Devan berjalan dengan kedua tangan yang dimasukkan ke dalam saku celana sembari tatapannya mengamati setiap sudut tempat dirinya berada. Pencahayaan minim tak membuatnya sulit mengenali sebuah punggung yang terlihat asik menyandarkan diri di salah satu kursi pada meja bartender.
Ketika jarak mereka sudah lumayan dekat, Devan berujar ringan, "Kamu sepertinya bosan bermain saham sampai beralih ke usaha bar, Mic." Pria yang mendengar sindiran halus dari Devan itu terkekeh pelan sebelum berbalik pada sahabatnya. "Bro!" Devan tidak menolak pria itu yang memeluk bahunya dengan hangat, hal yang terhitung jarang ia lakukan karena merasa tidak begitu dekat dengan orang-orang di sekelilingnya. Kecuali dengan pria yang tengah tersenyum lebar padanya ini, Devan enggan memiliki hubungan yang terhitung dekat dengan orang lain. Michael, pria itu adalah sahabat Devan sejak masa kuliah. Ketika ia memutuskan menetap di Aussie untuk mengurus bisnis perusahaan di luar negeri, sahabatnya itu memilih pulang ke tanah air begitu menyelesaikan S1-nya di sana. Michael adalah orang berjiwa bebas dan tidak suka terikat dengan apa pun. Karena itulah, pria itu lebih memilih bermain saham daripada memulai usaha sendiri. Entah mengapa dia malah berakhir dengan membuka club malam. "Aku tidak bisa berlama-lama. Anindya pasti sudah menunggu di apartemen." Devan beranjak dari duduknya setelah merasa ia sudah cukup lama berada di sana. Ia tidak bisa berlama-lama, tahu bahwa Anindya memiliki kebiasaan menunggunya sepulang kerja. Jika ia pulang larut malam, gadis itu akan menghabiskan waktu menonton televisi di ruang tamu hingga pada akhirnya tertidur di atas sofa. Devan tidak tega melihat gadis itu. Namun, ia juga tidak tahu bagaimana berhadapan dengan Anin ketika gadis itu dalam keadaan membuka mata. Jadi, ia sengaja selalu berangkat pagi buta dan pulang larut malam, tidak lain adalah untuk menghilangkan perasaan mengganggu di dalam hatinya untuk gadis itu. "Anindya, ya?" gumam Michael. Senyum misterius di wajah pria itu menimbulkan tanda tanya bagi Devan. "Kenapa?" Michael turut bangkit dari duduknya. "Aku mau menunjukkan sesuatu. Tapi, jangan membuat keributan. Aku tidak mau sampai ada keributan rumah tangga di dalam usaha yang baru aku mulai ini." Devan memicingkan mata begitu mendengar ucapan Michael. "Apa maksud kamu?" Michael mengendikkan bahu. "Ikut saja." Meski perasaan buruk telah melanda benaknya, Devan tetap melangkah menyusul Michael yang berjalan jauh lebih dalam melewati orang-orang yang sibuk menari dan berpesta ria. Sembari berusaha menghilangkan pemikiran buruk di kepalanya. Akan tetapi, usaha itu berakhir sia-sia saat tatapannya tertuju pada sesosok gadis yang amat sangat ia kenali. Gadis itu, yang telah menyita benaknya sejak tadi, ternyata sedang berada di tempat yang sama sekali tidak ada di dalam bayangannya. Tatapannya memicing tajam begitu menyadari bagaimana penampilan gadis itu saat ini. "Anindya Jenaya!" Devan tidak mengindahkan raut terkejut gadis itu saat menoleh padanya. Ia berjalan cepat kemudian meraih lengan Anin dan menariknya cukup kasar. "Pulang sekarang juga," ujarnya penuh penekanan. "Om, tunggu!" Anin menahan lengan Devan yang hendak menariknya pergi, ia melirik Viona yang sepertinya sudah berada di bawah pengaruh alkohol. "Temen aku gimana? Dia nggak bisa bawa mobil." Devan berdecak kesal. Di saat seperti ini, Anin masih sempat-sempatnya mengkhawatirkan