Hai, mohon dukungannya untuk buku ini dengan memberikan bintang, gems, atau komentar ya ^^ Terima kasih
Keesokan paginya, Lea terbangun dengan perasaan campur aduk. Penculikan yang dialaminya semalam masih membekas di benaknya, membuatnya sulit merasa benar-benar tenang. Meskipun Kayden telah membawanya kembali ke kediaman Easton dengan selamat, tetapi ketakutan itu masih menghantui hingga pagi ini.Setelah membersihkan diri dan mengenakan pakaian sederhana yang hangat, Lea melangkah keluar dari kamar. Rumah besar itu terasa sunyi. Hanya suara samar burung berkicau dari luar jendela yang memberi sedikit kehidupan di tengah kesunyian.“Meski ada banyak pelayan, tapi rumah ini rasanya benar-benar sunyi,” gumamnya pelan.Baru saja ia hendak melangkah lebih jauh, suara berat dan tajam milik Kayden memecah kesunyian. Lea seketika tertegun. Pintu ruang kerja pria itu tidak tertutup sepenuhnya, menyisakan celah sempit yang cukup untuk membiarkan suaranya merembes keluar. Ia seharusnya pergi, berpura-pura tidak mendengar apa pun. Tapi rasa penasaran yang tak terbendung menariknya mendekat.Den
Jam istirahat telah berakhir, tetapi Lea masih duduk di mejanya seraya menatap layar komputer tanpa benar-benar memperhatikan apa yang ada di depannya. Tangannya menopang dagunya, sementara pikirannya melayang entah ke mana.Sejak kejadian beberapa hari lalu, ada sesuatu yang terus mengusik pikirannya. Kayden belum mengatakan apa pun tentang niatnya membalas Emma. Ia ingin percaya bahwa pria itu tidak benar-benar bertindak, tetapi nalurinya berkata lain.Suara dering ponsel di mejanya menariknya kembali ke kenyataan. Lea menunduk, melihat nama ayahnya tertera di layar. Ia langsung meraih ponselnya dan menggeser tombol hijau.“Halo, Pa?” sapanya dengan nada sopan.“Lea, apa kamu bertemu dengan Emma dalam beberapa hari terakhir?” Suara Liam Thompson terdengar lebih serius dari biasanya.Alis Lea berkerut. “Terakhir kami bertemu saat pesta ulang tahun Papa.”Di seberang, terdengar helaan napas berat. “Baiklah. Jika dia menghubungimu atau kamu tidak sengaja bertemu dengannya, katakan padan
Pikiran Lea masih belum sepenuhnya tertata. Di tengah rapat, ia terus memikirkan tentang Emma. Kegelisahan itu membuatnya sulit berkonsentrasi, tetapi ia berusaha mempertahankan ekspresi tenang agar tidak menarik perhatian.Namun, suara berat Kayden yang berbicara di depan membuatnya tersadar kembali ke ruangan. Ia mengangkat wajah, menatap pria itu yang tengah duduk di kursi utama dengan ekspresi serius. Di hadapannya, para eksekutif utama Easton Industries menunggu arahan.“Kita sudah mendekati tahap final untuk peluncuran proyek terbaru di distrik komersial,” Kayden membuka rapat dengan nada tenang. “Saya ingin kepastian bahwa semua berjalan sesuai rencana. Presentasikan progres terakhir.”Chief Operating Officer perusahaan, Nathan Carter, segera mengambil alih pembicaraan. “Saat ini, tahap konstruksi telah mencapai delapan puluh persen dengan semua material utama telah diamankan untuk menghindari potensi keterlambatan. Kami telah menjadwalkan inspeksi struktural dan keselamatan dal
