Share

BAB 4

Devan berjalan dengan kedua tangan yang dimasukkan ke dalam saku celana sembari tatapannya mengamati setiap sudut tempat dirinya berada. Pencahayaan minim tak membuatnya sulit mengenali sebuah punggung yang terlihat asik menyandarkan diri di salah satu kursi pada meja bartender.

Ketika jarak mereka sudah lumayan dekat, Devan berujar ringan, "Kamu sepertinya bosan bermain saham sampai beralih ke usaha bar, Mic."

Pria yang mendengar sindiran halus dari Devan itu terkekeh pelan sebelum berbalik pada sahabatnya. "Bro!"

Devan tidak menolak pria itu yang memeluk bahunya dengan hangat, hal yang terhitung jarang ia lakukan karena merasa tidak begitu dekat dengan orang-orang di sekelilingnya. Kecuali dengan pria yang tengah tersenyum lebar padanya ini, Devan enggan memiliki hubungan yang terhitung dekat dengan orang lain.

Michael, pria itu adalah sahabat Devan sejak masa kuliah. Ketika ia memutuskan menetap di Aussie untuk mengurus bisnis perusahaan di luar negeri, sahabatnya itu memilih pulang ke tanah air begitu menyelesaikan S1-nya di sana. Michael adalah orang berjiwa bebas dan tidak suka terikat dengan apa pun. Karena itulah, pria itu lebih memilih bermain saham daripada memulai usaha sendiri. Entah mengapa dia malah berakhir dengan membuka club malam.

"Aku tidak bisa berlama-lama. Anindya pasti sudah menunggu di apartemen." Devan beranjak dari duduknya setelah merasa ia sudah cukup lama berada di sana. Ia tidak bisa berlama-lama, tahu bahwa Anindya memiliki kebiasaan menunggunya sepulang kerja. Jika ia pulang larut malam, gadis itu akan menghabiskan waktu menonton televisi di ruang tamu hingga pada akhirnya tertidur di atas sofa.

Devan tidak tega melihat gadis itu. Namun, ia juga tidak tahu bagaimana berhadapan dengan Anin ketika gadis itu dalam keadaan membuka mata. Jadi, ia sengaja selalu berangkat pagi buta dan pulang larut malam, tidak lain adalah untuk menghilangkan perasaan mengganggu di dalam hatinya untuk gadis itu.

"Anindya, ya?" gumam Michael. Senyum misterius di wajah pria itu menimbulkan tanda tanya bagi Devan.

"Kenapa?"

Michael turut bangkit dari duduknya. "Aku mau menunjukkan sesuatu. Tapi, jangan membuat keributan. Aku tidak mau sampai ada keributan rumah tangga di dalam usaha yang baru aku mulai ini."

Devan memicingkan mata begitu mendengar ucapan Michael. "Apa maksud kamu?"

Michael mengendikkan bahu. "Ikut saja."

Meski perasaan buruk telah melanda benaknya, Devan tetap melangkah menyusul Michael yang berjalan jauh lebih dalam melewati orang-orang yang sibuk menari dan berpesta ria. Sembari berusaha menghilangkan pemikiran buruk di kepalanya.

Akan tetapi, usaha itu berakhir sia-sia saat tatapannya tertuju pada sesosok gadis yang amat sangat ia kenali. Gadis itu, yang telah menyita benaknya sejak tadi, ternyata sedang berada di tempat yang sama sekali tidak ada di dalam bayangannya.

Tatapannya memicing tajam begitu menyadari bagaimana penampilan gadis itu saat ini. "Anindya Jenaya!"

Devan tidak mengindahkan raut terkejut gadis itu saat menoleh padanya. Ia berjalan cepat kemudian meraih lengan Anin dan menariknya cukup kasar.

"Pulang sekarang juga," ujarnya penuh penekanan.

"Om, tunggu!" Anin menahan lengan Devan yang hendak menariknya pergi, ia melirik Viona yang sepertinya sudah berada di bawah pengaruh alkohol. "Temen aku gimana? Dia nggak bisa bawa mobil."

Devan berdecak kesal. Di saat seperti ini, Anin masih sempat-sempatnya mengkhawatirkan seorang teman.

"Mic." Devan menoleh pada Michael di belakangnya. "Antar gadis itu pulang. Kalau terjadi apa-apa, itu tanggung jawabmu."

Tidak menghiraukan raut keberatan Michael, Devan beralih pada Anin. "Ayo."

Dengan pasrah, Anin berjalan cepat menyesuaikan langkahnya dengan Devan yang tetap tidak melepaskan cekalan tangannya. Anin menggigit bibirnya gelisah. Apa Devan marah? Namun, kenapa? Ia juga sudah cukup umur untuk pergi ke club malam, seharusnya itu tidak masalah, kan?

Ya, seharusnya. Tapi, ini Devan!

"Masuk."

Anin mendongak takut-takut membalas tatapan tajam Devan yang tertuju padanya. "Om marah?"

Devan tidak menanggapi pertanyaan gadis itu. Sebaliknya, ia membuka pintu mobil, menunggu hingga Anin masuk ke dalamnya lalu ia sendiri berjalan dan duduk di kursi kemudi.

"Kita bicarakan di apartemen."

Setelah itu, mobil berjalan menembus kegelapan malam dengan keheningan yang memenuhi di dalamnya. Ini yang tidak Anin sukai dari sikap Devan akhir-akhir ini. Di saat biasanya ia bebas mengutarakan isi hati dan bercerita mengenai hari-harinya, kini, Anin seakan ragu melakukan hal itu lagi.

Seperti saat ini. Ingin sekali ia bercerita dengan rinci bagaimana dirinya berakhir di tempat tadi, dan mengurangi kemarahan Devan yang sepertinya tidak suka melihatnya menyentuh gelas berisi minuman beralkohol. Anin ingin menjelaskan bahwa ia hanya ingin meringankan masalah Viona. Namun, entahlah. Ia ragu apakah tanggapan Devan akan sesuai dengan yang ia inginkan.

"Om tidak pernah mengajari kamu melakukan hal seperti itu, Anindya." Devan akhirnya membuka suara.

Anin, yang sejak tadi melamun kini tersadar begitu mendengar ucapan Devan yang tiba-tiba. Detik kemudian, ia mengerutkan dahi. "Kenapa?"

"Kamu masih bertanya kenapa?" sahut Devan, masih dengan nada dinginnya seperti biasa.

"Aku udah cukup umur, Om. Pergi ke tempat kayak gitu udah biasa buat teman seumuranku," jelas Anindya tanpa diminta.

"Apanya yang cukup umur? Apa kamu sadar berapa banyak pria hidung belang di tempat tadi yang memandangi kamu dengan tatapan lapar karena baju sialan itu?"

Devan mencengkeram setir mobil, mencoba menahan amarahnya agar tidak berakhir melukai hati Anin. Namun, itu ternyata begitu sulit ketika membayangkan bagaimana penampilan gadis itu di tengah-tengah ruangan terbuka dengan segelas minuman beralkohol di tangannya!

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status