“Kita ada perjalanan bisnis selama tiga hari ke luar kota,” kata David.
Naya yang sedang fokus dengan komputer di depannya seketika terdiam dan menatap ke arah David sambil mengernyitkan dahinya. Tidak, perjalanan bisnis adalah mimpi buruk baginya sekarang.
“Saya harap kamu bisa ikut, Naya. Karena di sana kita akan mengadakan sebuah pertemuan, yang mana akan ada banyak orang penting dari berbagai perusahaan. Baik perusahaan besar maupun yang sedang naik daun. Membuat kesan yang baik dengan mereka, menambah rekan bisnis, itu semua merupakan cara kamu menjalin koneksi dengan orang-orang di luar sana,” jelas David.
David yang tengah berdiri di pintu yang menjadi akses antara ruangan mereka kini mengalihkan perhatian Naya dari pekerjaannya. Naya menatap ke arah David dengan ragu-ragu.
“Entahlah, saya belum tahu bisa atau tidak,” jawab Naya seadanya.
“Sangat sayang jika kamu tidak bisa ikut dalam acara ini. Ayol
“Naya!” Ghiyas memanggilnya dengan berat, memandang Naya yang pergi dari meja makan.Perlahan tangannya naik ke meja, menjadi sandaran untuk keningnya. Ghiyas mengurut pelipisnya pelan sambil menghela nafasnya dan memandang makanan yang kini tak lagi mengundang seleranya. Namun demi menghargai istrinya yang sudah memasak, dia menghabiskannya.Setelah makan dan merapikan meja makannya, Ghiyas mencuci piring kotornya. Dia memang sangat rajin untuk ukuran pria. Dan setelah menuntaskan tugasnya di rumah, Ghiyas menuju ke kamar.Didapatinya Naya yang tengah duduk di atas kasur, dengan laptopnya yang sekarang berada di pangkuannya dan headphone yang menutup telinganya dengan sempurna. Dia tampak fokus.“Naya!” panggil Ghiyas seraya mendekatinya.Namun, Naya langsung menggeser duduknya menjauh dari Ghiyas. Ya, ini bentuk protesnya. Ghiyas menghela nafasnya berat dan kemudian menatap Naya yang sekarang masih mengabaikannya.K
“Naya minta waktu sama Mas. Selama Naya belum hamil, Naya masih mau kerja. Naya masih mau menggapai semua yang Naya impikan. Naya masih belum puas atas segala yang Naya dapatkan dari hasil kerja keras Naya selama ini,” ucap Naya pelan, terdengar memelas.Pipi Ghiyas menggembung, disertai dengan helaan nafas beratnya. Ucapan Naya berhasil menghipnotis dirinya untuk menuruti keinginan Naya lagi. Toh, hanya perjalanan bisnis.“Kamu pergi sama siapa aja? Mas bisa menghubungi siapa selama kamu pergi kalau kamu enggak bisa dihubungi?”Naya seketika tersenyum mendengar pertanyaan Ghiyas. Kelihatannya Ghiyas mengubah keputusannya.“Nanti Naya kirimkan kontak yang bisa Mas hubungi. Tapi selama Naya masih bisa dihubungi, jangan menghubungi orang lain, ya? Soalnya yang bakal Naya kirim kontak perempuan,” jawab Naya.Ghiyas menganggukkan kepalanya dengan berat hati. Tiga hari tanpa Naya kelihatannya bukan masalah. Dia pernah
Ghiyas datang ke rumah sakit agak siang hari itu. Tampak beberapa rekannya tengah berkumpul di lobi, bersama dengan seseorang yang tampak dia kenali dan membuatnya tersenyum kala bertemu dengannya. Pria yang dia temui juga kemudian tersenyum melihat sosok Ghiyas datang.“Hey! Aduh, Ghiyas! Kabar-kabarnya udah nikah, nih. Maaf, enggak bisa datang waktu itu, saya lagi sibuk-sibuknya,” ucapnya sambil menjabat tangan Ghiyas dengan tegas.“Ah, santai aja. Tumben ke sini, ada apa, nih?” Ghiyas memeluknya dengan singkat.Mereka tampaknya senang saling bertemu. Gabby, Kevin, dan Rendi juga menyambut pria itu dengan ramah. Mereka kelihatannya teman lama yang sudah lama tak bertemu.“Enggak, mau berkunjung aja. Udah lama juga enggak ke sini. Terakhir gue ketemu Rendi waktu liburan kemarin. Lagi sama keluarga kecilnya dia,” cerita Fajar dengan antusias.“Oh, gitu. Lanjut ngobrol di ruangan gue aja, gimana?” tawa
