"Memangnya kenapa? Itu hal yang wajar, mereka juga nggak ngapa-ngapain aku. Om, tolong ngertiin kondisi aku sekali aja. Apa nggak bisa aku ngabisin waktu sesekali sama temen-temen aku?"
Mendengar itu, Devan tertawa sinis. "Menghabiskan waktu dengan minum-minum? Anindya, usia kamu baru mencapai 20 tahun dan kamu sudah berlagak sedewasa itu. Kamu masih seorang mahasiswa, apa wajar melihat seorang gadis terpelajar ada di club malam dengan pakaian minim? Kamu mau jadi pelacur?" Napas Devan memburu usai menyelesaikan kalimat panjangnya. Namun, sesaat kemudian ia menoleh pada Anin karena tak mendapati tanggapan dari gadis itu. "Sial." Devan mengumpat pelan, ketika mendapati Anin mengalihkan pandangan darinya dengan mata berkaca-kaca. Ia sepertinya terlalu terbawa emosi. Devan menghentikan mobilnya di tepi jalan, lalu menghela napas. "Anindya, maaf. Om tidak bermaksud berkata seperti itu." Devan masih tidak mendapat tanggapan dari Anin, gadis itu menghindari tatapannya dengan menghadap ke kaca mobil. "Mungkin bagi kamu ini menyakitkan. Tapi, Om melakukan ini hanya agar kamu tumbuh menjadi gadis yang baik. Om tidak mau kamu malah terbiasa datang ke tempat seperti itu dan terjebak. Tempat itu nggak seaman dan semenyenangkan yang kamu pikirkan, Anindya." Devan menjelaskan secara pelan, berharap Anin bisa mengerti bahwa kemarahannya hanyalah perwujudan dari kasih sayangnya. "Aman dan menyenangkan?" ujar Anin pelan. Gadis itu kini tak lagi menghadap ke kaca mobil, ia membalas tatapan Devan masih dengan mata berkaca-kaca. "Om pikir aku anak kecil? Om Devan marah aku pergi ke sana karena mikir aku nggak cukup dewasa buat jaga diri, iya kan?" Devan menggeleng, ia meraih tangan Anin lalu menggenggamnya dengan erat, memberi tatapan yang dalam pada gadis itu. "Tidak sama sekali, Anindya. Om sangat percaya kamu bisa jaga diri, tapi Om tidak percaya kamu mamu melawan kalau-kalau terjadi hal-hal yang buruk. Itu yang Om takutkan. Tolong mengerti bahwa Om melakukan ini hanya untuk kebaikan kamu, Sayang." 'Sayang'? Untuk pertama kalinya setelah waktu yang cukup lama, Devan memanggilnya dengan kata itu. Anin merindukannya. Ia merindukan perhatian pria itu padanya. Namun, tidak dengan yang satu ini. Tidak dengan menganggapnya sebagai anak kecil! Anin membawa tubuhnya mendekat pada Devan. Lalu, ia memajukan wajahnya dan tanpa aba-aba langsung menyatukan bibirnya dengan bibir milik pria itu. Sejenak, Devan hanya bisa terpaku dengan tindakan mengejutkan Anin. Namun, tidak lama kemudian, ia memimpin ciuman itu hingga menjadi lumatan yang dalam dan cukup lama. "Emmmph...." Tepat saat merasa dirinya mulai tidak bisa bernapas, Anin melepaskan penyatuan bibir mereka. Meninggalkan Devan yang terlihat masih belum puas. Anin mengelap area di sekitar bibirnya yang basah. "Ini bukti kalau aku bukan anak kecil lagi yang nggak tahu apa-apa, Om!" Devan tertegun. Tubuh pria itu menegang. Hanya saja, kala Devan mencoba mendekat, mata Anin tampak begitu sayu. Bugh! Gadis itu tertidur begitu saja, meninggalkan Devan yang melongo tak percaya. "Dasar!" kekeh Devan entah karena apa. Pria itu lalu kembali melajukan mobilnya dengan perasaan campur aduk. Setibanya mereka, Devan memutuskan untuk menggendong Anin. Memandang lekat pada gadis yang tertidur