Begitu pesta selesai, Emma tiba di kamarnya dengan langkah kasar. Setelah pintu tertutup, ia langsung melempar barang-barang yang ada di dekatnya. Sebuah teriakan penuh kemarahan meledak dari mulutnya, disertai umpatan kasar yang ditujukan pada Lea yang bahkan tidak bisa mendengarnya.Sejak Kayden membawa Lea pergi, Emma tidak lagi bisa menikmati pesta ulang tahun ayahnya yang megah. Setiap ucapan selamat dan tawa tamu-tamu yang hadir terasa seperti ejekan di telinganya. Dalam hatinya hanya ada kemarahan yang membara pada saudara tirinya itu.“Kenapa jalang itu selalu menghancurkan kebahagiaanku?! Aku ingin dia mati sekarang!” teriaknya, lalu menyambar vas di atas nakas dan melemparkannya ke lantai.Pecahan kaca berhamburan dan hampir mengenai kakinya, tetapi Emma sama sekali tidak peduli.Napasnya memburu sementara dadanya naik turun dengan liar. Ia tidak bisa menerima ini—tidak setelah apa yang terjadi tadi. Lea harus dihancurkan.Emma meraih ponselnya dengan tangan gemetar karena a
Pagi itu, Lea menuruni anak tangga dengan anggun. Langkahnya pelan saat melewati lorong menuju ruang makan. Setibanya di sana, ia melihat Madam Eleanor tengah menuangkan teh ke dalam cangkir.“Selamat pagi, Nyonya Rose,” sapa Madam Eleanor saat Lea memasuki ruangan.Lea menarik kursi dengan gerakan tenang, ujung jemarinya menyentuh permukaan kayu berukir sebelum akhirnya duduk. Ia menoleh ke arah Madam Eleanor dengan senyum manis yang tersungging di bibirnya.“Selamat pagi, Madam,” sahutnya sopan.Di atas meja, aneka hidangan tersaji dengan aroma menggugah selera. Roti panggang hangat dengan olesan mentega yang meleleh, omelet lembut berisi paprika dan keju, serta semangkuk sup kaldu ayam. Secangkir teh hitam beraroma melati tersaji dalam cangkir porselen berhias emas, menambah kesan elegan pada pagi yang tenang.Lea meraih sendoknya, lalu mengaduk sup di depannya dengan perlahan. Namun sebelum ia sempat menyendokkan suapan pertama, Madam Eleanor yang tengah menuangkan kopi ke dalam c
Lea segera bergerak, lalu berdiri di samping Kayden sebelum pria itu sempat bangkit. Dengan cepat, tangannya menekan kepala pria itu dengan cukup kuat mencegahnya untuk berdiri.“Diam di sana,” bisiknya.Kayden mengerutkan kening, tetapi tidak langsung melawan. Ia hanya menatap wanita itu dengan tatapan tajam yang menyiratkan ketidaksabaran. Namun sebelum ia bisa berkata apa pun, Lea sudah menekan kepalanya lebih kuat.Seperti dugaan Lea, pelayan itu akhirnya menyadari keberadaannya di dalam paviliun kaca. Pelayan itu tersenyum sopan padanya. Meski kegugupan menyergap dada Lea, tetapi ia tetap memasang ekspresi santai.Lalu, tanpa Lea duga, pelayan itu tiba-tiba melangkah ke arahnya. Panik, Lea buru-buru keluar menghampirinya sebelum wanita itu sempat melihat lebih jauh ke dalam paviliun dan menyadari keberadaan Kayden di sana.“Uhm, hai,” sapa Lea begitu berdiri di depan si pelayan, bibirnya melengkung canggung.Pelayan itu membalas senyumnya. “Maaf, Nyonya. Saya tidak bisa menemukan
