Grand Aurelia Ballroom.Pesta ulang tahun ke-50 Liam Thompson digelar dengan megah di salah satu ballroom eksklusif hotel berbintang. Lampu kristal menggantung di langit-langit, memantulkan cahaya mewah yang menari di permukaan lantai marmer. Musik klasik mengalun lembut, menciptakan suasana elegan yang terasa asing bagi Lea di malam yang gemerlap ini.Dengan gaun merah yang membalut tubuhnya dengan sempurna, Lea tampak memesona. Namun kehadirannya justru menarik terlalu banyak perhatian. Ia merasa seperti seekor domba di tengah kawanan serigala.Saat Lea menghampiri keluarganya, tatapan tajam Astrid langsung menyambutnya. Wanita itu menyapu pandangan ke sekeliling, mencari sosok dari keluarga Easton yang seharusnya datang bersama wanita itu.“Di mana Kayden Easton?” bisik Astrid dengan nada tajam, senyumnya tetap terpatri demi menjaga wibawa di hadapan para tamu.Lea merasa terpojok. “Dia ada urusan lain dan tidak bisa datang,” jawabnya berusaha setenang mungkin.Ekspresi Astrid seke
Lea nyaris membelalakkan mata saat melihat sosok Kayden melangkah tegap ke arahnya. Ia bahkan sempat memejamkan mata sejenak, sebagai usaha untuk memastikan bahwa penglihatannya tidak menipunya. Namun berapa kali pun ia mengedip, sosok di depannya tetaplah Kayden.“Sir,” ucap Lea sopan, meski keterkejutan masih terasa dalam nada suaranya.Kayden tidak langsung menanggapi. Pria itu hanya berdiri di hadapannya, lalu menatapnya tanpa ekspresi sebelum akhirnya membuka suara.“Ke mana saja kamu, hm?”Lea bergumam pelan. “Uhm, aku hanya pergi mencari udara segar sebentar,” sahutnya hampir ragu. Ia mencodongkan tubuhnya sedikit ke depan dan berbisik, “Kupikir kamu tidak akan datang.”Kayden menyunggingkan senyum miring. “Ternyata kamu masih suka membuat asumsi yang salah,” balasnya santai.Lea memanyunkan bibir. Bukan dirinya yang selalu salah berasumsi, tetapi memang Kayden yang tidak bisa ditebak sama sekali. Terakhir kali saat Lea memberinya jawaban 'terserah', Kayden menegaskan bahwa dia
Musik masih mengalun ketika pembawa acara mengumumkan pergantian pasangan dansa. Lea bahkan tidak punya waktu untuk menyadari apa yang terjadi saat seseorang menyentuh tangannya menggantikan Kayden.Lea kini menari dengan pria lain—seorang tamu yang sama sekali tak ia kenal. Sementara itu, Kayden terpaksa berdansa dengan seorang wanita yang mendekatinya lebih dulu.Namun berbeda dengan Lea yang berusaha menyesuaikan diri dengan pasangannya, Kayden sama sekali tidak tertarik dengan wanita di hadapannya. Raut wajahnya kaku, sorot matanya dingin. Tatapannya sama sekali tak lepas dari Lea.Ia memperhatikan setiap gerakan wanita itu. Bagaimana pria yang kini menjadi pasangannya menuntun Lea, bagaimana tangan lelaki itu menyentuh pinggangnya. Otot rahang Kayden berdenyut keras.Kayden tidak menyukai ini.Sama sekali tidak.“Tuan Easton,” suara lembut wanita di hadapannya berusaha menarik perhatiannya. “Anda terlihat tidak nyaman. Apa saya menari terlalu buruk?”Kayden mengalihkan pandangan
