Naya terus menghubungi Ghiyas pagi itu. Handphone Ghiyas tidak aktif, tidak seperti biasanya. Itu membuatnya cemas. Belum lagi, Ghiyas terlihat aneh kemarin saat di panggilan video. Dan pagi ini, pria itu mendadak hilang kabar seperti waktu itu. Membuat Naya jadi merasa cemas.
“Naya, ayo! Jika kamu sudah selesai sarapan, kita harus segera menuju ke tempat berikutnya!” ajak David seraya berjalan mendekati Naya yang sudah ada di dekat pintu keluar.
Naya segera menoleh dan menganggukkan kepalanya dengan gugup. Dia tampak panik dan gelisah.
“Ada apa? Kamu sakit? Kamu terlihat lebih pucat dan kamu terlihat gelisah,” ucap David memperhatikannya, cemas jika Naya sakit karena dia tampak tak sehat.
“Tidak, bukan apa-apa.” Naya menggeleng kecil agar David tak banyak tanya lagi.
Dan mereka kemudian segera pergi dari sana. Mereka memasuki mobil untuk melakukan pertemuan di sebuah gedung. Naya terus menerus membuka handphonen
“Ini materi yang akan kita tampilkan besok. Untuk acara besok, kita mulai jam 09.00, selesai mungkin sekitar jam 12.00 dan kita akan makan siang bersama. Setelah makan, kita baru akan pulang.”David mendengarkan penjelasan dari sekretarisnya yang telah mengatur jadwal mereka. Dan dia melirik ke arah Naya yang masih banyak diam. Dia kemarin sangat aktif dan bersemangat, dan secara mendadak hari ini Naya lebih banyak diam seperti biasanya lagi.“Naya, kelihatannya ada sesuatu yang mengganggu kamu dari pagi ini. Apa itu? Bahkan seharian ini, kamu tidak menunjukkan sikap yang sama seperti sebelumnya.” David terus mencurigainya.Naya kemudian menatap ke arah David. Widya dan Danu juga menatap ke arah Naya sekarang. Naya benar-benar sudah tak nyaman. Rasanya ingin segera pulang karena Ghiyas tak kunjung bisa dihubungi. Dalam sepersekian detik, Naya telah memutuskan untuk segera pulang.“Saya merasa tidak enak badan. Jika boleh, say
Naya berangkat pagi-pagi sekali untuk mengejar kereta pertamanya pagi itu. David mengantarkan Naya ke stasiun. Pria itu agak cemas, walau Naya tak menunjukkan jika dirinya sedang sakit hari itu.“Sampai di sana, pulang dan istirahat! Jangan keluyuran! Ditambah, jangan masuk kerja!” ujar David.“Baik, Pak. Terima kasih banyak,” ucap Naya sambil membungkuk kecil.David menganggukkan kepalanya dan mendekati Naya. Tangannya terulur untuk menepuk pelan bahu Naya. Sorot mata Naya melirik tangan David yang menepuk bahunya itu sebentar.Akhirnya, Naya memasuki kereta dan David kembali ke hotel. Naya lega akhirnya bisa pulang lebih awal. Ghiyas masih tak bisa dihubungi sampai hari ini. Ingin bertanya kepada orang tua mereka pun, rasanya sulit. Karena mereka pasti akan khawatir dan bertanya-tanya tentang apa yang terjadi.Naya bahkan belum tahu apa yang sebenarnya terjadi pada Ghiyas. Hingga dia memutuskan untuk segera mengetahui apa
“Kamu keguguran, udah lama banget. Tapi kenapa enggak ngasih tahu Mas sama sekali? Apa Mas memang enggak berhak tahu di mata kamu? Atau karena kamu bersyukur karena ternyata kamu gagal jadi seorang ibu seperti yang kamu harapkan? Kamu enggak siap, bukan?”Ghiyas menatap ke arah Naya dengan tajam. Semula cara bicaranya lemah dan tenang. Perlahan kalimatnya semakin runcing dan nada bicaranya mulai terdengar lebih kuat.Naya mengulum bibirnya sejenak. Dia tak pernah menyangka, bahkan tak pernah berpikir jika Ghiyas akan mengetahui tentang kasus yang sudah dia tutupi dengan baik itu. Dia tak siap untuk bicara.“Naya enggak tahu Mas tahu soal itu dari siapa, tapi itu enggak benar. Naya enggak pernah hamil. Gimana Naya bisa keguguran?” Naya mencoba mengelak, terdengar gugup.Mendengar kebohongan dari Naya membuat Ghiyas tersenyum sambil menggeleng kecil. Ini ternyata istrinya. Banyak sikap Naya yang perlahan terlihat jelas perbedaannya.