Vincent membantu menarikkan kursi untuk Lea sebelum mempersilakan wanita itu duduk.Lea merasa canggung luar biasa, tetapi tetap tersenyum kecil. “Padahal kamu tidak perlu repot-repot. Tapi, terima kasih,” ujarnya sambil duduk.Vincent tersenyum simpul. “Untuk wanita cantik sepertimu? Sama sekali bukan repot.”Lea merasa tersipu, tapi ia segera menguasai ekspresinya agar tetap terlihat tenang.“Jadi, bagaimana kabarmu?” tanya Vincent.Lea mengangguk pelan. “Aku baik, berkatmu. Aku belum sempat berterima kasih dengan benar karena malam itu ….” Ia menarik napas. “Kalau bukan karena kamu, aku tidak tahu apa yang akan terjadi. Aku benar-benar berhutang budi padamu.”Vincent menatapnya lekat. “Kamu tidak perlu memikirkan itu, Lea. Aku hanya melakukan apa yang seharusnya.”Lea hendak menjawab, tapi Vincent sudah terkekeh pelan.“Tapi, tahu tidak? Kalau aku tidak melihat langsung kejadian malam itu, aku mungkin akan mengira kamu adalah seorang pelari maraton yang sedang berlatih di tengah ma
“S-Siapa kamu? Apa yang kamu inginkan?” tanya Lea dengan suara bergetar.Pria bertato itu menyeringai kecil, tetapi tidak menjawab. Sebaliknya, ia berbalik sejenak lalu melangkah perlahan ke sudut ruangan sebelum kembali dengan sebilah pisau kecil di tangannya.“Aku ingin tahu,” kata pria bertato, suaranya terdengar main-main namun dingin dan penuh tekanan. “Seberapa berharganya kamu sampai seseorang ingin kamu tetap hidup.”Lea membeku. ‘Seseorang ingin aku tetap hidup?’ pikirnya dalam hati.Apa maksudnya? Apakah ini berarti pria itu tidak berniat membunuhnya? Atau justru ingin menyiksanya terlebih dahulu?Ketakutan semakin mencengkeram Lea dengan erat. Ia menggigit bibirnya, berusaha menahan isak yang nyaris lolos. Matanya mencari jalan keluar, tetapi tidak ada. Satu-satunya pintu keluar berada di belakang pria itu.Namun, ada sesuatu yang lebih membuat Lea terkejut.Pria itu memutar pisau di jarinya sebelum berbicara lagi, “Seseorang mengirim salam untukmu. Katanya, kamu harus bela
Ponselnya bergetar lagi. Kayden segera meraihnya dan menyipitkan mata saat melihat nama Jonas. Tanpa ragu, ia menjawab panggilan.“Sir, kami sudah menelusuri daftar individu dan kelompok yang memiliki ciri tato tersebut. Sepertinya kita menemukan kecocokan,” lapor Jonas di seberang telepon.Jari Kayden mengetuk lengan kursinya dengan ritme pelan. “Siapa?” tanyanya, suaranya terdengar serius.Jonas menyebutkan sebuah nama dan lokasi. Kayden terdiam sejenak, membiarkan informasi itu meresap dalam pikirannya sebelum akhirnya bersuara.“Pastikan mereka masih di sana. Aku akan ke sana sekarang.”“Apakah Anda ingin membawa pengawalan?”Kayden bangkit berdiri. “Aku akan menangani ini sendiri untuk sekarang, tapi siapkan tim untuk berjaga-jaga.”“Dimengerti, Sir.”Kayden mengakhiri panggilan telepon sebelum melangkah menuju garasi.Di tempat lain, Lea duduk dengan tubuh menggigil. Rasa dingin dari lantai beton meresap ke kulitnya, sementara keheningan di ruangan itu membuat detak jantungnya t
Kini, si penculik beserta kawanannya berdiri dengan tangan tergantung ke atas—terikat rantai yang menggantung di langit-langit ruangan yang lembap dan berbau anyir. Kesadaran mereka perlahan pulih. Saat mata mereka mulai bisa melihat dengan jelas, sosok Jonas sudah berdiri di hadapan mereka tanpa ekspresi.Sebuah pemukul besi tergenggam erat di tangan kiri Jonas, sementara di belakangnya puluhan pria bertubuh kekar berdiri dengan tatapan bengis. Suasana ruangan itu sunyi, hanya terdengar desah napas berat para penculik yang tengah mencoba memahami situasi mereka.Salah satu penculik, pria bertato yang tampak lebih berani dari yang lain, menyeringai sinis sebelum berdecih dan meludah ke arah Jonas. Ludah bercampur darah itu jatuh ke lantai di antara mereka, menciptakan jeda singkat sebelum Jonas bereaksi.Tanpa sepatah kata pun, Jonas melayangkan pukulan keras ke perut pria bertato itu. Dentuman suara tubuh yang menerima pukulan itu menggema di ruangan, disusul oleh erangan tertahan dar
