“Faleesha! Apa yang terjadi padamu?”
Faleesha tersenyum maklum kala sahabatnya berteriak seperti itu.Sedari tadi, orang-orang sekitar sudah melihatnya penasaran karena penampilannya yang berantakan.
Untungnya, Amber mau menjemput dan menemaninya ke mall terdekat.
Setidaknya, dia tidak akan dihadang petugas keamanan.
“Udah nanti aja ceritanya. Aku butuh ke rumah sakit sekarang juga, tapi sebelum itu anterin ke mall terdekat ya, kamu bawa mobil, kan?” ucap Faleesha memastikan.Amber mengangguk beberapa kali. “Yaudah, cepet masuk,” balasnya sambil menggandeng Faleesha berjalan cepat.
“Aduh,” rintih Faleesha. Dia berhenti sejenak.
Sungguh, apakah berhubungan badan untuk pertama kali akan sesakit itu?
Gadis itu tak mampu membayangkannya. Padahal tadi, dia belum ke tahap itu...
Amber yang tidak tahu yang apa terjadi padanya sontak menatap Faleesha bingung. “Kamu kenapa? Kok jalannya ngangkang-ngangkang gitu? Bisulan?” tanyanya polos.
“Iya, bisulan. Mana bisulnya gede banget, mau lihat?” balas Faleesha menanggapi kekonyolan Amber.
“Ih, jijik deh kamu. Makanya kalau mandi yang bersih, digosok-gosok yang lama itu daerah-” Amber menjeda ucapannya. Melihat sekitar barang kali ada orang mendengarnya. “Selangkangan,” lanjutnya lirih. Faleesha tersenyum geli. Setidaknya, Amber mampu membuatnya lupa sejenak dengan kejadian yang dia alami barusan.“Pastilah, Am. Aku udah mandi tiga kali sehari. Bahkan, mandi kembang tujuh rupa,” kelakar Feleesha membuat Amber terbahak-bahak. “Yaudah yuk, cepet. Aku butuh bayar biaya operasi Papa,” lanjutnya.
Amber lantas segera mengendarai mobilnya bersama dengan Faleesha menuju ke mall terdekat.
Setelah mandi dan berganti baju di toilet mall, Faleesha merasa begitu segar.“Langsung ke rumah sakit ya, Am,” ajak Faleesha buru-buru.
“Yap, let's go,” jawab Amber bersemangat.Faleesha mengangguk. Dalam hati, dia bersyukur karena Amber selalu ada di saat dia butuh bantuan.
Ditatapnya jalanan lepas memikirkan segala hal yang terjadi padanya hari ini.
“Udah sampe nih, ngelamun aja,” tegur Amber saat mereka sudah sampai di pelataran parkir. “Eh iya,” jawab Faleesha tergagap. “Kamu ikut apa di sini aja?” “Ikut dong, nanti kamu kesepian kalo nggak ada aku,” sahut Amber dengan mengedipkan kedua matanya. “Ih jijay deh,” sungut Faleesha mencubit lengan Amber. Keduanya tertawa bersamaan seolah tak ada beban apa pun.Dengan cepat, Faleesha lantas melengkapi berkas administrasi yang diperlukan.
Dia juga sudah membayar biaya pengobatan sang ayah..
“Udah lunas semua biayanya?” tanya Amber saat Faleesha menghampirinya. “Iya, tinggal nunggu Papa dioperasi sore nanti,” jawab Faleesha harap-harap cemas. “Semangat! Papamu pasti sembuh,” balas Amber membesarkan hati. “Makasih ya, Am. Aku mau ngomong sebentar sama Papa, dia sudah melewati masa kritisnya, mumpung Angela sama Mami nggak ada, kalau ada mereka, aku pasti nggak dibolehin masuk,” urai Faleesha bercerita. “Jahat banget sih,” sungut Amber ikut kesal. “Yaudah cepet kamu masuk gih, aku tunggu sini buat jaga-jaga,” lanjut Amber mendorong Faleesha menjauh. Ya, Amber mengetahui segala hal tentang keluarga Faleesha yang berantakan karena mereka sudah berteman sejak SMA. Amber juga tahu, jika ibu kandung Faleesha diusir dari rumah ayahnya setelah perceraian keduanya. Hingga saat ini, Faleesha tidak tahu di mana keberadaan ibunya.Setelah itu, dia punya ibu dan saudara tiri sebagai keluarga baru. Namun, dia tak sempat menceritakan kesulitan mengenai biaya rumah sakit ini. Kejadian dijual sudah lebih dulu terjadi dan ia sadar Sanders sepertinya berbahaya.