seorang teman. "Mic." Devan menoleh pada Michael di belakangnya. "Antar gadis itu pulang. Kalau terjadi apa-apa, itu tanggung jawabmu." Tidak menghiraukan raut keberatan Michael, Devan beralih pada Anin. "Ayo." Dengan pasrah, Anin berjalan cepat menyesuaikan langkahnya dengan Devan yang tetap tidak melepaskan cekalan tangannya. Anin menggigit bibirnya gelisah. Apa Devan marah? Namun, kenapa? Ia juga sudah cukup umur untuk pergi ke club malam, seharusnya itu tidak masalah, kan? Ya, seharusnya. Tapi, ini Devan! "Masuk." Anin mendongak takut-takut membalas tatapan tajam Devan yang tertuju padanya. "Om marah?" Devan tidak menanggapi pertanyaan gadis itu. Sebaliknya, ia membuka pintu mobil, menunggu hingga Anin masuk ke dalamnya lalu ia sendiri berjalan dan duduk di kursi kemudi. "Kita bicarakan di apartemen." Setelah itu, mobil berjalan menembus kegelapan malam dengan keheningan yang memenuhi di dalamnya. Ini yang tidak Anin sukai dari sikap Devan akhir-akhir ini. Di saat biasanya ia bebas mengutarakan isi hati dan bercerita mengenai hari-harinya, kini, Anin seakan ragu melakukan hal itu lagi. Seperti saat ini. Ingin sekali ia bercerita dengan rinci bagaimana dirinya berakhir di tempat tadi, dan mengurangi kemarahan Devan yang sepertinya tidak suka melihatnya menyentuh gelas berisi minuman beralkohol. Anin ingin menjelaskan bahwa ia hanya ingin meringankan masalah Viona. Namun, entahlah. Ia ragu apakah tanggapan Devan akan sesuai dengan yang ia inginkan. "Om tidak pernah mengajari kamu melakukan hal seperti itu, Anindya." Devan akhirnya membuka suara. Anin, yang sejak tadi melamun kini tersadar begitu mendengar ucapan Devan yang tiba-tiba. Detik kemudian, ia mengerutkan dahi. "Kenapa?" "Kamu masih bertanya kenapa?" sahut Devan, masih dengan nada dinginnya seperti biasa. "Aku udah cukup umur, Om. Pergi ke tempat kayak gitu udah biasa buat teman seumuranku," jelas Anindya tanpa diminta. "Apanya yang cukup umur? Apa kamu sadar berapa banyak pria hidung belang di tempat tadi yang memandangi kamu dengan tatapan lapar karena baju sialan itu?" Devan mencengkeram setir mobil, mencoba menahan amarahnya agar tidak berakhir melukai hati Anin. Namun, itu ternyata begitu sulit ketika membayangkan bagaimana penampilan gadis itu di tengah-tengah ruangan terbuka dengan segelas minuman beralkohol di tangannya!"Memangnya kenapa? Itu hal yang wajar, mereka juga nggak ngapa-ngapain aku. Om, tolong ngertiin kondisi aku sekali aja. Apa nggak bisa aku ngabisin waktu sesekali sama temen-temen aku?" Mendengar itu, Devan tertawa sinis. "Menghabiskan waktu dengan minum-minum? Anindya, usia kamu baru mencapai 20 tahun dan kamu sudah berlagak sedewasa itu. Kamu masih seorang mahasiswa, apa wajar melihat seorang gadis terpelajar ada di club malam dengan pakaian minim? Kamu mau jadi pelacur?" Napas Devan memburu usai menyelesaikan kalimat panjangnya. Namun, sesaat kemudian ia menoleh pada Anin karena tak mendapati tanggapan dari gadis itu. "Sial." Devan mengumpat pelan, ketika mendapati Anin mengalihkan pandangan darinya dengan mata berkaca-kaca. Ia sepertinya terlalu terbawa emosi. Devan menghentikan mobilnya di tepi jalan, lalu menghela napas. "Anindya, maaf. Om tidak bermaksud berkata seperti itu." Devan masih tidak mendapat tanggapan dari Anin, gadis itu menghindari tatapannya dengan menghadap k
