Lea tiba di kediaman Easton saat jarum jam menunjukkan pukul sepuluh malam. Tidak ada aktivitas lagi di rumah megah itu, hanya keheningan yang menyelimuti tiap lorong yang mengantarkannya hingga ke depan pintu kamarnya.Saat tangannya terangkat untuk meraih pegangan pintu, pikirannya tiba-tiba berubah. Ia menurunkan kembali tangannya dan berbalik. Langkahnya yang gontai membawanya menuju kamar Kayden.Namun alih-alih langsung mengetuk, Lea hanya diam menatap daun pintu dengan ragu. Jantungnya berdebar, seolah-olah ada sesuatu yang menahannya untuk mengetuk.“Sedang apa kamu di sini?”Suara berat itu menyergap telinganya. Lea tersentak dan refleks berbalik. Kayden berdiri di sana, tubuhnya tegak dengan tangan terlipat di dada.Lea tidak bereaksi apa pun selain memandangi pria itu dalam diam. Ia ingin berbicara, tetapi kata-kata seakan tertahan di tenggorokannya. Akhirnya, ia hanya menundukkan kepala dan melangkah mendekat sebelum menempelkan ujung kepalanya ke dada Kayden.“Aku lelah,”
Lea tidak pernah membayangkan bahwa setelah merasakan kehangatan sikap Kayden, kabar berikutnya yang ia terima justru berita duka.Gregory Lancaster, pria tua yang selama ini dikenal sebagai mitra bisnis keluarga Easton, meninggal dunia karena serangan jantung tadi malam. Hari ini, ia akan dimakamkan.“Apa aku benar-benar harus ikut?” tanya Lea ragu.“Ya,” sahut Kayden singkat.Lea menundukkan kepala. “Tapi, aku tidak begitu mengenalnya.”“Kamu mengenalnya lebih dari cukup,” potong Kayden. “Bukankah Tuan Lancaster menghormatimu selama ini? Sikapnya berbeda dengan kebanyakan orang di sekitarmu.”Lea terdiam. Kata-kata Kayden benar. Gregory Lancaster adalah satu dari sedikit orang yang tidak pernah memandangnya dengan tatapan merendahkan. Bagaimana mungkin ia tidak mengantarkan kepergian pria itu ke tempat peristirahatan terakhirnya?Lea menghela napas pelan. “Baiklah,” ucapnya akhirnya.***Salju tipis turun perlahan, butirannya berjatuhan di atas tanah pemakaman yang sudah memutih. Ud
Keheningan menyeruak saat mobil Kayden bergerak dengan perlahan meninggalkan kompleks pemakaman. Di kursinya, Lea diam seraya membuang pandangan ke jendela. Dalam hatinya, wanita itu merasa kesal setengah mati pada pria yang duduk di belakang kemudi.Jika dipikirkan lagi, ketidaknyamanan ini berawal dari kecemburuan Kayden terhadap Vincent. Memang, ini salah Lea karena menyeret Evelyn ke dalam argumen mereka. Tapi tetap saja, Kayden tidak seharusnya bereaksi seberlebihan itu.Lagi pula, apa yang bisa Lea harapkan dari pria yang bahkan tidak bisa mengendalikan rasa cemburunya sendiri?“Hhh ….” Helaan napas berat itu tanpa sadar lolos dari bibir Lea dan langsung mengundang perhatian pria yang duduk di sampingnya.Kayden melirik Lea sekilas, dahinya mengernyit. “Kenapa?” tanyanya datar.Lea tidak segera menjawab. Tatapannya tetap tertuju ke luar jendela, mengamati hiruk-pikuk jalanan yang terselimuti rintik salju. Rasa kesal masih menggelayuti hatinya, tapi ia tahu meluapkannya sekarang
