Natalie selalu sendiri. Dia berada di urutan kedelapan tahta Monako, sedangkan dua kakak laki-laki ada di atasnya. Ibunya, anak ketiga dari raja, menikah dengan pengusaha dari kalangan rakyat jelata, dan lebih memilih agar putra-putrinya tidak menyandang gelar di depan nama.
Lingkungan pergaulan Natalie terbatas. Tidak banyak yang bisa diajak benar-benar terlibat dalam sebuah pertemanan tulus di kalangan jetset. Seolah semua orang punya maksud dan tujuan masing-masing untuk mendekati Natalie. Kecuali, mungkin, keluarga Toussaint dari Belgia. Mereka sangat kaya. Darah mereka biru bahkan lebih biru daripada monarki yang kini berkuasa—meski mereka tidak lagi memiliki gelar. Toussaint dianggap sebanding. Setara. Kekuasaan mereka sungguh luas karena para wanita dalam keluarga itu selalu menikah dengan bangsawan tinggi atau minimal pemimpin sebuah keluarga. Termasuk Catherine—sahabat Natalie sejak bayi. Perempuan itu belum lama ini menikah kembali dengan mantan suami—bisakah Natalie menyebut 'mantan suami' di saat pernikahan sahabatnya dibatalkan enam tahun lalu?—dan kini sudah memiliki dua anak kembar sekarang ditambah sedang mengandung dua yang lainnya. Princess Stéphanie, ibu dari Natalie, sudah nyaris kehilangan kesabaran. Dia selalu berkata, "Mon Dieu, menikahlah, Nat. Temanmu hampir punya empat anak dan kau masih perawan? Apakah aku membesarkanmu dengan cara yang salah hingga tak satu pun lamaran berhasil kudapatkan untukmu?" Natalie hanya akan terkekeh dan memutar bola mata. Entahlah. Entah apa yang salah. Nat adalah gadis baik-baik. Dia selalu mematuhi jam malam ibunya. Lalu, tidak suka menonjolkan diri di depan umum dan yang jelas, tidak akan membuat skandal yang akan mempermalukan seluruh keluarga. Akan tetapi, sungguh, mungkin dia hanya ... tidak disukai laki-laki. Jadi, daripada menunggu lamaran yang tak kunjung datang dan menyia-nyiakan hidup dalam penantian, Natalie memutuskan untuk bekerja. Mendirikan Lyubova Event Organizer impiannya bersama Catherine—yang biasa disapa dengan sebutan 'Kat'—dan satu lagi sosialita sahabat mereka yang bernama Chiara Brignone. Hanya sebagai pengisi waktu luang. Sebagai excuse untuk tinggal di Paris. Bukan di Monte Carlo bersama ibunya. Jangan salah. Nat tidak membenci ibunya. Well. Tidak selalu. Hanya kadang-kadang saja, saat sang mama menanyakan kapan dia akan menikah. Lagi, dan lagi. "Dulu saat Mama seumuran denganmu, Mama sudah menikah!" Princess Stéphanie berkacak pinggang. "Kalau tidak ada yang mau denganmu, kenapa tidak kau goda saja Pieter Toussaint, atau Julien, Luc, dan Leroux sepupunya? Mon Dieu—Ya Tuhan bahkan jika tidak ada pilihan lain, minta saja Dietrich menikahimu. Mereka semua masih lajang, bukan?" Natalie tersedak ludahnya sendiri saat mendengar semua itu. Oh, si perempuan cantik bukannya tidak pernah memikirkan itu. Mendekati pria-pria tampan dari keluarga Toussaint, maksudnya. Terutama, Axel Junior. Dari semua orang yang ada, pria yang satu itu adalah yang terbaik. Tenang, ramah, baik hati, selalu berpikir sebelum bertindak. Semua yang dilakukannya terkalkulasi dengan cermat. Sayangnya, dia sudah menikah. Tahun ini. Di musim semi. Barang bagus nan langka memang cepat sekali terjual, bukan begitu? Natalie tidak akan