Siang itu, Lea mulai menikmati waktunya di rumah tepi danau milik mendiang ibu Kayden. Meski sempat merasa cemas, udara segar, kicauan burung yang sesekali terdengar, serta ketenangan di sekelilingnya perlahan membuatnya lebih rileks.Yang lebih mengejutkan, Kayden menemaninya berkeliling. Pria itu menunjukkan setiap sudut rumah yang minimalis namun terasa nyaman—kamar-kamar dengan perabotan simpel dan sebuah ruang baca kecil di sudut lantai dua. Lea mendengarkan dengan seksama meskipun pikirannya masih dipenuhi tanda tanya.“Setelah ibuku meninggal, ini adalah tempat pelarianku,” ujar Kayden sambil tersenyum, matanya berbinar penuh ketulusan. “Tidak ada yang tahu tempat ini, termasuk ayahku.”Lea terdiam, menyimak setiap kata yang diucapkan pria itu. Siang ini, Kayden lebih banyak bicara. Meski sesekali ucapannya terdengar menyebalkan di telinga Lea, namun kali ini berbeda—pria itu lebih terbuka dari biasanya.“Dan kamu membawaku ke tempat persembunyianmu,” gumam Lea pelan.Kayden me
Jantung Lea berdebar begitu kencang hingga tubuhnya terasa melayang. Ia buru-buru menurunkan tangannya ke bawah meja, lalu menggenggam jemarinya sendiri dengan erat. Kayden mungkin tidak mengatakan maksudnya secara gamblang, tetapi kali ini Lea mengerti.Seolah menguatkan pemikirannya barusan, Kayden kembali berbicara dengan suara lebih rendah. “Aku ingin kamu memercayaiku mulai sekarang, Lea Rose.”Lea membeku di tempatnya. Selama ini, Kayden selalu memaksanya bertahan dengan ancaman hingga membuatnya tak punya pilihan. Namun terlepas dari itu semua, Kayden adalah satu-satunya orang yang tidak pernah menyakitinya seperti Noah atau keluarganya.Ironis, sejak kapan Lea mulai melihatnya seperti itu? Sejak kapan pikirannya mulai menerima kenyataan bahwa pria yang mengancamnya … juga menjadi satu-satunya yang melindunginya?“Sekarang, cepat habiskan makananmu dan beristirahat di kamar,” kata Kayden dengan nada yang lebih lembut.Lea tidak membantah. Tanpa banyak berpikir, ia segera mengha
Malam ini hingga dua hari ke depan, hanya ada Lea dan Kayden di rumah tepi danau ini. Setelah mengetahui bahwa seluruh keluarga Easton terbang ke Italia selama satu minggu, Lea memilih untuk tidak membantah.‘Sekali ini saja ... aku ingin menjalani hari-hariku dengannya tanpa merasa terbebani.’ Kata-kata itu menggema di kepalanya saat Kayden memutuskan mereka tetap tinggal.Bukan hal yang mengejutkan lagi. Noah dan keluarganya pergi tanpa sepengetahuannya. Seakan keberadaannya tidak cukup penting untuk diberi tahu. Memangnya siapa dirinya?Setelah membersihkan diri dan menikmati makan malam, Lea teringat akan ruang baca di sudut rumah. Keinginan untuk menghabiskan waktu di sana muncul begitu saja, seperti dorongan lembut yang membawanya melangkah menuju pintu kayu yang sedikit terbuka.Lea menyentuh kenop pintu yang dingin dan mendorongnya perlahan. Pintu terbuka tanpa hambatan, memperlihatkan ruangan yang diterangi cahaya temaram. Aroma kertas lama dan tinta langsung menyelinap ke da