Astrid sedang menikmati segelas anggur ketika suara langkah tergesa-gesa mendekatinya. Ia mengangkat alis ketika melihat Emma berjalan cepat dengan ekspresi murka, mata putrinya itu dipenuhi kemarahan yang tak terbendung.“Aku sudah muak!” Emosi Emma meledak begitu sampai di hadapan ibunya. “Aku tidak percaya dia benar-benar melakukan ini padaku!”Astrid menurunkan gelasnya dengan tenang, lalu menatap Emma dengan penuh tanya. “Siapa yang kamu maksud?”“Siapa lagi kalau bukan Kayden Easton?” Emma hampir berteriak, tapi langsung menekan suaranya agar tidak mengundang perhatian. “Dia mengusirku! Demi wanita itu! Di depan mataku, dia membela si jalang Lea dan memperlakukannya seolah-olah dia sesuatu yang berharga!”Sekilas, ekspresi Astrid tampak kaku. Namun ia tetap menjaga ketenangannya dan menyandarkan tubuh ke kursi dengan elegan. “Ceritakan pada ibu. Bagaimana kejadiannya?”Emma mengepalkan tangan, napasnya naik-turun akibat emosi yang meluap. “Aku hanya ingin memberi jalang itu peri
Begitu pesta selesai, Emma tiba di kamarnya dengan langkah kasar. Setelah pintu tertutup, ia langsung melempar barang-barang yang ada di dekatnya. Sebuah teriakan penuh kemarahan meledak dari mulutnya, disertai umpatan kasar yang ditujukan pada Lea yang bahkan tidak bisa mendengarnya.Sejak Kayden membawa Lea pergi, Emma tidak lagi bisa menikmati pesta ulang tahun ayahnya yang megah. Setiap ucapan selamat dan tawa tamu-tamu yang hadir terasa seperti ejekan di telinganya. Dalam hatinya hanya ada kemarahan yang membara pada saudara tirinya itu.“Kenapa jalang itu selalu menghancurkan kebahagiaanku?! Aku ingin dia mati sekarang!” teriaknya, lalu menyambar vas di atas nakas dan melemparkannya ke lantai.Pecahan kaca berhamburan dan hampir mengenai kakinya, tetapi Emma sama sekali tidak peduli.Napasnya memburu sementara dadanya naik turun dengan liar. Ia tidak bisa menerima ini—tidak setelah apa yang terjadi tadi. Lea harus dihancurkan.Emma meraih ponselnya dengan tangan gemetar karena a
Pagi itu, Lea menuruni anak tangga dengan anggun. Langkahnya pelan saat melewati lorong menuju ruang makan. Setibanya di sana, ia melihat Madam Eleanor tengah menuangkan teh ke dalam cangkir.“Selamat pagi, Nyonya Rose,” sapa Madam Eleanor saat Lea memasuki ruangan.Lea menarik kursi dengan gerakan tenang, ujung jemarinya menyentuh permukaan kayu berukir sebelum akhirnya duduk. Ia menoleh ke arah Madam Eleanor dengan senyum manis yang tersungging di bibirnya.“Selamat pagi, Madam,” sahutnya sopan.Di atas meja, aneka hidangan tersaji dengan aroma menggugah selera. Roti panggang hangat dengan olesan mentega yang meleleh, omelet lembut berisi paprika dan keju, serta semangkuk sup kaldu ayam. Secangkir teh hitam beraroma melati tersaji dalam cangkir porselen berhias emas, menambah kesan elegan pada pagi yang tenang.Lea meraih sendoknya, lalu mengaduk sup di depannya dengan perlahan. Namun sebelum ia sempat menyendokkan suapan pertama, Madam Eleanor yang tengah menuangkan kopi ke dalam c
Lea segera bergerak, lalu berdiri di samping Kayden sebelum pria itu sempat bangkit. Dengan cepat, tangannya menekan kepala pria itu dengan cukup kuat mencegahnya untuk berdiri.“Diam di sana,” bisiknya.Kayden mengerutkan kening, tetapi tidak langsung melawan. Ia hanya menatap wanita itu dengan tatapan tajam yang menyiratkan ketidaksabaran. Namun sebelum ia bisa berkata apa pun, Lea sudah menekan kepalanya lebih kuat.Seperti dugaan Lea, pelayan itu akhirnya menyadari keberadaannya di dalam paviliun kaca. Pelayan itu tersenyum sopan padanya. Meski kegugupan menyergap dada Lea, tetapi ia tetap memasang ekspresi santai.Lalu, tanpa Lea duga, pelayan itu tiba-tiba melangkah ke arahnya. Panik, Lea buru-buru keluar menghampirinya sebelum wanita itu sempat melihat lebih jauh ke dalam paviliun dan menyadari keberadaan Kayden di sana.“Uhm, hai,” sapa Lea begitu berdiri di depan si pelayan, bibirnya melengkung canggung.Pelayan itu membalas senyumnya. “Maaf, Nyonya. Saya tidak bisa menemukan