Jadi, Faleesha tak ingin melibatkannya.
***“Pa…”
Begitu masuk ruangan, dilihatnya lelaki paruh baya yang dulu gagah, kini terbaring lemah dengan selang infus dan tabung oksigen untuk alat bantu pernapasannya.Jantungnya mengalami pembengkakan sebab katupnya tidak bisa berfungsi normal.
Dan Faleesha tak habis pikir dengan respon ibu tirinya yang hanya biasa saja. Padahal, Fahaz Abraham selalu mendahulukannya saat masih di masa kejayaan karena begitu cinta.Kapan pria ini sadar betapa istrinya itu sangat jahat?
“Fales?”
Faleesha terkesiap. Sang papa memanggil namanya!
“Ya, Pa. Fales di sini, Papa butuh apa?” balas Faleesha lekas duduk di samping ranjang Fahaz.
“Kenapa kamu baru datang. Ke mana saja kamu kemarin?” tanya Fahaz dengan suara teredam. “Aku nggak ke mana-mana, Pa. Maafin Faleesha,” ungkap gadis itu hampir menangis. “Kamu sudah dewasa, jaga diri baik-baik. Jangan membantah perkataan mamimu. Dia juga ibumu. Dia yang merawatmu dari kamu usia delapan tahun,” lanjut Fahaz sambil terbatuk-batuk. Deg!Tangan Faleesha mengepal erat.
Sudah menghilang tanpa kabar setelah menjual dirinya, sekarang justru papanya ditinggal sendiri di rumah sakit?Rupanya nenek sihir itu masih saja membuat image-nya buruk di depan sang papa.Sayang, Faleesha tak bisa membongkarnya sekarang.
Alih-alih percaya, papanya ini pasti akan mengamuk dan kesehatannya menurun.
Itu terlalu berbahaya. Biarlah dia pendam ini sebentar lagi.
“Iya, Pa. Fales mengerti,” jawabnya singkat.
Benar dugaannya, sang ayah tampak tersenyum puas.“Oh, iya. Kata mamimu, kamu tidak ada di kamar, kamu kabur ke mana? Jangan bilang kalau kamu pergi ke club' malam dan mabuk-mabukan?” Hah?Kini darah Faleesha terasa mendidih mendengar rentetan kalimat yang dilontarkan Papanya.
Ibu tirinya sungguh keterlaluan! Dia memanfaatkan kebaikan sang ayah dan memfitnahnya habis-habisan. Apalagi ayahnya mudah sekali percaya dengan ucapannya.“Pa, aku nggak pernah melakukan hal tercela macam itu, apalagi sampai mabuk! Ke diskotik aja, nggak pernah.”
Suara Fallesha bergetar sangat mengatakannya.Menangkap emosi putrinya Fahaz tampak mengerutkan kening. “Jadi? Maksudmu, Mamimu yang berbohong? Untuk apa dia bohongin Papa, Nak? Dia sangat baik, dia yang selama ini merawat Papa,” sangkalnya. Fallesha hanya bisa menghela napas.” Ya sudah, Papa istirahat dulu, ya? Mungkin, ada kesalahpahaman di sini.”“Yang penting, Papa percaya saja padaku,” ucap Faleesha sepenuh hati.Meski bingung, Fahaz mengangguk lemah. Terlebih, kantuk kembali menyerang syarafnya.Setelah memastikan pria kesayangannya itu tertidur, Fallesha pun keluar.Dia menahan tangis. Rasanya, dia ingin sekali berteriak keras dan protes.“Mengapa ini terjadi padaku?”