“Waktu itu, dia datang ke ruangan kesehatan dengan mengeluhkan nyeri di perutnya. Katanya dia jatuh terduduk. Dia punya hubungan yang buruk sama teman di kantornya. Temannya ini bercanda mungkin, niatnya. Tapi ternyata efeknya benar-benar fatal. Dia enggak tahu kalau dia juga lagi hamil, yang gue tahu cuman segitu,” jelas Fajar.“Dan di waktu yang sama, lo lagi enggak di sini buat dia, Ghi. Lo marah sama dia, karena sesuatu. Bukan karena keguguran itu?” tanya Rendi pada Ghiyas.“Enggak. Gue sama dia ada masalah memang, tapi bukan tentang ini. Ngapain gue marah kalau dia keguguran? Gue harusnya ada di dekat dia, jaga dia, rawat dia. Bukannya malah pergi.”Ghiyas mendesah kecil. Dia sedang memikirkan apa yang sebenarnya Naya pikirkan hingga tak memberi tahunya sama sekali. Sudah hampir setengah tahun, Naya menyembunyikannya berarti.“Kenapa dia enggak ngasih tau lo, ya? Seharusnya dia cerita, sih.” Rendi mengo
Ghiyas terus terpikirkan tentang Naya seharian ini. Dirinya benar-benar kecewa atas apa yang disembunyikan Naya darinya. Tentang anak pertamanya yang telah lenyap akibat kecelakaan yang tidak dia ketahui sama sekali. Dan Naya memilih untuk bungkam darinya selama ini.Begitu pulang ke rumah, Ghiyas mendapati Naya yang mengirimkan foto jika dirinya sudah tiba di hotel. Naya tersenyum di foto itu sambil menunjukkan kamar hotelnya siang tadi.“Apa lagi yang sebenarnya ingin kamu sembunyikan, Naya?” gumam Ghiyas.Suaranya terdengar sangat lesu dan berat. Ghiyas memang tak akan mempermasalahkan jika memang Naya keguguran. Namun, Naya yang menyembunyikannya, yang membuatnya mempermasalahkan hal tersebut. Apa sulit untuk membuatnya tahu jika sempat akan menjadi ayah walau hanya sesaat. Bahkan Naya juga tahu, dia sempat akan menjadi ibu setelah anaknya mati.“Ctak!”Suara sesuatu yang putus membuat Ghiyas menolehkan kepalanya ke dind
“Ah, kenapa? Mas jadi bikin Naya penasaran.”[“Enggak, jangan terlalu dipikirkan. Fokus aja sama apa yang kamu lakukan di sana. Mas capek hari ini, Mas mau istirahat lebih awal.”] Ghiyas memang tampak lelah.Karena Ghiyas mungkin telah melalui hal berat hari ini, Naya menganggukkan kepalanya. Mengizinkan pria itu untuk segera menutup teleponnya dan istirahat. Walau Naya agak cemas dengan Ghiyas sekarang. Ada sesuatu yang aneh, Naya tahu itu. Ghiyas agak berubah padanya.“Oh, oke kalau gitu. Tapi Mas enggak kenapa-napa, kan?” Naya ingin memastikannya sekali lagi.[“Iya, Mas baik. Mas tutup, ya? Nite.”]“Sleepwell!” Naya tersenyum manis padanya begitu Ghiyas hendak mengakhiri panggilan itu.Begitu Ghiyas menutup teleponnya, Naya mendesis dan mulai berpikir tentang apa yang terjadi pada Ghiyas. Karena penasaran, Naya ingin mengirimkan pesan untuk bertanya pada Gabby tentang apa yang te