lelap di dalam gendongannya, Devan melangkah pelan menaiki satu per satu tangga menuju kamar gadis itu di lantai atas, takut membangunkannya. Namun, tepat saat kakinya menginjak lantai teratas, gadis itu menggeliat kecil. Lalu, mata berbulu lentik yang berbentuk bulat itu terbuka, menatap bingung pada sosok wajah yang berada tepat di hadapannya. "Om Devan?" Anin mengerutkan dahi. Seolah tersadar bahwa posisinya kini sedang dalam gendongan Devan, ia membulatkan mata. "Eh, m-maaf, Om. Aku ketiduran, ya?" Anin menggeliat tak nyaman dalam gendongan Devan. Menyadarinya, pria itu lantas menurunkan Anin yang langsung memalingkan wajah ke arah lain. "Aku ke kamar dulu," ujar gadis itu pelan. "Anindya." Anin menghentikan langkahnya, tetapi tidak berbalik pada Devan yang baru saja memanggil namanya. Gadis itu merasa sangat malu. Apa yang telah ia lakukan di mobil tadi? Mengapa dirinya bisa jadi seberani itu?! Anin merasa waswas, apa Devan akan memarahi, atau bahkan menghukumnya karena bertindak demikian? "Om tidak pernah menganggap kamu anak kecil." Deg! Belum sempat memproses semuanya, Devan berjalan ke arah Anin dan berdiri di depan gadis itu. "Kamu bukan anak kecil. Usia kamu sudah lebih dari cukup untuk berada di tempat seperti itu. Tapi, yang harus kamu tahu, memasuki dunia malam tidak cukup dengan hanya mengandalkan usia. Sifat kamu terlalu lugu untuk tempat seperti itu." Anin menunduk dalam. Benar, Devan hanya mencoba melindungi dirinya. Namun, ia malah terbawa emosi hingga melakukan perbuatan yang sangat salah. Entahlah, Anin merasa tadi adalah saat yang tepat untuk melampiaskan emosinya yang terpendam karena diabaikan oleh Devan akhir-akhir ini. Anin sekali lagi merutuki tindakannya tadi. Ia sendiri bahkan tidak menyangka bisa melakukan hal seperti itu, yakni mencium Devan tepat di bibirnya. "Anindya?" Mendengar namanya dipanggil, Anin mendongak. Namun, dia terkejut kala merasakan jarak Devan tak lagi sejauh tadi. Suara pria itu terdengar berada tepat di belakangnya, lalu meraih lengannya dan membuat Anin membalikkan tubuh menghadap Devan sepenuhnya. "Om tahu tindakan kamu tadi hanya karena kamu tidak suka terlalu dibatasi." Tatapan Devan saat ini padanya membuat buku kuduk Anin meremang, begitu tajam juga penuh perhatian di saat yang sama. "Tapi yang harus kamu tahu," Devan menjeda ucapannya, ia mengambil langkah lebih dekat dengan Anin, sedikit membungkuk untuk menyenyajarkan wajahnya dengan gadis itu, "Om juga seorang pria, Anindya. Hal yang kamu lakukan tadi bisa menimbulkan hasrat pria dewasa di diri Om." Anin menelan ludahnya susah payah. Ia ingin sekali memutus tatapannya dengan Devan. Namun, entah mengapa hal itu begitu sulit ia lakukan. Seperti tatapan tajam omnya itu memiliki lem perekat yang sulit dilepaskan. "M-maksud Om ... apa?"Devan mengangkat alis, belum juga menjauhkan wajah mereka yang hanya berjarak beberapa senti. "Perlu Om perlihatkan apa akibatnya jika kita berciuman seperti tadi?" Anin menggeleng kaku. "Ng-nggak, Om. Aku ngerti. Yang aku lakuin tadi memang salah dan ... m-maaf, aku nggak akan lakuin hal kayak gitu lagi." "Apa maksud kamu?" Tatapan Devan berubah tajam. "Kamu menyesali ciuman itu?" Anin mengangguk ragu. Devan marah atas tindakannya tadi dan tentu saja Anin sangat