"Om akan langsung kembali ke kantor setelah mengantar kamu pulang." Anin tidak membalas perkataan Devan, ia melarikan tatapannya ke arah jalanan dan gedung-gedung tinggi yang mereka lalui untuk kembali ke apartemen. "Kamu ingin mampir membeli sesuatu? Om lihat kita sudah kekurangan bahan masakan di kulkas," ucap Devan sekali lagi, berharap bisa mendapatkan respon dari Anin. Sejak meninggalkan pusat perbelanjaan hingga kini Anin masih belum mau membuka mulut. Ini salah Devan yang malah mendiamkan pertanyaan gadis itu saat di toko tadi. "Aku bisa masak mi instan," sahut Anin singkat. "Mi instan tidak baik untuk kesehatan, Anindya," balas Devan, sedikit senang Anin akhirnya mau bicara. "Kita mampir ke supermarket sebentar." Kali ini, Anin menolehkan kepalanya pada Devan yang masih sibuk menyetir. "Om nggak sibuk?" "Kenapa kamu bertanya?" "Sibuk atau nggak?" Anin mengulangi pertanyaannya. "Tidak, Anindya." Devan menjawab pasrah. "Om hari ini tidak sibuk, hanya ingin kemb
"Selina, tolong lepas. Di sini banyak orang." Devan melepaskan diri dari pelukan wanita itu yang membuatnya merasa tidak nyaman. Apalagi, oramg yang berlalu lalang turut memandang mereka dengan tatapan aneh. "Oh." Selina yang tersadar akan tindakannya mengambil langkah mundur dari Devan. "Maaf, Dev. Aku cuma merasa senang kita bisa ketemu di sini. Kamu apa kabar?" "Kabarku baik," jawab Devan singkat. Ia melirik Anin, takut gadis itu merasa bosan berada di situasi ini. "Kami harus ke kasir." Devan meraih satu tangan Anin dan menggenggamnya, sedang tangan yang lain kembali meraih keranjang. Tindakan Devan itu membuat Selina menyadari keberadaan Anin. Senyum seketika luntur dari wajahnya. "Oh, aku tadi hampir aja nabrak kamu. Maaf, ya," ujar Selina pada Anin. Anin hanya menggeleng singkat. "Aku juga nggak liat jalan, bukan salah kamu, kok." Selina tersenyum manis. Matanya diam-diam meneliti penampilan Anin, yang nampak seperti remaja karena tubuhnya yang tidak begitu tinggi
Devan meneguk ludah kasar sembari kedua tangannya berusaha memasangkan kancing gaun Anin. Jakunnya naik turun menyaksikan punggung mulus keponakannya itu yang hampir terekspos sepenuhnya. Begitu pula dengan Anin. Ada gelenyar aneh yang ia rasakan setiap tangan Devan tanpa sengaja bersentuhan dengan kulitnya. Apalagi, posisi pria itu yang berada terlalu dekat dengan tubuh bagian belakangnya. "Ud-udah belum, Om?" tanya Anin karena Devan tidak beranjak dari belakangnya meski ia merasa kancing terakhir sudah terpasang. Devan berdehem pelan, berjalan untuk menjauhkan tubuhnya. "Ambil tas kamu, Om tunggu di mobil." Setelahnya, Devan berjalan pergi tanpa meninggalkan Anin yang belum berbalik. Gadis itu menekan dadanya yang berdebar keras, bertanya-tanya ada apa dengan dirinya? *** Rumah Opa Sandy terletak di kawasan yang cukup asri. Karena itulah, tidak ada anggota keluarga yang menolak acara dilakukan di sana. Halaman belakang bisa memuat beberapa meja dan kursi untuk seluruh an
"Dewi, jangan keterlaluan." Sandy, yang terlihat sudah cukup tua dengan uban di beberapa helai rambutnya, memilih angkat bicara menengahi adu mulut di antara keluarganya. "Kamu sudah sangat dewasa untuk bisa memilah mana perkataan yang pantas diucapkan. Banyak anak-anak di sini, ucapan kamu bisa saja menodai otak polos mereka," ujar Sandy menasihati. Dewi menunduk pada Sandy. "Maaf, Om. Aku cuma terbawa suasana." "Ucapan Dewi ada benarnya, Pa," ungkap seorang wanita yang duduk di samping Sandy. Itu adalah Miranda, ibu dari kedua orang tua Anin. "Kalau bukan karena kehadiran dia, putriku pasti bisa menggapai semua cita-citanya. Dia dan keluarga pria itu hanya bisa memberi penderitaan pada Nindia," lanjut Miranda, yang mampu memanaskan suasana yang semula telah membaik. "Miranda! Jaga ucapan kamu. Sudah sepantasnya kamu yang menjadi penengah untuk masalah di keluarga ini!" tandas Sandy. Miranda menipiskan bibirnya, kesal. "Bela saja dia terus, Pa! Kamu emang nggak pernah
