Rapat akhirnya berakhir. Begitu tiba di basement gedung Easton Industries, Sophia membuka pintu mobil dengan kasar. Ia segera meraih ponselnya dan menekan nomor Noah dengan perasaan kesal yang membuncah.“Sayang?” Suara Noah terdengar santai di seberang telepon.Sophia mendengus, masih dengan ekspresi kesal yang tercetak di wajahnya. “Aku benar-benar muak dengan istrimu!” geramnya tanpa basa-basi.Di balik meja rias studio, Noah mengernyit. Ia baru saja bersiap untuk pemotretan ketika panggilan Sophia datang.“Apa lagi yang dia lakukan sampai membuatmu kesal?” tanyanya dengan nada malas.Tak membuang waktu, Sophia segera menjelaskan kejadian saat rapat bersama Kayden dan para eksekutif. Tentu saja, ia menambahkan beberapa bumbu di sana-sini, memperhalus perannya sendiri dan membuat Lea terdengar lebih menyebalkan di telinga Noah.Noah menyimak dengan wajah yang mulai memerah. Seiring dengan cerita Sophia, kemarahan itu semakin menyulut akal sehatnya.“Jadi dia benar-benar bersikap seo
Malam semakin larut ketika Noah tiba di kediaman keluarga Easton. Jemarinya mengetuk setir mobil dengan gelisah, sementara tatapannya terpaku pada rumah megah yang berdiri kokoh di depannya. Sejak meninggalkan apartemen Sophia, hanya satu hal yang berputar di kepalanya—brankas ayahnya.Setelah mengumpulkan semua keberanian, Noah akhirnya keluar dari mobil. Udara dingin menerpa kulitnya, tetapi ia tidak menghiraukannya. Langkahnya waspada saat ia menyusup masuk.Noah tahu betul di mana letak brankas ayahnya. Ruang kerja Robert Easton berada tepat di ujung koridor lantai satu. Biasanya, pria tua itu tidak mengizinkan siapa pun masuk tanpa seizinnya.Namun, malam ini Robert sedang berada di luar kota untuk urusan bisnis. Itu artinya kesempatan emas bagi Noah untuk melancarkan aksinya.Ia menarik napas dalam-dalam. ‘Tenang, Noah. Kamu hanya perlu melakukannya dengan cepat dan bersih,’ batinnya.Meski demikian, tangannya tetap berkeringat. Ini bukan pertama kalinya ia melanggar aturan, tap
Udara dingin menusuk kulit wajahnya saat Lea melangkah ke depan pintu utama kediaman Easton. Salju yang melekat di mantel tebalnya mulai mencair, tetapi hawa tegang yang tiba-tiba merambat ke seluruh tubuhnya jauh lebih dingin daripada musim dingin itu sendiri.Telinganya menangkap suara ribut dari dalam rumah. Bukan sekadar percakapan biasa, tetapi suara bentakan marah yang bercampur dengan rintihan kesakitan. Darahnya berdesir, Lea lantas melangkah masuk dengan cepat.Seorang pelayan perempuan dengan wajah pucat nyaris menabraknya saat hendak keluar. Refleks, Lea meraih lengan wanita itu dan menghentikannya.“Apa yang terjadi?” tanyanya buru-buru.Pelayan itu menelan ludah, matanya penuh ketakutan. “Tuan Easton sedang memukuli Tuan Noah,” ucapnya lirih, seakan takut hanya dengan mengucapkannya.Lea merasakan tubuhnya menegang. “Apa?” gumamnya tak percaya.Tanpa menunggu jawaban lebih lanjut, ia langsung berlari menuju sumber suara. Langkahnya cepat, hampir terburu-buru, sementara su