Usai menghabiskan waktu selama dua jam membaca buku, sekarang Lea sibuk bergelut dengan cangkir dan sendok di dapur. Tangannya dengan cekatan membuat cokelat panas dengan taburan marshmallow di atasnya.Aroma manis memenuhi udara saat uap mengepul dari cangkir yang ia genggam. Dengan hati-hati, ia membawa minuman itu ke ruang tengah. Namun langkahnya terhenti begitu melihat Kayden duduk di sofa sedang fokus pada ponselnya.Sejak kapan pria itu duduk di sana?Jujur saja, Lea merasa ragu apakah ia harus melangkah ke sana atau pergi ke tempat lain.“Sampai kapan kamu berencana berdiri di sana sambil mengamatiku terus?” Suara bariton pria itu seketika memecah keheningan. Tatapannya tak sedikit pun beralih dari layar ponsel di tangannya.Lea sedikit tersentak. Matanya mengerjap pelan sebelum akhirnya berjalan mendekat, lalu duduk di samping Kayden. Meski sempat canggung, namun seruputan pertama dari cokelat panasnya membuatnya tersenyum puas.“Yum!” serunya antusias.Kayden melirik sekilas
Keesokan paginya, Lea terbangun dalam dekapan Kayden. Kehangatan tubuh pria itu membuatnya enggan beranjak, apalagi dengan udara dingin dan salju yang turun di luar. Namun keinginannya untuk merasakan air panas di bawah pancuran akhirnya mengalahkan godaan untuk tetap tinggal.Setelah mandi singkat, Lea keluar dengan tubuh menggigil sambil memeluk erat jubah mandinya. Napasnya berembun tipis saat bertemu udara dingin. Saat ia duduk di depan meja rias, Kayden yang baru saja terbangun tiba-tiba menariknya kembali ke ranjang dan memeluknya erat.“Kamu sangat wangi,” gumamnya dengan mata terpejam, menikmati aroma yang menguar dari tubuh Lea. Namun matanya langsung terbuka saat tetesan air dari rambut wanita itu jatuh ke wajahnya.Tanpa banyak bicara, Kayden melingkarkan tangannya di pinggang ramping Lea, lalu dengan mudah mengangkat tubuhnya dan menggesernya ke samping. Setelah itu, ia turun dari ranjang untuk mengambil pengering rambut.Lea mengulurkan tangan, bersiap menerima alat itu,
Lea begitu menikmati waktunya di rumah tepi danau hingga tak menyadari betapa cepat waktu berlalu. Hari ini, mereka harus kembali ke kediaman Easton setelah menghabiskan dua hari penuh di tempat ini.Dengan langkah enggan, Lea berjalan menuju mobil. Sebelum masuk, pandangannya kembali tertuju pada bangunan kayu itu. Entah mengapa, ia merasa seperti sedang berpisah dengan mendiang ibu Kayden—seseorang yang bahkan tak pernah ia temui, tetapi meninggalkan jejak yang samar dalam keheningan rumah itu.Saat mobil perlahan bergerak meninggalkan rumah tersebut, Lea menyandarkan kepalanya ke jendela. Matanya mengamati hamparan salju yang semakin menjauh, sementara embusan napasnya mengepul tipis di permukaan kaca.“Kamu terlihat murung. Ada apa?” Kayden melirik sekilas ke arah Lea sebelum kembali fokus ke jalanan.Lea sedikit menggeliat, membetulkan posisinya. “Uhm, aku hanya merasa sedikit sedih. Rasanya seperti aku baru saja berpisah dengan …,” Ia ragu-ragu, tatapannya tertuju pada Kayden se
Grand Aurelia Ballroom.Pesta ulang tahun ke-50 Liam Thompson digelar dengan megah di salah satu ballroom eksklusif hotel berbintang. Lampu kristal menggantung di langit-langit, memantulkan cahaya mewah yang menari di permukaan lantai marmer. Musik klasik mengalun lembut, menciptakan suasana elegan yang terasa asing bagi Lea di malam yang gemerlap ini.Dengan gaun merah yang membalut tubuhnya dengan sempurna, Lea tampak memesona. Namun kehadirannya justru menarik terlalu banyak perhatian. Ia merasa seperti seekor domba di tengah kawanan serigala.Saat Lea menghampiri keluarganya, tatapan tajam Astrid langsung menyambutnya. Wanita itu menyapu pandangan ke sekeliling, mencari sosok dari keluarga Easton yang seharusnya datang bersama wanita itu.“Di mana Kayden Easton?” bisik Astrid dengan nada tajam, senyumnya tetap terpatri demi menjaga wibawa di hadapan para tamu.Lea merasa terpojok. “Dia ada urusan lain dan tidak bisa datang,” jawabnya berusaha setenang mungkin.Ekspresi Astrid seke
