Share

Hasrat Panas Paman Dingin
Hasrat Panas Paman Dingin
Penulis: Nocturnal

BAB 1

"Om mau berangkat sekarang?"

Anindya Jenaya, gadis bertubuh mungil itu mendongak pada seorang pria dengan setelan jas rapi yang jauh lebih tinggi darinya. Ia dan pria itu—Devano Wijaya atau akrab ia panggil Om Devan, tengah berada di ruang makan untuk sarapan. Hal yang akhir-akhir ini jarang mereka lakukan karena entah mengapa, Devan jadi selalu berangkat lebih pagi dari biasanya.

"Kenapa?" sahut Devan dengan suara dingin. Hal itu membuat Anin sedikit gugup dan ragu hendak mengatakan maksudnya.

"Aku ... ehm, motor aku rusak, Om. Karena kantor Om Devan sama kampus aku searah, boleh nggak, aku berangkat sama Om aja?" Anin memberanikan dirinya bertanya. Sambil menunggu tanggapan Devan, ia bergerak gelisah di tempatnya berdiri.

Rasanya sudah lama ia tidak berbicara dengan pria itu. Seperti ada sekat tak kasat mata yang membatasi dirinya berdekatan dengan Devan. Bukan tanpa alasan, ia hanya merasa omnya itu seperti tengah menjaga jarak darinya.

"Boleh."

Mendengar itu, Anin langsung tersenyum senang. Devan ternyata langsung setuju tak seperti kemarin-kemarin! Gadis itu lantas berjalan di belakang sang paman dengan perasaan ringan.

Jujur, dia sungguh rindu.

Dulu, berangkat bersama Devan adalah hal biasa, apalagi saat dirinya masih SMA, dan ia baru tinggal bersama Devan. Pria itu selalu mengantarnya ke sekolah karena ia belum pandai mengendarai motor.

Devan adalah malaikat yang dikirim oleh orang tuanya dari surga. Dia akan selalu berusaha menghibur Andidya kala teringat almarhum orangtuanya. Entah dengan memberi permen atau boneka--yang sejujurnya sudah tidak cocok untuk seorang gadis berusia 15 tahun. Namun, Anin merasa senang berada di dekat Devan.

Hanya saja, kini Devan seolah bukan dirinya yang dulu lagi.

Apa pria itu telah sadar bahwa Anin hanyalah keponakan yang telah menyusahkannya selama ini?

"Kamu kepanasan?"

Suara berat dan datar itu membuat Anin tersadar dari lamunan panjangnya.

"Uh?" Ia segera menggeleng pelan. "Nggak, Om. Anin baik-baik aja."

Devan menoleh sekilas. "Kamu dari tadi duduknya gelisah, apa kamu tidak nyaman?"

Anin tersenyum paksa. Mana mungkin ia mengaku bahwa duduk dalam keheningan bersama Devan membuatnya gugup sekaligus gelisah? "Nggak, Om. Anin cuma takut telat aja, hari ini yang masuk dosen killer."

Devan mengangguk mengerti. Kemudian, sisa perjalanan mereka kembali diisi oleh keheningan hingga kemudian mobil berhenti di depan kampus Anin.

"Aku masuk dulu, ya, Om. Makasih tumpangannya." Anin tersenyum manis. Namun, tangannya yang hendak melepaskan seatbelt urung ketika mendengar ucapan Devan.

"Anindya, tunggu!"

Anin mengerutkan dahi. Namun, ia diam saja memperhatikan Devan yang merogoh saku jasnya, lalu mengeluarkan sebuah kotak beludru berwarna biru tua.

"Hari ini ulang tahun kamu."

Devan menyodorkan kotak itu, yang diterima oleh Anin dengan perasaan ragu. Ini hari ulang tahunnya? Anin tidak ingat sama sekali. Ia juga tidak mengangka Devan akan memberikan hadiah seperti ini.

Setelah dibuka, kotak itu ternyata berisi sebuah kalung dengan liontin batu permata yang indah. Anin terpana melihatnya.

"M-makasih, Om. Aku suka hadiahnya." Anin hampir tidak bisa berkata-kata. Namun, ia tetap harus mengucapkan kata terima kasihnya pada Devan.

Apakah ini pertanda bahwa hubungan mereka akan membaik? Karena sejujurnya, Anin berharap Devan kembali seperti dulu, yang meski terkesan dingin, akan selalu memperhatikan hal-hal kecil yang terjadi pada Anin.

Devan mengangguk sekali. "Bagus kalau kamu suka hadiahnya."

Setelah itu, Anin pamit pergi dan berjalan memasuki kampusnya.

Hanya saja, gadis itu tak sadar jika Devan menghela napas berat setelah dirinya menghilang di balik tembok.

"Arrrrgh!" Devan berteriak frustrasi.

Apa tindakannya memberi hadiah untuk Anin itu sudah tepat? Ia merasa usahanya menjauhkan diri dari gadis itu akan sia-sia karena hari ini tidak bisa mengendalikan dirinya yang ingin membahagiakan gadis kecil itu.

Jika Devan boleh jujur, Anindya, gadis yang ia rawat sejak usia belasan tahun itu, kini bukan lagi seorang anak yang bisa ia anggap sebagai keponakan. Tidak lagi, sejak Devan merasakan perasaan aneh yang selalu ia sangkal. Perasaan sayang yang mulai menjelma sebagai rasa cinta dan ingin memiliki sepenuhnya.

Bukan sebagai keponakan, tetapi sebagai wanita yang bisa ia jadikan sebagai miliknya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status