mempertimbangkan Julien, Luc, dan Leroux Toussaint. Ya ampun. Mereka itu jahil dan liarnya bukan main! Yang paling parah adalah Dietrich. Tidak ada yang salah dengan penampilannya. Pria itu tumbuh menjadi seseorang berbadan tinggi dan atletis. Ototnya menyembul di tempat-tempat yang tepat. Wajahnya mencerminkan ketampanan klasik khas bangsawan kelas atas dengan tulang pipi tinggi dan senyuman lembut. Dan, dia adalah kepala keluarga Toussaint saat ini. Akan tetapi, Dietrich adalah pilihan terburuk! Natalie berani bersumpah bahwa melajang seumur hidup akan jauh lebih baik ketimbang menikah dengan lelaki itu. Mulutnya. Gosh. Pria itu punya mulut terpedas di seluruh dunia. Meski dengan berat hati, Natalie mengakui sebagian besar yang dikatakan Dietrich memang benar. Itu bukan satu-satunya alasan mengapa Natalie tidak bisa menikah dengan Dietrich. Gadis itu bersahabat sangat dekat dengan Catherine hingga nyaris dianggap sebagai anggota keluarga Toussaint. Dietrich selalu berada di sana. Menjadi kakak bagi mereka berdua sekaligus bahkan sewaktu Nat dan Kat masih kanak-kanak, Dietrich gemar sekali menepuk pantat montok mereka. Ibunya benar-benar sudah gila kalau sampai sungguhan menyarankan yang terakhir tadi. "Mama. Tolong jangan khawatirkan aku. Kalau aku tidak menemukan pria untuk kunikahi, kau masih bisa mendapatkan lebih banyak cucu dari kedua putramu. Sekarang, permisi. Aku harus kembali ke Paris." Natalie menyambar tas tangannya, kemudian mencium pipi ibunya tiga kali, sebelum melangkah pergi menuju sebuah limosin yang akan mengantarkannya melewati French Riviera yang indah. "Natalie! Nat, dengarkan aku dulu! Aku tidak bercanda!" Princess Stéphanie sampai kelepasan menjerit, kemudian buru-buru menoleh ke kanan dan ke kiri untuk memastikan bahwa tidak ada paparazi yang menguntitnya di sini. Natalie melambaikan tangannya tanpa menoleh ke belakang. o0o Natalie tertawa terbahak-bahak. Begitu juga dengan Dietrich. Di dalam lindungan Rolls Royce milik keluarga Toussaint, keduanya bebas mengekspresikan diri tanpa takut dikritik orang banyak. "Dasar bodoh!" Natalie menyembur tanpa sungkan. "Buat apa menjemputku, di saat kau juga tidak membawa payung? Ini sama saja dengan aku berlari sepanjang beberapa blok sampai ke kantor Lyubova!" Dietrich menunjuk rambut Natalie yang lepek dan tawanya terus berderai. "Bagaimana mungkin kau bilang ini sama? Terkena hujan sedikit saja penampilanmu sudah seperti tikus yang terperosok ke dalam got! Apalagi, jika kau nekat berlari sejauh beberapa blok." Tangan Natalie sontak berlari menuju rambut. Tawanya hilang. Gadis itu lalu memberengut. "Apakah begitu buruk?" "Benar-benar buruk." Dietrich berkata apa adanya. Jika ada satu hal yang perlu disyukuri dari mulut cabai super milik lelaki itu, ia selalu berkata jujur. Kebenaran memang terkadang menyakitkan, tapi itulah yang Nat butuhkan. Terutama karena seluruh pelayan dan rakyat Monako selalu memberikan pujian padanya. Nat tidak pernah tahu apakah semua yang mereka bilang itu benar atau hanya sugar coating belaka. "Berikan aku cermin." Natalie menengadahkan tangannya. Dietrich mengedikkan bahu, menepuk tangan supirnya, Monsieur Randall lalu memberikan kode berupa anggukan. Monsieur Randall menaikkan sebelah