Lea nyaris membelalakkan mata saat melihat sosok Kayden melangkah tegap ke arahnya. Ia bahkan sempat memejamkan mata sejenak, sebagai usaha untuk memastikan bahwa penglihatannya tidak menipunya. Namun berapa kali pun ia mengedip, sosok di depannya tetaplah Kayden.“Sir,” ucap Lea sopan, meski keterkejutan masih terasa dalam nada suaranya.Kayden tidak langsung menanggapi. Pria itu hanya berdiri di hadapannya, lalu menatapnya tanpa ekspresi sebelum akhirnya membuka suara.“Ke mana saja kamu, hm?”Lea bergumam pelan. “Uhm, aku hanya pergi mencari udara segar sebentar,” sahutnya hampir ragu. Ia mencodongkan tubuhnya sedikit ke depan dan berbisik, “Kupikir kamu tidak akan datang.”Kayden menyunggingkan senyum miring. “Ternyata kamu masih suka membuat asumsi yang salah,” balasnya santai.Lea memanyunkan bibir. Bukan dirinya yang selalu salah berasumsi, tetapi memang Kayden yang tidak bisa ditebak sama sekali. Terakhir kali saat Lea memberinya jawaban 'terserah', Kayden menegaskan bahwa dia
Pagi itu, seisi dunia maya mendidih. Jagat media sosial dipenuhi spekulasi dan teori konspirasi, sementara portal-portal berita online berlomba memuat headline sensasional.‘Gempar! Roseanna Diduga Lea Rose Thompson, Putri Haram Liam Thompson yang Dikabarkan Meninggal Setahun Lalu’‘Sosialita Misterius Ternyata Putri Konglomerat? Lea Rose Thompson Muncul Kembali di Hadapan Publik!’‘Netizen Dibuat Bingung: Kematian Lea Rose Thompson Kini Dipertanyakan!’Cuplikan video saat Roseanna berdiri di atas panggung pada acara amal malam itu tersebar di berbagai platform. Sorot mata yang sama, postur tubuh, hingga suara lembut yang terdengar saat ia menyampaikan pidato—semuanya dibedah publik. Tak sedikit yang membandingkan wajahnya dengan foto-foto lama Lea semasa hidup, dan sebagian besar sepakat bahwa ini bukan kebetulan.“Ini benar-benar dia,” seseorang menulis di kolom komentar. “Putri Liam Thompson tidak mati. Dia kembali. Dengan nama baru.”Mereka yang tahu sejarah keluarga Thompson meng
Beberapa hari setelah artikel itu menyebar, Astrid duduk di ruang kerja pribadinya yang tertutup rapat, ditemani oleh asisten barunya, Veronica—seorang wanita elegan dengan kecerdasan tajam yang selalu bisa membedakan antara informasi berharga dan gosip biasa.“Aku butuh seseorang yang bisa membalikkan opini publik,” ucap Astrid dingin. “Bukan pengacara, bukan PR biasa. Aku butuh kekuatan.”Veronica ragu sejenak, lalu membuka tabletnya. Jari-jarinya lincah mengetuk layar sebelum berhenti di sebuah nama.“Ada satu nama yang muncul dalam beberapa lingkaran tertutup. Hanya segelintir orang yang pernah melihatnya langsung. Tapi dia muncul di balik proyek-proyek amal besar dan berpengaruh … juga beberapa kebijakan bisnis pemerintah yang, entah bagaimana, selalu menguntungkan pihak tertentu.” Veronica menoleh. “Namanya Roseanna.”Astrid menyipitkan mata. “Aku belum pernah dengar.”“Wajar. Dia bukan tipe yang suka tampil. Tapi mereka yang pernah bekerja sama dengannya bersumpah dia bisa ‘men
