"Coba tebak, aku punya apa buat cewek cantik yang lagi ulang tahun hari ini?"
Anin sudah ingin berteriak saat merasakan sepasang tangan yang tiba-tiba menutup kedua matanya dari arah belakang. Namun, ketika mendengar suara yang sudah sangat ia kenali, gadis itu beralih memukul pelan tangan pelaku yang menutup matanya. "Apa sih, Vi? Nggak lucu tahu!" cetus Anin sembari melepas tangan sahabatnya, Viona. Viona tersenyum jenaka. "Anin pagi-pagi gini udah sewot aja. Lagi datang bulan, ya?" Tidak mendapat jawaban dari Anin, Viona memutuskan untuk mengeluarkan sebuah kotak berbentuk sedang dari tasnya, lalu mengulurkannya pada Anin. "Nih, kado buat Anin! Jangan bete gitu dong, nanti cowok-cowok pada kabur!" Anin melirik kado yang diulurkan oleh Viona, lalu menghela napas pelan. Benar, ada apa dengan dirinya hari ini? Suasana hatinya sungguh tidak jelas. Sepertinya memang ia akan segera datang bulan. Perasaan bersalah segera menghampiri Anin karena bersikap ketus pada sahabat yang telah menyiapkan kado untuk ulang tahunnya. "Huhuu ... maaf, Vi. Kayaknya aku mau datang bulan. Aku pasti ngeselin ya? Maaf banget." Anin memeluk Viona, yang membuat sahabatnya itu tertawa cukup keras. "Nggak apa-apa, ah. Aku ngerti, kok." "Apa nih?" Kegiatan Anin dan Viona terganggu oleh kedatangan seorang gadis berambut sebahu dengan dandanan yang cukup tebal untuk ukuran mahasiswi. Viona langsung memasang wajah ketus saat menyadari bahwa itu adalah Karen, anak salah satu dekan yang terkenal akan kesombongannya. Apalagi saat Karen langsung mengambil kado untuk Anin dari tangannya, ia ingin sekali menjambak rambut yang diwarnai dengan cat merah maroon itu. "Ini kado?" Karen tertawa pelan. "Norak banget." Viona membulatkan mata. "Maksud kamu apa?!" Karen mengangkat bahu. Tidak mengindahkan aura permusuhan yang terpancar dari raut wajah Viona. "Hari gini mana ada orang ngerayain ulang tahun pake kado-kadoan gini? Ups, sorry. Gue lupa lo cuma cewek cupu yang kemarin nangis-nangis abis ditolak Rian sepupu gue." Viona menipiskan bibirnya menahan emosi saat Karen mengungkit perasaannya yang ditolak oleh Rian. "Apa kamu bilang? Aku nggak--" "Vi, udah. Kita ngalah aja, ya?" Anin mencoba menenangkan Viona. Jika tidak, gadis itu akan terkena masalah karena meladeni orang semacam Karen. "Oh, dan lo." Karen tersenyum sinis pada Anin. "Cewek yang ditaksir sama Rian. Drama banget ya? Yang satunya suka tapi ditolak sama sepupu gue, karena Rian malah lebih suka sama yang satunya lagi. Heran, padahal kalian sama aja tuh. Sama-sama cupu." Viona menggebrak meja pada kursi yang didudukinya. "Apa sih, mau kamu? Kalo mau berantem, sini satu lawan satu! Beraninya cuma adu mulut doang, dasar nenek lampir!" Emosi Karen sepertinya turut tersulut mendengar hinaan Viona. "Berantem sama lo? Haha! Sorry, kita nggak selevel." "Oh, iya. Kita emang nggak selevel. Kamu level nenek lampir, aku manusia. Manusia kan nggak bisa berantem sama nenek nenek lampir!" Viona menarik tangan Anin, yang hanya bisa pasrah mengikutinya. "Ayo, Anin. Kita bisa ketularan virus nenek lampir kalo diem di sini sama dia." Karen benar-benar tidak bisa menerima dirinya dipermalukan seperti ini. Ia melangkah cepat dan berhenti di depan Viona maupun Anin. "Kalo lo mau buktiin kalo lo emang nggak cupu, dateng ke pembukaan club punya om gue nanti malem." Karen dengan cepat menyodorkan sebuah kartu undangan. "Kita nggak datang ke tempat kayak gitu," sahut Viona dengan nada ketus. Karen bersedekap dada. "Itu berarti kalian emang cupu." "Terserah! Siapa juga yang mau dateng ke tempat kayak gitu cuma karena dikatain sama kamu? Ogah!" Viona kembali menarik tangan Anin dan berjalan mendahului Karen. Namun, tepat di ambang pintu, ia menghentikan langkahnya mendengar kalimat yang keluar