Ketika Lea hendak masuk ke kamarnya, sebuah cengkeraman erat tiba-tiba menangkap lengannya. Lea sontak menoleh dan mendapati Kayden berdiri di belakangnya dengan wajah marah.“Ikut aku,” desis pria itu sebelum menyeret Lea masuk ke dalam kamarnya.Saat pintu tertutup rapat, Kayden menguncinya dengan satu gerakan tegas sebelum menghimpit Lea ke dinding. Kedua tangannya menangkup sisi wajah wanita itu, menahannya dengan erat hingga membuatnya terperangkap.Lea mengangkat pandangannya dengan wajah cemas. “A-Ada apa?” tanyanya terbata, suaranya lirih dan nyaris serak.Ekspresi Kayden masih tak bersahabat, matanya berkilat dengan kemarahan yang tertahan. “Berani membela pria itu di depanku sekarang, huh?” geramnya.Mata Lea sedikit melebar sementara alisnya bertaut sejenak sebelum akhirnya ia menyadari arah pembicaraan ini. Butuh beberapa detik baginya untuk menghubungkan semuanya. Lalu, semuanya menjadi jelas.Rupanya, ini tentang apa yang terjadi sebelumnya di lantai bawah. Tentang bagai
Setelah pengakuan cintanya malam itu, Lea pikir sikap Kayden mungkin akan berubah—termasuk hubungan mereka. Ia mengira hubungan mereka sudah tidak lagi membingungkan. Namun, kenyataan justru menamparnya begitu saja.Saat Lea memasuki ruangan Kayden pagi ini untuk menyerahkan beberapa berkas, pria itu tetap seperti biasanya. Tidak ada senyum hangat, tidak ada tatapan intens seperti yang Lea harapkan. Kayden hanya mengambil berkas itu dengan ekspresi datar, lalu menanyai Lea soal pekerjaan seolah tidak ada yang terjadi di antara mereka semalam.Lea berdeham pelan, mencoba mencari celah untuk setidaknya menggali reaksi Kayden. Namun pria itu malah fokus membaca dokumen di tangannya tanpa mengangkat kepala sedikit pun.“Kalau begitu, aku akan kembali ke mejaku,” kata Lea akhirnya, berusaha menekan rasa kecewa yang mulai merayapi hatinya.Kayden hanya mengangguk kecil.Lea mengepalkan jemarinya sebelum berbalik dan melangkah cepat keluar dari ruangan itu. Begitu sampai di mejanya, ia menja
Setelah mengetahui fakta tersebut, Lea merasa tidak karuan. Tubuhnya menegang sementara jemarinya gemetar saat ia menatap Kayden dengan sorot panik.“Ini benar-benar buruk,” gumamnya pelan.Kayden yang sejak tadi mengamati reaksinya hanya berdecak pelan seraya menggeleng.“Tenanglah, Lea Rose.” Suaranya tenang dan terkendali. “Jonas tidak akan pernah berani membocorkan apa pun yang diketahuinya tentang kita. Dia tahu konsekuensinya.”Lea menggeleng cepat, sorot matanya masih mencerminkan kecemasan yang begitu besar. “Tapi dia tahu, Kayden. Dia tahu!”Kayden menarik napas panjang sebelum menangkup wajah Lea dengan kedua tangannya, memaksa wanita itu menatap ke dalam matanya yang tajam. “Dan aku sudah bilang, dia tidak akan berani bicara,” ulangnya, kali ini lebih pelan seperti ingin memastikan wanita itu mengerti. “Aku yang mempekerjakannya. Aku juga yang bisa menghancurkannya.”Lea menelan ludah, tetapi kecemasannya belum sepenuhnya mereda. “Tapi bagaimana jika dia—”“Dia tidak akan.”
