Natalie selalu sendiri. Dia berada di urutan kedelapan tahta Monako, sedangkan dua kakak laki-laki ada di atasnya. Ibunya, anak ketiga dari raja, menikah dengan pengusaha dari kalangan rakyat jelata, dan lebih memilih agar putra-putrinya tidak menyandang gelar di depan nama.
Lingkungan pergaulan Natalie terbatas. Tidak banyak yang bisa diajak benar-benar terlibat dalam sebuah pertemanan tulus di kalangan jetset. Seolah semua orang punya maksud dan tujuan masing-masing untuk mendekati Natalie. Kecuali, mungkin, keluarga Toussaint dari Belgia. Mereka sangat kaya. Darah mereka biru bahkan lebih biru daripada monarki yang kini berkuasa—meski mereka tidak lagi memiliki gelar. Toussaint dianggap sebanding. Setara. Kekuasaan mereka sungguh luas karena para wanita dalam keluarga itu selalu menikah dengan bangsawan tinggi atau minimal pemimpin sebuah keluarga. Termasuk Catherine—sahabat Natalie sejak bayi. Perempuan itu belum lama ini menikah kembali dengan mantan suami—bisakah Natalie menyebut 'mantan suami' di saat pernikahan sahabatnya dibatalkan enam tahun lalu?—dan kini sudah memiliki dua anak kembar sekarang ditambah sedang mengandung dua yang lainnya. Princess Stéphanie, ibu dari Natalie, sudah nyaris kehilangan kesabaran. Dia selalu berkata, "Mon Dieu, menikahlah, Nat. Temanmu hampir punya empat anak dan kau masih perawan? Apakah aku membesarkanmu dengan cara yang salah hingga tak satu pun lamaran berhasil kudapatkan untukmu?" Natalie hanya akan terkekeh dan memutar bola mata. Entahlah. Entah apa yang salah. Nat adalah gadis baik-baik. Dia selalu mematuhi jam malam ibunya. Lalu, tidak suka menonjolkan diri di depan umum dan yang jelas, tidak akan membuat skandal yang akan mempermalukan seluruh keluarga. Akan tetapi, sungguh, mungkin dia hanya ... tidak disukai laki-laki. Jadi, daripada menunggu lamaran yang tak kunjung datang dan menyia-nyiakan hidup dalam penantian, Natalie memutuskan untuk bekerja. Mendirikan Lyubova Event Organizer impiannya bersama Catherine—yang biasa disapa dengan sebutan 'Kat'—dan satu lagi sosialita sahabat mereka yang bernama Chiara Brignone. Hanya sebagai pengisi waktu luang. Sebagai excuse untuk tinggal di Paris. Bukan di Monte Carlo bersama ibunya. Jangan salah. Nat tidak membenci ibunya. Well. Tidak selalu. Hanya kadang-kadang saja, saat sang mama menanyakan kapan dia akan menikah. Lagi, dan lagi. "Dulu saat Mama seumuran denganmu, Mama sudah menikah!" Princess Stéphanie berkacak pinggang. "Kalau tidak ada yang mau denganmu, kenapa tidak kau goda saja Pieter Toussaint, atau Julien, Luc, dan Leroux sepupunya? Mon Dieu—Ya Tuhan bahkan jika tidak ada pilihan lain, minta saja Dietrich menikahimu. Mereka semua masih lajang, bukan?" Natalie tersedak ludahnya sendiri saat mendengar semua itu. Oh, si perempuan cantik bukannya tidak pernah memikirkan itu. Mendekati pria-pria tampan dari keluarga Toussaint, maksudnya. Terutama, Axel Junior. Dari semua orang yang ada, pria yang satu itu adalah yang terbaik. Tenang, ramah, baik hati, selalu berpikir sebelum bertindak. Semua yang dilakukannya terkalkulasi dengan cermat. Sayangnya, dia sudah menikah. Tahun ini. Di musim semi. Barang bagus nan langka memang cepat sekali terjual, bukan begitu? Natalie tidak akan