Share

Bab 5

Dietrich bersenandung riang selama menyetir sendiri kembali ke Brussel malam itu. Paris, Brussel, dan perjalanan di antara kedua kota itu diiringi langit cerah tak berawan, meski angin berembus lumayan kencang.

Dietrich selalu menyukai musim gugur. Aroma daun kering, kayu-kayuan, perapian baru, rasa panas yang mulai berganti lebih sejuk, serta sederetan long coat fashionable yang tidak setebal bahan musim dingin, tapi juga tidak setipis baju di musim panas. Semuanya terasa sangat pas.

Akan tetapi, ada satu hal yang merusak kesenangannya hari ini. Ketika membuka pintu ganda menuju ruang kerja kepala keluarga, Dietrich mendapati Paman Axel berada di balik mejanya. Menduduki kursinya lalu,l ketika melihat Dietrich masuk, sang paman mengeluarkan ekspresi tidak setuju karena Dietrich pulang lumayan larut.

"Ada masalah yang tidak bisa ditunda hingga besok, Paman?" Dietrich melepaskan coat-nya, lalu menuangkan scotch untuk dirinya sendiri. Permasalahan apa pun, jika butuh selarut ini untuk bicara, pasti bukan hal yang sederhana.

Dietrich tidak membenci pamannya. Berkebalikan dengan itu, Dietrich mungkin justru adalah yang paling mengerti tindakan dan keputusan paman Axel selama ini—di saat bahkan Axel Junior pun tidak mau menerima kata-kata ayahnya sendiri. Jadi, Dietrich cenderung menghadapi Paman Axel dengan ketenangan yang sama.

Itulah yang membuat paman Axel dan kakek Auguste menjulukinya bermental baja.

Dietrich hanya tidak tahu bahwa malam ini ketenangannya akan diuji habis-habisan.

"Stéphie mengeluh padaku bahwa putrinya tak kunjung mendapatkan pelamar." Paman Axel memulai. "Aku dengan senang hati akan menjodohkan putraku sendiri, tapi kau kan tahu Axel sudah menikah."

"Dan Natalie sudah menunjukkan minat pada Axel Junior sejak lama, tetapi Axel tidak tertarik." Dietrich membenarkan.

Paman Axel Senior tertawa bangga. "Semua orang menginginkan putraku. Sayang sekali aku hanya punya satu putra, bukan begitu?"

Dietrich tersenyum lalu duduk di sofa sembari menggoyangkan gelas scotch. "Jadi, apa maksud kedatangan Paman? Paman ingin menjodohkan Natalie ... denganku?"

Paman Axel Senior memandang Dietrich lama. "Di mana kau menyimpan cap kepala keluarga? Aku butuh izinmu karena, well, bagaimana pun, posisi itu adalah milikmu sekarang. Aku ingin stempel resmi. Toussaint akan mendapatkan putri kerajaan Monako sebagai anggota keluarga kali ini. Aku tidak akan membiarkan Natalie Casiraghi lepas dari genggaman keluarga ini."

"Ada di sini, Paman." Dietrich menunjuk saku celananya. "Aku selalu membawa capku ke mana pun untuk menghindari seseorang yang ... ingin menggunakannya tanpa izin."

Tatapan Paman Axel menjadi dingin selama beberapa detik, sebelum lelaki paruh baya itu tertawa. "Tentu saja tidak. Itu sebabnya aku menunggumu pulang. Segala sesuatunya bisa kita bicarakan dan kau selalu mengambil keputusan yang tepat selama ini. Tidak ada gunanya melakukan hal-hal tanpa izinmu."

Dietrich menunggu Paman Axel menghampirinya, duduk dengannya di sofa, kemudian menyodorkan proposal resmi Toussaint untuk melakukan pendekatan dengan Natalie Casiraghi dari kerajaan Monako.

"Capnya, Dietrich." Paman Axel mengingatkan.

Dietrich menghela napas lalu menyerahkan stempel keluarga ke tangan pamannya. Belum sempat Dietrich mengedip, Paman Axel sudah membubuhkan cap itu di atas kertas.

...