menyesalinya, kan? Hanya saja, Devan justru berdecak kesal! Bagaimana tidak? Melihat raut wajah Anin, Devan yakin gadis itu tak mengerti dengan perkataannya sejak tadi. Mengapa Anin sungguh membuatnya nyaris gila malam ini? "Bersihkan tubuh kamu dan langsung tidur. Kita berangkat bersama besok pagi." Pria itu menjauhkan dirinya dari Anin setelah berkata demikian. "Iya, Om," sahut Anin pelan. Akan tetapi, di saat gadis itu sudah hendak berbalik memunggungi Devan, pria itu ternyata masih hendak mengucapkan sesu
Kantin terlihat ramai ketika Anin dan Viona berjalan beriringan mencari meja lalu menemukan satu yang baru saja ditinggalkan oleh tiga orang mahasiswi. Mereka duduk dan menunggu pesanan diantarkan ke meja tersebut. Namun, Anin merasa tidak tahan melihat wajah Viona yang sejak tadi seperti sibuk memikirkan sesuatu. "Vi, kamu ada masalah?" tanya Anin tanpa basa-basi, sedang Viona di depannya memasang raut bertanya. "Maksud kamu?" "Kamu dari tadi kayak mikirin sesuatu. Kalau ada masalah, cerita sama aku, Vi." Viona meringis kecil. Ia sebenarnya tidak memiliki masalah apa pun. Hanya saja, ada satu hal yang sejak tadi mengganggu pikirannya. "Ehm, Anin," panggil Viona. "Semalem itu, kamu tahu siapa yang nganterin aku pulang?" Anin sejenak mengingat-ingat, siapa yang mengantar Viona pulang dari club tadi malam. "Oh! Om Devan minta tolong ke Om Michael buat anter kamu pulang." "Emangnya kenapa? Om Michael beneran anter kamu pulang, kan?" Oh, jadi namanya Michael? batin Viona. Gadis itu
Viona menggeleng cepat. Astaga, ia bahkan langsung lari secepat kilat untuk menjauh dari kungkungan pria yang rupanya memang adalah teman dari Devan. Lagipula, siapa juga yang tidak merasa takut jika berada di dekat pria asing yang suka mengintimidasi itu! "Kamu kenapa sih, Vi? Om Michael beneran anter kamu pulang, 'kan?" Viona tersadar dengan lamunannya mengenai kejadian tadi pagi mendengar pertanyaan Anin. Ia menggigit kecil bibirnya, bingung harus mengatakan yang sejujurnya atau tidak. "Ehm, sebenernya ...." Ting! Suara notifikasi yang datang dari ponsel milik Anin di atas meja membuat Viona lantas menghela napas lega, karena sahabatnya itu langsung mengalihkan fokus darinya. [Om Devan] Kamu sudah pulang? Anin bergerak gelisah di tempatnya duduk sambil memandangi pesan dari Devan. Omnya itu serius sekali ingin mengajaknya pergi berbelanja. Tuhan, Anin sama sekali tidak bisa membayangkan betapa canggungnya berjalan bersama Devan nanti. "Aku udah nggak ada kelas, ni
Anin mengerutkan dahi. Apa maksud pesan dari omnya itu? "Anin? Kamu nggak apa-apa?" "Oh?" Anin melepas tatapannya yang terpaku pada pesan aneh dari Devan. "Rian, maaf. Aku lupa udah punya janji. Kita bicara lain kali, ya?" Tanpa menunggu tanggapan Rian, Anin bergegas berdiri dari duduknya lalu berjalan pergi secepat mungkin. Ia baru bisa bernapas lega setelah menginjak halte bus di dekat cafe. Padahal, ia sama sekali tidak melakukan kesalahan apa pun. Namun, Anin sama sekali tidak bisa mengorbankan persahabatannya dengan Viona hanya karena masalah sesepele memperebutkan seorang lelaki. Toh, Anin tidak memiliki perasaan apa pun pada Rian. "Viona pasti udah pulang. Aku pesen taksi aja, deh," gumam Anin. Sesaat sebelum Anin berhasil memesan taksi online, sebuah mobil sedang berwarna putih yang sangat ia kenali melaju dan berhenti tepat di depannya. Di dalam sana, di balik kaca mobil yang tidak sepenuhnya tertutup itu, dapat dilihatnya Devan yang tengah duduk dengan raut wajah