mempertimbangkan Julien, Luc, dan Leroux Toussaint. Ya ampun. Mereka itu jahil dan liarnya bukan main! Yang paling parah adalah Dietrich. Tidak ada yang salah dengan penampilannya. Pria itu tumbuh menjadi seseorang berbadan tinggi dan atletis. Ototnya menyembul di tempat-tempat yang tepat. Wajahnya mencerminkan ketampanan klasik khas bangsawan kelas atas dengan tulang pipi tinggi dan senyuman lembut. Dan, dia adalah kepala keluarga Toussaint saat ini. Akan tetapi, Dietrich adalah pilihan terburuk! Natalie berani bersumpah bahwa melajang seumur hidup akan jauh lebih baik ketimbang menikah dengan lelaki itu. Mulutnya. Gosh. Pria itu punya mulut terpedas di seluruh dunia. Meski dengan berat hati, Natalie mengakui sebagian besar yang dikatakan Dietrich memang benar. Itu bukan satu-satunya alasan mengapa Natalie tidak bisa menikah dengan Dietrich. Gadis itu bersahabat sangat dekat dengan Catherine hingga nyaris dianggap sebagai anggota keluarga Toussaint. Dietrich selalu berada di sana. Menjadi kakak bagi mereka berdua sekaligus bahkan sewaktu Nat dan Kat masih kanak-kanak, Dietrich gemar sekali menepuk pantat montok mereka. Ibunya benar-benar sudah gila kalau sampai sungguhan menyarankan yang terakhir tadi. "Mama. Tolong jangan khawatirkan aku. Kalau aku tidak menemukan pria untuk kunikahi, kau masih bisa mendapatkan lebih banyak cucu dari kedua putramu. Sekarang, permisi. Aku harus kembali ke Paris." Natalie menyambar tas tangannya, kemudian mencium pipi ibunya tiga kali, sebelum melangkah pergi menuju sebuah limosin yang akan mengantarkannya melewati French Riviera yang indah. "Natalie! Nat, dengarkan aku dulu! Aku tidak bercanda!" Princess Stéphanie sampai kelepasan menjerit, kemudian buru-buru menoleh ke kanan dan ke kiri untuk memastikan bahwa tidak ada paparazi yang menguntitnya di sini. Natalie melambaikan tangannya tanpa menoleh ke belakang. o0o Natalie tertawa terbahak-bahak. Begitu juga dengan Dietrich. Di dalam lindungan Rolls Royce milik keluarga Toussaint, keduanya bebas mengekspresikan diri tanpa takut dikritik orang banyak. "Dasar bodoh!" Natalie menyembur tanpa sungkan. "Buat apa menjemputku, di saat kau juga tidak membawa payung? Ini sama saja dengan aku berlari sepanjang beberapa blok sampai ke kantor Lyubova!" Dietrich menunjuk rambut Natalie yang lepek dan tawanya terus berderai. "Bagaimana mungkin kau bilang ini sama? Terkena hujan sedikit saja penampilanmu sudah seperti tikus yang terperosok ke dalam got! Apalagi, jika kau nekat berlari sejauh beberapa blok." Tangan Natalie sontak berlari menuju rambut. Tawanya hilang. Gadis itu lalu memberengut. "Apakah begitu buruk?" "Benar-benar buruk." Dietrich berkata apa adanya. Jika ada satu hal yang perlu disyukuri dari mulut cabai super milik lelaki itu, ia selalu berkata jujur. Kebenaran memang terkadang menyakitkan, tapi itulah yang Nat butuhkan. Terutama karena seluruh pelayan dan rakyat Monako selalu memberikan pujian padanya. Nat tidak pernah tahu apakah semua yang mereka bilang itu benar atau hanya sugar coating belaka. "Berikan aku cermin." Natalie menengadahkan tangannya. Dietrich mengedikkan bahu, menepuk tangan supirnya, Monsieur Randall lalu memberikan kode berupa anggukan. Monsieur Randall menaikkan sebelah