Vincent membantu menarikkan kursi untuk Lea sebelum mempersilakan wanita itu duduk.Lea merasa canggung luar biasa, tetapi tetap tersenyum kecil. “Padahal kamu tidak perlu repot-repot. Tapi, terima kasih,” ujarnya sambil duduk.Vincent tersenyum simpul. “Untuk wanita cantik sepertimu? Sama sekali bukan repot.”Lea merasa tersipu, tapi ia segera menguasai ekspresinya agar tetap terlihat tenang.“Jadi, bagaimana kabarmu?” tanya Vincent.Lea mengangguk pelan. “Aku baik, berkatmu. Aku belum sempat berterima kasih dengan benar karena malam itu ….” Ia menarik napas. “Kalau bukan karena kamu, aku tidak tahu apa yang akan terjadi. Aku benar-benar berhutang budi padamu.”Vincent menatapnya lekat. “Kamu tidak perlu memikirkan itu, Lea. Aku hanya melakukan apa yang seharusnya.”Lea hendak menjawab, tapi Vincent sudah terkekeh pelan.“Tapi, tahu tidak? Kalau aku tidak melihat langsung kejadian malam itu, aku mungkin akan mengira kamu adalah seorang pelari maraton yang sedang berlatih di tengah ma
Lea melangkah keluar dari ruang pemeriksaan dengan napas sedikit terengah. Dokter mengatakan kondisinya membaik, meskipun tekanan psikisnya belum sepenuhnya stabil. Tubuhnya memang tidak memar sebanyak dulu, tapi pikirannya masih rapuh. Ia mendapati Rhael duduk menyandar di bangku, kakinya disilangkan dan earphone sudah kembali menggantung di leher. Matanya menatap layar ponsel tanpa ekspresi, seolah dunia tidak menarik selain apa pun yang sedang ia baca. “Sudah selesai?” tanya Rhael tanpa menoleh. Lea mengangguk kecil. “Ya.” Rhael bangkit, lalu memasukkan ponsel ke saku jaketnya. “Bagus. Ayo pulang. Aku lapar.” Namun sebelum langkah mereka benar-benar bergerak ke pintu keluar, Lea berhenti. Ia menatap Rhael yang kini berdiri sedikit di depan. “Aku ingin mampir dulu,” ucapnya pelan. Rhael mengerutkan dahi. “Mampir?” sahutnya heran. “Ada kafe di dua blok dari sini. Aku ingin makan cake.” “Cake?” ulang Rhael, nadanya terdengar mengejek. “Kamu baru saja dicek karena trauma, dan s
Untuk sesaat, Kayden membeku. Pandangannya tak berubah, tapi tubuhnya menegang. Ia memutar tubuhnya perlahan dan menatap Jonas tajam.“Di mana dia?” Suaranya dalam dan mendesak.“Lokasinya di dekat tempat parkir bandara lama, kira-kira satu jam dari sini. Tim sedang menuju ke sana.”“Kita ke sana sekarang,” ucap Kayden tanpa ragu.Mereka melangkah tergesa menuju mobil yang diparkir sembarangan di seberang jalan, di bawah rindangnya pohon yang daunnya berguguran tertiup angin.Begitu pintu mobil terbuka, Kayden langsung masuk ke kursi penumpang dan membanting pintunya dengan suara berat. Jonas menyusul, lalu menyalakan mesin tanpa bicara, seolah ikut larut dalam ketegangan yang memenuhi udara.Untuk beberapa detik, suara angin dan ombak dari kejauhan jadi satu-satunya yang terdengar.Lalu…Mesin mobil menderu kencang memecah keheningan pagi itu. Ban berdecit ringan saat mobil melaju meninggalkan tepi teluk.Beberapa menit berlalu dalam diam sebelum akhirnya Kayden bertanya, “Seberapa j
