudah tidak berada di jarak dengar siapa pun.Chiara menoleh. Matanya melebar. "Julien? Julien?! Bukankah dia jahil sekali? Tidak. Tidak mungkin. Kalian sama sekali tidak cocok. Dia bahkan tidak terlalu menyukaimu, Nat!"Natalie melajukan kuda milik Paman Axel pelan-pelan. "Aku tahu. Kami bahkan ... tidak berteman. Tidak sedekat itu, tapi dia memujiku cantik."Chiara menghela napas. Wajahnya mendongak ke langit seolah meminta pertolongan kepada Tuhan. "Kau memang cantik. Semua orang bisa melihatnya. Sedikit pujian dari Julien Toussaint seharusnya tidak menggoyahkanmu."Natalie mengedikkan bahu. "Aku tida
Dietrich tidak sempat berpikir panjang. Ketika semua orang berhamburan keluar membentuk kerumunan di sepanjang pacuan kuda, dia mengikuti arus. Bedanya, saat berhasil keluar melewati pintu-pintu kaca berornamen keemasan dari tempat perjamuan minum teh, Dietrich langsung berderap cepat menuju istal."Siapkan kudaku!" Lelaki tampan itu berteriak pada siapa pun yang bisa mendengarnya di dalam istal.Kuda miliknya, sebuah kuda hitam besar yang tak kalah garang dibanding milik Paman Axel, siap dalam waktu singkat. Masih mengenakan jas dan pakaian semi formal, Dietrich melompat naik ke atas kudanya sendiri.Setelah itu dia dan kudanya berderap bagai satu kesatuan menuju ke pacuan kuda. Berusaha mengejar kuda yang ditunggangi oleh Natalie.Di sisi lain, Natalie berusaha melakukan teknik scrunch. Dengan satu tangan, gadis itu menyatukan tali kekang dan menyelipkan tangannya yang lain di bawah tali tersebut, untuk membuat "remasan" yang ketat pada leher kuda. Hal ini akan memicu rangsang pada
"Kau tampak kacau." Julien dan Axel Junior mengunjungi Dietrich di ruang kerja kepala keluarga Toussaint sebelum makan malam.Yah, benar. Dietrich memang kacau. Kacau balau! Lelaki tampan itu mengurung diri berteman dengan vodka milik Vladimir Alexandrov yang tertinggal—atau sengaja ditinggal—di perpustakaan. Rambutnya kusut masai. Bekas diacak-acak berulang kali oleh tangannya sendiri.Dietrich merebahkan diri di kursi kebesaran milik Toussaint. Sebelah tangannya masih menggenggam leher botol vodka, sedangkan yang sebelah lagi terkulai di sisi tubuh. Pikirannya melanglang buana entah ke mana bahkan si pria tampan masih tetap bergeming saat kedua sepupunya masuk ke ruangan."Aku tidak ada di sana, tapi aku mendengar apa yang terjadi." Axel Junior berkata dengan nada geli yang terdengar kental. "Kudengar Natalie Casiraghi menunggangi kuda milik papa.""Kuda balap." Dietrich membetulkan dengan sengit."Oke. Kuda balap milik papa." Axel Junior membetulkan. Lelaki itu menarik kursi di had
Natalie tidak heran jika pada pengaturan tempat duduk untuk makan malam, dirinya mendapatkan kursi di samping Julien Toussaint. Sementara itu, lewat sudut matanya, Nat bisa melihat Dietrich berada di kepala meja. Tampak begitu berwibawa sebagai head of the family—kepala keluarga Toussaint.Nat sama sekali tidak pernah membayangkan bahwa Dietrich akan cocok sekali mengemban posisi tersebut. Kecongkakan yang hanya dapat dilahirkan dari kekayaan tak habis tujuh turunan sebelumnya, ditambah kepercayaan diri mutlak yang berasal murni dari dalam jiwa lelaki itu, membuat Dietrich seolah tak tersentuh. Pria tampan itu bersinar terang, pembawaannya menimbulkan kesan yang kuat—seolah dirinya adalah raja.Dietrich terlihat berbincang dengan beberapa orang penting dari anggota senat. Meskipun tampak akrab dengan para pria paruh baya tersebut, Natalie menyadari bahwa pria-pria yang diundang kemari semuanya memiliki anak gadis yang belum menikah! Mon Dieu. Toussaint sepertinya tidak main-main kali