alis, kemudian membuka laci dasbor dan mengeluarkan cermin bersepuh perak milik mendiang nenek Dietrich dari sana. Dietrich menerimanya. Dia dan Monsieur Randall memang lebih senang begitu. Berkomunikasi tanpa kata. Pria paruh baya itu dulunya kurang dalam pendengaran—sampai ayah Dietrich mempekerjakannya dari jalanan dan membelikan alat bantu dengar. Natalie menyambar cermin dari tangan Dietrich diiringi dengkusan. "Rasanya aku tidak siap untuk melihat wajahku sendiri." Perempuan itu masih bersungut-sungut. "Tidak ada masalah pada penampilanku saja aku tidak punya pacar. Bagaimana jika penampilanku sangat buruk?" Dietrich mengambil sebuah handuk dari sebuah kotak penyimpanan. Lelaki itu membantu untuk mengeringkan rambut dan baju Natalie yang terkena hujan. Lalu, ia mengernyit saat melihat bagian dada Nat. "MERDE!—SIALAN!" Dietrich terkesiap keras. "Bisakah sekali saja kau memakai pakaian dengan benar? Bajumu tembus pandang!" Natalie ikut terkesiap. Kemudian dengan cekatan menyambar handuk dari tangan Dietrich dan menutupi bagian dadanya sendiri. "Bajuku tadi baik-baik saja. Memangnya kau tidak lihat aku memakai lengan panjang?" "Seharusnya kau memakai mantel, Dasar Bodoh! Ini Paris, bukan Monte Carlo yang relatif hangat. Kau bisa kedinginan jika memakai pakaian setipis itu!" Dietrich mulai mengomel. Natalie tadinya ingin memilih untuk diam. Namun, kalimat Dietrich selanjutnya membuatnya benar-benar naik pitam. "Apakah kau sebegitu desperate sampai berniat menggodaku?" Apabila lelaki itu tidak mengucapkannya dengan wajah memerah semerah kepiting rebus, Natalie sudah pasti akan menamparnya. Namun, tidak. Natalie berbaik hati untuk hanya memukul dada lelaki itu dengan keras. "Kau pikir dirimu hebat? Jangan mengada-ada! Aku bahkan tidak tahu kau akan menyusulku!" Natalie memukul dada Dietrich berulang kali. Namun, justru tangannya sendiri yang terasa sakit sekarang. Kemudian ekspresi Dietrich berubah kesal. "Jadi ... kau memakai pakaian tipis untuk menggoda lelaki mana pun di kedai bunga?" Natalie menghitung dalam hati untuk mengusahakan kesabaran ekstra. Hitungannya baru sampai angka satu, ketika detik berikutnya tangannya sudah bergerak sendiri memukuli Dietrich lagi. "Berengsek kau! Kurang ajar! Berani sekali kau menuduhku seperti itu?!" Umpatan Natalie tak berhenti sampai Dietrich mengaduh kesakitan. "Mon Dieu! Kau ini putri dari Princess Stéphanie! Omonganmu akan kurekam. Akan kurekam dan kukirimkan pada kantor berita kerajaan! Aw! Hentikan, Dasar gadis jelek! AWWW!" ♡♡♡Lyubova Event Organizer lumayan ramai siang itu karena Catherine Toussaint—adik Dietrich—juga datang. Kalau dia datang, suaminya pun ikut lalu jika suaminya ikut, maka satu pasukan anak buah mafia Rusia sebanyak satu tank juga akan mengikuti.Benar-benar kacau."Kalian basah kuyup." Catherine berusaha bangkit dengan susah payah. Kehamilannya memasuki trimester tiga bulan ini. Plus, perempuan cantik itu hamil bayi kembar laki-laki yang membuat perutnya membesar bagai balon."Duduk saja, Kitkat. Jangan repot-repot." Dietrich mengangkat tangannya di udara. Lelaki itu sudah melepaskan coat-nya yang basah, dan kini hanya memakai kemeja yang juga basah hingga badan atletisnya tercetak jelas di sana.Di sisi lain, Natalie aman dengan sebuah kemeja cadangan milik Dietrich yang jelas-jelas kedodoran. Well, gadis itu berhasil meminta Dietrich untuk berbalik agar ia dapat melepaskan pakaian tadi di dalam mobil.Itu adalah sebuah prestasi. Dietrich biasanya super angkuh dan paling anti menur