“Sabar, Fales.” Amber yang menunggu di luar, dengan sigap memeluk sahabatnya memberi kekuatan.Pasti, ayah sahabatnya itu lagi-lagi tak percaya pada Fallesha!“Kamu pulang duluan aja nggak papa, aku bisa pulang sendiri nanti. Aku masih pengen nemenin Papa,” ujar Faleesha dengan wajah sendu. “Kamu yakin?” tanya Amber tampak ragu. Sebenarnya dia sendiri juga sudah ditunggu Mamanya di rumah. Sang Mama minta ditemani ke suatu tempat. “Iya, kamu pulang aja gih,” balas Faleesha. “Yasudah, kamu jaga diri baik-baik, ya? Kalau ada apa-apa, hubungi aku secepatnya,” pungkas Amber terlihat khawatir. Faleesha mengangguk mantap kemudian memeluk Amber sekali lagi sebelum gadis itu pergi. Setelahnya, dia terduduk sendiri di lobi menunggui sang papa. Hanya saja, tiba-tiba ponselnya berdering keras. “Eric?” gumam Faleesha panik. Mengapa sang kekasih menghubunginya?Seketika Faleesha teringat bahwa sudah kotor dan terlibat dengan seorang Sanders. Masih layakkah dia untuk Eric? “Halo?” jawab F
Rasa takut Faleesha seketika memuncak. Jantungnya hampir melompat keluar saat mendapati sosok yang telah merenggut kesuciannya, berdiri dengan gagahnya mengancam orang lain di sana.“Tuan, kami mohon sekali lagi, kami terpaksa memakai hasil penjualan untuk memutar modal. Kalau tidak, bagaimana kami menggaji para pegawai,” pinta sang pemilik toko.“Itu bukan urusanku, janji tetaplah janji. Kau harus melunasinya tepat waktu,” jawabnya.“Tapi, Tuan. Saya bersedia membayar laba lebih tinggi jika Anda bersedia mengulur waktu satu Minggu lagi, yang terpenting, tolong jangan menutup usaha saya ini,” tawarnya lagi.Salah satu bawahan Sanders yang lain tersenyum. “Nah, itu baru namanya bisnis yang menguntungkan. Karena kau sudah membuang-buang waktu kami ke mari,” sahutnya.“Terima kasih banyak, Tuan,” timpal sang pemiliki toko membungkukkan badan berkali-kali.“Tapi kau harus ingat, jika ingkar, aku bisa mengobrak abrik tempat ini,” ucap bawahan Sanders meninggikan suara. Deg! Faleesha meng
Sedangkan di tempat berbeda, ibu tiri Faleesha tengah marah besar ketika mendapat laporan dari anak buahnya. “Apa?” pekik Ervina. “Jadi, kalian gagal membawa Faleesha?” “Maaf, Nyonya. Sebenarnya kami sudah hampir berhasil, tapi tiba-tiba saja ada orang yang menyelamatkan Faleesha,” timpal pria berambut botak, takut. “Menyelamatkan dia? Kenapa kebetulan sekali?” “Saya juga tidak tahu. Ini di luar dugaan kami. Kami sungguh minta maaf, Nyonya,” balas anak buah yang lain.“Dasar nggak becus. Percuma aku bayar kalian mahal-mahal.”Waja Ervina begitu kecewa. Hal ini membuat kedua suruhannya hanya bisa tertunduk lesu. “Maaf, Nyonya. Tapi, tolong beri kami kesempatan sekali lagi untuk mencarinya,” ujar pria botak itu lagi. Ervina menautkan kedua alisnya. “Mau cari ke mana? Badan doang gede, tapi kalah sama anak ingusan!”“Tunggu, apa kalian mengenal orang yang menolong Faleesha?” selidik Ervina. “Kami tidak memgenalnya, Nyonya.” “Sial!” Lagi-lagi Ervina mendengus. Siapa orang yang te