Setelah selesai makan malam, Lea merasa puas. Mereka berjalan berdampingan menuju parkiran ditemani hawa dingin musim salju yang menusuk. Napas mereka mengepul tipis di udara, menandakan betapa dinginnya malam ini.Lea mengeratkan mantel di tubuhnya, sementara Kayden terlihat tenang meskipun hanya mengenakan mantel tanpa syal atau sarung tangan.Saat mereka tiba di area parkir, Lea berbalik untuk menghadap pria itu. “Terima kasih untuk makan malamnya. Aku jadi merasa seperti sedang berkencan,” ucapnya sedikit tersipu.Kayden menyeringai kecil. “Aku tidak ingat kalau ini adalah kencan, tapi kalau itu membuatmu senang, anggap saja begitu.”Lea mendengus pelan, tetapi tidak membalas. Ia hanya menggelengkan kepala, lalu berbalik menuju mobilnya. Namun sebelum ia sempat membuka pintu, suara Kayden terdengar lagi.“Hati-hati di jalan, My Little Rose.”Lea terhenti. Ia menoleh pelan, menatap pria itu dengan sorot terkejut. Panggilan itu ... anehnya terasa begitu alami dari bibir Kayden.Namu
Lea tiba di kediaman Easton saat jarum jam menunjukkan pukul sepuluh malam. Tidak ada aktivitas lagi di rumah megah itu, hanya keheningan yang menyelimuti tiap lorong yang mengantarkannya hingga ke depan pintu kamarnya.Saat tangannya terangkat untuk meraih pegangan pintu, pikirannya tiba-tiba berubah. Ia menurunkan kembali tangannya dan berbalik. Langkahnya yang gontai membawanya menuju kamar Kayden.Namun alih-alih langsung mengetuk, Lea hanya diam menatap daun pintu dengan ragu. Jantungnya berdebar, seolah-olah ada sesuatu yang menahannya untuk mengetuk.“Sedang apa kamu di sini?”Suara berat itu menyergap telinganya. Lea tersentak dan refleks berbalik. Kayden berdiri di sana, tubuhnya tegak dengan tangan terlipat di dada.Lea tidak bereaksi apa pun selain memandangi pria itu dalam diam. Ia ingin berbicara, tetapi kata-kata seakan tertahan di tenggorokannya. Akhirnya, ia hanya menundukkan kepala dan melangkah mendekat sebelum menempelkan ujung kepalanya ke dada Kayden.“Aku lelah,”
Pagi itu, langit New York tampak cerah.Lea duduk santai di atas sofa, melipat kedua kakinya dan membiarkan tubuhnya bersandar nyaman ke sisi Kayden. Ia mengenakan kaus tipis dan celana santai. Dan sebotol air mineral setengah kosong tergeletak di meja kopi di depannya.Suara pembawa acara berita lokal mengisi keheningan apartemen dari layar televisi.“Breaking news. Astrid Galen resmi ditahan tanpa jaminan atas dakwaan percobaan pembunuhan terhadap Lea Rose Thompson,” suara pembawa berita terdengar tajam. “Selain itu, bukti penggelapan dana dan pencucian uang yang melibatkan yayasan keluarga Thompson kini menyeret nama suaminya, Liam Thompson, dalam penyelidikan lanjutan.”Napas Lea tercekat sesaat. Ia menatap layar televisi dengan jantung yang berdebar tak terkendali. Akhirnya... hari itu datang juga.Kayden yang duduk di sebelahnya lantas mencondongkan tubuh sedikit, kemudian mengulur tangan dan membelai lengan Lea perlahan.Di televisi, potongan video memperlihatkan Astrid mengena
Lea sedang menikmati minuman soda rasa jeruk ketika ponselnya bergetar. Ia melihat nama di layar. Mama.Dengan gerakan tenang, ia meletakkan kaleng soda di atas meja dan menyambungkan panggilan.“Halo, Ma?” sapanya.Suara ibunya terdengar tenang di seberang, menyatu dengan dengung samar mesin mobil. Julianne sedang dalam perjalanan kembali ke hotel.“Sebastian Langley sudah mulai goyah,” katanya tanpa basa-basi. “Dia berpura-pura ragu, tapi nada suaranya, pilihan katanya, semua menunjukkan hal yang sama. Dia tertarik. Kalau semuanya sesuai rencana, Astrid hanya tinggal menunggu waktu sebelum ia tak punya tempat lagi untuk berdiri.”Lea menyandarkan punggung ke kursi, tatapannya fokus ke luar jendela.“Bagus,” gumamnya. “Aku sudah cukup lama menunggu momen ini.”Julianne terdengar menarik napas di seberang sebelum melanjutkan dengan nada lebih hangat. “Anggap saja ini bagian kecil dari penebusan atas kesalahan masa laluku, Lea. Karena dulu aku meninggalkanmu di rumah itu. Hidup bersama