Naya terus menghubungi Ghiyas pagi itu. Handphone Ghiyas tidak aktif, tidak seperti biasanya. Itu membuatnya cemas. Belum lagi, Ghiyas terlihat aneh kemarin saat di panggilan video. Dan pagi ini, pria itu mendadak hilang kabar seperti waktu itu. Membuat Naya jadi merasa cemas.“Naya, ayo! Jika kamu sudah selesai sarapan, kita harus segera menuju ke tempat berikutnya!” ajak David seraya berjalan mendekati Naya yang sudah ada di dekat pintu keluar.Naya segera menoleh dan menganggukkan kepalanya dengan gugup. Dia tampak panik dan gelisah.“Ada apa? Kamu sakit? Kamu terlihat lebih pucat dan kamu terlihat gelisah,” ucap David memperhatikannya, cemas jika Naya sakit karena dia tampak tak sehat.“Tidak, bukan apa-apa.” Naya menggeleng kecil agar David tak banyak tanya lagi.Dan mereka kemudian segera pergi dari sana. Mereka memasuki mobil untuk melakukan pertemuan di sebuah gedung. Naya terus menerus membuka handphonen
“Ini materi yang akan kita tampilkan besok. Untuk acara besok, kita mulai jam 09.00, selesai mungkin sekitar jam 12.00 dan kita akan makan siang bersama. Setelah makan, kita baru akan pulang.”David mendengarkan penjelasan dari sekretarisnya yang telah mengatur jadwal mereka. Dan dia melirik ke arah Naya yang masih banyak diam. Dia kemarin sangat aktif dan bersemangat, dan secara mendadak hari ini Naya lebih banyak diam seperti biasanya lagi.“Naya, kelihatannya ada sesuatu yang mengganggu kamu dari pagi ini. Apa itu? Bahkan seharian ini, kamu tidak menunjukkan sikap yang sama seperti sebelumnya.” David terus mencurigainya.Naya kemudian menatap ke arah David. Widya dan Danu juga menatap ke arah Naya sekarang. Naya benar-benar sudah tak nyaman. Rasanya ingin segera pulang karena Ghiyas tak kunjung bisa dihubungi. Dalam sepersekian detik, Naya telah memutuskan untuk segera pulang.“Saya merasa tidak enak badan. Jika boleh, say
Teriakan Naya menggema di lorong rumah sakit. Dan di ruang persalinan, Naya memegang kuat brankar. Dengan Ghiyas yang berada di sisinya, mengusap halus kepala Naya. Pandangan Naya menuju ke arah kakinya yang terbuka lebar. Membuka jalan lahir untuk bayinya yang sudah tak sabar ingin keluar. Dengan keringat yang membanjiri kening bahkan hingga menetes ke pipinya.Begitu tangis bayi memecah keadaan yang mencekam itu, Ghiyas menengadahkan kepalanya. Untuk melihat bayi yang sekarang dipegangi dokter yang membantu persalinan saat itu.Senyum pria itu mengembang lebar. Matanya melirik ke arah sang istri yang kini menghela nafasnya dan berusaha menstabilkan nafasnya lagi. Kecupan mendarat berkali-kali di kepala Naya begitu Ghiyas merasakan perasaan lega dan melepaskan rasa bahagia yang dia rasakan.“Fadelico Sangga Donzello Eduardo. Itu, kan?” Ghiyas menatapi Naya yang masih terengah.Sorot mata Naya menatap Ghiyas dan menganggukkan kepalanya sambil
Ghiyas menenangkan Naya sampai Naya akhirnya tenang, setelah setengah jam. Dan dia bisa kembali berbaring untuk memejamkan matanya. Sambil mendekap Naya yang masih sesenggukan, Ghiyas berusaha untuk tidur lagi. Sementara Naya terus menatapi Ghiyas.“Naya tanyain Gabby, loh. Awas aja, kalau ternyata Mas enggak ke rumah sakit,” ancam Naya.“Iya, tanya aja sana! Orang catatan panggilannya Gabby juga masih ada di handphone Mas. Kamu mau tanya pihak rumah sakit juga boleh. Mau lihat catatan kerja Mas juga boleh.”“Naya mimpi Mas ninggalin Naya, buat orang lain. Mas bakal kayak gitu sama Naya?”“Enggak, Nay. Sama siapa, coba? Mas udah tua, siapa lagi yang mau sama Mas kalau bukan kamu?”“Banyak. Mas ganteng, kok. Mas awet muda, makanya Naya demen. Pasti banyak juga yang demen sama Mas di luar sana. Bukan Naya doang.”“Enggak, Sayang. Jangan ngajak ngobrol dulu, dong! Mas ngantuk, ni