Toussaint adalah kutukan.Natalie sudah mengenal hampir semua orang dalam keluarga tersebut sejak kecil dan gadis itu percaya tidak ada sedikit pun keburikan pada paras semua anggota keluarga Toussaint. Ditambah lagi, mereka rata-rata memiliki otak cerdas yang lebih sering digunakan dalam kelicikan. Catherine juga Axel mungkin adalah yang paling tenang. Selain mereka berdua, Natalie tidak memiliki kesabaran lebih untuk menghadapi mereka.Terutama, Dietrich.Kapan pun lelaki itu muncul, dapat dipastikan hari Natalie bakal berakhir buruk. Seperti hari ini."Nat! Tunggu aku! Astaga, apa telingamu sudah tuli? Nat—" Tangan Dietrich telah berhasil menyambar siku Natalie. Dalam sekejap, lelaki itu membalikkan badan Nat dan berbicara dengan nada menegur yang menyebalkan. "Dengarkan jika ada yang berbicara padamu."Natalie menghela napas. Ketika mendongak, gadis itu melihat sosok wajah tampan rupawan dengan ekspresi memelas yang membuat Nat seketika mendapatkan bombastic side eye dari orang se
Dietrich bersenandung riang selama menyetir sendiri kembali ke Brussel malam itu. Paris, Brussel, dan perjalanan di antara kedua kota itu diiringi langit cerah tak berawan, meski angin berembus lumayan kencang.Dietrich selalu menyukai musim gugur. Aroma daun kering, kayu-kayuan, perapian baru, rasa panas yang mulai berganti lebih sejuk, serta sederetan long coat fashionable yang tidak setebal bahan musim dingin, tapi juga tidak setipis baju di musim panas. Semuanya terasa sangat pas.Akan tetapi, ada satu hal yang merusak kesenangannya hari ini. Ketika membuka pintu ganda menuju ruang kerja kepala keluarga, Dietrich mendapati Paman Axel berada di balik mejanya. Menduduki kursinya lalu,l ketika melihat Dietrich masuk, sang paman mengeluarkan ekspresi tidak setuju karena Dietrich pulang lumayan larut."Ada masalah yang tidak bisa ditunda hingga besok, Paman?" Dietrich melepaskan coat-nya, lalu menuangkan scotch untuk dirinya sendiri. Permasalahan apa pun, jika butuh selarut ini untuk b
Natalie pada awalnya begitu bersemangat untuk pergi liburan ke Brussel. Koper-kopernya sudah siap. Mobilnya juga hampir penuh—sebelum ibu, ayah dan kedua kakak laki-lakinya, beserta keluarga kecil mereka masing-masing, juga bergabung dengan Nat di hall depan istana milik Princess Stéphanie.Semua orang berpenampilan sangat chic, syal-syal hangat dikenakan. Tak lupa dengan scarf warna-warna merah dan cokelat di atas kepala. Plus, kacamata hitam super trendi."Mau ke mana kalian semua?" Natalie bertanya bingung.Semua orang saling berpandangan dengan alis terangkat, lalu meledak tertawa.Princess Stéphanie merangkul bahu putri bungsunya lalu tersenyum lebar, memamerkan deretan gigi-giginya yang putih mengkilap bak porselen. "Mau ke mana, katamu? Tentu saja kami ingin ikut denganmu ke Brussel! Kami juga mendapatkan tawaran liburan di kastil Toussaint. Bukan cuma kau."Natalie memaksa dirinya agar tidak meringis ngeri. "Undangan ... dari Dietrich?""Oh, bukan, Sayang. Dari kawan lamaku Ax