Lea duduk di tepi ranjang pemeriksaan, tangannya meremas ujung mantel hitam yang membungkus tubuhnya. Udara di ruangan terasa dingin, tetapi bukan itu yang membuatnya menggigil—melainkan tatapan tajam wanita di hadapannya.Ibu tirinya, Astrid Galen, berdiri dengan angkuh di samping dokter yang tengah menyiapkan alat pemeriksaan.“Silakan berbaring,” perintah dokter dengan suara netral.Lea menoleh ke arah Astrid, berharap ada celah untuk menolak, tetapi wanita itu hanya melipat tangan di dada menunggu tanpa kesabaran.“Jangan membuatku menunggu, Lea,” suara Astrid terdengar tegas. “Aku ingin kepastian.”Punggung Lea menegang tetapi ia tahu tidak ada gunanya melawan. Dengan enggan, ia akhirnya berbaring di atas ranjang dan membiarkan dokter menjalankan tugasnya. Sesekali, jemarinya mengepal, matanya memejam rapat saat alat pemeriksaan menyentuh kulitnya.“Bagaimana hasilnya?” suara Astrid memecah keheningan.Dokter menarik napas, menatap layar sebentar sebelum akhirnya berbalik menatap
Malam harinya, Lea tidak langsung pulang ke kediaman Easton setelah selesai bekerja. Ia memutuskan untuk mampir ke sebuah bar demi memenuhi undangan pesta ulang tahun Annika yang diadakan di sana. Meskipun tidak kuat minum, Lea tetap datang untuk menghargai usaha Annika yang telah bersusah payah mengundangnya.Bar pilihan Annika memiliki suasana nyaman dengan cahaya temaram yang hangat. Sorot neon merah dan ungu menambah kesan intim, sementara aroma alkohol bercampur parfum mahal samar tercium di udara. Gelak tawa, dentingan gelas, dan dentuman musik pelan menjadi latar yang kontras dengan batin Lea yang terasa hampa.Dari tempat duduknya, Lea tersenyum tipis saat melihat Annika yang tengah asyik berdansa dengan seorang pria di lantai dansa. Gerakan mereka selaras dengan alunan musik, dan Annika tampak menikmati setiap momennya.“Astaga, dia tampak menikmati waktunya,” gumam Lea seraya tersenyum.Tak lama kemudian, Annika memberikan isyarat pada Lea agar segera bergabung dengannya. Na
Lea segera berbalik dan mendapati Vincent Moreno berdiri dengan wajah serius. Suara yang sebelumnya menggema ternyata berasal dari pria itu. Dengan langkah pasti, Vincent menghampiri Lea yang tampak terkejut melihat kehadirannya di bar.Jared menggeram pelan saat Vincent berhenti di depannya dan mendorong bahunya dengan kuat hingga ia mundur ke belakang.“Kurang ajar! Berani sekali kamu mendorongku!” ucap Jared tak terima.Vincent hanya tersenyum miring, wajahnya penuh cemooh saat menatap pria itu. “Tidak ada alasan bagiku untuk takut padamu,” sahutnya santai sebelum menoleh dan memeriksa Lea. “Kamu baik-baik saja, Lea? Apa bajingan itu sempat menyentuhmu tadi?”Lea mengangguk pelan. “Aku baik-baik saja,” sahutnya.Melihat reaksi Vincent, Jared semakin tidak terima. Pria itu mengepalkan tangan, bersiap melayangkan pukulan namun Annika buru-buru menahannya.“Lepaskan!” teriak Jared geram, tetapi Annika tidak menggubrisnya.Dengan sekuat tenaga, Annika menarik Jared menjauh sebelum akhi
Pikiran Lea benar-benar kacau sejak ia tak sengaja melihat sosok yang mirip dengan ibunya hari itu. Ia terus bertanya-tanya apakah semua itu hanya ilusi atau apakah wanita itu benar-benar ibunya.Tapi bagaimana mungkin? Seseorang yang telah meninggal tidak mungkin kembali hidup dan menjalani kehidupan normal seperti manusia biasa.Atau … mungkinkah ada orang lain di dunia ini yang memiliki wajah yang sama persis?“Tidak masuk akal. Tidak mungkin,” gumam Lea.Lea mengusap wajahnya dengan kasar, berharap pikirannya bisa tenang tapi bayangan wanita itu terus menghantuinya. “Tapi tidak. Itu tidak bisa terjadi. Ibuku sudah meninggal. Aku melihat pemakamannya dengan mata kepalaku sendiri. Aku tahu itu nyata.”Namun, mengapa ada keraguan yang menyelinap dalam benaknya?“Mungkin aku hanya terlalu lelah. Mungkin pikiranku sedang mempermainkanku.”Tapi jika hanya sekadar ilusi, mengapa sensasi itu terasa begitu nyata? Jantungnya bahkan berdetak begitu kencang saat melihat wanita itu.Lea mengg
