Natalie tadinya merasa senang. Gadis cantik itu berada di elemennya—persis di sebuah kedai bunga yang cantik di kawasan Chaillot, Paris. Kota ini romantis. Banyak pasangan muda datang untuk memilih bunga bersama pacar masing-masing. Namun, Natalie tidak. Gadis itu memilih bunga untuk acara orang lain.
Natalie memiliki sebuah usaha event organizer yang dirintis bersama teman-temannya. Dia tidak sungguhan ingin bekerja. Biasanya pun Catherine—temannya— yang menjadi pentolan grup dan lebih banyak bekerja dalam berbagai rapat penting serta bertemu klien. Natalie hanya … well … mengatur bunga apa yang harus dirangkai agar tempat pestanya nanti tampak cantik. Setidaknya, Natalie tahu seleranya cukup bagus untuk itu. Akan tetapi, Catherine kemudian menikah. Lagi! Lantas sekarang, sahabat Natalie itu tengah mengandung bayi kembar. Padahal, dia sudah memiliki dua anak perempuan berumur lima tahun yang sedang aktif-aktifnya. Kepengurusan Lyubova Event Organizer dalam sekejap berganti kepemimpinan. Sebelumnya, Natalie tidak terlalu banyak terjun langsung dalam pekerjaan, kini jadi tidak punya banyak waktu untuk bersantai! Paris hujan deras. Hujan di musim gugur. Cuaca mendadak berubah dan Nat tidak membuka forecast—perkiraan cuaca sejak pagi akibat terlalu sibuk. Hingga kini perempuan muda itu terjebak di sini, tanpa payung dengan kumpulan pasangan muda-mudi yang cekikikan sendiri. Membuat Natalie merasa semakin nelangsa karena tidak memiliki kekasih. Catherine sudah menikah dan hampir memiliki empat anak. Sahabatnya yang lain—Chiara Brignone—berganti pacar seperti berganti pakaian. Namun, Nat sendirian. Tidak pernah ada pria yang mendekatinya. Tidak ada sama sekali. Menurut sahabat-sahabatnya, ini adalah sebuah hal yang sangat aneh. Natalie tergolong tidak buruk rupa. Mon Dieu—Ya, Tuhan bahkan semua orang yang bertemu dengannya pasti memujinya dengan kata 'cantik'. Natalie memiliki rambut cokelat yang dapat berubah mengikuti musim. Semakin terang di musim panas—akibat terlalu banyak aktivitas luar ruangan dan tersengat matahari, dan semakin gelap di musim dingin—mungkin akibat salju atau entah apa. Gadis itu juga tinggi semampai, serta rajin berolahraga yoga—dengan guru yoga yang datang minimal seminggu sekali ke rumah ibunya di Monako. Rasanya, tidak ada yang salah dengan penampilan Natalie. Sama sekali tidak ada. Namun, mengapa tidak ada laki-laki yang tertarik padanya? "Nona Casiraghi." Madame Vernoux, pemilik kedai bunga favorit Nat, memanggil. Natalie menoleh seraya tersenyum. "Ya?" Madame Vernoux balas tersenyum—sebuah keramahan yang jarang sekali ia tunjukkan pada pelanggan. Madame Vernoux sudah senior. Meski kedainya tidak besar, tetapi ia telah melayani orang-orang penting dari dua generasi dan telah melayani tiga perempuan muda pemilik Lyubova Event Organizer. Di antara mereka bertiga, Natalielah yang paling ia suka. "Kau hampir basah. Masuklah, Sayang." Madame Vernoux berkata. Natalie mengerling ke dalam lalu menggeleng pasrah saat melihat tempat itu memang masih ditempati pasangan yang asyik berpacaran. Perempuan itu mengedipkan sebelah mata jahil pada Madame Vernoux. "Tidak ada ruang untuk seseorang dengan status lajang." Madame Vernoux tertawa terbahak-bahak. "Natalie, kau sungguh lucu. Gadis secantik dirimu? Aku tidak percaya kau masih