Keesokan paginya, Lea terbangun dengan perasaan campur aduk. Penculikan yang dialaminya semalam masih membekas di benaknya, membuatnya sulit merasa benar-benar tenang. Meskipun Kayden telah membawanya kembali ke kediaman Easton dengan selamat, tetapi ketakutan itu masih menghantui hingga pagi ini.Setelah membersihkan diri dan mengenakan pakaian sederhana yang hangat, Lea melangkah keluar dari kamar. Rumah besar itu terasa sunyi. Hanya suara samar burung berkicau dari luar jendela yang memberi sedikit kehidupan di tengah kesunyian.“Meski ada banyak pelayan, tapi rumah ini rasanya benar-benar sunyi,” gumamnya pelan.Baru saja ia hendak melangkah lebih jauh, suara berat dan tajam milik Kayden memecah kesunyian. Lea seketika tertegun. Pintu ruang kerja pria itu tidak tertutup sepenuhnya, menyisakan celah sempit yang cukup untuk membiarkan suaranya merembes keluar. Ia seharusnya pergi, berpura-pura tidak mendengar apa pun. Tapi rasa penasaran yang tak terbendung menariknya mendekat.Den
Pagi itu, seisi dunia maya mendidih. Jagat media sosial dipenuhi spekulasi dan teori konspirasi, sementara portal-portal berita online berlomba memuat headline sensasional.‘Gempar! Roseanna Diduga Lea Rose Thompson, Putri Haram Liam Thompson yang Dikabarkan Meninggal Setahun Lalu’‘Sosialita Misterius Ternyata Putri Konglomerat? Lea Rose Thompson Muncul Kembali di Hadapan Publik!’‘Netizen Dibuat Bingung: Kematian Lea Rose Thompson Kini Dipertanyakan!’Cuplikan video saat Roseanna berdiri di atas panggung pada acara amal malam itu tersebar di berbagai platform. Sorot mata yang sama, postur tubuh, hingga suara lembut yang terdengar saat ia menyampaikan pidato—semuanya dibedah publik. Tak sedikit yang membandingkan wajahnya dengan foto-foto lama Lea semasa hidup, dan sebagian besar sepakat bahwa ini bukan kebetulan.“Ini benar-benar dia,” seseorang menulis di kolom komentar. “Putri Liam Thompson tidak mati. Dia kembali. Dengan nama baru.”Mereka yang tahu sejarah keluarga Thompson meng
Beberapa hari setelah artikel itu menyebar, Astrid duduk di ruang kerja pribadinya yang tertutup rapat, ditemani oleh asisten barunya, Veronica—seorang wanita elegan dengan kecerdasan tajam yang selalu bisa membedakan antara informasi berharga dan gosip biasa.“Aku butuh seseorang yang bisa membalikkan opini publik,” ucap Astrid dingin. “Bukan pengacara, bukan PR biasa. Aku butuh kekuatan.”Veronica ragu sejenak, lalu membuka tabletnya. Jari-jarinya lincah mengetuk layar sebelum berhenti di sebuah nama.“Ada satu nama yang muncul dalam beberapa lingkaran tertutup. Hanya segelintir orang yang pernah melihatnya langsung. Tapi dia muncul di balik proyek-proyek amal besar dan berpengaruh … juga beberapa kebijakan bisnis pemerintah yang, entah bagaimana, selalu menguntungkan pihak tertentu.” Veronica menoleh. “Namanya Roseanna.”Astrid menyipitkan mata. “Aku belum pernah dengar.”“Wajar. Dia bukan tipe yang suka tampil. Tapi mereka yang pernah bekerja sama dengannya bersumpah dia bisa ‘men