Natalie terpaku. Seluruh tubuhnya lunglai bagai tak bertulang. Seolah kejadian dengan kuda belum cukup buruk, saat ini reputasinya terancam hancur akibat berduaan dengan lelaki di semak-semak. Namun, justru bukan itu yang Nat pikirkan.Ini adalah Dietrich Toussaint.Lelaki ini berhasil memporak-porandakan seluruh hidupnya dalam sekejap. Memberikannya begitu saja pada Julien, menyambarnya dari atas kuda dan memarahinya habis-habisan di depan seluruh tamu kalangan atas, dan kini ... menciumnya.Mon Dieu!Natalie tidak percaya ini. Dia sedang ... berciuman dengan Dietrich Toussaint?!Nat berusaha melepaskan diri—sebelum kesadaran akan apa yang sebaiknya tidak dilakukan hilang dari pikirannya. Akan tetapi, ketika gadis cantik itu merasakan tangan Dietrich diletakkan di pinggangnya, kemudian turun untuk menangkup bokongnya, seluruh pergolakan batin Nat menguap ke awan.Gadis itu menyerah terhadap rasa nikmat. Mon Dieu—Ya, Tuhan! Natalie belum pernah dicium sebelumnya. Akan tetapi, tidak ad
"Ke mana saja kau?"Acara makan malam sudah berganti. Ketika Natalie kembali ke tempat acara, para pria sudah pergi ke ruangan sebelah untuk menghisap cerutu dan membicarakan hal-hal yang tidak seharusnya didengar oleh para wanita. Waktu istirahat ini bisa berlangsung selama beberapa lama sampai semua orang siap untuk berkumpul kembali di ballroom—tempat diadakannya pesta dansa.Jadi, Chiara menggunakan kesempatan ini untuk menghadang dan menggandeng Natalie agar gadis itu duduk bersamanya di sebuah meja melingkar. Salah satu kursi lainnya sudah diduduki oleh Catherine."Aku ... yah, kau tahu ke mana aku pergi." Natalie praktis menggumam saat menjawab pertanyaan Chiara.Chiara berbisik. "Apakah kau menemui Dietrich?"Nat mengedikkan bahu. "Begitulah."Kedua perempuan muda itu mengerling sekilas pada Catherine. Sungguh aneh. Betul-betul aneh rasanya membicarakan kakak Catherine saat wanita itu sedang berada di sini bersama mereka.Akan tetapi, Catherine mengibaskan tangan dan tertawa.
Natalie memang berada di dalam elemennya. Wanita cantik itu duduk di sebuah kursi rotan, di hadapan bunga-bunga bermekaran, pada dua musim semi selanjutnya. Ruangan di sekelilingnya besar, memiliki sirkulasi udara yang sangat baik, dan berbatasan langsung dengan halaman belakang. Sebuah kebun, penuh tanah berumput, yang sudah jarang ada di properti milik pribadi di Paris.Perempuan itu menarik napas dalam-dalam sembari tersenyum. Ini adalah aroma favoritnya sepanjang masa. Perpaduan lavendel, mawar, dan wisteria yang wangi semerbak bercampur menjadi satu di udara."Kau seharusnya menambahkan wisteria di acara pernikahanmu," kata seseorang yang datang dari belakangnya.Tanpa berbalik pun, Natalie sudah terlalu mengenal suara itu. "Menurutmu begitu, Madame Vernoux?"Seorang wanita pemilik kedai bunga terkenal di Paris ini, Madame Vernoux, mengambil tempat duduk di samping Natalie. Natalie adalah pelanggan favoritnya. Tak perlu mengatakan apa pun, tetapi Madame Vernoux selalu mengabaikan
"Ya. Ya … berhasil dengan pujian. Sempurna. Kau benar-benar nakal, Mon Amour." Dietrich masih terengah-engah. Namun, kejantanannya terasa menyembul sekali lagi. Menekan perut Natalie yang duduk di pangkuannya.Sial.Dietrich akhirnya tidak dapat menahannya lagi. Sang presdir tampan kini sepenuhnya menanggapi rayuan Natalie. Tangannya menelusup di balik piyama wanita cantik itu, menyentuh punggungnya yang halus.Bibir Natalie menuruni rahang Dietrich ... mengecap aroma di lehernya lalu, beralih sedikit ke belakang telinga lelaki itu—yang kini Natalie tahu, menjadi titik dimana Dietrich takkan bisa menolaknya. Natalie menjilat belakang telinga Dietrich yang seketika membuat lenguhan pria tampan itu keluar tertahan.Dietrich membenarkan posisi duduknya. Tangannya turun ... beralih menyibak bagian bawah piyama Natalie. Menjamah paha sang istri hingga membangkitkan sensasi geli yang menyenangkan.Dietrich menyentuh bagian lembap diantara kedua kaki Natalie. Wanita cantik itu benar-benar ti