Anin memukul dada Devan cukup keras usai tersadar dari keterkejutannya karena serangan tak terduga omnya itu. Sungguh, ia benar-benar tidak menyangka Devan akan berakhir menciumnya dengan cukup kasar dan terburu-buru. "Mmhhhhp ... O-om, lepas!" Anin terengah-engah setelah Devan melepaskan ciuman mereka. Mata gadis itu berkaca-kaca, memandang Devan tak habis pikir. "Om gila?!" Masih dengan jarak wajah mereka yang begitu dekat, Devan tersenyum miring. "Kamu juga melakukan itu tadi malam." "T-tapi, aku ...." Anin gagap, tidak tahu harus berkata apa. Memang benar dirinya yang lebih dulu mencium Devan tadi malam, tetapi bukan berarti Devan harus membalasnya dengan tindakan yang sama! "Kamu tidak mau keluar?" Saat mendongak, ternyata Devan sudah berada di luar mobil. Anin hanya bisa membuang napas pasrah, tanpa sepatah kata bergegas keluar dari mobil dan berjalan mengikuti langkah Devan memasuki pusat perbelanjaan. Mereka memasuki salah satu toko dengan label yang cukup terkena
"Om akan langsung kembali ke kantor setelah mengantar kamu pulang." Anin tidak membalas perkataan Devan, ia melarikan tatapannya ke arah jalanan dan gedung-gedung tinggi yang mereka lalui untuk kembali ke apartemen. "Kamu ingin mampir membeli sesuatu? Om lihat kita sudah kekurangan bahan masakan di kulkas," ucap Devan sekali lagi, berharap bisa mendapatkan respon dari Anin. Sejak meninggalkan pusat perbelanjaan hingga kini Anin masih belum mau membuka mulut. Ini salah Devan yang malah mendiamkan pertanyaan gadis itu saat di toko tadi. "Aku bisa masak mi instan," sahut Anin singkat. "Mi instan tidak baik untuk kesehatan, Anindya," balas Devan, sedikit senang Anin akhirnya mau bicara. "Kita mampir ke supermarket sebentar." Kali ini, Anin menolehkan kepalanya pada Devan yang masih sibuk menyetir. "Om nggak sibuk?" "Kenapa kamu bertanya?" "Sibuk atau nggak?" Anin mengulangi pertanyaannya. "Tidak, Anindya." Devan menjawab pasrah. "Om hari ini tidak sibuk, hanya ingin kemb
"Selina, tolong lepas. Di sini banyak orang." Devan melepaskan diri dari pelukan wanita itu yang membuatnya merasa tidak nyaman. Apalagi, oramg yang berlalu lalang turut memandang mereka dengan tatapan aneh. "Oh." Selina yang tersadar akan tindakannya mengambil langkah mundur dari Devan. "Maaf, Dev. Aku cuma merasa senang kita bisa ketemu di sini. Kamu apa kabar?" "Kabarku baik," jawab Devan singkat. Ia melirik Anin, takut gadis itu merasa bosan berada di situasi ini. "Kami harus ke kasir." Devan meraih satu tangan Anin dan menggenggamnya, sedang tangan yang lain kembali meraih keranjang. Tindakan Devan itu membuat Selina menyadari keberadaan Anin. Senyum seketika luntur dari wajahnya. "Oh, aku tadi hampir aja nabrak kamu. Maaf, ya," ujar Selina pada Anin. Anin hanya menggeleng singkat. "Aku juga nggak liat jalan, bukan salah kamu, kok." Selina tersenyum manis. Matanya diam-diam meneliti penampilan Anin, yang nampak seperti remaja karena tubuhnya yang tidak begitu tinggi