“Itu berarti kamu punya waktu sampai tiga hari untuk memikirkannya. Selama itu juga, jangan bicara sama Mas. Mas enggak mau kehilangan kendali atas diri Mas sendiri. Jangan berusaha memancing keributan sama Mas!” tegur Ghiyas tanpa lemah lembut.Dan saat itu juga, Ghiyas pergi berangkat bekerja. Meski jadwalnya siang, dia mungkin akan mampir ke apartemen Kevin dulu untuk sekedar beristirahat dan mempersiapkan dirinya kembali bekerja.Sementara Naya menangis sejadinya. Dia tak bisa merelakan salah satunya. Dia tak mau kehilangan semua yang sudah dia bangun sejak awal dan dia tak mau kehilangan pria yang sudah ada di hatinya.Dulu saat hatinya masih kosong, akan sangat mudah untuk melepaskan setiap pria yang bersungguh-sungguh padanya. Ghiyas berbeda. Pria itu telah merebut ruang kosong di dalam hatinya. Hatinya yang semula dingin, kian hangat jika pria itu ada bersamanya si sepanjang malam.Gadis itu menjambak kecil rambutnya dan mengeram kenca
Naya terbangun dengan mata sembab. Sudah lama sekali rasanya dirinya menangis karena perasaannya sendiri. Dan entah kenapa rasanya moodnya sedang tak bagus sama sekali.Begitu melirik ke jam digital, Naya tersadar jika dirinya bangun kesiangan. Karena semalaman dirinya menangis. Tak bisa memutuskan mana yang harus dia pilih dan dia selamatkan.Tanpa aba-aba, Naya langsung bangkit dari tempat tidurnya dan keluar dari kamar untuk melihat Ghiyas. Dan ya, Ghiyas sudah pergi. Sofa sudah rapi dan kelihatannya Ghiyas sengaja tak sarapan di sana. Ghiyas sudah meninggalkan apartemen pagi-pagi sekali. Entah ke mana.Naya memegangi kepalanya. Rasanya pusing karena dia bangkit terlalu tiba-tiba. Pandangannya kabur untuk beberapa saat hingga dia mendudukkan dirinya di lantai. Setelah pandangannya jelas dan kepalanya tak begitu pening, Naya menatapi apartemen yang terasa sangat sepi.Entah kenapa perasaan seperti ini sangat tidak wajar. Hatinya terasa sakit, dadanya te
“Gue enggak bisa relain karier gue gitu aja. Lo coba bayangin, kalau lo ada di posisi gue!” ucap Naya seraya menahan tangisnya yang hampir pecah. “Gue enggak akan ada di posisi lo. Karena gue enggak akan pernah neken kontrak yang isinya enggak boleh berkeluarga. Gue bakal cari perusahaan di mana gue enggak perlu memikirkan aturan kontraknya. Dan kalau gue mau bekerja di sana pun, gue yakinkan kalau gue enggak akan ambil posisi yang mana aturannya ribet.” Fely menggeleng, menolak untuk merasakan posisi Naya. “Fel, lo enggak ngerti. Gue—” “Enggak ngerti apa? Lo yang enggak ngerti, Nay! Lo tuh nyakitin perasaan suami lo sendiri. Gue selalu memikirkan perasaan dua belah pihak, loh. Dan dari yang gue lihat selama ini, lo selalu berada di posisi yang enak.” Naya menatap ke arah lain, dia berusaha untuk tak menangis sekarang. Dia berusaha untuk tak meneteskan air matanya di sana. Sementara Fely masih menatap Naya dengan tajam. “Fel, gue enggak bisa.