Ketika hari beranjak sore, Natalie mendengar pintu kamarnya diketuk pelan."Nona. Ini hampir waktunya minum teh. Apakah Anda sudah bangun? Kami bisa membantu Anda bersiap."Natalie merenggangkan tubuh, kemudian turun dari tempat tidur bertiang empat di sini dan mengenakan selop kamar. Perempuan itu beranjak ke pintu, membukanya, lalu membiarkan beberapa pelayan perempuan dari Toussaint untuk masuk."Nyonya Catherine berpesan agar kami membawakan sebaskom air es untuk menyegarkan wajah Anda." Salah satu dari mereka berujar.Yang lain ikut masuk dengan senang. "Kami juga membawakan pesan dari Tuan Julien."Oh, yang satu ini membuat Natalie mengernyit. "Julien?" Bukan Dietrich?"Oui, Mademoiselle—Ya, Nona." Salah satu pelayan menyodorkan nampan kecil, membuka tudung sajinya yang berwarna keperakan, kemudian membiarkan Natalie mengambil secarik kertas dengan tulisan cakar ayam dari sana.[Selamat sore, Nona Manis. Aku menunggu untuk mengobrol lebih banyak denganmu pada acara minum teh har
Natalie berpikir. Berpikir keras. Mengesampingkan seluruh perasaan asing menyakitkan yang menderanya, gadis cantik itu mulai mempertanyakan banyak hal. Ini adalah hidupnya. Kisah cintanya. Mengapa banyak sekali orang yang ingin ikut campur?Suasana minum teh di Toussaint begitu hangat dan seharusnya menyenangkan. Denting sendok kecil beradu dengan porselen Sevrés, aroma berbagai macam teh bercampur dengan susu dan madu, dan percakapan-percakapan ringan yang bergulir di seluruh ruangan.Namun, Natalie justru larut dalam lamunan."Nat?" Mungkin ini sudah ketiga kalinya sang mama memanggil—sebelum Natalie pada akhirnya menoleh."Oui—Ya?" Natalie membalas tatapan ibunya dengan sorot teguh tak menampilkan kerapuhan apa pun, meski jauh di dalam hati ia sedikit merasa hancur.Oke, lumayan banyak. Kehancurannya. Nat tidak tahu mengapa, tapi yang diinginkannya saat ini adalah kabur dan menangis di suatu tempat terpencil di sudut kastil atau berada di dalam perlindungan kamarnya dan tidak kelua
Natalie dan Chiara berkuda santai di sepanjang track pacuan yang berada tepat melewati ruang perjamuan minum teh. Pada saat melaluinya, kepala Natalie tidak bisa berhenti untuk menoleh—meski apa yang terjadi di dalam tidak sepenuhnya dapat terlihat dari luar."Aku akan dijodohkan dengan Julien Toussaint." Nat tidak tahan untuk tidak menyemburkan semuanya pada Chiara saat mereka berdua sudah tidak berada di jarak dengar siapa pun.Chiara menoleh. Matanya melebar. "Julien? Julien?! Bukankah dia jahil sekali? Tidak. Tidak mungkin. Kalian sama sekali tidak cocok. Dia bahkan tidak terlalu menyukaimu, Nat!"Natalie melajukan kuda milik Paman Axel pelan-pelan. "Aku tahu. Kami bahkan ... tidak berteman. Tidak sedekat itu, tapi dia memujiku cantik."Chiara menghela napas. Wajahnya mendongak ke langit seolah meminta pertolongan kepada Tuhan. "Kau memang cantik. Semua orang bisa melihatnya. Sedikit pujian dari Julien Toussaint seharusnya tidak menggoyahkanmu."Natalie mengedikkan bahu. "Aku tida