Setelah mengemudi dengan kecepatan tinggi, akhirnya mobil yang Lea kendarai memasuki basement Easton Industries. Lea melangkah cepat menuju lobi kantor, wanita itu nyaris berlari setelah keluar dari mobil. Napasnya masih sedikit berantakan saat ia melihat Annika sudah berdiri tak jauh darinya dengan wajah yang begitu cemas.Begitu melihatnya, Annika segera menghampiri dengan ekspresi yang jelas tidak nyaman.“Kenapa kamu bisa datang terlambat? Para eksekutif sudah menunggu sejak tadi. Bahkan CEO kita juga sudah datang,” bisiknya dengan nada mendesak.Lea mengusap dahinya sekilas seraya mencoba mengatur napas. “Ada sedikit masalah tadi,” jawabnya cepat tanpa berniat untuk menjelaskan lebih jauh. Ia tahu ini bukan waktu yang tepat untuk memberi penjelasan panjang lebar.Tanpa membuang waktu, Lea buru-buru melangkah menuju ruang tunggu eksekutif di mana beberapa petinggi perusahaan sudah duduk di sana. Begitu memasuki ruangan, ia segera membungkukkan badan.“Saya minta maaf karena membuat
Pagi itu, langit New York tampak cerah.Lea duduk santai di atas sofa, melipat kedua kakinya dan membiarkan tubuhnya bersandar nyaman ke sisi Kayden. Ia mengenakan kaus tipis dan celana santai. Dan sebotol air mineral setengah kosong tergeletak di meja kopi di depannya.Suara pembawa acara berita lokal mengisi keheningan apartemen dari layar televisi.“Breaking news. Astrid Galen resmi ditahan tanpa jaminan atas dakwaan percobaan pembunuhan terhadap Lea Rose Thompson,” suara pembawa berita terdengar tajam. “Selain itu, bukti penggelapan dana dan pencucian uang yang melibatkan yayasan keluarga Thompson kini menyeret nama suaminya, Liam Thompson, dalam penyelidikan lanjutan.”Napas Lea tercekat sesaat. Ia menatap layar televisi dengan jantung yang berdebar tak terkendali. Akhirnya... hari itu datang juga.Kayden yang duduk di sebelahnya lantas mencondongkan tubuh sedikit, kemudian mengulur tangan dan membelai lengan Lea perlahan.Di televisi, potongan video memperlihatkan Astrid mengena
Lea sedang menikmati minuman soda rasa jeruk ketika ponselnya bergetar. Ia melihat nama di layar. Mama.Dengan gerakan tenang, ia meletakkan kaleng soda di atas meja dan menyambungkan panggilan.“Halo, Ma?” sapanya.Suara ibunya terdengar tenang di seberang, menyatu dengan dengung samar mesin mobil. Julianne sedang dalam perjalanan kembali ke hotel.“Sebastian Langley sudah mulai goyah,” katanya tanpa basa-basi. “Dia berpura-pura ragu, tapi nada suaranya, pilihan katanya, semua menunjukkan hal yang sama. Dia tertarik. Kalau semuanya sesuai rencana, Astrid hanya tinggal menunggu waktu sebelum ia tak punya tempat lagi untuk berdiri.”Lea menyandarkan punggung ke kursi, tatapannya fokus ke luar jendela.“Bagus,” gumamnya. “Aku sudah cukup lama menunggu momen ini.”Julianne terdengar menarik napas di seberang sebelum melanjutkan dengan nada lebih hangat. “Anggap saja ini bagian kecil dari penebusan atas kesalahan masa laluku, Lea. Karena dulu aku meninggalkanmu di rumah itu. Hidup bersama