Devan meneguk ludah kasar sembari kedua tangannya berusaha memasangkan kancing gaun Anin. Jakunnya naik turun menyaksikan punggung mulus keponakannya itu yang hampir terekspos sepenuhnya. Begitu pula dengan Anin. Ada gelenyar aneh yang ia rasakan setiap tangan Devan tanpa sengaja bersentuhan dengan kulitnya. Apalagi, posisi pria itu yang berada terlalu dekat dengan tubuh bagian belakangnya. "Ud-udah belum, Om?" tanya Anin karena Devan tidak beranjak dari belakangnya meski ia merasa kancing terakhir sudah terpasang. Devan berdehem pelan, berjalan untuk menjauhkan tubuhnya. "Ambil tas kamu, Om tunggu di mobil." Setelahnya, Devan berjalan pergi tanpa meninggalkan Anin yang belum berbalik. Gadis itu menekan dadanya yang berdebar keras, bertanya-tanya ada apa dengan dirinya? *** Rumah Opa Sandy terletak di kawasan yang cukup asri. Karena itulah, tidak ada anggota keluarga yang menolak acara dilakukan di sana. Halaman belakang bisa memuat beberapa meja dan kursi untuk seluruh an
"Dewi, jangan keterlaluan." Sandy, yang terlihat sudah cukup tua dengan uban di beberapa helai rambutnya, memilih angkat bicara menengahi adu mulut di antara keluarganya. "Kamu sudah sangat dewasa untuk bisa memilah mana perkataan yang pantas diucapkan. Banyak anak-anak di sini, ucapan kamu bisa saja menodai otak polos mereka," ujar Sandy menasihati. Dewi menunduk pada Sandy. "Maaf, Om. Aku cuma terbawa suasana." "Ucapan Dewi ada benarnya, Pa," ungkap seorang wanita yang duduk di samping Sandy. Itu adalah Miranda, ibu dari kedua orang tua Anin. "Kalau bukan karena kehadiran dia, putriku pasti bisa menggapai semua cita-citanya. Dia dan keluarga pria itu hanya bisa memberi penderitaan pada Nindia," lanjut Miranda, yang mampu memanaskan suasana yang semula telah membaik. "Miranda! Jaga ucapan kamu. Sudah sepantasnya kamu yang menjadi penengah untuk masalah di keluarga ini!" tandas Sandy. Miranda menipiskan bibirnya, kesal. "Bela saja dia terus, Pa! Kamu emang nggak pernah
Devan meneguk ludah kasar sembari kedua tangannya berusaha memasangkan kancing gaun Anin. Jakunnya naik turun menyaksikan punggung mulus keponakannya itu yang hampir terekspos sepenuhnya. Begitu pula dengan Anin. Ada gelenyar aneh yang ia rasakan setiap tangan Devan tanpa sengaja bersentuhan dengan kulitnya. Apalagi, posisi pria itu yang berada terlalu dekat dengan tubuh bagian belakangnya. "Ud-udah belum, Om?" tanya Anin karena Devan tidak beranjak dari belakangnya meski ia merasa kancing terakhir sudah terpasang. Devan berdehem pelan, berjalan untuk menjauhkan tubuhnya. "Ambil tas kamu, Om tunggu di mobil." Setelahnya, Devan berjalan pergi tanpa meninggalkan Anin yang belum berbalik. Gadis itu menekan dadanya yang berdebar keras, bertanya-tanya ada apa dengan dirinya? *** Rumah Opa Sandy terletak di kawasan yang cukup asri. Karena itulah, tidak ada anggota keluarga yang menolak acara dilakukan di sana. Halaman belakang bisa memuat beberapa meja dan kursi untuk seluruh an