Kini Faleesha masuk ke dalam salah satu deretan kamar yang tersedia di lantai atas. Dindingnya terukir seperti relief, gadis itu berdecak kagum. “Silahkan istirahat, Nona,” ujar maid. “Tolong tunggu sebentar, saya akan membawakan makanan dan pakaian anda setelah ini.” Faleesha hanya mengangguk tanpa sepatah kata pun. Dia bingung harus berbuat apa. Nasibnya berakhir di tangan Sanders. Entah bagaimana, pria itu selalu mampu menyetir Faleesha agar menuruti kemauannya. “Nona. Saya membawakan Anda pakaian baru. Silakan membersihkan diri terlebih dahulu.” Tak berselang lama, Maid itu kembali dengan membawa pakaian bersih. Faleesha sontak mendongak. Diamatinya wanita paruh baya itu yang terlihat seusia dengan Bu Yooshi. “Maaf, Anda akan melayani saya di sini?” “Benar, Nona. Kalau butuh apa-apa, bisa panggil saya. Tidak perlu segan,” jelas Beatrice.Maid itu memberikan setumpuk pakaian baru yang masih terlipat rapi. “Baiklah, Bu,” jawab Faleesha asal. “Tolong panggil nama say
Sayangnya, Faleesha tertidur semakin dalam. Dia hilang kesadaran dari relita dan justru tenggelam dalam bayangan masa kecilnya yang kembali tergambar jelas. Kerinduannya pada sang ibu seperti belati tajam yang menusuk jantungnya. “Mama, di mana kamu, mereka jahat,” ujar Faleesha saat dia berumur delapan tahun. Masa itu, kehidupan yang pahit dan getir telah dimulai. Hari-hari bahagianya perlahan sirna. “Faleesha!” Kembali suara bariton Sanders menggema. Tangan kekarnya meraih tubuh mungil Faleesha yang melemah. Gadis itu bisa merasakan tidurnya begitu nyenyak. Siapa yang memanggilnya?Apa ini hanya sebuah halusinasi? “Kenapa kamu melakukan hal bodoh seperti ini?” Sanders tampak khawatir. Beberapa kali menepuk lembut wajahnya, tak ada reaksi. Pria itu membawanya dengan sigap dan meletakkannya di ranjang. Beruntung Beatrice melapor padanya, jika Faleesha mengunci pintu kamar mandi. Tubuhnya masih berbalut pakaian dan celana jins. Lekuk badannya tercetak jelas dibalik kain
Ada getar tak biasa dalam hatinya. Namun, Faleesha tak boleh lengah, hanya karena perlakuan Sanders mulai melunak. Gadis itu sontak meronta. Apalagi ketika dia merasakan sesuatu yang keras menempel sempurna di dekat pahanya. “Tidak ada salahnya kita coba lagi, aku akan memberi jeda agar kau juga menikmatinya,” ucap Sanders, "kali ini, sampai selesai." Faleesha menggeleng pelan dengan tatapan memohon. “Aku mohon, Tuan. Jangan,” ujarnya. “Ini hukuman untukmu karena tidak patuh.” Tatapan Sanders menggelap. “Lagi pula, kau sudah menjadi milikku, Sayang.” Sentuhan Sanders semakin liar. Dia bahkan menyentuh titik-titik sensitif Faleesha, hingga gadis itu merasakan sensasi aneh itu lagi. Srak! Dalam sekejap, Sanders berhasil menanggalkan pakaian Faleesha. Gerakannya gesit tanpa bisa dihalau oleh gadis itu. “Jangan diteruskan, aku mohon. Aku bersedia lakukan apapun, asalkan Anda melepasku-” Ucapannya terbata dengan air mata yang mulai luruh. Faleshaa merasa tubuhnya sangat kotor.