Dietrich tidak sempat berpikir panjang. Ketika semua orang berhamburan keluar membentuk kerumunan di sepanjang pacuan kuda, dia mengikuti arus. Bedanya, saat berhasil keluar melewati pintu-pintu kaca berornamen keemasan dari tempat perjamuan minum teh, Dietrich langsung berderap cepat menuju istal."Siapkan kudaku!" Lelaki tampan itu berteriak pada siapa pun yang bisa mendengarnya di dalam istal.Kuda miliknya, sebuah kuda hitam besar yang tak kalah garang dibanding milik Paman Axel, siap dalam waktu singkat. Masih mengenakan jas dan pakaian semi formal, Dietrich melompat naik ke atas kudanya sendiri.Setelah itu dia dan kudanya berderap bagai satu kesatuan menuju ke pacuan kuda. Berusaha mengejar kuda yang ditunggangi oleh Natalie.Di sisi lain, Natalie berusaha melakukan teknik scrunch. Dengan satu tangan, gadis itu menyatukan tali kekang dan menyelipkan tangannya yang lain di bawah tali tersebut, untuk membuat "remasan" yang ketat pada leher kuda. Hal ini akan memicu rangsang pada
Ruang makan di kastil Toussaint pagi itu ramai sekali. Acara makan pagi kali ini diselenggarakan secara tidak formal. Bahkan, anak-anak juga diizinkan untuk ikut makan bersama."Natalie!" Catherine berseru riang saat melihat sahabat yang kini telah menjadi kakak iparnya itu memasuki ruangan. "Sini! Duduklah bersama kami! Kau juga, Dietrich!"Maka, Natalie dan Dietrich duduk bersama dengan Catherine dan keluarga kecilnya, setelah berkeliling mengucapkan salam pada meja-meja lain yang berisi para tetua."Bonjour—Selamat pagi," sapa Natalie. Wanita itu tampak cerah dengan sebuah senyuman yang sungguh menampilkan kebahagiaan.Catherine kesulitan berdiri untuk menyapa, jadi Natalie merunduk untuk mencium kedua pipi sahabatnya itu."Pagi, Nat. Apakah tidurmu nyenyak?" Catherine bertanya.Natalie melirik Dietrich. Dietrich berdeham dengan wajah merona sedikit.Natalie tergelak ringan. "Well, ya. Kami tidur nyenyak. Bagaimana denganmu?"Catherine menunjuk perutnya. "Tidak senyenyak dirimu, te
Namun, apa yang dilakukan oleh Dietrich selanjutnya justru membuat Nat semakin gelisah. Kepalanya menjadi pening dengan serbuan sensasi yang melandanya bertubi-tubi. Dietrich membisikkan kalimat-kalimat lembut yang nyaris tak terdengar di telinga Nat—di atas perut wanita itu. Sepertinya, Dietrich sedang memberikan salam pada anak mereka dan hal itu membuat Natalie begitu tersentuh hingga hampir menangis. Kemudian ciuman Dietrich bergerak semakin ke selatan menuju area kewanitaannya yang telah basah."Let me kiss you—Biarkan aku menciummu ...." ucap Dietrich di antara paha Natalie yang merapat dengan kaku. "Let me love you, Nat—Biarkan aku mencintaimu, Nat ...."Natalie terisak keras di saat Dietrich benar-benar membuka dirinya. Mulut pria itu terasa panas di bawah sana. Bibirnya lembut dan basah membelai bagian luar labia Natalie hingga kepala perempuan cantik itu terlempar ke kanan dan ke kiri.Cairan kewanitaan Natalie mengalir semakin banyak. Akan tetapi, Dietrich melakukan hal gi
Tidak ada percakapan yang terjadi saat Dietrich dan Natalie bergerak menuju kamar mereka di quartier kamar tidur anggota keluarga. Bulan yang tersamarkan oleh awan menggantung rendah di langit Belgia. Sinarnya menembus jendela-jendela kaca kuno besar di salah satu sisi koridor. Membaur layaknya cincin asap besar di kegelapan malam musim dingin.Tangan Dietrich dan Natalie saling bertaut. Sesekali mereka menoleh untuk melemparkan sebuah senyuman satu sama lain. Pipi Dietrich merah