Yang ketika Dietrich membaca ulang sekali lagi, rupanya tidak ada namanya tertera di sana.

Hanya ada nama Natalie dan … Julien Toussaint.

♡♡♡

Dietrich lumayan terguncang. Wajahnya memucat dan dahinya mengernyit. Kernyitannya begitu dalam, sehingga Paman Axel mulai bertanya bingung.

"Apa yang terjadi, Dietrich? Ada yang salah?"

Tidak. Seharusnya tidak ada yang salah. Semuanya benar, bukan begitu? Menjodohkan Natalie dengan salah satu pria dalam keluarga Toussaint, siapa pun orangnya, memang terasa benar. Kedua keluarga sama-sama mendapatkan keuntungan—yang mungkin dapat dikatakan setimpal—dari penyatuan itu.

Namun, mengapa semuanya terasa salah?

Dietrich menelan ludah dan berdiri. "Berikan capku kembali, Paman."

Paman Axel Senior mengulurkan stempel kepala keluarga dengan nama Dietrich yang terukir di sana, lalu mengangkat sebelah alis dengan gaya menantang. "Mengapa kau tampak ... kesal? Kau punya alasan untuk tidak menyetujui ini?"

Dietrich mendengkus. "Tidak."

Paman Axel Senior menunggu.

Dietrich berusaha menormalkan ekspresi wajahnya dan berpikir dengan jernih. Oh, ya. Dia butuh berpikir dengan jernih.

Lelaki itu menyesap alkoholnya sedikit, kemudian memejamkan mata. Memiliki salah seorang anggota keluarga kerajaan dalam keluarga jelas menguntungkan. Secara pribadi melepaskan tanggung jawab atas satu lagi adik perempuan, seharusnya terasa melegakan.

Dibandingkan lelaki lain, Julien juga tidak termasuk yang terlalu berengsek. Di antara semua sepupunya, Dietrich bahkan paling menyukai sifat humoris Julien. Pria yang satu itu sudah pasti dapat membuat Natalie tertawa. Kehidupan rumah tangga mereka seharusnya akan baik-baik saja.

Dietrich tidak percaya cinta. Namun, dia menginginkan pernikahan yang baik bagi adik-adiknya. Catherine, di satu sisi, telah menemukan tambatan hatinya pada Vladimir Alexandrov, seorang mafia Rusia. Dibandingkan dengan suami Kat, Julien jelas pilihan yang jauh lebih aman untuk Natalie. Sama-sama berasal dari keluarga terpandang dengan didikan penuh martabat, sudah mengenal sejak kecil, dan yang paling penting ... tidak membenci satu sama lain.

Pernikahan antar bangsawan tidak menyuguhkan banyak pilihan. Menemukan sedikit persahabatan dan dapat menghargai satu sama lain dalam sebuah perkawinan saja sudah cukup.

"Mereka akan menikah dengan baik." Paman Axel Toussaint berkata, seolah dapat membaca pikiran Dietrich dengan jelas. "Dan kau ... tidak memiliki tanggung jawab apa pun pada Natalie Casiraghi. Dia bukan adikmu."

Dietrich terdiam selama beberapa saat. Kemudian, mengerjap. Kenyataan itu, semua orang juga tahu. Akan tetapi, saat ini dirinya merasa sedang tertampar fakta.

Ya, benar. Persetan dengan semua ini. Natalie bahkan bukan adik kandungnya. Lantas untuk apa Dietrich repot-repot memikirkan kebahagiaan mahligai pernikahan gadis itu?

"Kau tampak lelah, Di." Paman Axel berkata lagi karena Dietrich betah sekali berdiam diri. "Masuklah ke kamarmu dan beristirahatlah."

Lantas, Dietrich membungkuk sedikit dan mengucap salam, "Selamat malam, Paman."

Paman Axel mengangguk. "Selamat malam."

Pun Dietrich menyeret kakinya untuk pergi dari sana—sebelum tangannya tergoda untuk merebut kertas sialan dalam genggaman Paman Axel, kemudian meremas kertas itu hingga membentuk bola, lalu melemparkannya tanpa ampun ke perapian.

♡♡♡

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status