Ya, Faleesha tak sanggup membayangkan nasibnya benar-benar berakhir di mansion megah ini.Bau parfum Sanders yang masih melekat di tubuhnya membuat Faleesha merasa risih.Tak mau berlarut, dia pun membersihkan diri dan mulai menyusun rencananya....***Tok tok tok!“Nona!”Suara maid menyambut Faleesha yang baru saja berganti handuk kimono.“Kenapa kau menggedorku seperti itu?” tanya Faleesha datar.“Tidak apa-apa. Saya hanya ingin memastikan nona baik-baik saja,” jawab sang pelayan. Tampaknya, dia sangat khawatir setelah drama Faleesha mencoba bunuh diri.“Oh.” Tidak seperti sebelumnya yang banyak tanya, Faleesha hanya melewati Beatrice dan menuju meja nakas. Dia mulai menyantap makanannya dengan tenang. Faleesha butuh tenaga untuk memikirkan cara lolos dari tempat ini, bukan?Sayangnya, Beatrice justru lega melihat tingkah Faleesha.Wanita paruh baya itu mengira jika Faleesha sudah menerima takdirnya dengan Sanders.“Non, kalau begitu saya tinggal dulu ya? Masih ada kerjaan yang
Faleesha terhenyak saat Sanders melempar tubuhnya ke atas ranjang. Sontak dia beringsut mundur menjauhi pria itu. “Kau ini berat sekali,” gerutu Sanders. Walaupun ranjang miliknya empuk, tetap saja Faleesha merasakan sakit karena anggota tubuhnya ada yang terkilir. Tiba-tiba Sanders meju mendekati Faleesha, membuat hawa mencekam melingkupi gadis itu.“An-anda mau apa?” suaranya tertahan di tenggorokan. Seringai iblis pun terbit di wajah Sanders sembari menatap lekat tubuh mungil yang tampak gemetar itu.“Hei, kenapa kau setakut ini.” Diusapnya wajah Faleesha dengan lembut. Tapi, tatapan netranya tidak bisa berbohong. Ada kemarahan yang terpendam di sana. Faleesha melihat gairah di mata Sanders, sehingga dia buru-buru merapatkan tubuhnya ke sandaran ranjang. “Kau tanya aku ingin berbuat apa?” tanya Sanders.“Rupanya kamu belum puas bermain-main denganku, Honey.” Senyuman licik kembali tersungging di bibirnya. Faleesha beringsut mundur. “Maafkan aku, aku hanya ingin meliha
Sanders menghentikan gerakannya. Dia menatap wajah Faleesha yang sedikit pucat. “Apa kau sakit? Kenapa tidak bilang?” tanya pria itu. Faleesha hanya menggeleng pelan. “Aku tidak tahu, akhir-akhir ini tubuhku lemas sekali. Aku juga mual kalau mencium baumu.” Sanders seketika mengernyit. “Maksudmu aku bau?” Dia pun mengendus-endus tubuhnya sendiri. Merasai tidak ada yang salah dengan badannya. “Entahlah, aku tidak tau. Kenapa rasanya aku mual jika dekat denganmu,” balas Faleesha. Tetiba gadis itu berlari ke kamar mandi dan memuntahkan semua isi dalam perutnya. Sanders mengikuti dan memijat tengkuk belakangnya. “Istirahatlah, aku panggilkan dokter,” titah Sanders. Faleesha hanya mengangguk lemah. Dia berjalan sembari memeluk pinggang sang suami. Walaupun mual dekat Sanders, tapi Faleesha tiba-tiba ingin sekali bermanja-manja dengannya. “Ck, katamu aku bau,” sungut Sanders merengkuh tubuh mungil istrinya. Tiba-tiba saja, Faleesha ambruk. Beruntung Sanders segera menangkapnya. “
Sesampainya di rumah sakit, Sanders segera memeluk Faleesha erat. Menghirup aroma tubuhnya dalam-dalam. “Sialan, kau membuatku sangat khawatir,” rutuknya. Pria itu mengecup lembut bibir Faleesha sampai tidak menyadari Meera menatap mereka dengan pandangan yang sulit diartikan. “Sst, kamu bisa tidak cium aku nanti aja. Itu Mama lagi sedih,” balas Faleesha berbisik. Sanders langsung terkesiap. Dia baru sadar jika ibu mertuanya berada tak jauh dari Faleesha. “Mama,” sapanya. Meera tersenyum sendu. “Tidak apa-apa, aku pernah merasakan seperti kalian. Masa pengantin baru, yang sulit berjauhan.” Sejurus kemudian tatapannya mengarah ke ruang Fahaz dirawat. “Bagaimana kondisi papa mertuamu?” tanya Meera. “Tidak ada luka yang parah, Ma. Dokter sudah menanganinya. Tetapi karena benturan yang cukup keras, Papa belum sadar hingga sekarang,” terang Sanders. “Baiklah, kalian bisa pulang. Aku yang akan menjaga Fahaz,” sela Meera. “Kita obati dulu tangan Mama,” jawab Faleesha. Meera baru s