lajang." Nah, benar, ‘kan? Natalie jadi tergoda untuk mengamati bayangan dirinya sekali lagi lewat pantulan kaca yang membatasi bagian dalam dan luar kedai. Di sana, samar-samar ia melihat sesosok gadis dengan kulit halus licin dan lembut—tak ada jerawat, kecuali nanti saat ia sudah dekat dengan jadwal datangnya tamu bulanan. Tak ada bopeng juga—tadinya ada, tapi dia tidak tahan untuk tidak mendapatkan berbagai tindakan di klinik kecantikan untuk menghilangkan semua noda-noda membandel. Well. Intinya, Natalie juga merasa wajahnya tidak terlalu buruk. Madame Vernoux yang selalu mengungkapkan segala sesuatu secara jujur dan blak-blakan saja bilang bahwa Natalie cantik! "Kau tidak membawa payung?" Madame Vernoux menanyai Natalie lagi. Si nenek itu melirik ke langit dengan kacamata antik yang agak melorot di hidung. "Sepertinya cuaca akan memburuk beberapa jam ke depan. Sebaiknya kita masuk, Sayangku. Di sini mulai dingin." Natalie melirik pasangan-pasangan mesra di dalam kedai sekali lagi. "Tidak ...." "Ayolah." Madame Vernoux mulai menggamit lengan Natalie. "Jangan berlagak kau sedang iri dengan mereka. Kau sendiri kan punya pacar." Natalie nyaris tersedak ludahnya sendiri. Pacar? Apakah telinganya tidak salah dengar? Atau Madame Vernoux diam-diam seorang cenayang? "Madame Vernoux .... Bolehkah kutahu siapa pacarku?" Madame Vernoux mengernyit. Kemudian, wanita berumur enam puluhan tersebut menepuk lengan Natalie gemas dan tertawa lagi. "Kau ini memang lucu sekali." Natalie tidak bergerak. Perempuan muda tersebut mengerjap. Menunggu .... Jadi, Madame Vernoux mendengkus tak sabar. "Yang sering kemari bersamamu!" Natalie merapatkan bibir dan berusaha mengingat. "Achilleas?" Madame Vernoux kini tampak gusar. "Kalau yang kau sebutkan itu adalah si Pangeran Yunani dengan rambut ungu sewarna kemoceng, maka bukan. Bukan dia maksudku. Yang satunya lagi." Tidak ada. Natalie tidak ingat pernah membawa laki-laki lain kemari sebelum ini. Sahabatnya hanya ada tiga. Catherine Toussaint, Chiara Brignone, dan Achilleas Konstantinos of Greece—nama belakangnya memang itu karena dia adalah seorang pangeran tanpa kerajaan. "Yang tampan! Yang sangat tampan! Ya ampun. Kau membuatku gemas." Kini Madame Vernoux melipat tangan di depan dada. Ketika Natalie masih menatapnya dengan bingung, Madame Vernoux menghela napas berat. "Masuklah dulu. Kita tunggu dia datang di dalam. Ayo, Nak. Kau bisa sakit jika sampai basah kuyup terciprat air hujan." Dengan berat hati, Natalie mengikuti Madame Vernoux ke dalam. Saat melangkahkan kaki masuk, Natalie langsung merasa hangat. Kedai ini kecil. Tidak mempunyai cabang di mana pun di seluruh dunia. Hanya satu-satunya. Namun, kepopulerannya sudah terkenal seantero Paris. Di sini, semua hal membuat Natalie merasa nyaman. Mulai dari dinding-dinding kayunya, bentuk perapian klasik, hingga seluruh guci-guci porselen cantik yang dibuat khusus di Sèvres, tempat menyimpan bunga. Aroma lavender dan harum semerbak bebungaan lain sontak menyerbu indra penciumannya. "Kau mau cokelat? Aku bisa meminta seseorang membuatkannya untukmu." Madame Vernoux menawarkan. Natalie menggeleng. Ia memamerkan jam tangannya dan berkata, "Seharusnya aku sudah pergi sekarang. Ada rapat di kantor pada pukul tiga sore. Aku hampir terlambat." Madame Vernoux mengangguk paham. "Kalau begitu, mari