Sudah beberapa bulan sejak pemakaman Lea, tapi Kayden masih belum bisa melupakan wanita itu. Hidupnya mungkin berjalan sebagaimana mestinya—pekerjaan, rapat, tanggung jawab perusahaan—namun hati dan perasaannya tertinggal di hari pemakaman itu.Sejak saat itu, Kayden memutuskan pindah. Ia meninggalkan rumah mewah milik keluarga Easton dan menempati apartemen yang dulunya dihuni oleh Lea. Bagi orang lain itu mungkin terlihat gila atau bahkan menyedihkan secara tidak sehat. Tapi baginya, hanya itu satu-satunya cara agar ia merasa dekat dengan wanita yang telah mengambil seluruh hatinya.Malam itu, setelah bekerja seharian dan menyelesaikan rapat penting yang menjemukan, Kayden memilih menghabiskan waktu di bar mewah di pusat kota. Tempat itu penuh cahaya temaram, dentingan gelas, dan alunan musik jazz yang memenuhi udara.“Tuan Muda Easton, mau kutemani malam ini?”Suara itu menggoda, lembut namun jelas ditujukan untuk menarik perhatian. Seorang wanita cantik bertubuh ramping mendekatin
Mereka duduk di meja makan dengan formasi yang tampak biasa saja—Indi di kepala meja, Julianne di sisi kanan, dan dua kursi di kiri dan kanan yang kini ditempati Lea dan Rhael. Tapi tidak ada yang benar-benar terasa biasa.Lea duduk dengan tenang, menyendok sup labu yang masih mengepul. Tangannya bergerak pelan. Tapi bukan karena gugup, lebih karena tubuhnya yang masih dalam pemulihan.“Supnya seperti biasa, luar biasa,” ujar Indi mencoba membuka percakapan.Julianne tersenyum. “Resep lama dari Mama.”Rhael hanya memutar sendoknya dalam mangkuk, pria itu sama sekali tak menyentuh makanannya. Matanya sesekali melirik ke arah Lea, tapi bukan dengan ketertarikan.Lea sadar, tentu saja.“Kamu makan dengan tenang sekali,” ucap Rhael. “Padahal bisa saja sup ini mengandung sesuatu.”Julianne sempat terbatuk kecil. Indi menghentikan gerakannya, lalu menoleh tajam. Tapi Rhael hanya tertawa pelan.“Aku hanya heran,” katanya tenang. “Dia tampak nyaman sekali duduk di meja ini. Padahal baru beber
Indi menoleh sambil menghela napas. “Bersikaplah sopan, Rhael.”Rhael.Lea langsung meresapi nama itu ke kepalanya.Pria bernama Rhael itu berhenti tepat di hadapan Lea, namun menjaga jarak. Ia tidak mengulurkan tangan, tidak pula tersenyum.“Lea,” ujar Indi, memperkenalkan dengan nada tenang, “ini putraku. Rhaeliel Ravenwood. Dia baru kembali dari New York tadi pagi.”Lea mengangguk sopan. “Senang bertemu dengan Anda.”Alih-alih menjawab, Rhael justru memiringkan kepala sedikit, alisnya terangkat ringan. “Aneh. Biasanya orang bilang ‘senang bertemu denganmu’ hanya untuk basa-basi. Tapi dari nadamu, aku bisa lihat kamu benar-benar serius. Itu langka.”Lea menahan diri untuk tidak mengerutkan kening. Dari nada bicara serta sikapnya, Lea tahu persis bahwa Rhael tidak akan menyukainya.“Dia belum sepenuhnya pulih,” sahut Indi memperingatkan. “Jangan mulai dengan permainanmu, Rhael.”Rhael tertawa kecil. “Permainan? Aku hanya mengamati. Lagi pula, jarang-jarang ada seseorang yang hidup la
Sudah satu tahun sejak nama Lea Rose dibisikkan dengan iba dan air mata.Setahun sejak makamnya dipenuhi bunga dan berita kematiannya memenuhi halaman utama.Setahun sejak dunia mengira kisahnya telah usai.Tapi malam ini, di bawah cahaya kristal dan denting gelas berisi sampanye, kisah itu menolak tamat.Acara amal ‘Hope for Women’ digelar megah di ballroom hotel bintang lima milik keluarga Thompson.Tamu-tamu terhormat berdatangan dengan gaun malam dan senyum palsu. Kamera menyorot setiap sudut ruangan. Dan para pembicara bergiliran naik ke atas panggung, mengucapkan kata-kata manis yang ditulis oleh sekretaris mereka.Dan di tengah semua kemewahan itu, pintu utama terbuka perlahan.Bukan dengan gegap gempita. Bukan dengan pengumuman.Melainkan hanya suara langkah pelan yang menimbulkan hening sesaat.Semua mata beralih.Dan waktu seolah ikut terhenti.Gaun sutra putih menelusuri lantai marmer. Rambut hitam disanggul rapi, memperlihatkan garis wajah tegas nan tenang. Tatapan matanya