Naya tengah menunggu Ghiyas pulang, karena Ghiyas akan membawakan beberapa makanan yang sedang ingin dia makan. Ya, dia tengah mengidam dan baru saja menghubungi suaminya yang sedang dalam perjalanan pulang, untuk menitip beberapa makanan.“Assalamu’alaikum.” Ghiyas datang membawakan pesanan istrinya yang tengah mengidam.“Wa’alaikumsalam,” jawab Naya seraya menghampiri Ghiyas dan salim padanya.Ghiyas langsung menyodorkan apa yang dia bawa, membuat Naya tersenyum lebar. Naya menerimanya dan menyajikannya di meja. Ghiyas duduk di sofa sambil menatapi Naya yang belakangan ini kehilangan nafsu makannya, namun punya keinginan yang kuat untuk mencicipi berbagai makanan.“Makannya sedikit-sedikit, nanti mual lagi kalau kebanyakan,” ujar Ghiyas.“Enggak akan. Soalnya Naya mau banget makan ini semua,” jawab Naya dengan yakin.Naya memakan setiap makanan yang dibawakan Ghiyas. Dan Ghiyas se
Naya berbaring di brankar. Matanya tertuju pada dokter yang sekarang menyingkap bajunya dan agak menurunkan sedikit celananya. Ghiyas menemani Naya di ruangan itu, untuk mengecek bayinya. Naya melihat ke arah monitor, tak sabar untuk melihat bayinya.Dokter menuangkan gel di atas perut Naya dan mengusapnya dengan alat ultrasound. Dan tampak kondisi rahim Naya di monitor. Dengan kantung janinnya yang sudah terlihat.“Usia kandungannya masih sekitar 4 minggu, belum terdeteksi detak jantungnya,” kata dokter.Ghiyas menganggukkan kepalanya membenarkan. Ghiyas tersenyum sambil melirik Naya yang menatap ke arah monitor terus. Ghiyas tahu bagaimana perasaan Naya sekarang, sejak rahimnya bersih lagi, Naya sudah menantikan kehadiran bayinya. Hingga sekarang, dia muncul.Setelah dari ruangan dokter, Naya menunggu vitamin yang telah diresepkan di farmasi sambil membaca jurnal kehamilan. Dia sudah pernah membacanya, namun entah kenapa rasanya senang memba
“Nay?!” Fely menatap Naya dengan tak percaya, dan melirik ke arah perutnya sendiri yang buncit.“Ini apa?” Ghiyas terkekeh bingung sambil menatapi dua potongan kain yang tak dikenalinya.Naya hanya tersenyum geli melihat reaksi Ghiyas. Sementara yang lainnya sekarang juga demikian, dengan perasaan gemas karena Ghiyas masih belum menyadari apa yang ingin Naya katakan dari hadiahnya itu. Bahkan Kevin sekarang mengerti apa yang menjadi hadiah ulang tahun Ghiyas.“Lebih jelasnya, lihat apa lagi yang ada di bagian bawahnya,” ucap Naya sambil tersenyum.Ghiyas mengernyit dan menarik kertas lain yang menghalangi. Dan dia menemukan sesuatu yang membuat ekspresinya langsung hilang seketika. Ghiyas meraih benda yang sudah lama tak ia lihat lagi. Dan alat seukuran stik es krim itu kini berada di genggaman Ghiyas lebih cepat.“Oh?!” Ghiyas kemudian menatap ke arah Naya dengan penuh keterkejutan.Naya terta