dari mulut Karen. "Rian juga bakal dateng." Karen tersenyum sinis, sadar ucapannya mampu menghentikam Viona. "Gue mau liat, sesetia apa hubungan persahabatan kalian, kalo lo suka sama cowok yang malah lebih suka sama temen lo?" Karen membalikkan tubuh, berhadapan dengan punggung Viona yang berdiri tegang di depannya. "Atau jangan-jangan, lo pura-pura baik di depan Anin cuma biar bisa deket sama sepupu gue?" Anin berdiri gelisah di samping Viona yang nampak tengah berusaha melewati dua pria yang sejak tadi tidak mengizinkan mereka melewati pintu masuk. Ya, mau tak mau, Anin terpaksa harus mengikuti Viona yang kukuh ingin menyanggupi tantangan Karen untuk mendatangi club yang katanya mengadakan pesta pembukaan pada malam ini. "Kenapa kalian nggak biarin kita masuk? Jelas-jelas kita punya kartu undangan, kok!" Salah satu pria yang nampak paling sangar melirik Anin, lalu menunjuk gadis itu dan berkata, "Tidak ada tamu undangan yang memakai pakaian seperti dia." Viona turut memandang Anin, lalu menepuk keningnya sendiri. "Aku kan udah bilang, Anin. Mana ada orang masuk ke club pake cardigan gitu? Lepas, ayo!" Anin menggeleng cepat. "Baju yang kamu kasih kayaknya terlalu pendek, Vi. Aku nggak suka." "Ya masa aku kasih kamu baju tidur? Ayo dong, Anin. Kali ini aja. Lagian, di dalam juga gelap kok." Viona mencoba meyakinkan. Apalagi, sekarang ia merasa mereka terlihat seperti orang bodoh di mana semua orang bisa langsung diberi akses untuk masuk kecuali mereka berdua. "Tapi ...." Viona meraih tangan Anin, memandangnya dengan tatapan meyakinkan. "Aku janji, kita cuma masuk sebentar terus pulang. Abis nabok Karen pake fakta kalo kita nggak kayak yang dia bilang, kita langsung pulang." Anin menghela napas pasrah. Mau bagaimana lagi? Ia tidak yakin Viona akan menyerah dengan tekadnya jika ia terus menolak. Yang ada malah mereka akan berdiri terus di tempat yang sama hingga pagi datang. Memilih mengalah, Anin perlahan melepas cardigan yang membungkus pakaiannya dari luar. Setelah kain itu terlepas, terlihat Anin hanya mengenakan baju ketat model sabrina dengan panjang yang jauh di atas lutut. Viona tersenyum puas melihatnya, lalu kembali menoleh pada petugas keamanan yang berjaga di depan pintu club. "Sekarang kita boleh masuk, kan?" Ternyata, pria yang tadi mengoreksi baju Anin malah menggeleng. "Kalian seperti gadis hilang yang baru datang ke tempat seperti ini. Untuk menghindari masalah, maaf, kalian tidak boleh masuk." Viona melongo tak percaya. "Ih! Kamu ada masalah apa sih, sama kita?! Ngeselin banget!" "Udah, Vi. Kita pulang aja, yuk. Lagian Karen pasti cuma bercanda, kok." Anin meraih lengan Viona. Sahabatnya yang satu ini memang sulit mengendalikan emosi dalam hal apa pun. Jika mau, bisa saja Viona mengajak dua pria yang menghalangi mereka memasuki club untuk adu panco sekarang juga. Sekalipun Viona memiliki 0,01% kemungkinan untuk menang. "Kalian dateng juga ternyata." Suara yang datang dari dalam itu membuat Viona langsung memasang wajah masam. Sedang Karen hanya tersenyum kecil karena tahu suara perdebatan yang ia dengar ketika ingin keluar untuk mengangkat telepon berasal dari kedua teman sekampus di depannya itu. Karen tidak salah mengundang mereka. Malam ini ia pasti akan menyaksikan hiburan yang sangat menyenangkan. "Pak, biarin mereka masuk!" Hah? Apa Anin tidak salah dengar?Belum sempat memproses, Viona dan Anin kini berjalan berdampingan di belakang Karen. Mata kedua gadis itu tidak terlepas memperhatikan suasana club dengan pencahayaan minim serta suara musik yang memekakkan telinga. Di tengah ruangan, ada begitu banyak pasang kaki yang menari mengikuti alunan musik. Bahkan, Anin sesekali bersenggolan dengan entah itu lelaki atau perempuan, yang membuatnya kian berkeringat