Pikiran Lea benar-benar kacau sejak ia tak sengaja melihat sosok yang mirip dengan ibunya hari itu. Ia terus bertanya-tanya apakah semua itu hanya ilusi atau apakah wanita itu benar-benar ibunya.Tapi bagaimana mungkin? Seseorang yang telah meninggal tidak mungkin kembali hidup dan menjalani kehidupan normal seperti manusia biasa.Atau … mungkinkah ada orang lain di dunia ini yang memiliki wajah yang sama persis?“Tidak masuk akal. Tidak mungkin,” gumam Lea.Lea mengusap wajahnya dengan kasar, berharap pikirannya bisa tenang tapi bayangan wanita itu terus menghantuinya. “Tapi tidak. Itu tidak bisa terjadi. Ibuku sudah meninggal. Aku melihat pemakamannya dengan mata kepalaku sendiri. Aku tahu itu nyata.”Namun, mengapa ada keraguan yang menyelinap dalam benaknya?“Mungkin aku hanya terlalu lelah. Mungkin pikiranku sedang mempermainkanku.”Tapi jika hanya sekadar ilusi, mengapa sensasi itu terasa begitu nyata? Jantungnya bahkan berdetak begitu kencang saat melihat wanita itu.Lea mengg
Setelah mengemudi dengan kecepatan tinggi, akhirnya mobil yang Lea kendarai memasuki basement Easton Industries. Lea melangkah cepat menuju lobi kantor, wanita itu nyaris berlari setelah keluar dari mobil. Napasnya masih sedikit berantakan saat ia melihat Annika sudah berdiri tak jauh darinya dengan wajah yang begitu cemas.Begitu melihatnya, Annika segera menghampiri dengan ekspresi yang jelas tidak nyaman.“Kenapa kamu bisa datang terlambat? Para eksekutif sudah menunggu sejak tadi. Bahkan CEO kita juga sudah datang,” bisiknya dengan nada mendesak.Lea mengusap dahinya sekilas seraya mencoba mengatur napas. “Ada sedikit masalah tadi,” jawabnya cepat tanpa berniat untuk menjelaskan lebih jauh. Ia tahu ini bukan waktu yang tepat untuk memberi penjelasan panjang lebar.Tanpa membuang waktu, Lea buru-buru melangkah menuju ruang tunggu eksekutif di mana beberapa petinggi perusahaan sudah duduk di sana. Begitu memasuki ruangan, ia segera membungkukkan badan.“Saya minta maaf karena membuat
Villa CEO terletak di sisi paling eksklusif dari resort ini, jauh dari keramaian dan menawarkan pemandangan yang indah. Lea mengikuti langkah Kayden masuk ke dalam villa dengan perasaan gelisah menyelimuti dirinya sejak tadi.Begitu pintu tertutup, keheningan seketika memenuhi ruangan itu. Villa itu terlalu besar, terlalu mewah, tetapi saat ini yang lebih mengganggu Lea adalah kenyataan bahwa ia dan Kayden harus berbagi tempat.Lea menatap pria itu dengan mata tajam penuh kecurigaan. “Apakah ini kebetulan, atau … sengaja kamu atur?”Kayden yang baru saja melepas jasnya dan meletakkannya di sandaran sofa, menoleh dengan ekspresi datar. Ia mengangkat satu alis. Namun, keheningan pria itu cukup menjadi jawaban.Lea mendesah cemas, tangannya terangkat untuk meremas pelipisnya. “Demi Tuhan, Kayden. Tidakkah kamu terlalu mengambil risiko karena melakukan ini?” ujarnya frustrasi.Kayden masih tetap diam.Lea semakin gelisah. “Tidakkah kamu melihat reaksi para eksekutif karena kita harus berb