"Selina, tolong lepas. Di sini banyak orang." Devan melepaskan diri dari pelukan wanita itu yang membuatnya merasa tidak nyaman. Apalagi, oramg yang berlalu lalang turut memandang mereka dengan tatapan aneh. "Oh." Selina yang tersadar akan tindakannya mengambil langkah mundur dari Devan. "Maaf, Dev. Aku cuma merasa senang kita bisa ketemu di sini. Kamu apa kabar?" "Kabarku baik," jawab Devan singkat. Ia melirik Anin, takut gadis itu merasa bosan berada di situasi ini. "Kami harus ke kasir." Devan meraih satu tangan Anin dan menggenggamnya, sedang tangan yang lain kembali meraih keranjang. Tindakan Devan itu membuat Selina menyadari keberadaan Anin. Senyum seketika luntur dari wajahnya. "Oh, aku tadi hampir aja nabrak kamu. Maaf, ya," ujar Selina pada Anin. Anin hanya menggeleng singkat. "Aku juga nggak liat jalan, bukan salah kamu, kok." Selina tersenyum manis. Matanya diam-diam meneliti penampilan Anin, yang nampak seperti remaja karena tubuhnya yang tidak begitu tinggi
"Om akan langsung kembali ke kantor setelah mengantar kamu pulang." Anin tidak membalas perkataan Devan, ia melarikan tatapannya ke arah jalanan dan gedung-gedung tinggi yang mereka lalui untuk kembali ke apartemen. "Kamu ingin mampir membeli sesuatu? Om lihat kita sudah kekurangan bahan masakan di kulkas," ucap Devan sekali lagi, berharap bisa mendapatkan respon dari Anin. Sejak meninggalkan pusat perbelanjaan hingga kini Anin masih belum mau membuka mulut. Ini salah Devan yang malah mendiamkan pertanyaan gadis itu saat di toko tadi. "Aku bisa masak mi instan," sahut Anin singkat. "Mi instan tidak baik untuk kesehatan, Anindya," balas Devan, sedikit senang Anin akhirnya mau bicara. "Kita mampir ke supermarket sebentar." Kali ini, Anin menolehkan kepalanya pada Devan yang masih sibuk menyetir. "Om nggak sibuk?" "Kenapa kamu bertanya?" "Sibuk atau nggak?" Anin mengulangi pertanyaannya. "Tidak, Anindya." Devan menjawab pasrah. "Om hari ini tidak sibuk, hanya ingin kemb
Anin memukul dada Devan cukup keras usai tersadar dari keterkejutannya karena serangan tak terduga omnya itu. Sungguh, ia benar-benar tidak menyangka Devan akan berakhir menciumnya dengan cukup kasar dan terburu-buru. "Mmhhhhp ... O-om, lepas!" Anin terengah-engah setelah Devan melepaskan ciuman mereka. Mata gadis itu berkaca-kaca, memandang Devan tak habis pikir. "Om gila?!" Masih dengan jarak wajah mereka yang begitu dekat, Devan tersenyum miring. "Kamu juga melakukan itu tadi malam." "T-tapi, aku ...." Anin gagap, tidak tahu harus berkata apa. Memang benar dirinya yang lebih dulu mencium Devan tadi malam, tetapi bukan berarti Devan harus membalasnya dengan tindakan yang sama! "Kamu tidak mau keluar?" Saat mendongak, ternyata Devan sudah berada di luar mobil. Anin hanya bisa membuang napas pasrah, tanpa sepatah kata bergegas keluar dari mobil dan berjalan mengikuti langkah Devan memasuki pusat perbelanjaan. Mereka memasuki salah satu toko dengan label yang cukup terkena
Anin mengerutkan dahi. Apa maksud pesan dari omnya itu? "Anin? Kamu nggak apa-apa?" "Oh?" Anin melepas tatapannya yang terpaku pada pesan aneh dari Devan. "Rian, maaf. Aku lupa udah punya janji. Kita bicara lain kali, ya?" Tanpa menunggu tanggapan Rian, Anin bergegas berdiri dari duduknya lalu berjalan pergi secepat mungkin. Ia baru bisa bernapas lega setelah menginjak halte bus di dekat cafe. Padahal, ia sama sekali tidak melakukan kesalahan apa pun. Namun, Anin sama sekali tidak bisa mengorbankan persahabatannya dengan Viona hanya karena masalah sesepele memperebutkan seorang lelaki. Toh, Anin tidak memiliki perasaan apa pun pada Rian. "Viona pasti udah pulang. Aku pesen taksi aja, deh," gumam Anin. Sesaat sebelum Anin berhasil memesan taksi online, sebuah mobil sedang berwarna putih yang sangat ia kenali melaju dan berhenti tepat di depannya. Di dalam sana, di balik kaca mobil yang tidak sepenuhnya tertutup itu, dapat dilihatnya Devan yang tengah duduk dengan raut wajah