Astrid duduk di ruang tamu megah rumahnya, matanya terbakar kemarahan saat ia memandang layar ponsel yang tergenggam erat di tangannya. Berita yang baru saja muncul di media sosial membuat darahnya mendidih. Judul besar itu menyoroti nama keluarganya dengan mencolok.‘Skandal Keuangan Keluarga Thompson: Penggelapan Dana dalam Proyek Pembangunan.’Tangan Astrid gemetar, tapi ia berusaha untuk tetap tenang. Suaminya, Liam Thompson, sering mengingatkan untuk selalu menjaga citra mereka di public, namun apa yang ia lihat sekarang adalah bencana.Berita itu tidak hanya merusak reputasi keluarga, tapi juga mengguncang fondasi kekuasaan yang sudah mereka bangun selama bertahun-tahun.Di layar, sebuah artikel panjang menguraikan bagaimana dana besar yang mereka investasikan dalam proyek pembangunan kota terbarukan ternyata menghilang begitu saja. Beberapa nama terlibat, tetapi nama keluarganya—terutama dirinya—disebutkan dalam konteks yang sangat mencurigakan.“Sialan!” bentaknya marah.Tidak
Setelah itu, Lea kembali naik ke kamarnya dan berpakaian. Ia merias wajahnya sedikit, lalu berjalan keluar menuju kamar seseorang. Langkahnya berhenti tepat di depan pintu bercat cokelat gelap.Ia mengetuknya pelan, namun tegas.Tak lama kemudian, pemilik kamar membukakan pintu dan berdiri dengan tubuh tegap.“Aku butuh bantuanmu,” kata Lea tanpa basa-basi.Kening Silas mengernyit sebentar sebelum ia mengangguk dan mempersilakan Lea masuk. “Bicarakan di dalam.”Lea melangkah masuk dan berhenti di depan ranjang besar milik pria itu. Wajahnya serius. Tak ada keraguan di matanya.“Bantu aku membalas dendam,” ucapnya mantap. “Kata Rhael, kamu orang yang bisa membantuku untuk hal seperti ini.”Silas menutup pintu, lalu bersandar pada dinding dengan ekspresi datar. “Aku tidak suka terlibat dalam urusan yang tidak jelas. Siapa yang ingin kamu balas?”“Astrid Galen.”Mata Silas sedikit menyipit. “Siapa dia?”“Ibu tiriku,” jawab Lea tanpa ragu. “Dan dalang di balik kecelakaan yang menimpaku. D
Lea baru saja selesai mandi ketika menyadari sesuatu yang aneh—rak handuk di dalam kamar mandinya kosong. Ia mengernyit. Handuk yang selalu tergantung di sana—handuk yang selalu ia pakai—tidak ada.Tatapannya tiba-tiba beralih ke pintu kayu kecil di sudut kamar mandi. Pintu itu sempat ia perhatikan saat pertama kali menempati kamar ini, tapi belum pernah ia buka. Julianne sempat menyebut bahwa kamar ini dulunya milik Silas saat remaja. Sejenak, Lea jadi penasaran. Kira-kira apa yang tersembunyi di balik pintu kayu itu.Perlahan, ia mendorong daun pintu yang tidak dikunci. Di baliknya, sebuah ruang baca mungil terbentang—berdebu, tapi masih tertata rapi. Di tengah ruangan itu, Silas berdiri membelakangi pintu, sedang mengelap tangannya dengan ….Itu handuknya!Lea terdiam di ambang pintu, mengenakan jubah mandi tipis, rambutnya masih basah menetes. “Itu milikku.”Silas menoleh. Sekilas tampak terkejut, tapi ekspresinya segera kembali tenang. “Aku kira ini handuk bersih. Kupikir ruang
Keesokan paginya, aroma masakan memenuhi seluruh penjuru rumah. Julianne bangun lebih awal dari biasanya dan menghabiskan waktu berjam-jam di dapur, menyiapkan berbagai hidangan hangat untuk menyambut kepulangan putra sulung Indi. Di meja makan, piring-piring terisi penuh—roti panggang, salad, potongan buah segar, dan tumisan sayur favorit Silas.Mereka semua sudah duduk mengelilingi meja. Rhael tampak santai dengan rambut acak-acakan khas bangun tidur, sementara Silas mengambil tempat di seberang Lea. Posturnya tegap, sikapnya tenang, dan sejak awal sarapan pandangan matanya hampir tak pernah berpaling dari wanita di hadapannya.Julianne menyendokkan salad ke piring Lea, lalu tersenyum hangat. “Sayang, kamu sudah bertemu Silas? Dia kakaknya Rhael. Baru pulang tadi malam.”Lea membenarkan posisi duduknya sebelum mengangguk sopan. “Sudah. Kami sempat bertemu tadi malam dan berkenalan,” ujarnya singkat.Senyum Julianne melebar. “Bagus. Kalian akan tinggal serumah, jadi akan lebih nyaman