Awalnya, Natalie merasa tidak yakin dengan apa yang akan dilakukannya. Berbagai macam ketakutan menyeruak di dalam hatinya. Bagaimana jika keluarga Toussaint menolaknya? Bagaimana jika mereka merasa terhina dengan apa yang telah dilakukannya? Namun, rupanya itu semua tidak terjadi.Natalie selalu diterima dengan tangan terbuka. Sejak dulu pun begitu. Semua orang bersikap baik padanya—bahkan seolah tidak pernah terjadi apa-apa. Satu-satunya hal yang dapat dikeluhkan oleh Nat adalah pekerjaan suaminya.Well, masa bulan madu memang sudah berakhir, tapi bukankah terlalu cepat?Dietrich sibuk sekali. Meski tidak pergi ke mana-mana, tetapi lelaki itu selalu mengubur diri dalam pekerjaan. Sudah hampir dua bulan Natalie tinggal di dalam kastil Toussaint. Namun, perempuan itu bahkan lebih sering melihat Nasya dan Tata—serta Catherine, tentu saja—ketimbang suaminya sendiri."Dietrich berada di ruang kerjanya lagi?" Catherine menebak saat melihat raut wajah Natalie yang masam seusai makan malam.
"Tuan Dietrich, Nyonya Natalie ...."Dietrich dan Natalie menoleh di saat yang bersamaan, ketika mereka mendengar Ashley Morgans memanggil. Ketukan sepatu hak tinggi wanita itu bahkan sama sekali tidak terdengar saking kedua sejoli itu melupakan dunia seisinya dan hanya memperhatikan pasangannya.di sisi lain Ashley meringis saat melihat wajah Natalie Casiraghi memerah. Wanita bangsawan yang telah resmi menjadi majikannya setelah menikah dengan Dietrich itu terlihat malu dan penuh penyesalan."Ah, begini. Tuan Axel Senior memanggil saya untuk beberapa urusan pekerjaan di Brussel. Saya rasa ...." Ashley menunjuk Natalie dan Dietrich yang sudah dalam pose setengah berpelukan itu, lalu melanjutkan, "Saya rasa jasa saya sudah tidak dibutuhkan di sini. Bukan begitu?"Dietrich tersenyum dan mengangguk. "Paman Axel memanggilmu? Wah, kau benar-benar wanita yang sangat sibuk, Ash. Baiklah. Tentu saja kau boleh pergi. Aku akan segera mengirim hadiah ke nomor rekeningmu."Ashley Morgans mengangg
Natalie terkesiap kasar. Matanya mulai berair, tetapi pipinya bersemburat merah jambu.Dietrich tadi hampir menyemburkan tawa. Hampir. Beruntung, pria tampan itu dapat membekap mulutnya sendiri tepat waktu. Wah, wah. Ini benar-benar pertunjukan menarik. Seumur hidup, Dietrich belum pernah melihat Natalie mengamuk.Oh, jangan salah. Amukannya sungguh dahsyat—sampai semua orang di ruangan yang sama menahan napas. Namun, entah mengapa, di mata Dietrich, Natalie terlihat ... menggemaskan.Dan manis.Mon Dieu. Sekarang rona merah yang merayapi wajah hingga leher dan dada perempuan itu tampak terlalu menggiurkan untuk ditampik."Tentu saja tidak ...." Natalie menjawab dengan suara bergetar."Apakah kau tidak ingin aku menikah dengan Ashley Morgans?" Dietrich bertanya lagi.Natalie mulai menangis. "Itu ... urusanmu! Terserah padamu ingin menikah dengan siapa."Dietrich menggeram tidak puas. "Jadi, kau baik-baik saja mendengar aku akan menikah dengan orang lain? Come on. Setidaknya jujurlah p