Setelah hari itu, masih belum ada kabar dari Emma dan nomornya masih tidak bisa dihubungi. Liam Thompson telah mengerahkan anak buahnya untuk mencari putri sulungnya itu, tetapi belum ada hasil yang memuaskan.Seperti hari ini misalnya, Lea kembali mencoba menghubungi saudara tirinya, tetapi panggilannya hanya berakhir di voicemail. Tidak ingin hanya diam menunggu, Lea juga menemui beberapa teman Emma yang ia ketahui, berharap ada seseorang yang bisa memberikan petunjuk tentang keberadaannya.Namun, jawaban yang ia dapatkan justru semakin membuatnya frustrasi.“Maaf, tapi aku tidak berhubungan dengannya selama sebulan terakhir.”Rata-rata teman-teman Emma memberikan jawaban yang kurang lebih sama. Tak ada yang tahu pasti di mana wanita itu berada.Lea menghela napas panjang saat keluar dari kafe tempat ia bertemu salah satu teman Emma. Bersamaan dengan itu, ponselnya tiba-tiba bergetar di tangannya.Sebuah pesan masuk dari Kayden Easton.[Datanglah ke Hotel Sterling, kamar 1803. Jonas
Asap tipis mengepul saat nyala lilin padam, menyisakan jejak samar di udara. Lea mengembuskan napas pelan, berusaha menenangkan debaran di dadanya yang masih belum mereda. Namun ketenangan itu hanya bertahan sesaat, karena kejutan hari ini belum sepenuhnya berakhir.Kayden tiba-tiba bangkit dari tempatnya, lalu berjalan menuju meja di dekat sofa. Kedua tangannya terulur mengambil beberapa kotak hadiah yang tersusun rapi di sana, kemudian membawanya ke hadapan Lea sekaligus.“Terima ini.”Lea menatap tumpukan kotak itu dengan ragu sebelum akhirnya menerimanya. Balutan kertas elegan yang membungkus kotak-kotak itu terasa sedikit berat di pangkuannya.“Hadiah lagi?” gumamnya seraya menatap Kayden. “Uhm, terima kasih.”Kayden tersenyum tipis, lalu meraih sesuatu dari meja. Bukan sebuah kotak kali ini, melainkan buket bunga.Lea mengerjap ketika pria itu menyerahkan buket itu padanya. Bukan mawar, bukan lili, tetapi bugenvil. Kelopaknya yang lembut berwarna keunguan, merah muda, dan putih
Langit senja mulai meredup ketika Lea kembali menerima panggilan dari nomor tidak dikenal. Ia menatap layar ponselnya beberapa saat sebelum akhirnya mengabaikannya.Entah apa yang merasuki dirinya hingga ia setuju untuk menginap bersama Kayden di hotel ini hingga besok. Mungkin karena perayaan ulang tahunnya yang masih menyisakan kehangatan di dadanya. Atau mungkin karena pria itu sendiri.Yang jelas, Lea tahu waktu mereka terbatas. Besok sore, Noah beserta kedua orang tuanya akan kembali dari Italia. Itu berarti hanya tersisa satu hari lagi sebelum kenyataan kembali menghantam mereka.“Siapa?” tanya Kayden begitu Lea meletakkan kembali ponselnya ke meja.Lea menggeleng pelan. “Nomor tidak dikenal,” sahutnya singkat.Ia sebenarnya ingin berpikir lebih jauh. Siapa yang terus menghubunginya? Tapi ia mengabaikan pertanyaan itu.“Sebaiknya ganti nomormu. Seseorang terus menghubungimu dan itu sangat mengganggu.”Lea menatap Kayden sejenak, lalu tersenyum tipis. “Mengganggu untukku atau men
Rapat akhirnya berakhir. Begitu tiba di basement gedung Easton Industries, Sophia membuka pintu mobil dengan kasar. Ia segera meraih ponselnya dan menekan nomor Noah dengan perasaan kesal yang membuncah.“Sayang?” Suara Noah terdengar santai di seberang telepon.Sophia mendengus, masih dengan ekspresi kesal yang tercetak di wajahnya. “Aku benar-benar muak dengan istrimu!” geramnya tanpa basa-basi.Di balik meja rias studio, Noah mengernyit. Ia baru saja bersiap untuk pemotretan ketika panggilan Sophia datang.“Apa lagi yang dia lakukan sampai membuatmu kesal?” tanyanya dengan nada malas.Tak membuang waktu, Sophia segera menjelaskan kejadian saat rapat bersama Kayden dan para eksekutif. Tentu saja, ia menambahkan beberapa bumbu di sana-sini, memperhalus perannya sendiri dan membuat Lea terdengar lebih menyebalkan di telinga Noah.Noah menyimak dengan wajah yang mulai memerah. Seiring dengan cerita Sophia, kemarahan itu semakin menyulut akal sehatnya.“Jadi dia benar-benar bersikap seo