Astrid duduk di ruang tamu megah rumahnya, matanya terbakar kemarahan saat ia memandang layar ponsel yang tergenggam erat di tangannya. Berita yang baru saja muncul di media sosial membuat darahnya mendidih. Judul besar itu menyoroti nama keluarganya dengan mencolok.‘Skandal Keuangan Keluarga Thompson: Penggelapan Dana dalam Proyek Pembangunan.’Tangan Astrid gemetar, tapi ia berusaha untuk tetap tenang. Suaminya, Liam Thompson, sering mengingatkan untuk selalu menjaga citra mereka di public, namun apa yang ia lihat sekarang adalah bencana.Berita itu tidak hanya merusak reputasi keluarga, tapi juga mengguncang fondasi kekuasaan yang sudah mereka bangun selama bertahun-tahun.Di layar, sebuah artikel panjang menguraikan bagaimana dana besar yang mereka investasikan dalam proyek pembangunan kota terbarukan ternyata menghilang begitu saja. Beberapa nama terlibat, tetapi nama keluarganya—terutama dirinya—disebutkan dalam konteks yang sangat mencurigakan.“Sialan!” bentaknya marah.Tidak
Setelah itu, Lea kembali naik ke kamarnya dan berpakaian. Ia merias wajahnya sedikit, lalu berjalan keluar menuju kamar seseorang. Langkahnya berhenti tepat di depan pintu bercat cokelat gelap.Ia mengetuknya pelan, namun tegas.Tak lama kemudian, pemilik kamar membukakan pintu dan berdiri dengan tubuh tegap.“Aku butuh bantuanmu,” kata Lea tanpa basa-basi.Kening Silas mengernyit sebentar sebelum ia mengangguk dan mempersilakan Lea masuk. “Bicarakan di dalam.”Lea melangkah masuk dan berhenti di depan ranjang besar milik pria itu. Wajahnya serius. Tak ada keraguan di matanya.“Bantu aku membalas dendam,” ucapnya mantap. “Kata Rhael, kamu orang yang bisa membantuku untuk hal seperti ini.”Silas menutup pintu, lalu bersandar pada dinding dengan ekspresi datar. “Aku tidak suka terlibat dalam urusan yang tidak jelas. Siapa yang ingin kamu balas?”“Astrid Galen.”Mata Silas sedikit menyipit. “Siapa dia?”“Ibu tiriku,” jawab Lea tanpa ragu. “Dan dalang di balik kecelakaan yang menimpaku. D
Lea baru saja selesai mandi ketika menyadari sesuatu yang aneh—rak handuk di dalam kamar mandinya kosong. Ia mengernyit. Handuk yang selalu tergantung di sana—handuk yang selalu ia pakai—tidak ada.Tatapannya tiba-tiba beralih ke pintu kayu kecil di sudut kamar mandi. Pintu itu sempat ia perhatikan saat pertama kali menempati kamar ini, tapi belum pernah ia buka. Julianne sempat menyebut bahwa kamar ini dulunya milik Silas saat remaja. Sejenak, Lea jadi penasaran. Kira-kira apa yang tersembunyi di balik pintu kayu itu.Perlahan, ia mendorong daun pintu yang tidak dikunci. Di baliknya, sebuah ruang baca mungil terbentang—berdebu, tapi masih tertata rapi. Di tengah ruangan itu, Silas berdiri membelakangi pintu, sedang mengelap tangannya dengan ….Itu handuknya!Lea terdiam di ambang pintu, mengenakan jubah mandi tipis, rambutnya masih basah menetes. “Itu milikku.”Silas menoleh. Sekilas tampak terkejut, tapi ekspresinya segera kembali tenang. “Aku kira ini handuk bersih. Kupikir ruang
Keesokan paginya, aroma masakan memenuhi seluruh penjuru rumah. Julianne bangun lebih awal dari biasanya dan menghabiskan waktu berjam-jam di dapur, menyiapkan berbagai hidangan hangat untuk menyambut kepulangan putra sulung Indi. Di meja makan, piring-piring terisi penuh—roti panggang, salad, potongan buah segar, dan tumisan sayur favorit Silas.Mereka semua sudah duduk mengelilingi meja. Rhael tampak santai dengan rambut acak-acakan khas bangun tidur, sementara Silas mengambil tempat di seberang Lea. Posturnya tegap, sikapnya tenang, dan sejak awal sarapan pandangan matanya hampir tak pernah berpaling dari wanita di hadapannya.Julianne menyendokkan salad ke piring Lea, lalu tersenyum hangat. “Sayang, kamu sudah bertemu Silas? Dia kakaknya Rhael. Baru pulang tadi malam.”Lea membenarkan posisi duduknya sebelum mengangguk sopan. “Sudah. Kami sempat bertemu tadi malam dan berkenalan,” ujarnya singkat.Senyum Julianne melebar. “Bagus. Kalian akan tinggal serumah, jadi akan lebih nyaman