alis, kemudian membuka laci dasbor dan mengeluarkan cermin bersepuh perak milik mendiang nenek Dietrich dari sana. Dietrich menerimanya. Dia dan Monsieur Randall memang lebih senang begitu. Berkomunikasi tanpa kata. Pria paruh baya itu dulunya kurang dalam pendengaran—sampai ayah Dietrich mempekerjakannya dari jalanan dan membelikan alat bantu dengar. Natalie menyambar cermin dari tangan Dietrich diiringi dengkusan. "Rasanya aku tidak siap untuk melihat wajahku sendiri." Perempuan itu masih bersungut-sungut. "Tidak ada masalah pada penampilanku saja aku tidak punya pacar. Bagaimana jika penampilanku sangat buruk?" Dietrich mengambil sebuah handuk dari sebuah kotak penyimpanan. Lelaki itu membantu untuk mengeringkan rambut dan baju Natalie yang terkena hujan. Lalu, ia mengernyit saat melihat bagian dada Nat. "MERDE!—SIALAN!" Dietrich terkesiap keras. "Bisakah sekali saja kau memakai pakaian dengan benar? Bajumu tembus pandang!" Natalie ikut terkesiap. Kemudian dengan cekatan menyambar handuk dari tangan Dietrich dan menutupi bagian dadanya sendiri. "Bajuku tadi baik-baik saja. Memangnya kau tidak lihat aku memakai lengan panjang?" "Seharusnya kau memakai mantel, Dasar Bodoh! Ini Paris, bukan Monte Carlo yang relatif hangat. Kau bisa kedinginan jika memakai pakaian setipis itu!" Dietrich mulai mengomel. Natalie tadinya ingin memilih untuk diam. Namun, kalimat Dietrich selanjutnya membuatnya benar-benar naik pitam. "Apakah kau sebegitu desperate sampai berniat menggodaku?" Apabila lelaki itu tidak mengucapkannya dengan wajah memerah semerah kepiting rebus, Natalie sudah pasti akan menamparnya. Namun, tidak. Natalie berbaik hati untuk hanya memukul dada lelaki itu dengan keras. "Kau pikir dirimu hebat? Jangan mengada-ada! Aku bahkan tidak tahu kau akan menyusulku!" Natalie memukul dada Dietrich berulang kali. Namun, justru tangannya sendiri yang terasa sakit sekarang. Kemudian ekspresi Dietrich berubah kesal. "Jadi ... kau memakai pakaian tipis untuk menggoda lelaki mana pun di kedai bunga?" Natalie menghitung dalam hati untuk mengusahakan kesabaran ekstra. Hitungannya baru sampai angka satu, ketika detik berikutnya tangannya sudah bergerak sendiri memukuli Dietrich lagi. "Berengsek kau! Kurang ajar! Berani sekali kau menuduhku seperti itu?!" Umpatan Natalie tak berhenti sampai Dietrich mengaduh kesakitan. "Mon Dieu! Kau ini putri dari Princess Stéphanie! Omonganmu akan kurekam. Akan kurekam dan kukirimkan pada kantor berita kerajaan! Aw! Hentikan, Dasar gadis jelek! AWWW!" ♡♡♡Lyubova Event Organizer lumayan ramai siang itu karena Catherine Toussaint—adik Dietrich—juga datang. Kalau dia datang, suaminya pun ikut lalu jika suaminya ikut, maka satu pasukan anak buah mafia Rusia sebanyak satu tank juga akan mengikuti.Benar-benar kacau."Kalian basah kuyup." Catherine berusaha bangkit dengan susah payah. Kehamilannya memasuki trimester tiga bulan ini. Plus, perempuan cantik itu hamil bayi kembar laki-laki yang membuat perutnya membesar bagai balon."Duduk saja, Kitkat. Jangan repot-repot." Dietrich mengangkat tangannya di udara. Lelaki itu sudah melepaskan coat-nya yang basah, dan kini hanya memakai kemeja yang juga basah hingga badan atletisnya tercetak jelas di sana.Di sisi lain, Natalie aman dengan sebuah kemeja cadangan milik Dietrich yang jelas-jelas kedodoran. Well, gadis itu berhasil meminta Dietrich untuk berbalik agar ia dapat melepaskan pakaian tadi di dalam mobil.Itu adalah sebuah prestasi. Dietrich biasanya super angkuh dan paling anti menur
