Share

Bab 6

Natalie pada awalnya begitu bersemangat untuk pergi liburan ke Brussel. Koper-kopernya sudah siap. Mobilnya juga hampir penuh—sebelum ibu, ayah dan kedua kakak laki-lakinya, beserta keluarga kecil mereka masing-masing, juga bergabung dengan Nat di hall depan istana milik Princess Stéphanie.

Semua orang berpenampilan sangat chic, syal-syal hangat dikenakan. Tak lupa dengan scarf warna-warna merah dan cokelat di atas kepala. Plus, kacamata hitam super trendi.

"Mau ke mana kalian semua?" Natalie bertanya bingung.

Semua orang saling berpandangan dengan alis terangkat, lalu meledak tertawa.

Princess Stéphanie merangkul bahu putri bungsunya lalu tersenyum lebar, memamerkan deretan gigi-giginya yang putih mengkilap bak porselen. "Mau ke mana, katamu? Tentu saja kami ingin ikut denganmu ke Brussel! Kami juga mendapatkan tawaran liburan di kastil Toussaint. Bukan cuma kau."

Natalie memaksa dirinya agar tidak meringis ngeri. "Undangan ... dari Dietrich?"

"Oh, bukan, Sayang. Dari kawan lamaku Axel yang senior. Sudah, jangan banyak bicara. Mari kita semua berangkat. Jet pribadi Lexstream sudah menunggu di bandara terdekat." Princess Stéphanie mendorong punggung Nat sedikit agar gadis itu berjalan lebih cepat.

Natalie merasakan dirinya digandeng dan didorong masuk ke sebuah limosin dengan lambang kerajaan. Keponakan-keponakannya, anak dari kakak pertama, berceloteh riang gembira selama limosin mereka melintasi French Riviera yang indah dan Nat merasa ini adalah mimpi buruk.

Mimpi yang benar-benar buruk. Dia yang pada awalnya menyetujui saran Dietrich untuk pergi liburan ke Brussel demi menghindari keluarganya sendiri. Mengapa sekarang semua orang jadi ikut? Mon Dieu!

"Natalie." Princess Stéphanie memanggil sembari menurunkan kacamata hitamnya sedikit. "Berhentilah menekuk mukamu seperti itu. Jika keluarga Toussaint melihatmu memberengut, mungkin mereka mengira kau bagai tahanan yang terpaksa ikut ke Brussel!"

Natalie menghela napas.

"Jangan mendengkus juga." Princess Stéphanie memperingatkan.

Natalie menahan mulut untuk tidak mengeluarkan protes.

"Nah, begitu. Tersenyum. Jadilah wanita bangsawan anggun yang pantas dipinang oleh Toussaint." Princess Stéphanie mengeluarkan kipas kecil dari dalam tas tangannya lalu mulai mengipasi dirinya sendiri. "Aku penasaran dengan calon menantuku. Well, aku belum pernah punya menantu laki-laki."

Natalie mengikuti arah pandang ibunya. Dua orang kakak Nat, semuanya laki-laki—membuat Princess Stéphanie mendapatkan dua menantu perempuan.

Natalie menyandarkan kepala pada sandaran jok, kemudian memutar bola mata. "Jangan berharap banyak padaku. Oh, astaga, Mama. Kau bahkan sudah punya banyak cucu."

"Cucu dari anak laki-laki itu berbeda dengan cucu dari anak perempuan. Aku juga ingin melihatmu hamil dan melahirkan seperti Catherine. Sudah berapa bulan kehamilannya sekarang?" Princess Stéphanie menoleh pada Natalie.

Natalie mengedikkan bahu. "Dia terlihat seperti siap melahirkan kapan saja."

"Begitulah yang kudengar kalau kau hamil kembar." Princess Stéphanie berkata. "Lady Louise pasti senang sekali karena anak perempuannya sudah menghasilkan hampir empat cucu. Itukah sebabnya Dietrich dibiarkan bebas dan tidak menikah juga sampai sekarang?"

Oh, Natalie tahu ini. Percakapan yang berkaitan dengan Toussaint dan sahabatnya Catherine, pada akhirnya hanya akan menuju topik yang sebenarnya. Dietrich.