kita duduk dulu dan tunggu pacarmu datang sebentar lagi." "Astaga, Madame Vernoux. Kalau aku benar-benar punya pacar, maka aku juga ingin tahu siapa orangnya." Natalie tertawa sumbang. Akan tetapi, gadis itu tidak terlalu menganggap serius ucapan sang pemilik kedai. Madame Vernoux mengedikkan bahu dan melemparkan tatapan malas yang berarti aku-tidak-mau-mengikuti-permainanmu. Jadi, Natalie berdiam menunggu hujan reda sembari mengambil setangkai mawar berwarna merah muda. Dihitungnya kelopak mawar itu. Satu, dua, tiga, empat, dan pintu kedai bunga Madame Vernoux terbuka sekali lagi. Semua orang di dalam menoleh—karena cara membuka pintu si tamu baru ini agak kasar. Seolah terburu-buru. Natalie juga menoleh perlahan. Kemudian, seluruh dunianya seolah terasa mengecil, mengerucut. Terfokus pada seseorang yang baru saja melewati ambang pintu dengan coat basah kuyup sehabis menembus hujan. "Nah, itu dia pacarmu." Madame Vernoux berbisik pelan di telinga Natalie. Natalie memperhatikan air yang menetes dari rambut cokelat gelap pria itu berubah menjadi gerakan yang sangat lambat. Pria itu memandangnya balik. Tatapannya tegas dan kuat. Dipenuhi kepercayaan diri tak tergoyahkan dari seorang pemimpin—yang hanya dapat terbentuk dari kebiasaan memerintah orang sedari bayi. Terkesan arogan, licik, dingin. Namun, anehnya ... familiar. "Sudah kuduga kau berada di sini." Pria tampan itu mendatanginya. Sebelum Natalie bertanya, dia sudah menambahkan duluan. "Catherine bilang, kau menghilang di tengah hujan dan terancam akan tertinggal jadwal rapat sebuah event penting. Lalu, aku tahu kau pasti ada di sini. Bersama bunga-bunga. Mon Dieu. Jika kau ingin berhasil menggantikan posisi adikku di kantor, sebaiknya kau berhenti main-main dan mulai bersikap profesional, Nat." Natalie menghela napas. Benar. Madame Vernoux salah besar. Memangnya si nenek pemilik kedai bunga ini buta? Tidakkah semua orang dapat melihat betapa menjengkelkannya pria ini? Lalu …. Tampan, tadi katanya? Ya ampun. Jika Dietrich Toussaint dapat tutup mulut sebentar saja, mungkin Natalie bisa mempertimbangkan sebutan 'tampan' untuknya. Namun, tidak. Seluruh ketampanan Dietrich sudah menguap ke luar angkasa akibat kelakuan minus lelaki itu sendiri. Natalie tidak suka berdebat. Tidak diperbolehkan. Jika dia sampai terlibat sebuah perdebatan di depan umum, nama negaranya dapat tercoreng. Jadi, Nat memilih untuk tersenyum manis kepada Madame Vernoux dan balas berbisik. "Kau salah, Ma'am. Yang ini adalah bajingan berengs—maksudku, kakaknya Catherine. Bukan pacarku." Madame Vernoux memperhatikan sepasang lelaki dan perempuan itu keluar dari kedainya bersama-sama. Mereka berdua tampak belarian, bergandeng tangan menembus hujan menuju sebuah Rolls Royce berlambang T besar di kejauhan. Kemudian, senyum Madame Vernoux mengembang lebar. "Oh la laa ... kita lihat saja nanti siapa yang salah, Nak." Lalu, Madame Vernoux mulai bersenandung senang dan sibuk merapikan bunga-bunganya kembali. ♡♡♡Natalie selalu sendiri. Dia berada di urutan kedelapan tahta Monako, sedangkan dua kakak laki-laki ada di atasnya. Ibunya, anak ketiga dari raja, menikah dengan pengusaha dari kalangan rakyat jelata, dan lebih memilih agar putra-putrinya tidak menyandang gelar di depan nama.Lingkungan pergaulan Natalie terbatas. Tidak banyak yang