sebelah. Rahangnya terasa kaku, dan wajah Natalie masih menampakkan sisa-sisa air mata. Namun, itu semua tidak menghalangi mereka untuk berbahagia.Saat sampai di depan pintu ganda yang menghubungkan dua kamar terbesar di kastil ini, jantung Natalie mengentak cepat. Ini bukan kamar Dietrich yang dulu—jelas bukan kamar yang sama dengan kamar Dietrich yang dimasukinya diam-diam bersama Catherine di masa remaja.Kamar ini ... adalah kamar The Lord and The Lady of The House."Dietrich ...." Tangan Natalie dengan
Dietrich dan Natalie pergi ke Brussel di saat salju turun semakin tebal di akhir tahun. Para paparazzi sudah tidak tampak di sekitar apartemen Dietrich di Paris—sepertinya mereka pulang ke tempat asal masing-masing untuk liburan natal dan tahun baru. Pada saat Dietrich dan Natalie keluar dari gedung apartemen, rasanya sejuk sekali. Seolah mereka berdua baru saja menghirup udara kebebasan.Monsieur Randall mengantarkan mereka berdua menuju Charles de Gaulle. Kemudian, saat mendarat di Brussel, Paman Axel mengirimkan sebuah Rolls Royce yang mengantarkan mereka langsung menuju kastil Toussaint."Dietrich aku gugup sekali ...." Natalie berbisik pelan saat mobil yang mereka berdua tumpangi memasuki pintu gerbang kastil.Dietrich mengangguk pada sang istri. Tangannya meremas tangan Natalie pelan. "Aku juga. Tapi, jangan khawatir. Kita bisa menghadapi ini bersama-sama.""Kuharap mereka tidak terlalu marah.” Natalie balas meremas tangan suaminya.Dietrich tidak menyukai raut cemas di wajah Na
[From: Catherine To: Dietrich Kami semua sudah kembali ke Brussel. Pulanglah, Di, dan bawa istrimu ke rumah. Tunggu. Kau benar-benar sudah menikah dengan Nat?]Dietrich mendapatkan pesan tersebut beberapa hari kemudian. Dia dan Natalie sudah tinggal cukup lama—bersembunyi, meski tempat persembunyian itu tidak dapat dikatakan terpencil—dari semua hal yang memusingkan. Keduanya mematikan ponsel selama berhari-hari. Pun dengan sengaja tidak menyalakan ponsel dan tidak keluar dari apartemen untuk menghindari para pencari berita.Saat dirasa seluruh kontroversi sudah mulai mereda, Dietrich baru membuka ponsel dan menemukan pesan dari sang adik.Jemari lelaki itu dengan cepat mengetikkan balasan.[To: Catherine From: Dietrich Ya. Aku sudah menikah dengan Nat. Apakah Kakek marah besar? Bagaimana dengan suamimu? Kennedy sekarang memusuhi kita? Lalu ... apakah Bibi Stéphanie murka?]Balasan Catherine datang dengan agak terlalu cepat.[From: Catherine To: Dietrich Kakek, Papa, Paman
Natalie tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi di sini, tetapi saat membuka mata dan melihat Dietrich yang tertidur pulas setelah penerbangan panjang belasan jam menuju Paris, perempuan itu baru sadar bahwa dia sekarang sudah menikah. Ini sudah hampir 24 jam berlalu, tetapi Natalie masih belum menyangka bahwa dirinya sekarang sudah berstatus menjadi istri pria yang sejak dulu ia impikan ini.Dia sedang mengandung anak dari Dietrich.Masa depan memang sebuah misteri, tetapi apa yang akhir-akhir ini terjadi benar-benar menjungkirbalikkan dunia Natalie tanpa sisa.Pun tentang pernyataan cinta Dietrich .... Entahlah. Natalie tidak bisa berpikir jernih sekarang. Wanita itu menggigit bibir. Ia ingin memercayai suaminya. Namun, rasanya benar-benar sulit. Benarkah Dietrich merasakan hal yang sama untuknya? Atau ... pria itu hanya ingin sekadar menenangkan dan memaksanya masuk ke dalam jurang pernikahan yang sama-sama tidak mereka inginkan pada awalnya?"Hei, kau tidak tidur?" Suara parau khas