Malam semakin larut ketika Noah tiba di kediaman keluarga Easton. Jemarinya mengetuk setir mobil dengan gelisah, sementara tatapannya terpaku pada rumah megah yang berdiri kokoh di depannya. Sejak meninggalkan apartemen Sophia, hanya satu hal yang berputar di kepalanya—brankas ayahnya.Setelah mengumpulkan semua keberanian, Noah akhirnya keluar dari mobil. Udara dingin menerpa kulitnya, tetapi ia tidak menghiraukannya. Langkahnya waspada saat ia menyusup masuk.Noah tahu betul di mana letak brankas ayahnya. Ruang kerja Robert Easton berada tepat di ujung koridor lantai satu. Biasanya, pria tua itu tidak mengizinkan siapa pun masuk tanpa seizinnya.Namun, malam ini Robert sedang berada di luar kota untuk urusan bisnis. Itu artinya kesempatan emas bagi Noah untuk melancarkan aksinya.Ia menarik napas dalam-dalam. ‘Tenang, Noah. Kamu hanya perlu melakukannya dengan cepat dan bersih,’ batinnya.Meski demikian, tangannya tetap berkeringat. Ini bukan pertama kalinya ia melanggar aturan, tap
Pagi itu, langit New York tampak cerah.Lea duduk santai di atas sofa, melipat kedua kakinya dan membiarkan tubuhnya bersandar nyaman ke sisi Kayden. Ia mengenakan kaus tipis dan celana santai. Dan sebotol air mineral setengah kosong tergeletak di meja kopi di depannya.Suara pembawa acara berita lokal mengisi keheningan apartemen dari layar televisi.“Breaking news. Astrid Galen resmi ditahan tanpa jaminan atas dakwaan percobaan pembunuhan terhadap Lea Rose Thompson,” suara pembawa berita terdengar tajam. “Selain itu, bukti penggelapan dana dan pencucian uang yang melibatkan yayasan keluarga Thompson kini menyeret nama suaminya, Liam Thompson, dalam penyelidikan lanjutan.”Napas Lea tercekat sesaat. Ia menatap layar televisi dengan jantung yang berdebar tak terkendali. Akhirnya... hari itu datang juga.Kayden yang duduk di sebelahnya lantas mencondongkan tubuh sedikit, kemudian mengulur tangan dan membelai lengan Lea perlahan.Di televisi, potongan video memperlihatkan Astrid mengena
Lea sedang menikmati minuman soda rasa jeruk ketika ponselnya bergetar. Ia melihat nama di layar. Mama.Dengan gerakan tenang, ia meletakkan kaleng soda di atas meja dan menyambungkan panggilan.“Halo, Ma?” sapanya.Suara ibunya terdengar tenang di seberang, menyatu dengan dengung samar mesin mobil. Julianne sedang dalam perjalanan kembali ke hotel.“Sebastian Langley sudah mulai goyah,” katanya tanpa basa-basi. “Dia berpura-pura ragu, tapi nada suaranya, pilihan katanya, semua menunjukkan hal yang sama. Dia tertarik. Kalau semuanya sesuai rencana, Astrid hanya tinggal menunggu waktu sebelum ia tak punya tempat lagi untuk berdiri.”Lea menyandarkan punggung ke kursi, tatapannya fokus ke luar jendela.“Bagus,” gumamnya. “Aku sudah cukup lama menunggu momen ini.”Julianne terdengar menarik napas di seberang sebelum melanjutkan dengan nada lebih hangat. “Anggap saja ini bagian kecil dari penebusan atas kesalahan masa laluku, Lea. Karena dulu aku meninggalkanmu di rumah itu. Hidup bersama