Restoran resort dipenuhi dengan suara percakapan yang pelan dan dentingan peralatan makan. Meja-meja panjang telah tertata rapi, diisi oleh para eksekutif.Lea duduk bersama Annika, tetapi suasana yang semula santai berubah saat seseorang mengetukkan sendok ke gelas dan menarik perhatian seluruh ruangan.Kayden Easton berdiri di meja utama. Begitu ruangan hening, ia berbicara dengan tegas.“Terima kasih atas kerja keras kalian dalam proyek ini. Perjalanan ini bukan hanya untuk menyelesaikan agenda perusahaan, tetapi juga memperkuat kerja sama kita. Manfaatkan waktu ini dengan baik.”Setelah jeda singkat, ia melanjutkan, “Nikmati makan siang kalian. Kita lanjutkan dengan meeting & presentasi bisnis setelah ini.”Kayden mengakhiri sambutannya tanpa senyum, tetapi auranya cukup kuat untuk meninggalkan kesan. Para eksekutif mengangguk hormat sebelum suasana mencair kembali.Lea mengembuskan napas yang tak sadar ia tahan.“CEO kita benar-benar punya cara untuk menguasai ruangan, ya?” bisik
Keesokan paginya, setelah sarapan bersama.Ruang konferensi dipenuhi suara percakapan dan tawa ringan. Hari ini, jumlah orang yang hadir jauh lebih banyak dari sebelumnya. Para eksekutif dari kantor pusat kini bergabung dengan perwakilan dari anak perusahaan.Lea berdiri di dekat Annika, mata hazelnya memperhatikan sekeliling. Beberapa wajah tampak familiar, tetapi banyak juga yang baru pertama kali ia lihat. Suasana formal yang biasa terasa lebih santai hari ini, mungkin karena semua orang tahu bahwa agenda pagi ini bukan rapat atau presentasi, melainkan perjalanan ke resor ski.“Wow, aku tidak menyangka akan sebanyak ini,” gumam Annika, matanya berbinar melihat kerumunan.Lea mengangguk kecil. “Sepertinya semua orang ingin memanfaatkan kesempatan ini untuk sedikit bersantai.”Saat semua orang sudah berkumpul, Jonas Beckett mengambil alih untuk memberikan arahan singkat.“Baiklah, semuanya. Kita akan berangkat dalam sepuluh menit. Untuk yang belum terbiasa bermain ski, jangan khawati
Lea menempelkan telinganya ke pintu bilik, mendengarkan dengan saksama. Saat memastikan tidak ada suara langkah kaki mendekat, ia menarik napas lega sebelum menoleh ke Kayden yang masih bersandar santai di dinding.“Sekarang,” bisiknya cepat.Tanpa membuang waktu, ia meraih pergelangan tangan pria itu dan menariknya keluar dari ruang ganti.Kayden mengangkat alis, jelas terhibur dengan kepanikan Lea tetapi ia tetap membiarkan dirinya diseret keluar.Mereka baru saja melangkah keluar dari bilik ketika suara klik terdengar dari sebelah—bunyi kunci yang diputar dari ruang ganti Annika.“Sial!”Lea merasa panik. Tanpa berpikir panjang, ia segera berlari ke depan pintu ruang ganti Annika, berusaha menghalangi pandangan langsung ke tempat Kayden berada.Kayden yang awalnya berjalan santai kini menghela napas, lalu melangkah mundur ke balik loker.Pintu bilik Annika terbuka tepat saat Lea tiba di depannya.Wanita itu mengerjap kaget saat menatap Lea yang berdiri tepat di hadapannya dengan wa
Saat Kayden menggendong Lea keluar dari ruang hangat menuju mobilnya, sebuah kamera membidik mereka dari kejauhan. Lensa itu menangkap momen intim yang terlalu dekat untuk sekadar hubungan atasan dan bawahan, apalagi kakak ipar dan adik ipar.Klik.Tangan terampil di balik kamera terus bekerja, memperbesar gambar agar wajah keduanya terlihat jelas. Kayden tampak tegang sementara Lea yang berada dalam gendongannya menunjukkan raut cemas.Orang itu tidak berhenti sampai di situ. Ia terus menekan tombol kamera, mengambil serangkaian gambar bahkan hingga Kayden mendudukkan Lea di kursi penumpang dan ikut masuk ke dalam mobil, duduk di samping wanita itu.“Ini akan menjadi berita besar,” gumamnya penuh semangat sebelum menyimpan kameranya ke dalam tas dan bergegas pergi.Sementara itu, di dalam mobil, suasana terasa mencekam. Jonas mulai menjalankan kendaraan, membelah yang semakin dingin.Lea menggigit bibirnya, menahan nyeri yang masih menusuk di lututnya. Namun melihat ekspresi Kayden y