Toussaint adalah kutukan.Natalie sudah mengenal hampir semua orang dalam keluarga tersebut sejak kecil dan gadis itu percaya tidak ada sedikit pun keburikan pada paras semua anggota keluarga Toussaint. Ditambah lagi, mereka rata-rata memiliki otak cerdas yang lebih sering digunakan dalam kelicikan. Catherine juga Axel mungkin adalah yang paling tenang. Selain mereka berdua, Natalie tidak memiliki kesabaran lebih untuk menghadapi mereka.Terutama, Dietrich.Kapan pun lelaki itu muncul, dapat dipastikan hari Natalie bakal berakhir buruk. Seperti hari ini."Nat! Tunggu aku! Astaga, apa telingamu sudah tuli? Nat—" Tangan Dietrich telah berhasil menyambar siku Natalie. Dalam sekejap, lelaki itu membalikkan badan Nat dan berbicara dengan nada menegur yang menyebalkan. "Dengarkan jika ada yang berbicara padamu."Natalie menghela napas. Ketika mendongak, gadis itu melihat sosok wajah tampan rupawan dengan ekspresi memelas yang membuat Nat seketika mendapatkan bombastic side eye dari orang se
Dietrich bersenandung riang selama menyetir sendiri kembali ke Brussel malam itu. Paris, Brussel, dan perjalanan di antara kedua kota itu diiringi langit cerah tak berawan, meski angin berembus lumayan kencang.Dietrich selalu menyukai musim gugur. Aroma daun kering, kayu-kayuan, perapian baru, rasa panas yang mulai berganti lebih sejuk, serta sederetan long coat fashionable yang tidak setebal bahan musim dingin, tapi juga tidak setipis baju di musim panas. Semuanya terasa sangat pas.Akan tetapi, ada satu hal yang merusak kesenangannya hari ini. Ketika membuka pintu ganda menuju ruang kerja kepala keluarga, Dietrich mendapati Paman Axel berada di balik mejanya. Menduduki kursinya lalu,l ketika melihat Dietrich masuk, sang paman mengeluarkan ekspresi tidak setuju karena Dietrich pulang lumayan larut."Ada masalah yang tidak bisa ditunda hingga besok, Paman?" Dietrich melepaskan coat-nya, lalu menuangkan scotch untuk dirinya sendiri. Permasalahan apa pun, jika butuh selarut ini untuk b
Natalie pada awalnya begitu bersemangat untuk pergi liburan ke Brussel. Koper-kopernya sudah siap. Mobilnya juga hampir penuh—sebelum ibu, ayah dan kedua kakak laki-lakinya, beserta keluarga kecil mereka masing-masing, juga bergabung dengan Nat di hall depan istana milik Princess Stéphanie.Semua orang berpenampilan sangat chic, syal-syal hangat dikenakan. Tak lupa dengan scarf warna-warna merah dan cokelat di atas kepala. Plus, kacamata hitam super trendi."Mau ke mana kalian semua?" Natalie bertanya bingung.Semua orang saling berpandangan dengan alis terangkat, lalu meledak tertawa.Princess Stéphanie merangkul bahu putri bungsunya lalu tersenyum lebar, memamerkan deretan gigi-giginya yang putih mengkilap bak porselen. "Mau ke mana, katamu? Tentu saja kami ingin ikut denganmu ke Brussel! Kami juga mendapatkan tawaran liburan di kastil Toussaint. Bukan cuma kau."Natalie memaksa dirinya agar tidak meringis ngeri. "Undangan ... dari Dietrich?""Oh, bukan, Sayang. Dari kawan lamaku Ax