“Aku yang seharusnya bicara seperti itu, Ervina. Kau datang kemari tidak membawa apa-apa, pergi juga harusnya tidak membawa apa pun,” tegas Meera tak takut. Dia pun lekas memanggil Wira agar membawa Yooshi ke rumah sakit terlebih dahulu. Pria berkaca mata itu datang tergopoh-gopoh dan terkejut melihat darah yang mengalir dari kepala bagian belakang. Sebenarnya, Wira sedikit mencemaskan keadaan Meera tetapi majikannya itu meyakinkannya agar dia berangkat terlebih dahulu. Meera akan menyusulnya nanti. Setelah Wira menghilang dengan membopong tubuh Yooshi. Ervina semakin menyeringai. “Tamat riwayatmu sekarang.” Ervina bergerak cepat mengeluarkan pisau dari balik saku bajunya yang sudah dia sembunyikan dan menyerang Meera. Meera terkejut melihat wanita yang pernah menjadi sahabatnya itu hendak menghunusnya. Dia langsung menahan pisau itu dengan tangannya. Meera meringis kesakitan saat benda tajam itu merobek telapak tangannya. Darah yang mengucur tidak dia hiraukan. Yang terpenti
Secepat kilat mobil Sanders melaju di perjalanan. Dia tidak menghubungi Faleesha terlebih dahulu karena takut sang istri panik. Sesampainya di rumah sakit, Fahaz langsung dibawa ke UGD, beruntung lukanya tidak parah. Hanya benturan kecil yang membuatnya syok hingga pingsan. Dia juga tidak harus dioperasi. Hanya perlu penanganan intensif. Tetapi rahang Sanders sudah mengeras. Pertanda dia benar-benar marah kali ini. “Nick,” panggilnya. “Ya, Tuan,” jawab Nick. “Segera hubungi polisi, dan laporkan kejadian barusan, juga serahkan semua bukti yang memberatkan mereka yang kita dapatkan sebelumnya-” Sanders menjeda ucapannya. “Dan jangan lupa, ambil rekaman CCTV dekat daerah persimpangan kecelakaan terjadi.” “Siap, Tuan.” Pemuda itu bergegas melaksanakan perintah majikannya. Sedangkan Sanders menunggu Fahaz dengan gelisah. Kali ini Ervina dan Angela tidak bisa dibiarkan. Tiba-tiba ponselnya berdering. Nama Faleesha muncul. Dia terkejut kenapa waktunya tepat sekali. Apa perasaan se
Fahaz tengah bahagia. Usahanya untuk kembali meminta maaf dan mengambil hati Meera tidak main-main. Walaupun wanita terkasihnya itu masih tidak mau sekedar berbincang, tapi Meera sudah sering mengingatkan dia untuk minum obat. Terkadang ketika ibu kandung Faleesha itu ingin pergi atau angkat kaki dari rumahnya, Fahaz selalu mencari cara agar bisa menggagalkannya. Bertahun lamanya dia telah berbuat tidak adil pada keluarga kecilnya. Ini saatnya menebus semuanya. Bahkan dia tidak ingat sedikitpun tentang Ervina. Wanita licik itu sudah berhasil mengobrak-abrik keluarganya. Fahaz tidak akan membiarkannya kali ini. “Tuan, sepertinya ada yang mengikuti kita sejak tadi,” ujar sang sopir. Fahaz menoleh ke belakang untuk memastikan. “Jalan terus saja, Pak. Abaikan saja. Mungkin kebetulan arah kita sama.” “Baik, Tuan.” “Meera, aku akan menebus kesalahanku dan tidak akan membiarkanmu hidup menderita lagi,” gumam Fahaz dengan wajah berbinar. “Tuan, mobil di belakang semakin mendekat, dan
“Kamu keren sekali,” bisik Emily. Faleesha menghembuskan napas pelan. “Kamu tidak tahu saja betapa aku menyesal kenapa tidak bisa tegas sama mereka dari dulu.” “Bahkan ketika mereka mengucilkan aku dulu, Papa dengan mudahnya percaya begitu saja. Aku tak mendapat dukungan dari siapa pun, Em. Tapi sekarang, aku tidak akan tinggal diam setelah membongkar kebusukan mereka,” lanjut Faleesha. “Bagus, kamu memang harus seperti itu,” jawab Emily memberi semangat. “Makasih ya, sudah mau menemaniku dan menjagaku.” tiba-tiba gadis itu menjadi sentimentil. Karena selama ini merasa tidak pernah punya keluarga dekat. Dari dulu sang Papa melarangnya bertemu siapa pun tanpa alasan yang jelas. “Kau ini bicara apa, sudah jadi tugasku. Kau lupa Tuan akan menghabisiku kalau sampai kau kenapa-kenapa,” jawab Emily. Setelah mengatakannya, gadis tomboy itu membuat gerakan menggores lehernya dengan tangan. Membuat Faleesha semakin terkekeh. “Percayalah, suamiku sekarang tidak sekejam itu,” timpalnya.