"Om mau berangkat sekarang?" Anindya Jenaya, gadis bertubuh mungil itu mendongak pada seorang pria dengan setelan jas rapi yang jauh lebih tinggi darinya. Ia dan pria itu—Devano Wijaya atau akrab ia panggil Om Devan, tengah berada di ruang makan untuk sarapan. Hal yang akhir-akhir ini jarang mereka lakukan karena entah mengapa, Devan jadi selalu berangkat lebih pagi dari biasanya. "Kenapa?" sahut Devan dengan suara dingin. Hal itu membuat Anin sedikit gugup dan ragu hendak mengatakan maksudnya. "Aku ... ehm, motor aku rusak, Om. Karena kantor Om Devan sama kampus aku searah, boleh nggak, aku berangkat sama Om aja?" Anin memberanikan dirinya bertanya. Sambil menunggu tanggapan Devan, ia bergerak gelisah di tempatnya berdiri. Rasanya sudah lama ia tidak berbicara dengan pria itu. Seperti ada sekat tak kasat mata yang membatasi dirinya berdekatan dengan Devan. Bukan tanpa alasan, ia hanya merasa omnya itu seperti tengah menjaga jarak darinya. "Boleh." Mendengar itu, Anin langs
"Coba tebak, aku punya apa buat cewek cantik yang lagi ulang tahun hari ini?" Anin sudah ingin berteriak saat merasakan sepasang tangan yang tiba-tiba menutup kedua matanya dari arah belakang. Namun, ketika mendengar suara yang sudah sangat ia kenali, gadis itu beralih memukul pelan tangan pelaku yang menutup matanya. "Apa sih, Vi? Nggak lucu tahu!" cetus Anin sembari melepas tangan sahabatnya, Viona. Viona tersenyum jenaka. "Anin pagi-pagi gini udah sewot aja. Lagi datang bulan, ya?" Tidak mendapat jawaban dari Anin, Viona memutuskan untuk mengeluarkan sebuah kotak berbentuk sedang dari tasnya, lalu mengulurkannya pada Anin. "Nih, kado buat Anin! Jangan bete gitu dong, nanti cowok-cowok pada kabur!" Anin melirik kado yang diulurkan oleh Viona, lalu menghela napas pelan. Benar, ada apa dengan dirinya hari ini? Suasana hatinya sungguh tidak jelas. Sepertinya memang ia akan segera datang bulan. Perasaan bersalah segera menghampiri Anin karena bersikap ketus pada sahabat yang telah m
Belum sempat memproses, Viona dan Anin kini berjalan berdampingan di belakang Karen. Mata kedua gadis itu tidak terlepas memperhatikan suasana club dengan pencahayaan minim serta suara musik yang memekakkan telinga. Di tengah ruangan, ada begitu banyak pasang kaki yang menari mengikuti alunan musik. Bahkan, Anin sesekali bersenggolan dengan entah itu lelaki atau perempuan, yang membuatnya kian berkeringat dingin karena perasaan tidak nyaman. "Om Viona pasti kaya banget sampe bisa punya club kayak gini ya, Nin." Sementara itu, Viona malah asik sendiri mengomentari kekayaan orang lain. Lalu, gadis itu tertawa kecil. "Om kamu kan, juga kaya, ya. Aku lupa." Anin sama sekali tidak berniat menanggapi candaan Viona. Sekarang, mereka berdua berhenti melangkah begitu Karen berhenti pada sebuah meja di mana dua orang perempuan yang adalah teman-teman Karen telah duduk pada salah satu sofa di sana. "Guys, gue bawa dua tamu lagi, nih! Buat yang belum kenal, kenalan aja, ok?" Mereka hanya mele
Devan berjalan dengan kedua tangan yang dimasukkan ke dalam saku celana sembari tatapannya mengamati setiap sudut tempat dirinya berada. Pencahayaan minim tak membuatnya sulit mengenali sebuah punggung yang terlihat asik menyandarkan diri di salah satu kursi pada meja bartender. Ketika jarak mereka sudah lumayan dekat, Devan berujar ringan, "Kamu sepertinya bosan bermain saham sampai beralih ke usaha bar, Mic." Pria yang mendengar sindiran halus dari Devan itu terkekeh pelan sebelum berbalik pada sahabatnya. "Bro!" Devan tidak menolak pria itu yang memeluk bahunya dengan hangat, hal yang terhitung jarang ia lakukan karena merasa tidak begitu dekat dengan orang-orang di sekelilingnya. Kecuali dengan pria yang tengah tersenyum lebar padanya ini, Devan enggan memiliki hubungan yang terhitung dekat dengan orang lain. Michael, pria itu adalah sahabat Devan sejak masa kuliah. Ketika ia memutuskan menetap di Aussie untuk mengurus bisnis perusahaan di luar negeri, sahabatnya itu memilih pu