Setelah bermain ski kemarin, Annika tidak pernah lagi melihat Lea di manapun. Bahkan saat waktu makan tiba, wanita itu tak muncul di restoran. Annika khawatir. Ia sudah mencoba menghubungi Lea berkali-kali, tetapi tidak ada jawaban sama sekali dari wanita itu.Saat matanya tak sengaja menangkap sosok Jonas yang baru saja masuk, Annika segera menghampiri pria itu.“Tuan Beckett!” seru Annika seraya berlari mendekatinya.Jonas menoleh dan melangkah maju. “Ada apa, Nona Bennett?” tanyanya.Annika berdiri tepat di depan Jonas. “Uhm, aku ingin bertanya padamu. Apa kamu melihat Lea Rose? Aku tidak melihatnya dan tidak bisa menghubunginya lagi sejak bermain ski kemarin. Aku bertanya pada instruktur yang melatihnya, katanya sempat terjadi insiden kecil. Tapi dia tidak menemukan Lea saat ingin mengambil kotak obat,” katanya panjang lebar, wajahnya menunjukkan kekhawatiran yang mendalam.Jonas mengangguk pelan. “Benar. Nona Rose sempat mengalami insiden yang membuat lututnya cedera. Dokter meng
Pagi itu, langit New York tampak cerah.Lea duduk santai di atas sofa, melipat kedua kakinya dan membiarkan tubuhnya bersandar nyaman ke sisi Kayden. Ia mengenakan kaus tipis dan celana santai. Dan sebotol air mineral setengah kosong tergeletak di meja kopi di depannya.Suara pembawa acara berita lokal mengisi keheningan apartemen dari layar televisi.“Breaking news. Astrid Galen resmi ditahan tanpa jaminan atas dakwaan percobaan pembunuhan terhadap Lea Rose Thompson,” suara pembawa berita terdengar tajam. “Selain itu, bukti penggelapan dana dan pencucian uang yang melibatkan yayasan keluarga Thompson kini menyeret nama suaminya, Liam Thompson, dalam penyelidikan lanjutan.”Napas Lea tercekat sesaat. Ia menatap layar televisi dengan jantung yang berdebar tak terkendali. Akhirnya... hari itu datang juga.Kayden yang duduk di sebelahnya lantas mencondongkan tubuh sedikit, kemudian mengulur tangan dan membelai lengan Lea perlahan.Di televisi, potongan video memperlihatkan Astrid mengena
Lea sedang menikmati minuman soda rasa jeruk ketika ponselnya bergetar. Ia melihat nama di layar. Mama.Dengan gerakan tenang, ia meletakkan kaleng soda di atas meja dan menyambungkan panggilan.“Halo, Ma?” sapanya.Suara ibunya terdengar tenang di seberang, menyatu dengan dengung samar mesin mobil. Julianne sedang dalam perjalanan kembali ke hotel.“Sebastian Langley sudah mulai goyah,” katanya tanpa basa-basi. “Dia berpura-pura ragu, tapi nada suaranya, pilihan katanya, semua menunjukkan hal yang sama. Dia tertarik. Kalau semuanya sesuai rencana, Astrid hanya tinggal menunggu waktu sebelum ia tak punya tempat lagi untuk berdiri.”Lea menyandarkan punggung ke kursi, tatapannya fokus ke luar jendela.“Bagus,” gumamnya. “Aku sudah cukup lama menunggu momen ini.”Julianne terdengar menarik napas di seberang sebelum melanjutkan dengan nada lebih hangat. “Anggap saja ini bagian kecil dari penebusan atas kesalahan masa laluku, Lea. Karena dulu aku meninggalkanmu di rumah itu. Hidup bersama