Devan mengangkat alis, belum juga menjauhkan wajah mereka yang hanya berjarak beberapa senti. "Perlu Om perlihatkan apa akibatnya jika kita berciuman seperti tadi?" Anin menggeleng kaku. "Ng-nggak, Om. Aku ngerti. Yang aku lakuin tadi memang salah dan ... m-maaf, aku nggak akan lakuin hal kayak gitu lagi." "Apa maksud kamu?" Tatapan Devan berubah tajam. "Kamu menyesali ciuman itu?" Anin mengangguk ragu. Devan marah atas tindakannya tadi dan tentu saja Anin sangat menyesalinya, kan? Hanya saja, Devan justru berdecak kesal! Bagaimana tidak? Melihat raut wajah Anin, Devan yakin gadis itu tak mengerti dengan perkataannya sejak tadi. Mengapa Anin sungguh membuatnya nyaris gila malam ini? "Bersihkan tubuh kamu dan langsung tidur. Kita berangkat bersama besok pagi." Pria itu menjauhkan dirinya dari Anin setelah berkata demikian. "Iya, Om," sahut Anin pelan. Akan tetapi, di saat gadis itu sudah hendak berbalik memunggungi Devan, pria itu ternyata masih hendak mengucapkan sesu
Kantin terlihat ramai ketika Anin dan Viona berjalan beriringan mencari meja lalu menemukan satu yang baru saja ditinggalkan oleh tiga orang mahasiswi. Mereka duduk dan menunggu pesanan diantarkan ke meja tersebut. Namun, Anin merasa tidak tahan melihat wajah Viona yang sejak tadi seperti sibuk memikirkan sesuatu. "Vi, kamu ada masalah?" tanya Anin tanpa basa-basi, sedang Viona di depannya memasang raut bertanya. "Maksud kamu?" "Kamu dari tadi kayak mikirin sesuatu. Kalau ada masalah, cerita sama aku, Vi." Viona meringis kecil. Ia sebenarnya tidak memiliki masalah apa pun. Hanya saja, ada satu hal yang sejak tadi mengganggu pikirannya. "Ehm, Anin," panggil Viona. "Semalem itu, kamu tahu siapa yang nganterin aku pulang?" Anin sejenak mengingat-ingat, siapa yang mengantar Viona pulang dari club tadi malam. "Oh! Om Devan minta tolong ke Om Michael buat anter kamu pulang." "Emangnya kenapa? Om Michael beneran anter kamu pulang, kan?" Oh, jadi namanya Michael? batin Viona. Gadis itu
Viona menggeleng cepat. Astaga, ia bahkan langsung lari secepat kilat untuk menjauh dari kungkungan pria yang rupanya memang adalah teman dari Devan. Lagipula, siapa juga yang tidak merasa takut jika berada di dekat pria asing yang suka mengintimidasi itu! "Kamu kenapa sih, Vi? Om Michael beneran anter kamu pulang, 'kan?" Viona tersadar dengan lamunannya mengenai kejadian tadi pagi mendengar pertanyaan Anin. Ia menggigit kecil bibirnya, bingung harus mengatakan yang sejujurnya atau tidak. "Ehm, sebenernya ...." Ting! Suara notifikasi yang datang dari ponsel milik Anin di atas meja membuat Viona lantas menghela napas lega, karena sahabatnya itu langsung mengalihkan fokus darinya. [Om Devan] Kamu sudah pulang? Anin bergerak gelisah di tempatnya duduk sambil memandangi pesan dari Devan. Omnya itu serius sekali ingin mengajaknya pergi berbelanja. Tuhan, Anin sama sekali tidak bisa membayangkan betapa canggungnya berjalan bersama Devan nanti. "Aku udah nggak ada kelas, ni
Anin mengerutkan dahi. Apa maksud pesan dari omnya itu? "Anin? Kamu nggak apa-apa?" "Oh?" Anin melepas tatapannya yang terpaku pada pesan aneh dari Devan. "Rian, maaf. Aku lupa udah punya janji. Kita bicara lain kali, ya?" Tanpa menunggu tanggapan Rian, Anin bergegas berdiri dari duduknya lalu berjalan pergi secepat mungkin. Ia baru bisa bernapas lega setelah menginjak halte bus di dekat cafe. Padahal, ia sama sekali tidak melakukan kesalahan apa pun. Namun, Anin sama sekali tidak bisa mengorbankan persahabatannya dengan Viona hanya karena masalah sesepele memperebutkan seorang lelaki. Toh, Anin tidak memiliki perasaan apa pun pada Rian. "Viona pasti udah pulang. Aku pesen taksi aja, deh," gumam Anin. Sesaat sebelum Anin berhasil memesan taksi online, sebuah mobil sedang berwarna putih yang sangat ia kenali melaju dan berhenti tepat di depannya. Di dalam sana, di balik kaca mobil yang tidak sepenuhnya tertutup itu, dapat dilihatnya Devan yang tengah duduk dengan raut wajah