Setelah keluar dari ruang interogasi, Sebastian menerima pesan singkat.[Kita perlu bicara. Ini tentang Astrid. Hotel Aurelle, suite 907. – J.R.]Sebastian menatap layar ponselnya lama. Rahangnya mengeras.Inisial itu saja sudah cukup menjelaskan segalanya.“Akhirnya aku berurusan dengan orang sepertinya,” gumamnya pelan.Ia menyelipkan ponsel kembali ke saku jas, lalu melangkah pergi. Ia tahu, pertemuan itu akan mempersulit kasus yang seharusnya bisa selesai dengan mudah.Beberapa jam kemudian, Sebastian Langley datang tepat waktu.Julianne sudah duduk di sana, segelas bourbon setengah penuh di tangannya. Ia tak bangkit. Hanya menatap Sebastian dengan tatapan yang membuat siapa pun merasa sedang duduk di depan hakim, bukan seorang pengacara.Sebastian berdiri di tengah ruangan. Ia tampak tegang, tapi tak benar-benar menunjukkannya.“Aku tahu kamu akan datang,” kata Julianne tanpa basa-basi.Sebastian duduk, lalu membuka jasnya sedikit. “Dan aku tahu kamu takkan tinggal diam. Jadi, ki
Pagi itu, Astrid baru saja keluar dari rumahnya dengan langkah tenang dan senyum percaya diri. Angin musim semi menerpa rambutnya yang terurai sempurna. Namun senyumnya langsung memudar saat melihat dua mobil polisi berhenti di halaman depan.Detik berikutnya, dua petugas keluar, langkah mereka cepat dan tegas.“Astrid Galen?” tanya salah satu petugas dengan suara dingin dan berwibawa.Astrid mengerutkan kening. Ia berhenti, menatap mereka dengan sorot tak suka. “Ya?” jawabnya, alisnya terangkat dan nada suaranya penuh keangkuhan.“Kami memiliki surat perintah penangkapan untuk Anda.” Petugas itu menunjukkan dokumen dengan segel resmi.Astrid membaca cepat. Matanya membelalak ketika membaca tuduhan yang tertera—penyalahgunaan kekuasaan, pemalsuan dokumen, dan pembunuhan berencana.“Apa ini lelucon? Siapa yang menyuruh kalian?!” suara Astrid meninggi, nadanya berubah tajam. “Kalian sadar siapa aku?! Aku bisa membuat kalian kehilangan pekerjaan hanya dengan satu panggilan!”Petugas teta
Setelah makan malam selesai...Di luar ruang makan privat, Kayden menyentuh ringan lengan Lea untuk menahannya tetap di tempat. Yang lain sudah lebih dulu keluar.“Aku perlu tahu sesuatu,” ucapnya pelan.Lea menoleh. “Ada apa?”“Silas.” Kayden menatap Lea tajam. “Sejak kapan kalian sedekat itu?”Lea mengernyit, sedikit bingung. “Aku tinggal di kediaman Ravenwood selama setahun. Dia orang yang sopan.”“Dia terlalu tahu banyak tentangmu,” tukas Kayden. “Dan cara dia memandangmu barusan, itu bukan sekadar sopan.”Lea menghela napas. “Kami tinggal serumah cukup lama. Wajar kalau dia tahu beberapa hal.”“Dan Rhael?” tanya Kayden tanpa memberi jeda. “Sejak kapan dia juga jadi bagian dari lingkaran dekatmu?”Nada bicara Kayden terdengar tenang, tapi ada tekanan yang jelas terasa di wajahnya.Lea menatapnya tajam. “Mereka bukan ancaman. Tidak ada yang berubah, Kayden.”Kayden tidak menjawab langsung. Ia hanya menatap wajah Lea, seolah mencari tanda-tanda bahwa wanita itu berbohong. Tangannya
Ruang Makan Privat – Sebuah Restoran Mewah di Midtown ManhattanPintu kaca geser terbuka perlahan. Lea melangkah masuk lebih dulu, diikuti oleh Kayden yang berjalan di belakangnya dengan langkah tenang. Ruangan itu bernuansa hangat dengan meja makan bundar yang ditata rapi dengan linen putih.Julianne menyambut mereka dengan senyum hangat, sementara Rhael hanya melirik sekilas tanpa menunjukkan ekspresi berarti.“Ma,” sapa Lea sembari menghampiri dan memeluk Julianne dengan lembut.Julianne membalas pelukan itu. “Kamu tampak lebih segar dari terakhir kali kita bertemu.”Lea tersenyum singkat, lalu menoleh ke arah Rhael. “Kamu juga datang.”“Aku tidak datang untukmu,” sahut Rhael pelan, lalu bersandar santai ke kursi. “Aku hanya penasaran ingin melihat siapa pria yang membuatmu tak bisa berpaling ke lain hati.”Lea menahan napas sejenak sebelum menoleh ke arah Kayden. “Ma, Rhael … ini Kayden.”Kayden mengangguk sopan dan melangkah maju. “Senang akhirnya bisa bertemu denganmu secara lan