Setelah keluar dari ruang interogasi, Sebastian menerima pesan singkat.[Kita perlu bicara. Ini tentang Astrid. Hotel Aurelle, suite 907. – J.R.]Sebastian menatap layar ponselnya lama. Rahangnya mengeras.Inisial itu saja sudah cukup menjelaskan segalanya.“Akhirnya aku berurusan dengan orang sepertinya,” gumamnya pelan.Ia menyelipkan ponsel kembali ke saku jas, lalu melangkah pergi. Ia tahu, pertemuan itu akan mempersulit kasus yang seharusnya bisa selesai dengan mudah.Beberapa jam kemudian, Sebastian Langley datang tepat waktu.Julianne sudah duduk di sana, segelas bourbon setengah penuh di tangannya. Ia tak bangkit. Hanya menatap Sebastian dengan tatapan yang membuat siapa pun merasa sedang duduk di depan hakim, bukan seorang pengacara.Sebastian berdiri di tengah ruangan. Ia tampak tegang, tapi tak benar-benar menunjukkannya.“Aku tahu kamu akan datang,” kata Julianne tanpa basa-basi.Sebastian duduk, lalu membuka jasnya sedikit. “Dan aku tahu kamu takkan tinggal diam. Jadi, ki
Pagi itu, Astrid baru saja keluar dari rumahnya dengan langkah tenang dan senyum percaya diri. Angin musim semi menerpa rambutnya yang terurai sempurna. Namun senyumnya langsung memudar saat melihat dua mobil polisi berhenti di halaman depan.Detik berikutnya, dua petugas keluar, langkah mereka cepat dan tegas.“Astrid Galen?” tanya salah satu petugas dengan suara dingin dan berwibawa.Astrid mengerutkan kening. Ia berhenti, menatap mereka dengan sorot tak suka. “Ya?” jawabnya, alisnya terangkat dan nada suaranya penuh keangkuhan.“Kami memiliki surat perintah penangkapan untuk Anda.” Petugas itu menunjukkan dokumen dengan segel resmi.Astrid membaca cepat. Matanya membelalak ketika membaca tuduhan yang tertera—penyalahgunaan kekuasaan, pemalsuan dokumen, dan pembunuhan berencana.“Apa ini lelucon? Siapa yang menyuruh kalian?!” suara Astrid meninggi, nadanya berubah tajam. “Kalian sadar siapa aku?! Aku bisa membuat kalian kehilangan pekerjaan hanya dengan satu panggilan!”Petugas teta
Setelah makan malam selesai...Di luar ruang makan privat, Kayden menyentuh ringan lengan Lea untuk menahannya tetap di tempat. Yang lain sudah lebih dulu keluar.“Aku perlu tahu sesuatu,” ucapnya pelan.Lea menoleh. “Ada apa?”“Silas.” Kayden menatap Lea tajam. “Sejak kapan kalian sedekat itu?”Lea mengernyit, sedikit bingung. “Aku tinggal di kediaman Ravenwood selama setahun. Dia orang yang sopan.”“Dia terlalu tahu banyak tentangmu,” tukas Kayden. “Dan cara dia memandangmu barusan, itu bukan sekadar sopan.”Lea menghela napas. “Kami tinggal serumah cukup lama. Wajar kalau dia tahu beberapa hal.”“Dan Rhael?” tanya Kayden tanpa memberi jeda. “Sejak kapan dia juga jadi bagian dari lingkaran dekatmu?”Nada bicara Kayden terdengar tenang, tapi ada tekanan yang jelas terasa di wajahnya.Lea menatapnya tajam. “Mereka bukan ancaman. Tidak ada yang berubah, Kayden.”Kayden tidak menjawab langsung. Ia hanya menatap wajah Lea, seolah mencari tanda-tanda bahwa wanita itu berbohong. Tangannya
Ruang Makan Privat – Sebuah Restoran Mewah di Midtown ManhattanPintu kaca geser terbuka perlahan. Lea melangkah masuk lebih dulu, diikuti oleh Kayden yang berjalan di belakangnya dengan langkah tenang. Ruangan itu bernuansa hangat dengan meja makan bundar yang ditata rapi dengan linen putih.Julianne menyambut mereka dengan senyum hangat, sementara Rhael hanya melirik sekilas tanpa menunjukkan ekspresi berarti.“Ma,” sapa Lea sembari menghampiri dan memeluk Julianne dengan lembut.Julianne membalas pelukan itu. “Kamu tampak lebih segar dari terakhir kali kita bertemu.”Lea tersenyum singkat, lalu menoleh ke arah Rhael. “Kamu juga datang.”“Aku tidak datang untukmu,” sahut Rhael pelan, lalu bersandar santai ke kursi. “Aku hanya penasaran ingin melihat siapa pria yang membuatmu tak bisa berpaling ke lain hati.”Lea menahan napas sejenak sebelum menoleh ke arah Kayden. “Ma, Rhael … ini Kayden.”Kayden mengangguk sopan dan melangkah maju. “Senang akhirnya bisa bertemu denganmu secara lan