Anin memukul dada Devan cukup keras usai tersadar dari keterkejutannya karena serangan tak terduga omnya itu. Sungguh, ia benar-benar tidak menyangka Devan akan berakhir menciumnya dengan cukup kasar dan terburu-buru. "Mmhhhhp ... O-om, lepas!" Anin terengah-engah setelah Devan melepaskan ciuman mereka. Mata gadis itu berkaca-kaca, memandang Devan tak habis pikir. "Om gila?!" Masih dengan jarak wajah mereka yang begitu dekat, Devan tersenyum miring. "Kamu juga melakukan itu tadi malam." "T-tapi, aku ...." Anin gagap, tidak tahu harus berkata apa. Memang benar dirinya yang lebih dulu mencium Devan tadi malam, tetapi bukan berarti Devan harus membalasnya dengan tindakan yang sama! "Kamu tidak mau keluar?" Saat mendongak, ternyata Devan sudah berada di luar mobil. Anin hanya bisa membuang napas pasrah, tanpa sepatah kata bergegas keluar dari mobil dan berjalan mengikuti langkah Devan memasuki pusat perbelanjaan. Mereka memasuki salah satu toko dengan label yang cukup terkena
"Om akan langsung kembali ke kantor setelah mengantar kamu pulang." Anin tidak membalas perkataan Devan, ia melarikan tatapannya ke arah jalanan dan gedung-gedung tinggi yang mereka lalui untuk kembali ke apartemen. "Kamu ingin mampir membeli sesuatu? Om lihat kita sudah kekurangan bahan masakan di kulkas," ucap Devan sekali lagi, berharap bisa mendapatkan respon dari Anin. Sejak meninggalkan pusat perbelanjaan hingga kini Anin masih belum mau membuka mulut. Ini salah Devan yang malah mendiamkan pertanyaan gadis itu saat di toko tadi. "Aku bisa masak mi instan," sahut Anin singkat. "Mi instan tidak baik untuk kesehatan, Anindya," balas Devan, sedikit senang Anin akhirnya mau bicara. "Kita mampir ke supermarket sebentar." Kali ini, Anin menolehkan kepalanya pada Devan yang masih sibuk menyetir. "Om nggak sibuk?" "Kenapa kamu bertanya?" "Sibuk atau nggak?" Anin mengulangi pertanyaannya. "Tidak, Anindya." Devan menjawab pasrah. "Om hari ini tidak sibuk, hanya ingin kemb
"Selina, tolong lepas. Di sini banyak orang." Devan melepaskan diri dari pelukan wanita itu yang membuatnya merasa tidak nyaman. Apalagi, oramg yang berlalu lalang turut memandang mereka dengan tatapan aneh. "Oh." Selina yang tersadar akan tindakannya mengambil langkah mundur dari Devan. "Maaf, Dev. Aku cuma merasa senang kita bisa ketemu di sini. Kamu apa kabar?" "Kabarku baik," jawab Devan singkat. Ia melirik Anin, takut gadis itu merasa bosan berada di situasi ini. "Kami harus ke kasir." Devan meraih satu tangan Anin dan menggenggamnya, sedang tangan yang lain kembali meraih keranjang. Tindakan Devan itu membuat Selina menyadari keberadaan Anin. Senyum seketika luntur dari wajahnya. "Oh, aku tadi hampir aja nabrak kamu. Maaf, ya," ujar Selina pada Anin. Anin hanya menggeleng singkat. "Aku juga nggak liat jalan, bukan salah kamu, kok." Selina tersenyum manis. Matanya diam-diam meneliti penampilan Anin, yang nampak seperti remaja karena tubuhnya yang tidak begitu tinggi