Viona menggeleng cepat. Astaga, ia bahkan langsung lari secepat kilat untuk menjauh dari kungkungan pria yang rupanya memang adalah teman dari Devan. Lagipula, siapa juga yang tidak merasa takut jika berada di dekat pria asing yang suka mengintimidasi itu! "Kamu kenapa sih, Vi? Om Michael beneran anter kamu pulang, 'kan?" Viona tersadar dengan lamunannya mengenai kejadian tadi pagi mendengar pertanyaan Anin. Ia menggigit kecil bibirnya, bingung harus mengatakan yang sejujurnya atau tidak. "Ehm, sebenernya ...." Ting! Suara notifikasi yang datang dari ponsel milik Anin di atas meja membuat Viona lantas menghela napas lega, karena sahabatnya itu langsung mengalihkan fokus darinya. [Om Devan] Kamu sudah pulang? Anin bergerak gelisah di tempatnya duduk sambil memandangi pesan dari Devan. Omnya itu serius sekali ingin mengajaknya pergi berbelanja. Tuhan, Anin sama sekali tidak bisa membayangkan betapa canggungnya berjalan bersama Devan nanti. "Aku udah nggak ada kelas, ni
Kantin terlihat ramai ketika Anin dan Viona berjalan beriringan mencari meja lalu menemukan satu yang baru saja ditinggalkan oleh tiga orang mahasiswi. Mereka duduk dan menunggu pesanan diantarkan ke meja tersebut. Namun, Anin merasa tidak tahan melihat wajah Viona yang sejak tadi seperti sibuk memikirkan sesuatu. "Vi, kamu ada masalah?" tanya Anin tanpa basa-basi, sedang Viona di depannya memasang raut bertanya. "Maksud kamu?" "Kamu dari tadi kayak mikirin sesuatu. Kalau ada masalah, cerita sama aku, Vi." Viona meringis kecil. Ia sebenarnya tidak memiliki masalah apa pun. Hanya saja, ada satu hal yang sejak tadi mengganggu pikirannya. "Ehm, Anin," panggil Viona. "Semalem itu, kamu tahu siapa yang nganterin aku pulang?" Anin sejenak mengingat-ingat, siapa yang mengantar Viona pulang dari club tadi malam. "Oh! Om Devan minta tolong ke Om Michael buat anter kamu pulang." "Emangnya kenapa? Om Michael beneran anter kamu pulang, kan?" Oh, jadi namanya Michael? batin Viona. Gadis itu
Devan mengangkat alis, belum juga menjauhkan wajah mereka yang hanya berjarak beberapa senti. "Perlu Om perlihatkan apa akibatnya jika kita berciuman seperti tadi?" Anin menggeleng kaku. "Ng-nggak, Om. Aku ngerti. Yang aku lakuin tadi memang salah dan ... m-maaf, aku nggak akan lakuin hal kayak gitu lagi." "Apa maksud kamu?" Tatapan Devan berubah tajam. "Kamu menyesali ciuman itu?" Anin mengangguk ragu. Devan marah atas tindakannya tadi dan tentu saja Anin sangat menyesalinya, kan? Hanya saja, Devan justru berdecak kesal! Bagaimana tidak? Melihat raut wajah Anin, Devan yakin gadis itu tak mengerti dengan perkataannya sejak tadi. Mengapa Anin sungguh membuatnya nyaris gila malam ini? "Bersihkan tubuh kamu dan langsung tidur. Kita berangkat bersama besok pagi." Pria itu menjauhkan dirinya dari Anin setelah berkata demikian. "Iya, Om," sahut Anin pelan. Akan tetapi, di saat gadis itu sudah hendak berbalik memunggungi Devan, pria itu ternyata masih hendak mengucapkan sesu