Sudah satu bulan berlalu sejak insiden terakhir, dan hubungan Lea dengan Rhael perlahan membaik. Sikap saudara tirinya itu tak lagi sedingin es seperti dulu. Ucapannya pun tak setajam biasanya. Meski masih ada jarak yang terasa, setidaknya mereka mulai bisa menghabiskan waktu bersama tanpa saling menghindar.Malam itu, mereka duduk santai di ruang keluarga, menonton film aksi yang tengah populer. Makanan ringan berserakan di atas meja—semuanya hasil pesan online yang ditangani langsung oleh Rhael. Lea sesekali tertawa kecil melihat ekspresi tegang Rhael saat adegan penuh ledakan muncul di layar.“Aku ke dapur sebentar. Jus-ku habis,” ujar Lea sambil bangkit, membawa gelas kosongnya.“Ambilkan aku air juga kalau kamu sempat,” sahut Rhael santai tanpa mengalihkan pandangannya dari layar.Lea mengangguk dan melangkah ringan menuju dapur. Tapi baru saja ia melintasi ambang ruangan, langkahnya mendadak terhenti. Matanya membelalak saat melihat seorang pria asing berdiri di depan kulkas, se
Lea melangkah keluar dari ruang pemeriksaan dengan napas sedikit terengah. Dokter mengatakan kondisinya membaik, meskipun tekanan psikisnya belum sepenuhnya stabil. Tubuhnya memang tidak memar sebanyak dulu, tapi pikirannya masih rapuh. Ia mendapati Rhael duduk menyandar di bangku, kakinya disilangkan dan earphone sudah kembali menggantung di leher. Matanya menatap layar ponsel tanpa ekspresi, seolah dunia tidak menarik selain apa pun yang sedang ia baca. “Sudah selesai?” tanya Rhael tanpa menoleh. Lea mengangguk kecil. “Ya.” Rhael bangkit, lalu memasukkan ponsel ke saku jaketnya. “Bagus. Ayo pulang. Aku lapar.” Namun sebelum langkah mereka benar-benar bergerak ke pintu keluar, Lea berhenti. Ia menatap Rhael yang kini berdiri sedikit di depan. “Aku ingin mampir dulu,” ucapnya pelan. Rhael mengerutkan dahi. “Mampir?” sahutnya heran. “Ada kafe di dua blok dari sini. Aku ingin makan cake.” “Cake?” ulang Rhael, nadanya terdengar mengejek. “Kamu baru saja dicek karena trauma, dan s
Untuk sesaat, Kayden membeku. Pandangannya tak berubah, tapi tubuhnya menegang. Ia memutar tubuhnya perlahan dan menatap Jonas tajam.“Di mana dia?” Suaranya dalam dan mendesak.“Lokasinya di dekat tempat parkir bandara lama, kira-kira satu jam dari sini. Tim sedang menuju ke sana.”“Kita ke sana sekarang,” ucap Kayden tanpa ragu.Mereka melangkah tergesa menuju mobil yang diparkir sembarangan di seberang jalan, di bawah rindangnya pohon yang daunnya berguguran tertiup angin.Begitu pintu mobil terbuka, Kayden langsung masuk ke kursi penumpang dan membanting pintunya dengan suara berat. Jonas menyusul, lalu menyalakan mesin tanpa bicara, seolah ikut larut dalam ketegangan yang memenuhi udara.Untuk beberapa detik, suara angin dan ombak dari kejauhan jadi satu-satunya yang terdengar.Lalu…Mesin mobil menderu kencang memecah keheningan pagi itu. Ban berdecit ringan saat mobil melaju meninggalkan tepi teluk.Beberapa menit berlalu dalam diam sebelum akhirnya Kayden bertanya, “Seberapa j