bisa diajak benar-benar terlibat dalam sebuah pertemanan tulus di kalangan jetset. Seolah semua orang punya maksud dan tujuan masing-masing untuk mendekati Natalie.Kecuali, mungkin, keluarga Toussaint dari Belgia.Mereka sangat kaya. Darah mereka biru bahkan lebih biru daripada monarki yang kini berkuasa—meski mereka tidak lagi memiliki gelar. Toussaint dianggap sebanding. Setara. Kekuasaan mereka sungguh luas karena para wanita dalam keluarga itu selalu menikah dengan bangsawan tinggi atau minimal pemimpin sebuah keluarga.Termasuk Catherine—sahabat Natalie sejak bayi. Perempuan itu belum lama ini menikah kembali dengan mantan suami—bisakah Natalie men
Lyubova Event Organizer lumayan ramai siang itu karena Catherine Toussaint—adik Dietrich—juga datang. Kalau dia datang, suaminya pun ikut lalu jika suaminya ikut, maka satu pasukan anak buah mafia Rusia sebanyak satu tank juga akan mengikuti.Benar-benar kacau."Kalian basah kuyup." Catherine berusaha bangkit dengan susah payah. Kehamilannya memasuki trimester tiga bulan ini. Plus, perempuan cantik itu hamil bayi kembar laki-laki yang membuat perutnya membesar bagai balon."Duduk saja, Kitkat. Jangan repot-repot." Dietrich mengangkat tangannya di udara. Lelaki itu sudah melepaskan coat-nya yang basah, dan kini hanya memakai kemeja yang juga basah hingga badan atletisnya tercetak jelas di sana.Di sisi lain, Natalie aman dengan sebuah kemeja cadangan milik Dietrich yang jelas-jelas kedodoran. Well, gadis itu berhasil meminta Dietrich untuk berbalik agar ia dapat melepaskan pakaian tadi di dalam mobil.Itu adalah sebuah prestasi. Dietrich biasanya super angkuh dan paling anti menur
Toussaint adalah kutukan.Natalie sudah mengenal hampir semua orang dalam keluarga tersebut sejak kecil dan gadis itu percaya tidak ada sedikit pun keburikan pada paras semua anggota keluarga Toussaint. Ditambah lagi, mereka rata-rata memiliki otak cerdas yang lebih sering digunakan dalam kelicikan. Catherine juga Axel mungkin adalah yang paling tenang. Selain mereka berdua, Natalie tidak memiliki kesabaran lebih untuk menghadapi mereka.Terutama, Dietrich.Kapan pun lelaki itu muncul, dapat dipastikan hari Natalie bakal berakhir buruk. Seperti hari ini."Nat! Tunggu aku! Astaga, apa telingamu sudah tuli? Nat—" Tangan Dietrich telah berhasil menyambar siku Natalie. Dalam sekejap, lelaki itu membalikkan badan Nat dan berbicara dengan nada menegur yang menyebalkan. "Dengarkan jika ada yang berbicara padamu."Natalie menghela napas. Ketika mendongak, gadis itu melihat sosok wajah tampan rupawan dengan ekspresi memelas yang membuat Nat seketika mendapatkan bombastic side eye dari orang se
Dietrich bersenandung riang selama menyetir sendiri kembali ke Brussel malam itu. Paris, Brussel, dan perjalanan di antara kedua kota itu diiringi langit cerah tak berawan, meski angin berembus lumayan kencang.Dietrich selalu menyukai musim gugur. Aroma daun kering, kayu-kayuan, perapian baru, rasa panas yang mulai berganti lebih sejuk, serta sederetan long coat fashionable yang tidak setebal bahan musim dingin, tapi juga tidak setipis baju di musim panas. Semuanya terasa sangat pas.Akan tetapi, ada satu hal yang merusak kesenangannya hari ini. Ketika membuka pintu ganda menuju ruang kerja kepala keluarga, Dietrich mendapati Paman Axel berada di balik mejanya. Menduduki kursinya lalu,l ketika melihat Dietrich masuk, sang paman mengeluarkan ekspresi tidak setuju karena Dietrich pulang lumayan larut."Ada masalah yang tidak bisa ditunda hingga besok, Paman?" Dietrich melepaskan coat-nya, lalu menuangkan scotch untuk dirinya sendiri. Permasalahan apa pun, jika butuh selarut ini untuk b