"Dietrich tidak berminat menikah." Natalie mengingatkan ibunya sekali lagi. "Dia menyatakan dengan jelas bahwa dia akan melajang seumur hidup. Prinsip bagus yang akan dengan senang hati kuikuti jika saja Mama tidak terlalu ... cerewet."

Princess Stéphanie ingin marah, tapi tawa justru menyembur dari mulutnya. "Kau baru saja bilang aku apa? Cerewet? Dan, apa katamu tadi? Kau ingin mengikuti prinsip melajang seumur hidup?"

Natalie mengedikkan bahu. "Entahlah. Itu tidak terdengar terlalu buruk. Lagi pula, aku sudah single seumur hidup. Melanjutkannya tidak akan membuat perubahan apa pun. Atau mungkin ... jika Mama mengizinkanku pergi one night stand seperti Chiara, aku bisa punya kesempatan yang lebih besar untuk punya pacar."

Sebuah pukulan keras mendarat di paha Natalie—diiringi kerlingan tajam dari ibunya.

"Oke, tidak. Aku tidak melakukan itu." Natalie menyerah dengan cepat sebelum pukulan lain ia terima.

♡♡♡

Rombongan keluarga Princess Stéphanie tiba di Brussel ketika matahari sudah cukup tinggi. Seluruh keluarga Toussaint menyambut mereka di grand hall. Sementara ibu dan ayahnya sibuk menyapa Kakek Auguste, Paman Axel, dan para tetua yang lain, Natalie berjalan menghampiri Catherine.

"Mon Dieu. Perutmu tampak semakin besar saja, padahal kita baru tidak bertemu selama ... seminggu? Dua minggu?" Natalie mengulurkan tangan untuk membelai perut sahabatnya tanpa sungkan.

Catherine memeluk Natalie dalam dekapan sayang. Suaminya tidak tampak di mana-mana lalu kedua anaknya digendong oleh Dietrich yang berdiri sigap di sisi perempuan itu.

Dietrich tampak ingin mengulurkan tangan untuk menyambut Natalie. Namun, kedua tangannya disibukkan oleh Anastasia dan Tatiana, dua bocah kembar perempuan berambut pirang yang merupakan anak-anak Catherine dan Vladimir Alexandrov.

"Bibi Natalie!" Nasya dan Tata berteriak heboh. Tangan-tangan mereka terjulur untuk menggapai Natalie.

Natalie tersenyum setengah hati. Mendekati kedua bocah itu butuh kewaspadaan ekstra—karena siapa yang tahu tingkah barbar apa lagi yang sanggup mereka lakukan?

"Keponakan-keponakanku tidak menggigit, Nat." Dietrich terkekeh geli.

Natalie pada akhirnya maju dan mencium pipi Nasya dan Tata satu per satu. "Halo, kalian berdua. Apa kabar?"

"Baik, Bibi Nat! Kami dapat baju baru!" Nasya mengibarkan rok musim gugurnya yang berwarna merah.

Tata juga tidak mau kalah dengan memamerkan roknya yang berwarna kuning. "Lihat ini, Bibi Natalie!"

"Peluk kami!" Nasya mengulurkan kedua tangannya.

Natalie jadi terpaksa meraih Nasya dari gendongan Dietrich. Dietrich menyerahkan keponakannya dengan hati-hati. "Kau bisa menggendongnya, Nat? Awas, Nasya cukup berat."

Natalie menggunakan kedua tangannya untuk mendekap bocah berpipi gembul itu. "Mon Dieu—Ya Tuhan. Kau beri makan apa saja si Nasya, Dietrich? Dia jauh lebih berat dibandingkan terakhir kali aku menggendongnya!"

Dietrich tertawa. "Dia pemakan segala. Bukan salahku kalau dia jadi bertambah berat. Salahkan ayahnya!"

Natalie menoleh pada Catherine. "Di mana ayah mereka?"

Catherine mengedikkan bahu. "Mengurus sesuatu di New York. Dia dan adik-adiknya akan tiba di sini besok atau lusa."

Dietrich mengerang kecil, sedangkan Natalie berbinar-binar senang. "Oh, adik-adiknya akan ikut? Aku sudah rindu melihat para pria Alexandrov bermain shirtless—tanpa pakaian bagian atas—di rerumputan."