Ketika hari beranjak sore, Natalie mendengar pintu kamarnya diketuk pelan."Nona. Ini hampir waktunya minum teh. Apakah Anda sudah bangun? Kami bisa membantu Anda bersiap."Natalie merenggangkan tubuh, kemudian turun dari tempat tidur bertiang empat di sini dan mengenakan selop kamar. Perempuan itu beranjak ke pintu, membukanya, lalu membiarkan beberapa pelayan perempuan dari Toussaint untuk masuk."Nyonya Catherine berpesan agar kami membawakan sebaskom air es untuk menyegarkan wajah Anda." Salah satu dari mereka berujar.Yang lain ikut masuk dengan senang. "Kami juga membawakan pesan dari Tuan Julien."Oh, yang satu ini membuat Natalie mengernyit. "Julien?" Bukan Dietrich?"Oui, Mademoiselle—Ya, Nona." Salah satu pelayan menyodorkan nampan kecil, membuka tudung sajinya yang berwarna keperakan, kemudian membiarkan Natalie mengambil secarik kertas dengan tulisan cakar ayam dari sana.[Selamat sore, Nona Manis. Aku menunggu untuk mengobrol lebih banyak denganmu pada acara minum teh har
Natalie berpikir. Berpikir keras. Mengesampingkan seluruh perasaan asing menyakitkan yang menderanya, gadis cantik itu mulai mempertanyakan banyak hal. Ini adalah hidupnya. Kisah cintanya. Mengapa banyak sekali orang yang ingin ikut campur?Suasana minum teh di Toussaint begitu hangat dan seharusnya menyenangkan. Denting sendok kecil beradu dengan porselen Sevrés, aroma berbagai macam teh bercampur dengan susu dan madu, dan percakapan-percakapan ringan yang bergulir di seluruh ruangan.Namun, Natalie justru larut dalam lamunan."Nat?" Mungkin ini sudah ketiga kalinya sang mama memanggil—sebelum Natalie pada akhirnya menoleh."Oui—Ya?" Natalie membalas tatapan ibunya dengan sorot teguh tak menampilkan kerapuhan apa pun, meski jauh di dalam hati ia sedikit merasa hancur.Oke, lumayan banyak. Kehancurannya. Nat tidak tahu mengapa, tapi yang diinginkannya saat ini adalah kabur dan menangis di suatu tempat terpencil di sudut kastil atau berada di dalam perlindungan kamarnya dan tidak kelua
Natalie dan Chiara berkuda santai di sepanjang track pacuan yang berada tepat melewati ruang perjamuan minum teh. Pada saat melaluinya, kepala Natalie tidak bisa berhenti untuk menoleh—meski apa yang terjadi di dalam tidak sepenuhnya dapat terlihat dari luar."Aku akan dijodohkan dengan Julien Toussaint." Nat tidak tahan untuk tidak menyemburkan semuanya pada Chiara saat mereka berdua sudah tidak berada di jarak dengar siapa pun.Chiara menoleh. Matanya melebar. "Julien? Julien?! Bukankah dia jahil sekali? Tidak. Tidak mungkin. Kalian sama sekali tidak cocok. Dia bahkan tidak terlalu menyukaimu, Nat!"Natalie melajukan kuda milik Paman Axel pelan-pelan. "Aku tahu. Kami bahkan ... tidak berteman. Tidak sedekat itu, tapi dia memujiku cantik."Chiara menghela napas. Wajahnya mendongak ke langit seolah meminta pertolongan kepada Tuhan. "Kau memang cantik. Semua orang bisa melihatnya. Sedikit pujian dari Julien Toussaint seharusnya tidak menggoyahkanmu."Natalie mengedikkan bahu. "Aku tida