Sepeninggal Kayden, Lea melangkah pelan lalu duduk santai di sofa tunggal yang menghadap ke luar jendela. Pemandangan kota New York masih sama—hiruk-pikuk dan gemerlap—namun ada sesuatu dalam dirinya yang berubah. Perlahan, jiwanya tak lagi serapuh dulu.Ponselnya yang tergeletak di meja kecil tiba-tiba bergetar. Lea menoleh, sekilas melihat layar, lalu segera meraihnya saat membaca nama yang tertera.“Mama …?” sapanya begitu panggilan tersambung.Di seberang, suara Julianne terdengar tergesa, bercampur keramaian. “Mama sekarang di bandara. Bisa kita bertemu?”Lea mengernyit samar. “Mama di New York?”“Ya. Bersama Rhaelil. Dia bersikeras ingin ikut karena katanya rindu padamu.”Lea tertawa kecil, merasa geli. “Apa? Jadi anak itu merindukanku?”Samar-samar, suara Rhael terdengar dari belakang. “Tidak! Aku ikut bukan karena merindukanmu! Aku ke mari untuk bersenang-senang!”Lea terkikik. “Baiklah … kalian bisa datang ke apartemenku. Nanti aku kirim alamatnya.”“Baik, Sayang. Sampai jumpa
Keesokan paginya, Lea menjadi orang pertama yang bangun. Ia tidak langsung mandi. Sebaliknya, ia memutuskan untuk menyiapkan sarapan lebih dulu karena tahu hari ini Kayden akan ke kantor.“Oke, semuanya beres!” serunya pelan dengan senyum lebar, merasa puas dengan sarapan sederhana dan secangkir kopi yang sudah tertata rapi di atas meja makan.Setelah memeriksa semuanya sekali lagi, Lea melangkah kembali ke kamar. Ia menaiki ranjang dengan pelan, lalu menunduk dan menciumi pipi Kayden yang masih tertidur lelap.“Selamat pagi, Tuan Muda Easton,” bisiknya lembut di sela ciumannya.Kayden menggeliat kecil, lalu membuka mata perlahan. Tatapannya langsung bertemu dengan wajah Lea yang tersenyum di atasnya.“Ini mimpi lain, hm?” gumamnya serak karena baru bangun. Tangannya terulur mengusap pipi Lea. “Karena kalau iya, aku tidak ingin bangun.”Lea terkikik pelan. “Bukan mimpi, Sayang. Sarapan sudah siap. Kamu harus bangun sebelum kopimu dingin.”Kayden menarik tubuh Lea agar jatuh ke pelukan
Kayden menggeleng pelan, lalu menaruh dagunya di bahu Lea. “Untuk sekarang, aku hanya ingin menikmati waktu kita. Aku sangat merindukanmu, Little Rose,” bisiknya parau.Lea tersenyum tipis. Salah satu tangannya terulur, mengusap pucuk kepala Kayden dengan lembut. “Baiklah. Kita nikmati saja waktu berdua.”Bagi Kayden, pelukan ini masih terasa seperti mimpi. Meskipun hangat kulit Lea begitu nyata di pelukannya, Kayden tak bisa mengusir keraguan dalam hatinya. Ada suara kecil yang terus bertanya—jangan-jangan semua ini hanya mimpi yang terlalu indah untuk jadi kenyataan?Setelah beberapa saat berendam, Lea tiba-tiba menarik diri dari pelukan Kayden. Tanpa berkata apa pun, ia keluar dari bath tub. Buih sabun masih menempel di beberapa bagian tubuhnya yang putih dan mulus.Dengan langkah anggun, Lea berjalan menuju shower dan menyalakan air hangat. Saat buliran air membasahi tubuhnya, ia menoleh.Senyum manis menghiasi bibirnya. “Kemarilah, Kayden,” panggilnya lembut.Kayden tidak segera