Dietrich berdeham. "Perempuan muda bermartabat seharusnya tidak—"

"Ssshhh!" Natalie memotongnya cepat. "Perempuan muda bermartabat juga butuh cuci mata."

Dietrich mendelik. Sementara itu, adiknya tertawa terbahak-bahak. Catherine memandang bolak-balik interaksi antara Dietrich dan Natalie lalu, seulas senyum mengembang di bibirnya.

"Nat, masuklah. Ayo, kutunjukkan kamarmu. Kau pasti lelah setelah perjalanan panjang." Catherine mengusulkan.

Natalie mengangguk. Perempuan itu mencium Nasya dua kali lagi sebelum menyerahkannya kembali pada Dietrich. "Sampai jumpa nanti, Di."

Dietrich balas mengangguk. Pandangannya mengikuti kedua perempuan muda yang mulai menghilang di balik koridor-koridor panjang usai memberikan salam pada para tetua.

Ketika telah berbelok, Catherine berbisik di telinga Natalie. "Hampir dua minggu ini Dietrich bertingkah aneh. Apakah kau tahu sebabnya?"

Natalie mengernyit. "Bertingkah aneh ... seperti apa?"

Catherine mengedikkan bahu. "Seperti ... sedang banyak pikiran. Aku sering melihatnya melamun di atas berkas-berkas perusahaan. Dan, ketika membaca laporan keuangan bulanan, kurasa pikirannya tidak ada di sana."

Natalie jadi ikut penasaran. "Mungkin, bisnis sedang tidak berjalan seperti biasanya?"

"Nonsense. Bisnis baik-baik saja. Aku juga sempat berbicara pada Vladimir—siapa tahu dia bisa menawarkan bantuan atau apa pun pada Dietrich, jika Dietrich mengalami kesulitan. Namun, Vladimir bilang, Patricia Royal Inn Worldwide Inc. berjalan dengan baik." Catherine berkata. "Kupikir kau tahu sesuatu, Nat, karena dia jadi begini sepulang dari Paris untuk menemuimu, kalau tidak salah? Apakah dia menceritakan sesuatu?"

Natalie mengingat-ingat kembali. Dalam pikirannya, tidak ada apa pun. "Kami hanya makan malam dan berjalan-jalan sebentar di Taman Tuileries lalu dia mengundangku liburan di Brussel."

Catherine mengangguk-angguk. "Katakan padaku jika kau tahu sesuatu nanti, Nat. Aku mengkhawatirkan Dietrich."

Natalie terdiam agak lama, tetapi pada akhirnya mengangguk juga.

"Ini dia kamarmu." Catherine berkata pada saat mereka berdua sampai di sebuah pintu ganda besar. "Kalau butuh apa pun, kau tahu di mana kamarku, tapi, hati-hati jangan sampai salah masuk. Kamarku dan kamar Dietrich bersebelahan dan pintunya sama persis." Kat mengedipkan salah satu matanya sebelum melangkah pergi sambil tertawa.

Natalie memberengut. "Sahabat macam apa kau? Mana mungkin aku salah masuk kamar?!"

Meskipun begitu, ketika Catherine sudah pergi sambil tertawa terbahak-bahak, Natalie berbaring nyalang di kamarnya di kastil Toussaint. Dia jadi memikirkan Dietrich—ini pasti berkat kekhawatiran Catherine akan kakaknya itu tadi. Dietrich sedang mencemaskan sesuatu? Memangnya apa yang bisa dicemaskan oleh seorang Dietrich?

Hidup lelaki itu sempurna. Dia adalah seorang kepala keluarga dari Toussaint—salah satu keluarga paling berpengaruh di Belgia pada khususnya, dan Eropa daratan pada umumnya. Perusahaan di bawah wewenangnya adalah satu satu perusahaan perhotelan paling stabil di seluruh dunia. Plus, keluarganya tidak sebawel keluarga Natalie—yang tidak pernah berhenti meminta Nat menikah.

Natalie melepas sepatunya dan berguling miring. Apa yang terjadi pada Dietrich?

♡♡♡

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status