Sebuah mobil kini terparkir secara tidak ramah di pinggir jalan dalam keadaan menabrak pohon yang berada tepat di pinggir jalan. Dan pintunya terbuka begitu gadis yang mengendarainya hendak keluar dari mobil. Naya keluar dari mobil dengan keadaan yang baik-baik saja di sana.Dengan terluka kecil di bagian pojok atas wajahnya. Naya mendesis kecil sambil menatapi mobilnya. Ini mobil pertamanya, yang dia beli dengan hasil jerih payahnya sendiri. Dia tak percaya dia mengorbankan hasil kerja kerasnya ini demi menghindari tabrakan dengan pengendara lain.Di waktu yang sama, sopir David melintasi jalan yang sama dan mendapati sebuah mobil di depannya. Tampak bagaimana Naya berada di sana dengan beberapa pengendara lain yang ikut menepi untuk memastikan pengemudi mobil yang menabrak pohon itu baik-baik saja.“Bukankah itu Naya?”David langsung mencondongkan tubuhnya ke depan dan menemukan Naya yang kini bersama dengan seorang wanita paruh baya yang me
Fely menganggukkan kepalanya dengan ragu. Sebenarnya, dia tak ingin membohongi Ghiyas juga. Namun dia tak bisa mengkhianati sahabatnya sendiri. Dia masih berada di pihak Naya.“Itu melegakan. Jujur saja, saya sempat mengira kalau-kalau Naya melakukan ini semua karena menjalin hubungan dengan seseorang.” Ghiyas tersenyum kecil.Fely tak menjawab. Dia terdiam dalam lamunannya kemudian. Tak ada yang bisa dia katakan lagi pada Ghiyas jika Naya ketahuan selingkuh. Dia hanya berharap Ghiyas mengerti tujuan Naya jika dia menjalin hubungan dengan orang lain nanti dan memakluminya. Lalu mengubah cara pandangnya tentang selingkuh. Jika yang dilakukan Naya dalam bentuk terpaksa, maka ada toleransi.“Wah, wah! Sahabat Naya, sama mantan pacar Naya.”Suara itu membuat Ghiyas dan Fely menoleh ke arah seorang gadis yang berdiri tak jauh dari mereka. Dengan kedua tangannya yang melihat di depan dada, dengan angkuh gadis itu berjalan mendekat secara
Teriakan Naya menggema di lorong rumah sakit. Dan di ruang persalinan, Naya memegang kuat brankar. Dengan Ghiyas yang berada di sisinya, mengusap halus kepala Naya. Pandangan Naya menuju ke arah kakinya yang terbuka lebar. Membuka jalan lahir untuk bayinya yang sudah tak sabar ingin keluar. Dengan keringat yang membanjiri kening bahkan hingga menetes ke pipinya.Begitu tangis bayi memecah keadaan yang mencekam itu, Ghiyas menengadahkan kepalanya. Untuk melihat bayi yang sekarang dipegangi dokter yang membantu persalinan saat itu.Senyum pria itu mengembang lebar. Matanya melirik ke arah sang istri yang kini menghela nafasnya dan berusaha menstabilkan nafasnya lagi. Kecupan mendarat berkali-kali di kepala Naya begitu Ghiyas merasakan perasaan lega dan melepaskan rasa bahagia yang dia rasakan.“Fadelico Sangga Donzello Eduardo. Itu, kan?” Ghiyas menatapi Naya yang masih terengah.Sorot mata Naya menatap Ghiyas dan menganggukkan kepalanya sambil
Ghiyas menenangkan Naya sampai Naya akhirnya tenang, setelah setengah jam. Dan dia bisa kembali berbaring untuk memejamkan matanya. Sambil mendekap Naya yang masih sesenggukan, Ghiyas berusaha untuk tidur lagi. Sementara Naya terus menatapi Ghiyas.“Naya tanyain Gabby, loh. Awas aja, kalau ternyata Mas enggak ke rumah sakit,” ancam Naya.“Iya, tanya aja sana! Orang catatan panggilannya Gabby juga masih ada di handphone Mas. Kamu mau tanya pihak rumah sakit juga boleh. Mau lihat catatan kerja Mas juga boleh.”“Naya mimpi Mas ninggalin Naya, buat orang lain. Mas bakal kayak gitu sama Naya?”“Enggak, Nay. Sama siapa, coba? Mas udah tua, siapa lagi yang mau sama Mas kalau bukan kamu?”“Banyak. Mas ganteng, kok. Mas awet muda, makanya Naya demen. Pasti banyak juga yang demen sama Mas di luar sana. Bukan Naya doang.”“Enggak, Sayang. Jangan ngajak ngobrol dulu, dong! Mas ngantuk, ni
Naya tengah menunggu Ghiyas pulang, karena Ghiyas akan membawakan beberapa makanan yang sedang ingin dia makan. Ya, dia tengah mengidam dan baru saja menghubungi suaminya yang sedang dalam perjalanan pulang, untuk menitip beberapa makanan.“Assalamu’alaikum.” Ghiyas datang membawakan pesanan istrinya yang tengah mengidam.“Wa’alaikumsalam,” jawab Naya seraya menghampiri Ghiyas dan salim padanya.Ghiyas langsung menyodorkan apa yang dia bawa, membuat Naya tersenyum lebar. Naya menerimanya dan menyajikannya di meja. Ghiyas duduk di sofa sambil menatapi Naya yang belakangan ini kehilangan nafsu makannya, namun punya keinginan yang kuat untuk mencicipi berbagai makanan.“Makannya sedikit-sedikit, nanti mual lagi kalau kebanyakan,” ujar Ghiyas.“Enggak akan. Soalnya Naya mau banget makan ini semua,” jawab Naya dengan yakin.Naya memakan setiap makanan yang dibawakan Ghiyas. Dan Ghiyas se