Dietrich tidak sempat berpikir panjang. Ketika semua orang berhamburan keluar membentuk kerumunan di sepanjang pacuan kuda, dia mengikuti arus. Bedanya, saat berhasil keluar melewati pintu-pintu kaca berornamen keemasan dari tempat perjamuan minum teh, Dietrich langsung berderap cepat menuju istal."Siapkan kudaku!" Lelaki tampan itu berteriak pada siapa pun yang bisa mendengarnya di dalam istal.Kuda miliknya, sebuah kuda hitam besar yang tak kalah garang dibanding milik Paman Axel, siap dalam waktu singkat. Masih mengenakan jas dan pakaian semi formal, Dietrich melompat naik ke atas kudanya sendiri.Setelah itu dia dan kudanya berderap bagai satu kesatuan menuju ke pacuan kuda. Berusaha mengejar kuda yang ditunggangi oleh Natalie.Di sisi lain, Natalie berusaha melakukan teknik scrunch. Dengan satu tangan, gadis itu menyatukan tali kekang dan menyelipkan tangannya yang lain di bawah tali tersebut, untuk membuat "remasan" yang ketat pada leher kuda. Hal ini akan memicu rangsang pada
Dietrich kembali ke Brussel sendirian, setelah Natalie dibawa pulang ke Monte Carlo malam itu ... tanpa berpamitan. Seluruh keluarga Toussaint masih berada di istana musim panas Babushka. Vladimir dan Catherine berencana menghentikan pesta yang berlangsung untuk menyambut kelahiran kedua putra mereka—demi menghormati Dietrich dan menyatakan bahwa mereka turut berduka atas kehilangan yang Dietrich dan Natalie rasakan.Namun, Dietrich menolak. Fyodor dan Mykola berhak mendapatkan semua pesta itu. Begitu pula dengan Catherine—yang meski sudah memiliki empat anak, tetapi baru pertama kali merasakan bahwa pengalaman melahirkannya dirayakan. Jadi, malam itu juga Dietrich mengemasi barang-barangnya kemudian bertolak menuju bandara Pulkovo untuk selanjutnya terbang kembali ke rumah.Ke kastil Toussaint.Malam di awal bulan Januari itu gelap dan sungguh tanpa bintang. Membeku ... menggigit hingga ke dalam sukma. Dietrich menatap hampa semuanya melalui jendela pesawat—dan limosin yang dikemudik
"Kau dengar sendiri apa yang dikatakan oleh putriku." Dietrich mendengar Tuan Casiraghi—ayah mertuanya—berjalan mendekat tatkala Natalie tertidur di dalam kamar rawat inapnya.Ya. Dietrich tidak tuli. Tentu saja dia mendengar semuanya."Kami akan membawanya pulang ke Monte Carlo," kata Tuan Casiraghi di depan semua orang. "Urusan perceraian nanti akan diselesaikan oleh tim pengacara yang kami tunjuk."Dietrich termenung. Semua yang terjadi padanya hari ini benar-benar terasa bagai mimpi yang jauh—sebuah mimpi buruk. Lelaki itu mengerling pada Natalie yang masih berada di atas bed pasien, namun sosok cantik itu telah mengalihkan pandangan ke arah lain.Bagaimana semuanya bisa menjadi seperti ini? Bagaimana cintanya dapat menyerah pada hubungan mereka berdua di saat mereka sama-sama kehilangan?Di saat seluruh ruangan hening selama beberapa saat, Dietrich tahu bahwa semua orang sedang menunggu jawabannya. Maka, ia mengangguk. Ia tidak sanggup mengatakan apa pun. Dan ia menahan diri agar
Derap kaki Dietrich menggema di seluruh lorong rumah sakit, diikuti langkah kedua orang tuanya—Anthony Toussaint dan Lady Louise. Raut penuh kepanikan tampak jelas di wajah pria tampan itu. Tubuhnya yang tinggi dan tegap berpacu lebih dulu dibandingkan dengan siapa pun untuk mencapai ruang operasi tempat istrinya berada.Operasi masih berlangsung. Ruang tunggu di depannya lengang. Sunyi. Seolah mengejek lelaki itu dalam keheningan yang menyakitkan."Duduklah dulu dan tenangkan dirimu, Dietrich," bujuk