dingin karena perasaan tidak nyaman. "Om Viona pasti kaya banget sampe bisa punya club kayak gini ya, Nin." Sementara itu, Viona malah asik sendiri mengomentari kekayaan orang lain. Lalu, gadis itu tertawa kecil. "Om kamu kan, juga kaya, ya. Aku lupa." Anin sama sekali tidak berniat menanggapi candaan Viona. Sekarang, mereka berdua berhenti melangkah begitu Karen berhenti pada sebuah meja di mana dua orang perempuan yang adalah teman-teman Karen telah duduk pada salah satu sofa di sana. "Guys, gue bawa dua tamu lagi, nih! Buat yang belum kenal, kenalan aja, ok?" Mereka hanya mele
Devan berjalan dengan kedua tangan yang dimasukkan ke dalam saku celana sembari tatapannya mengamati setiap sudut tempat dirinya berada. Pencahayaan minim tak membuatnya sulit mengenali sebuah punggung yang terlihat asik menyandarkan diri di salah satu kursi pada meja bartender. Ketika jarak mereka sudah lumayan dekat, Devan berujar ringan, "Kamu sepertinya bosan bermain saham sampai beralih ke usaha bar, Mic." Pria yang mendengar sindiran halus dari Devan itu terkekeh pelan sebelum berbalik pada sahabatnya. "Bro!" Devan tidak menolak pria itu yang memeluk bahunya dengan hangat, hal yang terhitung jarang ia lakukan karena merasa tidak begitu dekat dengan orang-orang di sekelilingnya. Kecuali dengan pria yang tengah tersenyum lebar padanya ini, Devan enggan memiliki hubungan yang terhitung dekat dengan orang lain. Michael, pria itu adalah sahabat Devan sejak masa kuliah. Ketika ia memutuskan menetap di Aussie untuk mengurus bisnis perusahaan di luar negeri, sahabatnya itu memilih pu
"Memangnya kenapa? Itu hal yang wajar, mereka juga nggak ngapa-ngapain aku. Om, tolong ngertiin kondisi aku sekali aja. Apa nggak bisa aku ngabisin waktu sesekali sama temen-temen aku?" Mendengar itu, Devan tertawa sinis. "Menghabiskan waktu dengan minum-minum? Anindya, usia kamu baru mencapai 20 tahun dan kamu sudah berlagak sedewasa itu. Kamu masih seorang mahasiswa, apa wajar melihat seorang gadis terpelajar ada di club malam dengan pakaian minim? Kamu mau jadi pelacur?" Napas Devan memburu usai menyelesaikan kalimat panjangnya. Namun, sesaat kemudian ia menoleh pada Anin karena tak mendapati tanggapan dari gadis itu. "Sial." Devan mengumpat pelan, ketika mendapati Anin mengalihkan pandangan darinya dengan mata berkaca-kaca. Ia sepertinya terlalu terbawa emosi. Devan menghentikan mobilnya di tepi jalan, lalu menghela napas. "Anindya, maaf. Om tidak bermaksud berkata seperti itu." Devan masih tidak mendapat tanggapan dari Anin, gadis itu menghindari tatapannya dengan menghadap k
Devan mengangkat alis, belum juga menjauhkan wajah mereka yang hanya berjarak beberapa senti. "Perlu Om perlihatkan apa akibatnya jika kita berciuman seperti tadi?" Anin menggeleng kaku. "Ng-nggak, Om. Aku ngerti. Yang aku lakuin tadi memang salah dan ... m-maaf, aku nggak akan lakuin hal kayak gitu lagi." "Apa maksud kamu?" Tatapan Devan berubah tajam. "Kamu menyesali ciuman itu?" Anin mengangguk ragu. Devan marah atas tindakannya tadi dan tentu saja Anin sangat menyesalinya, kan? Hanya saja, Devan justru berdecak kesal! Bagaimana tidak? Melihat raut wajah Anin, Devan yakin gadis itu tak mengerti dengan perkataannya sejak tadi. Mengapa Anin sungguh membuatnya nyaris gila malam ini? "Bersihkan tubuh kamu dan langsung tidur. Kita berangkat bersama besok pagi." Pria itu menjauhkan dirinya dari Anin setelah berkata demikian. "Iya, Om," sahut Anin pelan. Akan tetapi, di saat gadis itu sudah hendak berbalik memunggungi Devan, pria itu ternyata masih hendak mengucapkan sesu