Setelah keluar dari ruang interogasi, Sebastian menerima pesan singkat.[Kita perlu bicara. Ini tentang Astrid. Hotel Aurelle, suite 907. – J.R.]Sebastian menatap layar ponselnya lama. Rahangnya mengeras.Inisial itu saja sudah cukup menjelaskan segalanya.“Akhirnya aku berurusan dengan orang sepertinya,” gumamnya pelan.Ia menyelipkan ponsel kembali ke saku jas, lalu melangkah pergi. Ia tahu, pertemuan itu akan mempersulit kasus yang seharusnya bisa selesai dengan mudah.Beberapa jam kemudian, Sebastian Langley datang tepat waktu.Julianne sudah duduk di sana, segelas bourbon setengah penuh di tangannya. Ia tak bangkit. Hanya menatap Sebastian dengan tatapan yang membuat siapa pun merasa sedang duduk di depan hakim, bukan seorang pengacara.Sebastian berdiri di tengah ruangan. Ia tampak tegang, tapi tak benar-benar menunjukkannya.“Aku tahu kamu akan datang,” kata Julianne tanpa basa-basi.Sebastian duduk, lalu membuka jasnya sedikit. “Dan aku tahu kamu takkan tinggal diam. Jadi, ki
Pagi itu, Astrid baru saja keluar dari rumahnya dengan langkah tenang dan senyum percaya diri. Angin musim semi menerpa rambutnya yang terurai sempurna. Namun senyumnya langsung memudar saat melihat dua mobil polisi berhenti di halaman depan.Detik berikutnya, dua petugas keluar, langkah mereka cepat dan tegas.“Astrid Galen?” tanya salah satu petugas dengan suara dingin dan berwibawa.Astrid mengerutkan kening. Ia berhenti, menatap mereka dengan sorot tak suka. “Ya?” jawabnya, alisnya terangkat dan nada suaranya penuh keangkuhan.“Kami memiliki surat perintah penangkapan untuk Anda.” Petugas itu menunjukkan dokumen dengan segel resmi.Astrid membaca cepat. Matanya membelalak ketika membaca tuduhan yang tertera—penyalahgunaan kekuasaan, pemalsuan dokumen, dan pembunuhan berencana.“Apa ini lelucon? Siapa yang menyuruh kalian?!” suara Astrid meninggi, nadanya berubah tajam. “Kalian sadar siapa aku?! Aku bisa membuat kalian kehilangan pekerjaan hanya dengan satu panggilan!”Petugas teta
Setelah makan malam selesai...Di luar ruang makan privat, Kayden menyentuh ringan lengan Lea untuk menahannya tetap di tempat. Yang lain sudah lebih dulu keluar.“Aku perlu tahu sesuatu,” ucapnya pelan.Lea menoleh. “Ada apa?”“Silas.” Kayden menatap Lea tajam. “Sejak kapan kalian sedekat itu?”Lea mengernyit, sedikit bingung. “Aku tinggal di kediaman Ravenwood selama setahun. Dia orang yang sopan.”“Dia terlalu tahu banyak tentangmu,” tukas Kayden. “Dan cara dia memandangmu barusan, itu bukan sekadar sopan.”Lea menghela napas. “Kami tinggal serumah cukup lama. Wajar kalau dia tahu beberapa hal.”“Dan Rhael?” tanya Kayden tanpa memberi jeda. “Sejak kapan dia juga jadi bagian dari lingkaran dekatmu?”Nada bicara Kayden terdengar tenang, tapi ada tekanan yang jelas terasa di wajahnya.Lea menatapnya tajam. “Mereka bukan ancaman. Tidak ada yang berubah, Kayden.”Kayden tidak menjawab langsung. Ia hanya menatap wajah Lea, seolah mencari tanda-tanda bahwa wanita itu berbohong. Tangannya