Dietrich merasa was-was. “Jangan bilang kau merasa ragu? Kau tidak bisa meninggalkanku di altar, Nat ….”Natalie menelan ludah dan menghindari tatapan Dietrich. “Nat, Pastor Ryan sudah menunggu kita. Dia hampir membeku kedinginan,” ucap Dietrich dengan keputusasaan. “Jangan lakukan ini padaku. Kumohon padamu ….” Natalie menghela napas. Ketika mendongak, matanya berkaca-kaca. “Aku tidak ingin kau menyesal, Dietrich kau bahkan … tidak mencintaiku.” Air mata Natalie menetes. Lalu, tetesan itu berubah menjadi deras. Dietrich tertegun. “Siapa yang mengatakan itu padamu?” Natalie menggeleng cepat. “Bukan siapa yang mengatakan apa. Ini adalah tentang kau tidak mengatakan apa-apa.” Dietrich memandang Natalie tak percaya. “Apakah kau tidak bisa melihat bahwa seumur hidupku, orang yang paling kupedulikan adalah kau? Tidak bisakah kau merasakan bahwa aku menc—“ “Cukup. Jangan membohongi kita berdua, Di. Kau sendiri yang mengatakan bahwa cinta itu omong kosong? Kau tidak mencintaiku. Tidak
Tak lebih dari dua jam kemudian, Natalie dan Dietrich sudah duduk di sebuah penerbangan first class menuju Nevada. Keduanya cekikikan bersama-sama. Meski para pramugari sedang menuangkan anggur—untuk Dietrich dan jus untuk Natalie, mereka berdua tidak bisa berhenti tertawa."Apakah kau bisa membayangkan raut wajah Vladimir saat kita kabur?" Dietrich tertawa tengil. "Malam ini agak gelap. Aku tidak bisa melihatnya dengan jelas, tetapi aku bisa membayangkannya."Natalie tertawa lagi. "Kau benar-benar nakal, kau tahu?" Dietrich mencolek hidung Natalie sekilas. "Coba tebak, karena siapa aku jadi begini?" Natalie menepuk dada Dietrich main-main. Kebahagiaan membuncah di dadanya. Sebentar lagi. Hanya tinggal sebentar lagi mereka berstatus sebagai suami istri.Seharusnya Natalie malu. Dia bukan hanya mendobrak tradisi agung pernikahan keluarga kerajaan, tetapi juga menurunkan standar pernikahan ke posisi paling bawah. Pernikahan drive-thru. Sekarang bukan hanya makanan cepat saji saja yang
Dietrich mendekatkan wajahnya, memosisikan bibir Natalie sehingga bertaut dengannya. Lidahnya menyusuri bibir manis beraroma mint milik Natalie. Napas Natalie terengah ketika Dietrich menekan lidahnya lebih dalam menjelajahi mulut Natalie. Sedikit terburu-buru didesak hasrat, Dietrich tak bisa menahannya lagi. Natalie adalah miliknya dan ia sudah menginginkan Nat sejak lama. Tubuh Natalie dengan mudah dikuasainya. Tangan Dietrich menurun ke pundak Nat, membelai kulit halus yang terbuka itu. Dietrich menyesap sisi leher Natalie—yang seketika membuat desah wanita cantik itu terlontar begitu saja. Kemudian, si presdir tampan mencium dan menenggelamkan wajahnya di leher Natalie. Suara ciuman yang menggelora berhenti sejenak. Dietrich melepaskan dan menatap wajah Natalie yang sudah memerah. Sementara itu, sorot mata Natalie tampak sayu sekaligus bergairah. Sial. Bagaimana Dietrich dapat berhenti sekarang? Miliknya yang mengeras bergesekan dengan milik Natalie yang terasa basah. Dietr