Faleesha menghentakkan kakinya dengan keras. Dia memakai pantofel setinggi 5 cm. Tersenyum lebar berjalan menuju kedua ibu beranak itu. Angela dan Ervina tampak melongo melihat penampilan Faleesha. Dia sungguh berkelas. Tidak seperti biasanya yang cenderung casual. “Ngapain kamu di sini?” tanya Angela tak suka. Tatapannya penuh kebencian. Karena bukti yang Faleesha berikan membuat gadis itu menang telak. “Harusnya aku yang tanya, untuk apa kalian datang kemari?” Gadis itu melipat kedua tangannya ke dada. Memberi tatapan tidak bersahabat. “Ck, songong,” gumam Angela kesal. “Begitukah cara kamu berbicara pada ibumu, Fal?” Ervina bersuara. Dia tampak geram melihat tingkah laku Faleesha. Tahu begitu, dulu lebih baik gadis itu dilenyapkan saja. “Lantas aku harus bicara pada Tante dengan nada yang sopan? Sedangkan kalian saja marah-marah tidak tahu tempat, apa tidak malu jadi tontonan banyak orang?” tanya Faleesha penuh penekanan. "Dan satu lagi, Anda bukan ibu saya." “Heh, jang
“Tuan, saya baru saja menerima informasi dari Emily, Nona Faleesha sedang di perusahaan ayahnya,” ujar Nick. Sanders mengernyit. “Untuk apa?” “Kata Emily ada urusan yang harus Nona selesaikan, ibu dan saudara tirinya berulah lagi,” balas Nick. Ada rasa khawatir yang menyeruak dalam hatinya, namun Sanders berusaha mengabaikan. Bagiamana pun, Faleesha harus belajar menyelesaikan masalahnya sendiri. Dia juga nantinya yang akan menggantikan posisi ayahnya. “Apa kita ke perusahaan Tuan Fahaz saja?” tanya Nick memastikan. “Tidak perlu, jalan saja,” balas Sanders. “Apa Tuan tidak khawatir pada Nona?” “Tentu saja khawatir, tapi dia perlu belajar mandiri jika ingin memimpin perusahaan, Jika nanti ada kendala, barulah aku turun tangan,” balas Sanders. Nick tidak pernah melihat perubahan yang begitu besar pada majikannya selama ini. Dinilainya Sanders jauh lebih tenang dan tidak pernah emosi berlebihan. Faleesha benar-benar membawa dampak yang baik untuknya. “Lagipula katamu tadi, ist
Ada seseorang yang keras kepala selain dirinya. Sanders menyadari William bukan hanya keras kepala. Tetapi juga intimidatif. Namun, pria tua itu juga lupa siapa yang sedang ia intimidasi. “Kalau begitu kau mendekati ajalmu sendiri,” ucap William dengan sorot tajam. “Kita lihat hancurnya perusahaanmu perlahan, karena sebentar lagi pemiliknya akan hancur di tanganku.” Pria paruh baya itu yakin kali ini Sanders tidak bisa berkutik, apalagi dia masuk ke dalam rumahnya tanpa ditemani siapa pun. “Bahkan seekor singa pun tidak pernah menerima kekalahan dengan mudah,” ucap Sanders dengan santai. “Sayangnya kau hanya tikus kecil bagiku sekarang-” “Kupikir kau licik seperti kata orang-orang, rupanya kau tak lebih dari sekedar orang bodoh yang ceroboh. Berani sekali kau datang kemari dengan percaya diri, dan aku berharap bisa keluar dengan mudah?” Tawa William menggema di seluruh ruangan. Dia pikir sudah di atas awan. Menang telak atas ketidakberdayaan Sanders. “Aku memang bisa keluar d