Anthony Toussaint. "Kita doakan saja agar semuanya berjalan lancar dan Natalie baik-baik saja."Lady Louise sependapat dengan sang suami. "Aku sudah menghubungi Stéphanie. Dia dan keluarganya sudah dalam perjalanan kemari."Kedua tangan Dietrich lari ke kepala untuk meremas rambutnya sendiri. Kemudian, turun ke bagian tengkuk, dan berakhir membentuk sebuah kepalan yang diarahkannya ke mulut pria tampan itu sendiri. Kekalutan melanda dirinya—sampai paru-parunya mulai terasa kesulitan untu
Pada saat mobil telah berhenti di depan ruang gawat darurat rumah sakit, Natalie tidak sempat berpikir lagi. Segalanya terasa bagai mimpi—bagaimana dia diangkat dan diletakkan di sebuah brankar. Brankar tersebut didorong ke dalam, lalu Dokter Özge tampak berbicara dengan beberapa petugas medis dan dalam sekejap Natalie dimasukkan menuju sekat pemeriksaan.Sebuah gelengan pelan yang dilakukan oleh Dokter Özge sesaat setelah pemeriksaan menghancurkan hati Natalie bahkan sebelum sang dokter sempat berbicara."Nyonya Natalie maafkan saya. Saya tidak menemukan detak jantung janin Anda lagi." Dokter Özge berkata gamblang.Penegasan itu membuat Natalie sontak terisak. Tangisannya pecah begitu saja—tanpa bisa ditahan lagi. Ini adalah hal yang menakutkan. Tidak, bukan. Sesungguhnya, ini adalah hal yang paling ia takutkan. Bahkan sejak awal kehamilan, Natalie tidak pernah merasa percaya diri bahwa semua akan baik-baik saja. Seolah dia sudah tahu bahwa ini akan terjadi."Nyonya," Dokter Özge men
"Apa yang Anda rasakan?"Pertanyaan Dokter Özge menyentakkan Natalie kembali pada kenyataan. Wanita itu melarikan tangan ke belakang leher, lalu mengusap keringat dingin yang terus membasahi kerah sweater-nya di sana sembari menelan ludah. "Tidak ada."Dokter Özge mengangguk. "Nyonya .... Sering kali kita tidak memerhatikan. Namun, apa yang kita rasakan tidak selalu itulah yang bayi kita rasakan. Anda mungkin tidak merasa lelah ... atau mungkin tidak sadar bahwa Anda sebenarnya sedang stres. Banyak sekali hal yang bisa memicu timbulnya flek. Pemeriksaan oleh dokter Anda di Venezuela menunjukkan beberapa gejala yang tidak bagus. Namun, jangan khawatir. Bukan berarti sekarang kondisinya belum membaik."Natalie mengangguk, kemudian memejamkan mata. Sebelah tangannya mengusap lembut perutnya. Wanita cantik itu berusaha merasakan. Apa pun—entah itu hingar bingar suara musik di kejauhan, kembang api yang terus memeriahkan langit musim dingin, suhu udara yang semakin menurun seiring bertamba
Pada saat Natalie sampai di kamar tempat Catherine dan anak-anaknya berada, Dokter Özge membuka pintu dan keluar sebelum Natalie sempat menyentuh gagang pintu. Wanita berkacamata tebal itu agak terkejut, tetapi senang melihat kedatangan Natalie."Nyonya Toussaint!" Dokter Özge berseru lalu kedua tangannya meraih pundak Natalie. "Saya mendengar banyak hal tentang pernikahan Anda yang sensasional. Selamat, Nyonya. Semoga pernikahan Anda mendapatkan keberkahan dan langgeng. Anda ingin menjenguk Nyonya Alexandrov?"Natalie tersenyum. "Terima kasih. Ya, Dok. Saya kemari untuk melihat bayi-bayi Catherine."Dokter Özge mengangguk. "Bagaimana dengan kehamilan Anda sendiri? Apakah semuanya baik-baik saja?"Natalie terdiam agak lama."Nyonya? Apakah ada yang bisa saya bantu? Anda tampak ... sedikit pucat." Dokter Özge membantu Natalie untuk duduk di sebuah kursi di lorong. "Apakah ada masalah?"Natalie menelan ludah. "Saya sempat memeriksakan kandungan sebelum terbang kemari, tetapi ... dokter