Natalie pada awalnya begitu bersemangat untuk pergi liburan ke Brussel. Koper-kopernya sudah siap. Mobilnya juga hampir penuh—sebelum ibu, ayah dan kedua kakak laki-lakinya, beserta keluarga kecil mereka masing-masing, juga bergabung dengan Nat di hall depan istana milik Princess Stéphanie.Semua orang berpenampilan sangat chic, syal-syal hangat dikenakan. Tak lupa dengan scarf warna-warna merah dan cokelat di atas kepala. Plus, kacamata hitam super trendi."Mau ke mana kalian semua?" Natalie bertanya bingung.Semua orang saling berpandangan dengan alis terangkat, lalu meledak tertawa.Princess Stéphanie merangkul bahu putri bungsunya lalu tersenyum lebar, memamerkan deretan gigi-giginya yang putih mengkilap bak porselen. "Mau ke mana, katamu? Tentu saja kami ingin ikut denganmu ke Brussel! Kami juga mendapatkan tawaran liburan di kastil Toussaint. Bukan cuma kau."Natalie memaksa dirinya agar tidak meringis ngeri. "Undangan ... dari Dietrich?""Oh, bukan, Sayang. Dari kawan lamaku Ax
Ketika hari beranjak sore, Natalie mendengar pintu kamarnya diketuk pelan."Nona. Ini hampir waktunya minum teh. Apakah Anda sudah bangun? Kami bisa membantu Anda bersiap."Natalie merenggangkan tubuh, kemudian turun dari tempat tidur bertiang empat di sini dan mengenakan selop kamar. Perempuan itu beranjak ke pintu, membukanya, lalu membiarkan beberapa pelayan perempuan dari Toussaint untuk masuk."Nyonya Catherine berpesan agar kami membawakan sebaskom air es untuk menyegarkan wajah Anda." Salah satu dari mereka berujar.Yang lain ikut masuk dengan senang. "Kami juga membawakan pesan dari Tuan Julien."Oh, yang satu ini membuat Natalie mengernyit. "Julien?" Bukan Dietrich?"Oui, Mademoiselle—Ya, Nona." Salah satu pelayan menyodorkan nampan kecil, membuka tudung sajinya yang berwarna keperakan, kemudian membiarkan Natalie mengambil secarik kertas dengan tulisan cakar ayam dari sana.[Selamat sore, Nona Manis. Aku menunggu untuk mengobrol lebih banyak denganmu pada acara minum teh har
Natalie berpikir. Berpikir keras. Mengesampingkan seluruh perasaan asing menyakitkan yang menderanya, gadis cantik itu mulai mempertanyakan banyak hal. Ini adalah hidupnya. Kisah cintanya. Mengapa banyak sekali orang yang ingin ikut campur?Suasana minum teh di Toussaint begitu hangat dan seharusnya menyenangkan. Denting sendok kecil beradu dengan porselen Sevrés, aroma berbagai macam teh bercampur dengan susu dan madu, dan percakapan-percakapan ringan yang bergulir di seluruh ruangan.Namun, Natalie justru larut dalam lamunan."Nat?" Mungkin ini sudah ketiga kalinya sang mama memanggil—sebelum Natalie pada akhirnya menoleh."Oui—Ya?" Natalie membalas tatapan ibunya dengan sorot teguh tak menampilkan kerapuhan apa pun, meski jauh di dalam hati ia sedikit merasa hancur.Oke, lumayan banyak. Kehancurannya. Nat tidak tahu mengapa, tapi yang diinginkannya saat ini adalah kabur dan menangis di suatu tempat terpencil di sudut kastil atau berada di dalam perlindungan kamarnya dan tidak kelua