Empat hari berlalu sejak pencarian besar-besaran dilakukan di Teluk Seruni. Ombak telah surut, kabut mulai jarang turun, tapi tidak ada satu pun tanda keberadaan Lea yang ditemukan. Tidak pakaian, tidak sepatu, tidak jejak darah, tidak mayat. Seolah wanita itu menguap ditelan laut dan karang.Di sisi lain, tekanan dari media dan masyarakat terus meningkat. Termasuk dari keluarga Thompson yang akhirnya merilis pernyataan resmi lewat kuasa hukum mereka.'Dengan berat hati, kami menyatakan bahwa putri kami, Lea Rose Thompson, dinyatakan meninggal dunia. Kami berterima kasih kepada pihak kepolisian dan tim SAR atas upaya maksimal mereka. Kami memohon ruang dan privasi untuk berduka.'Pernyataan itu menyebar cepat di televisi, radio, dan media sosial. Kalimat sederhana itu menghantam Kayden lebih keras daripada semua badai yang pernah ia hadapi.Di dalam ruangannya yang gelap, ia menatap layar televisi yang menampilkan foto lama Lea—tersenyum dalam balutan gaun putih saat wisuda kuliah. K
Malam mulai turun pelan-pelan, menyapu Teluk Seruni dengan kelam yang lembap. Lampu-lampu dari tenda SAR berpendar redup di kejauhan, sesekali terdengar bunyi radio dari petugas yang masih berjaga.Kayden keluar dari tenda penyelidikan, rokok menyala di antara jari-jarinya. Ia jarang merokok—hampir tak pernah lagi—tapi malam ini tubuhnya menuntut pelarian. Asap pertama mengepul dari bibirnya bersamaan dengan helaan napas berat.Dia menatap lautan yang sama sekali tak memberi jawaban.Langkah Jonas terdengar dari belakang. “Tim SAR akan lanjut pencarian esok pagi, saat ombak sedikit tenang. Mereka butuh istirahat.”“Biarkan saja yang istirahat. Kita tidak bisa.” Kayden membuang puntung rokoknya, lalu mendekati pagar pembatas yang masih dipenuhi bekas coretan kuning polisi. “Apa kamu yakin tim kita sudah memeriksa semua jalur keluar masuk?”“Sudah, Sir. Tapi ada satu jalan lama yang terhubung ke gudang pelabuhan. Sudah tidak aktif sejak lima tahun lalu. Saya kirim dua orang ke sana untuk
Dada Kayden terasa seperti dihantam palu. Tangannya bergetar saat membaca ulang berita itu. Gambar mobil Lea yang setengah tenggelam di antara puing-puing pagar pembatas jalan tol laut terpampang jelas. Polisi menduga mobil itu menabrak pembatas, terjun ke laut, lalu terseret arus.Tapi tak ada jasad. Tak ada tubuh. Hanya mobil. Dan jejak yang seakan menghilang ditelan laut.“Tidak mungkin …,” bisik Kayden. Kepalanya langsung penuh dengan kemungkinan terburuk—namun juga dengan harapan kecil yang membakar dadanya.Tidak ada jasad. Itu berarti belum tentu dia mati, bukan?Ia meraih ponselnya. Yang ia butuhkan hanya satu, informasi akurat. Jonas.“Segera ke Teluk Seruni. Kerahkan semua orang yang kita punya. Aku ingin penyelaman dilakukan sampai radius sepuluh mil laut. Aku tidak peduli berapa biaya yang dibutuhkan. Temukan dia, hidup atau mati,” perintah Kayden ketika panggilan berhasil tersambung.“Sir, polisi—”“Polisi lambat. Aku tidak akan duduk diam menunggu mereka bekerja.”Setela