Setelah keluar dari ruang interogasi, Sebastian menerima pesan singkat.[Kita perlu bicara. Ini tentang Astrid. Hotel Aurelle, suite 907. – J.R.]Sebastian menatap layar ponselnya lama. Rahangnya mengeras.Inisial itu saja sudah cukup menjelaskan segalanya.“Akhirnya aku berurusan dengan orang sepertinya,” gumamnya pelan.Ia menyelipkan ponsel kembali ke saku jas, lalu melangkah pergi. Ia tahu, pertemuan itu akan mempersulit kasus yang seharusnya bisa selesai dengan mudah.Beberapa jam kemudian, Sebastian Langley datang tepat waktu.Julianne sudah duduk di sana, segelas bourbon setengah penuh di tangannya. Ia tak bangkit. Hanya menatap Sebastian dengan tatapan yang membuat siapa pun merasa sedang duduk di depan hakim, bukan seorang pengacara.Sebastian berdiri di tengah ruangan. Ia tampak tegang, tapi tak benar-benar menunjukkannya.“Aku tahu kamu akan datang,” kata Julianne tanpa basa-basi.Sebastian duduk, lalu membuka jasnya sedikit. “Dan aku tahu kamu takkan tinggal diam. Jadi, ki
Pagi itu, Astrid baru saja keluar dari rumahnya dengan langkah tenang dan senyum percaya diri. Angin musim semi menerpa rambutnya yang terurai sempurna. Namun senyumnya langsung memudar saat melihat dua mobil polisi berhenti di halaman depan.Detik berikutnya, dua petugas keluar, langkah mereka cepat dan tegas.“Astrid Galen?” tanya salah satu petugas dengan suara dingin dan berwibawa.Astrid mengerutkan kening. Ia berhenti, menatap mereka dengan sorot tak suka. “Ya?” jawabnya, alisnya terangkat dan nada suaranya penuh keangkuhan.“Kami memiliki surat perintah penangkapan untuk Anda.” Petugas itu menunjukkan dokumen dengan segel resmi.Astrid membaca cepat. Matanya membelalak ketika membaca tuduhan yang tertera—penyalahgunaan kekuasaan, pemalsuan dokumen, dan pembunuhan berencana.“Apa ini lelucon? Siapa yang menyuruh kalian?!” suara Astrid meninggi, nadanya berubah tajam. “Kalian sadar siapa aku?! Aku bisa membuat kalian kehilangan pekerjaan hanya dengan satu panggilan!”Petugas teta
Setelah makan malam selesai...Di luar ruang makan privat, Kayden menyentuh ringan lengan Lea untuk menahannya tetap di tempat. Yang lain sudah lebih dulu keluar.“Aku perlu tahu sesuatu,” ucapnya pelan.Lea menoleh. “Ada apa?”“Silas.” Kayden menatap Lea tajam. “Sejak kapan kalian sedekat itu?”Lea mengernyit, sedikit bingung. “Aku tinggal di kediaman Ravenwood selama setahun. Dia orang yang sopan.”“Dia terlalu tahu banyak tentangmu,” tukas Kayden. “Dan cara dia memandangmu barusan, itu bukan sekadar sopan.”Lea menghela napas. “Kami tinggal serumah cukup lama. Wajar kalau dia tahu beberapa hal.”“Dan Rhael?” tanya Kayden tanpa memberi jeda. “Sejak kapan dia juga jadi bagian dari lingkaran dekatmu?”Nada bicara Kayden terdengar tenang, tapi ada tekanan yang jelas terasa di wajahnya.Lea menatapnya tajam. “Mereka bukan ancaman. Tidak ada yang berubah, Kayden.”Kayden tidak menjawab langsung. Ia hanya menatap wajah Lea, seolah mencari tanda-tanda bahwa wanita itu berbohong. Tangannya
Ruang Makan Privat – Sebuah Restoran Mewah di Midtown ManhattanPintu kaca geser terbuka perlahan. Lea melangkah masuk lebih dulu, diikuti oleh Kayden yang berjalan di belakangnya dengan langkah tenang. Ruangan itu bernuansa hangat dengan meja makan bundar yang ditata rapi dengan linen putih.Julianne menyambut mereka dengan senyum hangat, sementara Rhael hanya melirik sekilas tanpa menunjukkan ekspresi berarti.“Ma,” sapa Lea sembari menghampiri dan memeluk Julianne dengan lembut.Julianne membalas pelukan itu. “Kamu tampak lebih segar dari terakhir kali kita bertemu.”Lea tersenyum singkat, lalu menoleh ke arah Rhael. “Kamu juga datang.”“Aku tidak datang untukmu,” sahut Rhael pelan, lalu bersandar santai ke kursi. “Aku hanya penasaran ingin melihat siapa pria yang membuatmu tak bisa berpaling ke lain hati.”Lea menahan napas sejenak sebelum menoleh ke arah Kayden. “Ma, Rhael … ini Kayden.”Kayden mengangguk sopan dan melangkah maju. “Senang akhirnya bisa bertemu denganmu secara lan