Natalie dan Chiara berkuda santai di sepanjang track pacuan yang berada tepat melewati ruang perjamuan minum teh. Pada saat melaluinya, kepala Natalie tidak bisa berhenti untuk menoleh—meski apa yang terjadi di dalam tidak sepenuhnya dapat terlihat dari luar."Aku akan dijodohkan dengan Julien Toussaint." Nat tidak tahan untuk tidak menyemburkan semuanya pada Chiara saat mereka berdua sudah tidak berada di jarak dengar siapa pun.Chiara menoleh. Matanya melebar. "Julien? Julien?! Bukankah dia jahil sekali? Tidak. Tidak mungkin. Kalian sama sekali tidak cocok. Dia bahkan tidak terlalu menyukaimu, Nat!"Natalie melajukan kuda milik Paman Axel pelan-pelan. "Aku tahu. Kami bahkan ... tidak berteman. Tidak sedekat itu, tapi dia memujiku cantik."Chiara menghela napas. Wajahnya mendongak ke langit seolah meminta pertolongan kepada Tuhan. "Kau memang cantik. Semua orang bisa melihatnya. Sedikit pujian dari Julien Toussaint seharusnya tidak menggoyahkanmu."Natalie mengedikkan bahu. "Aku tida
Ruang makan di kastil Toussaint pagi itu ramai sekali. Acara makan pagi kali ini diselenggarakan secara tidak formal. Bahkan, anak-anak juga diizinkan untuk ikut makan bersama."Natalie!" Catherine berseru riang saat melihat sahabat yang kini telah menjadi kakak iparnya itu memasuki ruangan. "Sini! Duduklah bersama kami! Kau juga, Dietrich!"Maka, Natalie dan Dietrich duduk bersama dengan Catherine dan keluarga kecilnya, setelah berkeliling mengucapkan salam pada meja-meja lain yang berisi para tetua."Bonjour—Selamat pagi," sapa Natalie. Wanita itu tampak cerah dengan sebuah senyuman yang sungguh menampilkan kebahagiaan.Catherine kesulitan berdiri untuk menyapa, jadi Natalie merunduk untuk mencium kedua pipi sahabatnya itu."Pagi, Nat. Apakah tidurmu nyenyak?" Catherine bertanya.Natalie melirik Dietrich. Dietrich berdeham dengan wajah merona sedikit.Natalie tergelak ringan. "Well, ya. Kami tidur nyenyak. Bagaimana denganmu?"Catherine menunjuk perutnya. "Tidak senyenyak dirimu, te
Namun, apa yang dilakukan oleh Dietrich selanjutnya justru membuat Nat semakin gelisah. Kepalanya menjadi pening dengan serbuan sensasi yang melandanya bertubi-tubi. Dietrich membisikkan kalimat-kalimat lembut yang nyaris tak terdengar di telinga Nat—di atas perut wanita itu. Sepertinya, Dietrich sedang memberikan salam pada anak mereka dan hal itu membuat Natalie begitu tersentuh hingga hampir menangis. Kemudian ciuman Dietrich bergerak semakin ke selatan menuju area kewanitaannya yang telah basah."Let me kiss you—Biarkan aku menciummu ...." ucap Dietrich di antara paha Natalie yang merapat dengan kaku. "Let me love you, Nat—Biarkan aku mencintaimu, Nat ...."Natalie terisak keras di saat Dietrich benar-benar membuka dirinya. Mulut pria itu terasa panas di bawah sana. Bibirnya lembut dan basah membelai bagian luar labia Natalie hingga kepala perempuan cantik itu terlempar ke kanan dan ke kiri.Cairan kewanitaan Natalie mengalir semakin banyak. Akan tetapi, Dietrich melakukan hal gi