Kantin terlihat ramai ketika Anin dan Viona berjalan beriringan mencari meja lalu menemukan satu yang baru saja ditinggalkan oleh tiga orang mahasiswi. Mereka duduk dan menunggu pesanan diantarkan ke meja tersebut. Namun, Anin merasa tidak tahan melihat wajah Viona yang sejak tadi seperti sibuk memikirkan sesuatu. "Vi, kamu ada masalah?" tanya Anin tanpa basa-basi, sedang Viona di depannya memasang raut bertanya. "Maksud kamu?" "Kamu dari tadi kayak mikirin sesuatu. Kalau ada masalah, cerita sama aku, Vi." Viona meringis kecil. Ia sebenarnya tidak memiliki masalah apa pun. Hanya saja, ada satu hal yang sejak tadi mengganggu pikirannya. "Ehm, Anin," panggil Viona. "Semalem itu, kamu tahu siapa yang nganterin aku pulang?" Anin sejenak mengingat-ingat, siapa yang mengantar Viona pulang dari club tadi malam. "Oh! Om Devan minta tolong ke Om Michael buat anter kamu pulang." "Emangnya kenapa? Om Michael beneran anter kamu pulang, kan?" Oh, jadi namanya Michael? batin Viona. Gadis itu
Viona menggeleng cepat. Astaga, ia bahkan langsung lari secepat kilat untuk menjauh dari kungkungan pria yang rupanya memang adalah teman dari Devan. Lagipula, siapa juga yang tidak merasa takut jika berada di dekat pria asing yang suka mengintimidasi itu! "Kamu kenapa sih, Vi? Om Michael beneran anter kamu pulang, 'kan?" Viona tersadar dengan lamunannya mengenai kejadian tadi pagi mendengar pertanyaan Anin. Ia menggigit kecil bibirnya, bingung harus mengatakan yang sejujurnya atau tidak. "Ehm, sebenernya ...." Ting! Suara notifikasi yang datang dari ponsel milik Anin di atas meja membuat Viona lantas menghela napas lega, karena sahabatnya itu langsung mengalihkan fokus darinya. [Om Devan] Kamu sudah pulang? Anin bergerak gelisah di tempatnya duduk sambil memandangi pesan dari Devan. Omnya itu serius sekali ingin mengajaknya pergi berbelanja. Tuhan, Anin sama sekali tidak bisa membayangkan betapa canggungnya berjalan bersama Devan nanti. "Aku udah nggak ada kelas, ni
Anin mengerutkan dahi. Apa maksud pesan dari omnya itu? "Anin? Kamu nggak apa-apa?" "Oh?" Anin melepas tatapannya yang terpaku pada pesan aneh dari Devan. "Rian, maaf. Aku lupa udah punya janji. Kita bicara lain kali, ya?" Tanpa menunggu tanggapan Rian, Anin bergegas berdiri dari duduknya lalu berjalan pergi secepat mungkin. Ia baru bisa bernapas lega setelah menginjak halte bus di dekat cafe. Padahal, ia sama sekali tidak melakukan kesalahan apa pun. Namun, Anin sama sekali tidak bisa mengorbankan persahabatannya dengan Viona hanya karena masalah sesepele memperebutkan seorang lelaki. Toh, Anin tidak memiliki perasaan apa pun pada Rian. "Viona pasti udah pulang. Aku pesen taksi aja, deh," gumam Anin. Sesaat sebelum Anin berhasil memesan taksi online, sebuah mobil sedang berwarna putih yang sangat ia kenali melaju dan berhenti tepat di depannya. Di dalam sana, di balik kaca mobil yang tidak sepenuhnya tertutup itu, dapat dilihatnya Devan yang tengah duduk dengan raut wajah
Anin memukul dada Devan cukup keras usai tersadar dari keterkejutannya karena serangan tak terduga omnya itu. Sungguh, ia benar-benar tidak menyangka Devan akan berakhir menciumnya dengan cukup kasar dan terburu-buru. "Mmhhhhp ... O-om, lepas!" Anin terengah-engah setelah Devan melepaskan ciuman mereka. Mata gadis itu berkaca-kaca, memandang Devan tak habis pikir. "Om gila?!" Masih dengan jarak wajah mereka yang begitu dekat, Devan tersenyum miring. "Kamu juga melakukan itu tadi malam." "T-tapi, aku ...." Anin gagap, tidak tahu harus berkata apa. Memang benar dirinya yang lebih dulu mencium Devan tadi malam, tetapi bukan berarti Devan harus membalasnya dengan tindakan yang sama! "Kamu tidak mau keluar?" Saat mendongak, ternyata Devan sudah berada di luar mobil. Anin hanya bisa membuang napas pasrah, tanpa sepatah kata bergegas keluar dari mobil dan berjalan mengikuti langkah Devan memasuki pusat perbelanjaan. Mereka memasuki salah satu toko dengan label yang cukup terkena