Ghiyas yang ingin tahu apa yang sebenarnya dilakukan Naya, kini hendak membuka pintu. Namun, pintunya terkunci. Dan membuat Ghiyas menggedor-gedor pintunya secara tidak ramah.“Naya! Naya, buka pintunya!” ucap Ghiyas dengan suara yang tinggi.Namun, belum ada yang membukakan pintu untuknya. Akhirnya Ghiyas bahkan memukul pintu dengan perasaan marah. Mengeluarkan segala yang dia pendam belakangan ini. Rasa lelahnya yang datang entah dari mana, emosinya yang mendadak tak lagi stabil.“Naya! Naya, dengar Mas?! Naya, buka pintunya, sekarang!” sentak Ghiyas.Gabby di sana termangu, menatapi Ghiyas. Dia jadi agak khawatir sekarang pada Naya. Dan dalam benaknya bertanya, kenapa Ghiyas seperti ini dan apakah Naya selama ini baik-baik saja?Dan begitu seseorang membuka kunci rumahnya, tanpa membukakan pintu, Ghiyas langsung membukanya. Dan secara tak langsung membanting pintu itu. Perasaan seperti waktu itu, saat memergoki Naya bersa
“Kondisi Naya makin hari makin baik. Sampai dia pulih total, bahkan sekarang Naya jauh lebih baik dari sebelumnya. Lo suami yang baik buat dia.” Gabby melirik Ghiyas sambil tersenyum.“Gue cuman mau mendoakan yang terbaik buat lo sama Naya ke depannya. Makanya, gue mau juga didoain balik, tentang hubungan gue sama Gabby,” ucap Kevin seraya memegangi tangan Gabby.Kevin menggenggam tangan Gabby dan kemudian mengangkatnya, memamerkannya pada Ghiyas. Rendi langsung menyentil tangan Kevin hingga Kevin mendesis kesakitan dan buru-buru melepaskan tangannya dari Gabby. Gabby sendiri hanya terkekeh melihat pacarnya yang dinistakan itu.“Jangan terlalu romantis sekarang, habis nikah nanti bosan duluan,” tegur Rendi.“Emang kalau enggak romantis-romantisan sebelum nikah, nanti enggak akan bosan?” tanya Kevin.“Pastilah. Nanti banyak masalah, karena sama-sama merasa bosan dan mencari orang lain yang lebih
Setelah tiga bulan berlalu, Naya sudah mampu untuk berjalan seperti biasa. Dan Naya sudah kembali beraktivitas seperti biasa sebagai istri rumah tangga. Mengurusi Ghiyas jauh lebih baik dari sebelumnya. Ghiyas melihat perubahan drastis dari Naya.Sayangnya, Ghiyas sering kali mendapati Naya yang bengong di jendela. Dia pasti bosan di rumah. Dan melihat Naya yang mencari kesibukan dengan membaca buku, atau mengikuti kegiatan secara daring, Ghiyas jadi tak tega terus membuat Naya mengurung diri di rumah.“Nay, kamu ada keinginan buat kerja lagi?” tanya Ghiyas sambil duduk di kasur.Ghiyas memandang Naya yang tengah asyik dengan buku bacaannya. Dan Naya segera mengalihkan pandangannya pada Ghiyas. Dia tersenyum dan menggeleng pelan.“Sebenarnya, Naya agak takut buat kerja di kantor. Tapi, menurut Mas gimana?” tanya Naya.“Kamu tahu, Mas enggak pernah ngelarang kamu bekerja, selama kamu enggak terpaku sama pekerjaan kamu.
“Kak, Kakak berarti keguguran udah dua kali dong, ya?”Ardan bertanya sambil menuangkan susu ke gelas dan menyodorkannya pada Naya yang duduk di meja makan sambil menatap ke arah televisi. Dia tengah menikmati acara kesukaannya di sana.“Iya,” jawab Naya seadanya.“Kak Ghiyas belum pulang, Kak?” tanya Ardan sambil menoleh ke kanan dan ke kiri.“Belum, makanya Kakak minta kamu di sini dulu. Kamu kayaknya buru-buru banget,” ucap Naya.“Enggak juga. Cuman ... Kakak enggak takut apa sama Kak Ghiyas? Aku dengar dari Mama, katanya Kakak memang cuek banget sama Kak Ghiyas. Kak Ghiyas emang enggak pernah marah sama Kakak ya, kok pada bilang Kak Ghiyas baik banget?” tanya Ardan.Naya mengernyitkan dahinya. “Kamu sekenal apa sama kakak iparmu? Bahkan semua orang juga tahu Mas Ghiyas orangnya baik banget.“ Naya lantas terkekeh karena ucapan adiknya itu.“Mungkin memang