Natalie cukup terkejut bagaimana berita-berita mencengangkan yang mengguncang dirinya hingga ke inti, belakangan ini tidak membuatnya langsung pingsan di tempat."Tunggu. Tunggu dulu. Kau akan ... menikah dengan Ashley?" Natalie mendelik tak percaya. "Ashley Morgans?"Dietrich melirik Ashley yang tampak kaku, serta gelisah, di tempatnya berdiri lalu mengembalikan perhatiannya pada Natalie. "Apakah ada yang salah dengan Ashley? Menurutmu ... ada yang kurang dari dia?"Natalie menelan ludah, lalu buru-buru menggeleng. "Tidak. Tentu saja bukan itu maksudku. Ash, aku tidak bermaksud apa-apa. Jangan salah paham. Aku ...."Natalie memutuskan untuk mengatur napasnya dulu sebentar, sebelum ia merasa semakin pusing dan agak tersengal. Wanita cantik itu kemudian mendongak dengan pandangan menantang pada Dietrich. Kebencian terpancar jelas di matanya."Kita bahkan belum resmi bercerai. Tapi, bisa-bisanya kau—" Natalie memejamkan mata dan menggigit bibir. Suara yang dihasilkan selanjutnya terdeng
Natalie ingin memikirkan sesuatu. Apa pun untuk mengalihkan kegelisahan yang terus melandanya sejak semalam. Sosok cantik tersebut tidak dapat tidur. Tidak bernafsu makan. Seluruh tubuhnya tidak bisa berfungsi dengan baik semenjak ia mendengar berita mencengangkan itu.Rasanya, Nat masih tidak percaya.Perempuan itu menghela napas panjang lalu melangkah masuk ke dalam shower room dan mengguyur dirinya sendiri dengan air hangat. Ia lelah. Yang diinginkannya adalah tidur. Tetapi, otaknya menolak berhenti berputar. Pikirannya penuh. Usaha memejamkan mata seperti apa pun tidak juga berhasil membuatnya terlelap. Jadi, Natalie memutuskan untuk pergi ke Lyubova saja.Meskipun tidak terlalu berhasil menutupi bengkak di matanya akibat terlalu banyak menangis, setidaknya Natalie berhasil sampai di kantornya tanpa kesulitan lain. Beberapa orang menyapanya hati-hati—seolah ia adalah barang pecah belah—dan beberapa lainnya menyembunyikan pandangan kasihan.Nat benci dua-duanya.Wanita cantik itu b
Di saat Natalie berpikir bahwa semuanya akan baik-baik saja dan kembali normal, Dietrich sungguh bersikap mengejutkan. Mengejutkan dan sialnya ... menyebalkan. Ini tidak mungkin, bukan?Natalie memejamkan mata, lalu berusaha mengingat kembali semuanya. Semua yang pernah pria itu lakukan dalam kurun waktu ... semenjak Natalie dapat mengingat.Dietrich selalu ada di sana. Menjadi bagian besar dalam hidup Natalie. Pria itu tidak pernah meninggalkannya sendirian. Keberadaannya dapat dirasakan oleh Natalie melalui banyak hal, meski mereka tinggal berjarak—lewat surat, e-mail, hadiah-hadiah yang dikirim random maupun terjadwal, serta pesan-pesan teks singkat yang terkadang masuk ke dalam ponsel Natalie tanpa tahu waktu.Yang jelas, Natalie tahu Dietrich tidak pernah dekat dengan perempuan lain. Perempuan dalam hidup lelaki itu hanya ada tiga. Ibunya, Catherine, dan Natalie. Banyak gadis-gadis bangsawan mengejar perhatiannya. Akan tetapi, Dietrich tidak pernah memberikan apa yang mereka ingi
Natalie kesal bukan main. Dasar Dietrich kurang ajar. Berani sekali lelaki itu mengganti password apartemen dan membuat Natalie mempermalukan diri sendiri di hadapan para resepsionis dan pegawai apartemen lainnya?Lihat saja. Perempuan itu akan membuat perhitungan. Sepertinya sudah sangat lama semenjak Dietrich merasakan kemarahan Natalie, ya?Siang itu, Natalie pergi ke Lyubova. Lalu, menunggu di sana bersama dengan teman-temannya, Chiara dan Achilleas, seolah tidak ada yang salah. Seolah tidak ada yang terjadi.Natalie berhasil mengalihkan pikirannya dari sang suami selama beberapa jam. Lyubova rupanya cukup sibuk di awal tahun. Setelah liburan Natal dan tahun baru selesai, kantor-kantor mulai beroperasi kembali. Banyak perusahaan yang memakai jasa mereka untuk membuat acara lalu ada sebuah pesanan pesta pernikahan.Natalie selalu super excited dengan pesanan pesta pernikahan."Siapa nama pengantinnya?" Natalie mulai memberondong Chiara dengan pertanyaan. "Apakah mereka jatuh cinta