Ruang Makan Privat – Sebuah Restoran Mewah di Midtown ManhattanPintu kaca geser terbuka perlahan. Lea melangkah masuk lebih dulu, diikuti oleh Kayden yang berjalan di belakangnya dengan langkah tenang. Ruangan itu bernuansa hangat dengan meja makan bundar yang ditata rapi dengan linen putih.Julianne menyambut mereka dengan senyum hangat, sementara Rhael hanya melirik sekilas tanpa menunjukkan ekspresi berarti.“Ma,” sapa Lea sembari menghampiri dan memeluk Julianne dengan lembut.Julianne membalas pelukan itu. “Kamu tampak lebih segar dari terakhir kali kita bertemu.”Lea tersenyum singkat, lalu menoleh ke arah Rhael. “Kamu juga datang.”“Aku tidak datang untukmu,” sahut Rhael pelan, lalu bersandar santai ke kursi. “Aku hanya penasaran ingin melihat siapa pria yang membuatmu tak bisa berpaling ke lain hati.”Lea menahan napas sejenak sebelum menoleh ke arah Kayden. “Ma, Rhael … ini Kayden.”Kayden mengangguk sopan dan melangkah maju. “Senang akhirnya bisa bertemu denganmu secara lan
Sepeninggal Kayden, Lea melangkah pelan lalu duduk santai di sofa tunggal yang menghadap ke luar jendela. Pemandangan kota New York masih sama—hiruk-pikuk dan gemerlap—namun ada sesuatu dalam dirinya yang berubah. Perlahan, jiwanya tak lagi serapuh dulu.Ponselnya yang tergeletak di meja kecil tiba-tiba bergetar. Lea menoleh, sekilas melihat layar, lalu segera meraihnya saat membaca nama yang tertera.“Mama …?” sapanya begitu panggilan tersambung.Di seberang, suara Julianne terdengar tergesa, bercampur keramaian. “Mama sekarang di bandara. Bisa kita bertemu?”Lea mengernyit samar. “Mama di New York?”“Ya. Bersama Rhaelil. Dia bersikeras ingin ikut karena katanya rindu padamu.”Lea tertawa kecil, merasa geli. “Apa? Jadi anak itu merindukanku?”Samar-samar, suara Rhael terdengar dari belakang. “Tidak! Aku ikut bukan karena merindukanmu! Aku ke mari untuk bersenang-senang!”Lea terkikik. “Baiklah … kalian bisa datang ke apartemenku. Nanti aku kirim alamatnya.”“Baik, Sayang. Sampai jumpa
Keesokan paginya, Lea menjadi orang pertama yang bangun. Ia tidak langsung mandi. Sebaliknya, ia memutuskan untuk menyiapkan sarapan lebih dulu karena tahu hari ini Kayden akan ke kantor.“Oke, semuanya beres!” serunya pelan dengan senyum lebar, merasa puas dengan sarapan sederhana dan secangkir kopi yang sudah tertata rapi di atas meja makan.Setelah memeriksa semuanya sekali lagi, Lea melangkah kembali ke kamar. Ia menaiki ranjang dengan pelan, lalu menunduk dan menciumi pipi Kayden yang masih tertidur lelap.“Selamat pagi, Tuan Muda Easton,” bisiknya lembut di sela ciumannya.Kayden menggeliat kecil, lalu membuka mata perlahan. Tatapannya langsung bertemu dengan wajah Lea yang tersenyum di atasnya.“Ini mimpi lain, hm?” gumamnya serak karena baru bangun. Tangannya terulur mengusap pipi Lea. “Karena kalau iya, aku tidak ingin bangun.”Lea terkikik pelan. “Bukan mimpi, Sayang. Sarapan sudah siap. Kamu harus bangun sebelum kopimu dingin.”Kayden menarik tubuh Lea agar jatuh ke pelukan
Kayden menggeleng pelan, lalu menaruh dagunya di bahu Lea. “Untuk sekarang, aku hanya ingin menikmati waktu kita. Aku sangat merindukanmu, Little Rose,” bisiknya parau.Lea tersenyum tipis. Salah satu tangannya terulur, mengusap pucuk kepala Kayden dengan lembut. “Baiklah. Kita nikmati saja waktu berdua.”Bagi Kayden, pelukan ini masih terasa seperti mimpi. Meskipun hangat kulit Lea begitu nyata di pelukannya, Kayden tak bisa mengusir keraguan dalam hatinya. Ada suara kecil yang terus bertanya—jangan-jangan semua ini hanya mimpi yang terlalu indah untuk jadi kenyataan?Setelah beberapa saat berendam, Lea tiba-tiba menarik diri dari pelukan Kayden. Tanpa berkata apa pun, ia keluar dari bath tub. Buih sabun masih menempel di beberapa bagian tubuhnya yang putih dan mulus.Dengan langkah anggun, Lea berjalan menuju shower dan menyalakan air hangat. Saat buliran air membasahi tubuhnya, ia menoleh.Senyum manis menghiasi bibirnya. “Kemarilah, Kayden,” panggilnya lembut.Kayden tidak segera