Tidak ada percakapan yang terjadi saat Dietrich dan Natalie bergerak menuju kamar mereka di quartier kamar tidur anggota keluarga. Bulan yang tersamarkan oleh awan menggantung rendah di langit Belgia. Sinarnya menembus jendela-jendela kaca kuno besar di salah satu sisi koridor. Membaur layaknya cincin asap besar di kegelapan malam musim dingin.Tangan Dietrich dan Natalie saling bertaut. Sesekali mereka menoleh untuk melemparkan sebuah senyuman satu sama lain. Pipi Dietrich merah sebelah. Rahangnya terasa kaku, dan wajah Natalie masih menampakkan sisa-sisa air mata. Namun, itu semua tidak menghalangi mereka untuk berbahagia.Saat sampai di depan pintu ganda yang menghubungkan dua kamar terbesar di kastil ini, jantung Natalie mengentak cepat. Ini bukan kamar Dietrich yang dulu—jelas bukan kamar yang sama dengan kamar Dietrich yang dimasukinya diam-diam bersama Catherine di masa remaja.Kamar ini ... adalah kamar The Lord and The Lady of The House."Dietrich ...." Tangan Natalie dengan
Dietrich dan Natalie pergi ke Brussel di saat salju turun semakin tebal di akhir tahun. Para paparazzi sudah tidak tampak di sekitar apartemen Dietrich di Paris—sepertinya mereka pulang ke tempat asal masing-masing untuk liburan natal dan tahun baru. Pada saat Dietrich dan Natalie keluar dari gedung apartemen, rasanya sejuk sekali. Seolah mereka berdua baru saja menghirup udara kebebasan.Monsieur Randall mengantarkan mereka berdua menuju Charles de Gaulle. Kemudian, saat mendarat di Brussel, Paman Axel mengirimkan sebuah Rolls Royce yang mengantarkan mereka langsung menuju kastil Toussaint."Dietrich aku gugup sekali ...." Natalie berbisik pelan saat mobil yang mereka berdua tumpangi memasuki pintu gerbang kastil.Dietrich mengangguk pada sang istri. Tangannya meremas tangan Natalie pelan. "Aku juga. Tapi, jangan khawatir. Kita bisa menghadapi ini bersama-sama.""Kuharap mereka tidak terlalu marah.” Natalie balas meremas tangan suaminya.Dietrich tidak menyukai raut cemas di wajah Na
[From: Catherine To: Dietrich Kami semua sudah kembali ke Brussel. Pulanglah, Di, dan bawa istrimu ke rumah. Tunggu. Kau benar-benar sudah menikah dengan Nat?]Dietrich mendapatkan pesan tersebut beberapa hari kemudian. Dia dan Natalie sudah tinggal cukup lama—bersembunyi, meski tempat persembunyian itu tidak dapat dikatakan terpencil—dari semua hal yang memusingkan. Keduanya mematikan ponsel selama berhari-hari. Pun dengan sengaja tidak menyalakan ponsel dan tidak keluar dari apartemen untuk menghindari para pencari berita.Saat dirasa seluruh kontroversi sudah mulai mereda, Dietrich baru membuka ponsel dan menemukan pesan dari sang adik.Jemari lelaki itu dengan cepat mengetikkan balasan.[To: Catherine From: Dietrich Ya. Aku sudah menikah dengan Nat. Apakah Kakek marah besar? Bagaimana dengan suamimu? Kennedy sekarang memusuhi kita? Lalu ... apakah Bibi Stéphanie murka?]Balasan Catherine datang dengan agak terlalu cepat.[From: Catherine To: Dietrich Kakek, Papa, Paman
Natalie tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi di sini, tetapi saat membuka mata dan melihat Dietrich yang tertidur pulas setelah penerbangan panjang belasan jam menuju Paris, perempuan itu baru sadar bahwa dia sekarang sudah menikah. Ini sudah hampir 24 jam berlalu, tetapi Natalie masih belum menyangka bahwa dirinya sekarang sudah berstatus menjadi istri pria yang sejak dulu ia impikan ini.Dia sedang mengandung anak dari Dietrich.Masa depan memang sebuah misteri, tetapi apa yang akhir-akhir ini terjadi benar-benar menjungkirbalikkan dunia Natalie tanpa sisa.Pun tentang pernyataan cinta Dietrich .... Entahlah. Natalie tidak bisa berpikir jernih sekarang. Wanita itu menggigit bibir. Ia ingin memercayai suaminya. Namun, rasanya benar-benar sulit. Benarkah Dietrich merasakan hal yang sama untuknya? Atau ... pria itu hanya ingin sekadar menenangkan dan memaksanya masuk ke dalam jurang pernikahan yang sama-sama tidak mereka inginkan pada awalnya?"Hei, kau tidak tidur?" Suara parau khas