Sudah satu bulan berlalu sejak insiden terakhir, dan hubungan Lea dengan Rhael perlahan membaik. Sikap saudara tirinya itu tak lagi sedingin es seperti dulu. Ucapannya pun tak setajam biasanya. Meski masih ada jarak yang terasa, setidaknya mereka mulai bisa menghabiskan waktu bersama tanpa saling menghindar.Malam itu, mereka duduk santai di ruang keluarga, menonton film aksi yang tengah populer. Makanan ringan berserakan di atas meja—semuanya hasil pesan online yang ditangani langsung oleh Rhael. Lea sesekali tertawa kecil melihat ekspresi tegang Rhael saat adegan penuh ledakan muncul di layar.“Aku ke dapur sebentar. Jus-ku habis,” ujar Lea sambil bangkit, membawa gelas kosongnya.“Ambilkan aku air juga kalau kamu sempat,” sahut Rhael santai tanpa mengalihkan pandangannya dari layar.Lea mengangguk dan melangkah ringan menuju dapur. Tapi baru saja ia melintasi ambang ruangan, langkahnya mendadak terhenti. Matanya membelalak saat melihat seorang pria asing berdiri di depan kulkas, se
Lea melangkah keluar dari ruang pemeriksaan dengan napas sedikit terengah. Dokter mengatakan kondisinya membaik, meskipun tekanan psikisnya belum sepenuhnya stabil. Tubuhnya memang tidak memar sebanyak dulu, tapi pikirannya masih rapuh. Ia mendapati Rhael duduk menyandar di bangku, kakinya disilangkan dan earphone sudah kembali menggantung di leher. Matanya menatap layar ponsel tanpa ekspresi, seolah dunia tidak menarik selain apa pun yang sedang ia baca. “Sudah selesai?” tanya Rhael tanpa menoleh. Lea mengangguk kecil. “Ya.” Rhael bangkit, lalu memasukkan ponsel ke saku jaketnya. “Bagus. Ayo pulang. Aku lapar.” Namun sebelum langkah mereka benar-benar bergerak ke pintu keluar, Lea berhenti. Ia menatap Rhael yang kini berdiri sedikit di depan. “Aku ingin mampir dulu,” ucapnya pelan. Rhael mengerutkan dahi. “Mampir?” sahutnya heran. “Ada kafe di dua blok dari sini. Aku ingin makan cake.” “Cake?” ulang Rhael, nadanya terdengar mengejek. “Kamu baru saja dicek karena trauma, dan s
Untuk sesaat, Kayden membeku. Pandangannya tak berubah, tapi tubuhnya menegang. Ia memutar tubuhnya perlahan dan menatap Jonas tajam.“Di mana dia?” Suaranya dalam dan mendesak.“Lokasinya di dekat tempat parkir bandara lama, kira-kira satu jam dari sini. Tim sedang menuju ke sana.”“Kita ke sana sekarang,” ucap Kayden tanpa ragu.Mereka melangkah tergesa menuju mobil yang diparkir sembarangan di seberang jalan, di bawah rindangnya pohon yang daunnya berguguran tertiup angin.Begitu pintu mobil terbuka, Kayden langsung masuk ke kursi penumpang dan membanting pintunya dengan suara berat. Jonas menyusul, lalu menyalakan mesin tanpa bicara, seolah ikut larut dalam ketegangan yang memenuhi udara.Untuk beberapa detik, suara angin dan ombak dari kejauhan jadi satu-satunya yang terdengar.Lalu…Mesin mobil menderu kencang memecah keheningan pagi itu. Ban berdecit ringan saat mobil melaju meninggalkan tepi teluk.Beberapa menit berlalu dalam diam sebelum akhirnya Kayden bertanya, “Seberapa j