Sepeninggal Kayden, Lea melangkah pelan lalu duduk santai di sofa tunggal yang menghadap ke luar jendela. Pemandangan kota New York masih sama—hiruk-pikuk dan gemerlap—namun ada sesuatu dalam dirinya yang berubah. Perlahan, jiwanya tak lagi serapuh dulu.Ponselnya yang tergeletak di meja kecil tiba-tiba bergetar. Lea menoleh, sekilas melihat layar, lalu segera meraihnya saat membaca nama yang tertera.“Mama …?” sapanya begitu panggilan tersambung.Di seberang, suara Julianne terdengar tergesa, bercampur keramaian. “Mama sekarang di bandara. Bisa kita bertemu?”Lea mengernyit samar. “Mama di New York?”“Ya. Bersama Rhaelil. Dia bersikeras ingin ikut karena katanya rindu padamu.”Lea tertawa kecil, merasa geli. “Apa? Jadi anak itu merindukanku?”Samar-samar, suara Rhael terdengar dari belakang. “Tidak! Aku ikut bukan karena merindukanmu! Aku ke mari untuk bersenang-senang!”Lea terkikik. “Baiklah … kalian bisa datang ke apartemenku. Nanti aku kirim alamatnya.”“Baik, Sayang. Sampai jumpa
Keesokan paginya, Lea menjadi orang pertama yang bangun. Ia tidak langsung mandi. Sebaliknya, ia memutuskan untuk menyiapkan sarapan lebih dulu karena tahu hari ini Kayden akan ke kantor.“Oke, semuanya beres!” serunya pelan dengan senyum lebar, merasa puas dengan sarapan sederhana dan secangkir kopi yang sudah tertata rapi di atas meja makan.Setelah memeriksa semuanya sekali lagi, Lea melangkah kembali ke kamar. Ia menaiki ranjang dengan pelan, lalu menunduk dan menciumi pipi Kayden yang masih tertidur lelap.“Selamat pagi, Tuan Muda Easton,” bisiknya lembut di sela ciumannya.Kayden menggeliat kecil, lalu membuka mata perlahan. Tatapannya langsung bertemu dengan wajah Lea yang tersenyum di atasnya.“Ini mimpi lain, hm?” gumamnya serak karena baru bangun. Tangannya terulur mengusap pipi Lea. “Karena kalau iya, aku tidak ingin bangun.”Lea terkikik pelan. “Bukan mimpi, Sayang. Sarapan sudah siap. Kamu harus bangun sebelum kopimu dingin.”Kayden menarik tubuh Lea agar jatuh ke pelukan
Kayden menggeleng pelan, lalu menaruh dagunya di bahu Lea. “Untuk sekarang, aku hanya ingin menikmati waktu kita. Aku sangat merindukanmu, Little Rose,” bisiknya parau.Lea tersenyum tipis. Salah satu tangannya terulur, mengusap pucuk kepala Kayden dengan lembut. “Baiklah. Kita nikmati saja waktu berdua.”Bagi Kayden, pelukan ini masih terasa seperti mimpi. Meskipun hangat kulit Lea begitu nyata di pelukannya, Kayden tak bisa mengusir keraguan dalam hatinya. Ada suara kecil yang terus bertanya—jangan-jangan semua ini hanya mimpi yang terlalu indah untuk jadi kenyataan?Setelah beberapa saat berendam, Lea tiba-tiba menarik diri dari pelukan Kayden. Tanpa berkata apa pun, ia keluar dari bath tub. Buih sabun masih menempel di beberapa bagian tubuhnya yang putih dan mulus.Dengan langkah anggun, Lea berjalan menuju shower dan menyalakan air hangat. Saat buliran air membasahi tubuhnya, ia menoleh.Senyum manis menghiasi bibirnya. “Kemarilah, Kayden,” panggilnya lembut.Kayden tidak segera