Dietrich merasa was-was. “Jangan bilang kau merasa ragu? Kau tidak bisa meninggalkanku di altar, Nat ….”Natalie menelan ludah dan menghindari tatapan Dietrich. “Nat, Pastor Ryan sudah menunggu kita. Dia hampir membeku kedinginan,” ucap Dietrich dengan keputusasaan. “Jangan lakukan ini padaku. Kumohon padamu ….” Natalie menghela napas. Ketika mendongak, matanya berkaca-kaca. “Aku tidak ingin kau menyesal, Dietrich kau bahkan … tidak mencintaiku.” Air mata Natalie menetes. Lalu, tetesan itu berubah menjadi deras. Dietrich tertegun. “Siapa yang mengatakan itu padamu?” Natalie menggeleng cepat. “Bukan siapa yang mengatakan apa. Ini adalah tentang kau tidak mengatakan apa-apa.” Dietrich memandang Natalie tak percaya. “Apakah kau tidak bisa melihat bahwa seumur hidupku, orang yang paling kupedulikan adalah kau? Tidak bisakah kau merasakan bahwa aku menc—“ “Cukup. Jangan membohongi kita berdua, Di. Kau sendiri yang mengatakan bahwa cinta itu omong kosong? Kau tidak mencintaiku. Tidak
Tak lebih dari dua jam kemudian, Natalie dan Dietrich sudah duduk di sebuah penerbangan first class menuju Nevada. Keduanya cekikikan bersama-sama. Meski para pramugari sedang menuangkan anggur—untuk Dietrich dan jus untuk Natalie, mereka berdua tidak bisa berhenti tertawa."Apakah kau bisa membayangkan raut wajah Vladimir saat kita kabur?" Dietrich tertawa tengil. "Malam ini agak gelap. Aku tidak bisa melihatnya dengan jelas, tetapi aku bisa membayangkannya."Natalie tertawa lagi. "Kau benar-benar nakal, kau tahu?" Dietrich mencolek hidung Natalie sekilas. "Coba tebak, karena siapa aku jadi begini?" Natalie menepuk dada Dietrich main-main. Kebahagiaan membuncah di dadanya. Sebentar lagi. Hanya tinggal sebentar lagi mereka berstatus sebagai suami istri.Seharusnya Natalie malu. Dia bukan hanya mendobrak tradisi agung pernikahan keluarga kerajaan, tetapi juga menurunkan standar pernikahan ke posisi paling bawah. Pernikahan drive-thru. Sekarang bukan hanya makanan cepat saji saja yang
Dietrich mendekatkan wajahnya, memosisikan bibir Natalie sehingga bertaut dengannya. Lidahnya menyusuri bibir manis beraroma mint milik Natalie. Napas Natalie terengah ketika Dietrich menekan lidahnya lebih dalam menjelajahi mulut Natalie. Sedikit terburu-buru didesak hasrat, Dietrich tak bisa menahannya lagi. Natalie adalah miliknya dan ia sudah menginginkan Nat sejak lama. Tubuh Natalie dengan mudah dikuasainya. Tangan Dietrich menurun ke pundak Nat, membelai kulit halus yang terbuka itu. Dietrich menyesap sisi leher Natalie—yang seketika membuat desah wanita cantik itu terlontar begitu saja. Kemudian, si presdir tampan mencium dan menenggelamkan wajahnya di leher Natalie. Suara ciuman yang menggelora berhenti sejenak. Dietrich melepaskan dan menatap wajah Natalie yang sudah memerah. Sementara itu, sorot mata Natalie tampak sayu sekaligus bergairah. Sial. Bagaimana Dietrich dapat berhenti sekarang? Miliknya yang mengeras bergesekan dengan milik Natalie yang terasa basah. Dietr