Sepeninggal Kayden, Lea melangkah pelan lalu duduk santai di sofa tunggal yang menghadap ke luar jendela. Pemandangan kota New York masih sama—hiruk-pikuk dan gemerlap—namun ada sesuatu dalam dirinya yang berubah. Perlahan, jiwanya tak lagi serapuh dulu.Ponselnya yang tergeletak di meja kecil tiba-tiba bergetar. Lea menoleh, sekilas melihat layar, lalu segera meraihnya saat membaca nama yang tertera.“Mama …?” sapanya begitu panggilan tersambung.Di seberang, suara Julianne terdengar tergesa, bercampur keramaian. “Mama sekarang di bandara. Bisa kita bertemu?”Lea mengernyit samar. “Mama di New York?”“Ya. Bersama Rhaelil. Dia bersikeras ingin ikut karena katanya rindu padamu.”Lea tertawa kecil, merasa geli. “Apa? Jadi anak itu merindukanku?”Samar-samar, suara Rhael terdengar dari belakang. “Tidak! Aku ikut bukan karena merindukanmu! Aku ke mari untuk bersenang-senang!”Lea terkikik. “Baiklah … kalian bisa datang ke apartemenku. Nanti aku kirim alamatnya.”“Baik, Sayang. Sampai jumpa
Keesokan paginya, Lea menjadi orang pertama yang bangun. Ia tidak langsung mandi. Sebaliknya, ia memutuskan untuk menyiapkan sarapan lebih dulu karena tahu hari ini Kayden akan ke kantor.“Oke, semuanya beres!” serunya pelan dengan senyum lebar, merasa puas dengan sarapan sederhana dan secangkir kopi yang sudah tertata rapi di atas meja makan.Setelah memeriksa semuanya sekali lagi, Lea melangkah kembali ke kamar. Ia menaiki ranjang dengan pelan, lalu menunduk dan menciumi pipi Kayden yang masih tertidur lelap.“Selamat pagi, Tuan Muda Easton,” bisiknya lembut di sela ciumannya.Kayden menggeliat kecil, lalu membuka mata perlahan. Tatapannya langsung bertemu dengan wajah Lea yang tersenyum di atasnya.“Ini mimpi lain, hm?” gumamnya serak karena baru bangun. Tangannya terulur mengusap pipi Lea. “Karena kalau iya, aku tidak ingin bangun.”Lea terkikik pelan. “Bukan mimpi, Sayang. Sarapan sudah siap. Kamu harus bangun sebelum kopimu dingin.”Kayden menarik tubuh Lea agar jatuh ke pelukan
Kayden menggeleng pelan, lalu menaruh dagunya di bahu Lea. “Untuk sekarang, aku hanya ingin menikmati waktu kita. Aku sangat merindukanmu, Little Rose,” bisiknya parau.Lea tersenyum tipis. Salah satu tangannya terulur, mengusap pucuk kepala Kayden dengan lembut. “Baiklah. Kita nikmati saja waktu berdua.”Bagi Kayden, pelukan ini masih terasa seperti mimpi. Meskipun hangat kulit Lea begitu nyata di pelukannya, Kayden tak bisa mengusir keraguan dalam hatinya. Ada suara kecil yang terus bertanya—jangan-jangan semua ini hanya mimpi yang terlalu indah untuk jadi kenyataan?Setelah beberapa saat berendam, Lea tiba-tiba menarik diri dari pelukan Kayden. Tanpa berkata apa pun, ia keluar dari bath tub. Buih sabun masih menempel di beberapa bagian tubuhnya yang putih dan mulus.Dengan langkah anggun, Lea berjalan menuju shower dan menyalakan air hangat. Saat buliran air membasahi tubuhnya, ia menoleh.Senyum manis menghiasi bibirnya. “Kemarilah, Kayden,” panggilnya lembut.Kayden tidak segera