Natalie tidak berani banyak bergerak. Dokter kandungan yang diam-diam ia temui di Venezuela meresepkan serangkaian obat penguat kandungan dan beberapa vitamin tambahan, serta memberikan saran untuk beristirahat sebanyak mungkin demi menghindari stres.Yang terakhir adalah yang paling sulit. Natalie tidak merasa stres akan apa pun, tetapi entah mengapa dokter mengatakan itu. Badannya pun tidak terasa lelah bahkan setelah perjalanan panjang dari Brussel ke New York, kawin lari ke Las Vegas, kembali ke Monte Carlo, berbulan madu ke Caracas, kemudian sekarang sedang dalam penerbangan lanjutan dari Brussel menuju St. Petersburg."Selamat datang di Rusia, Tuan-Tuan dan Nyonya-Nyonya sekalian!" Erik—tangan kanan Vladimir Alexandrov—menyambut kedatangan pesawat jet pribadi terbesar milik Alexandrov, Lexstream One, yang ditugaskan khusus menjemput keluarga Toussaint—di bandar udara Pulkovo, dengan senyum ramah yang kini tidak lagi tampak seperti seringaian beruang di mata Natalie.Dietrich men
"Vladimir Alexandrov baru saja memberi tahuku bahwa hari perkiraan lahir anak-anaknya sudah dekat. Keluarga Toussaint sudah akan berangkat ke Rusia. Tapi, aku ingin bertanya padamu dulu sebelum memutuskan apa pun. Bagaimana menurutmu? Apakah kita ikut berangkat ke St. Petersburg? Atau kita masih tinggal di sini untuk beberapa lama lagi?"Dietrich Toussaint kembali pada istrinya setelah memesan makan siang dan menerima telepon lain dari adik iparnya. Lelaki itu tampak riang. Sumringah. Senyumannya teramat lebar menandakan kebahagiaan menyambut calon keponakan-keponakan barunya.Ia menghampiri sisi ranjang istrinya, kemudian menggenggam jemari perempuan cantik itu lembut. "Mereka baru akan lahir, tetapi aku sudah tidak sabar menanti mereka dewasa. Kurasa, mereka akan sama ugal-ugalannya dengan kedua kakak mereka," ucapnya. "Dan mereka akan menjadi sepupu-sepupu yang baik untuk anak kita."Natalie menelan ludah. Sekilas, Dietrich sempat melihat kilau kesedihan di mata wanita cantik itu,
"Natalie! Dieu, ke mana saja kau? Aku sudah selesai meeting—dan hasilnya menakjubkan. Kami akan memperluas jaringan hotel di Venezuela selama setahun ke depan. Apakah saat-saat berbelanjamu menyenangkan?" Dietrich bangkit dari sofa dan menutup laptop saat melihat sang istri datang dengan beberapa bodyguard wanita yang menenteng banyak sekali paperbag hasil belanja.Natalie mendekat dengan cepat. Perempuan cantik itu melemparkan tangan ke sekeliling leher sang suami, sedangkan Dietrich merengkuh dan membenamkan wajah di ceruk lehernya. "Wah, benarkah? Haruskah aku mengucapkan selamat? Kau memang hebat, Di!"Dietrich tampak bangga dengan dirinya sendiri. Ya Tuhan, sudah berapa lama ini berlangsung? Lelaki itu selalu mengharapkan ini setelah melakukan hal-hal yang prestisius—pengakuan dan pujian dari Nat. Seolah ia hidup hanya untuk itu.Mengapa selama ini Dietrich tidak menyadarinya? Dia sungguh bisa gila jika Natalie waktu itu benar-benar menikah dengan orang lain. Membayangkan itu di