Naya berbaring di brankar. Matanya tertuju pada dokter yang sekarang menyingkap bajunya dan agak menurunkan sedikit celananya. Ghiyas menemani Naya di ruangan itu, untuk mengecek bayinya. Naya melihat ke arah monitor, tak sabar untuk melihat bayinya.Dokter menuangkan gel di atas perut Naya dan mengusapnya dengan alat ultrasound. Dan tampak kondisi rahim Naya di monitor. Dengan kantung janinnya yang sudah terlihat.“Usia kandungannya masih sekitar 4 minggu, belum terdeteksi detak jantungnya,” kata dokter.Ghiyas menganggukkan kepalanya membenarkan. Ghiyas tersenyum sambil melirik Naya yang menatap ke arah monitor terus. Ghiyas tahu bagaimana perasaan Naya sekarang, sejak rahimnya bersih lagi, Naya sudah menantikan kehadiran bayinya. Hingga sekarang, dia muncul.Setelah dari ruangan dokter, Naya menunggu vitamin yang telah diresepkan di farmasi sambil membaca jurnal kehamilan. Dia sudah pernah membacanya, namun entah kenapa rasanya senang memba
“Nay?!” Fely menatap Naya dengan tak percaya, dan melirik ke arah perutnya sendiri yang buncit.“Ini apa?” Ghiyas terkekeh bingung sambil menatapi dua potongan kain yang tak dikenalinya.Naya hanya tersenyum geli melihat reaksi Ghiyas. Sementara yang lainnya sekarang juga demikian, dengan perasaan gemas karena Ghiyas masih belum menyadari apa yang ingin Naya katakan dari hadiahnya itu. Bahkan Kevin sekarang mengerti apa yang menjadi hadiah ulang tahun Ghiyas.“Lebih jelasnya, lihat apa lagi yang ada di bagian bawahnya,” ucap Naya sambil tersenyum.Ghiyas mengernyit dan menarik kertas lain yang menghalangi. Dan dia menemukan sesuatu yang membuat ekspresinya langsung hilang seketika. Ghiyas meraih benda yang sudah lama tak ia lihat lagi. Dan alat seukuran stik es krim itu kini berada di genggaman Ghiyas lebih cepat.“Oh?!” Ghiyas kemudian menatap ke arah Naya dengan penuh keterkejutan.Naya terta
Ghiyas yang ingin tahu apa yang sebenarnya dilakukan Naya, kini hendak membuka pintu. Namun, pintunya terkunci. Dan membuat Ghiyas menggedor-gedor pintunya secara tidak ramah.“Naya! Naya, buka pintunya!” ucap Ghiyas dengan suara yang tinggi.Namun, belum ada yang membukakan pintu untuknya. Akhirnya Ghiyas bahkan memukul pintu dengan perasaan marah. Mengeluarkan segala yang dia pendam belakangan ini. Rasa lelahnya yang datang entah dari mana, emosinya yang mendadak tak lagi stabil.“Naya! Naya, dengar Mas?! Naya, buka pintunya, sekarang!” sentak Ghiyas.Gabby di sana termangu, menatapi Ghiyas. Dia jadi agak khawatir sekarang pada Naya. Dan dalam benaknya bertanya, kenapa Ghiyas seperti ini dan apakah Naya selama ini baik-baik saja?Dan begitu seseorang membuka kunci rumahnya, tanpa membukakan pintu, Ghiyas langsung membukanya. Dan secara tak langsung membanting pintu itu. Perasaan seperti waktu itu, saat memergoki Naya bersa
“Kondisi Naya makin hari makin baik. Sampai dia pulih total, bahkan sekarang Naya jauh lebih baik dari sebelumnya. Lo suami yang baik buat dia.” Gabby melirik Ghiyas sambil tersenyum.“Gue cuman mau mendoakan yang terbaik buat lo sama Naya ke depannya. Makanya, gue mau juga didoain balik, tentang hubungan gue sama Gabby,” ucap Kevin seraya memegangi tangan Gabby.Kevin menggenggam tangan Gabby dan kemudian mengangkatnya, memamerkannya pada Ghiyas. Rendi langsung menyentil tangan Kevin hingga Kevin mendesis kesakitan dan buru-buru melepaskan tangannya dari Gabby. Gabby sendiri hanya terkekeh melihat pacarnya yang dinistakan itu.“Jangan terlalu romantis sekarang, habis nikah nanti bosan duluan,” tegur Rendi.“Emang kalau enggak romantis-romantisan sebelum nikah, nanti enggak akan bosan?” tanya Kevin.“Pastilah. Nanti banyak masalah, karena sama-sama merasa bosan dan mencari orang lain yang lebih
Setelah tiga bulan berlalu, Naya sudah mampu untuk berjalan seperti biasa. Dan Naya sudah kembali beraktivitas seperti biasa sebagai istri rumah tangga. Mengurusi Ghiyas jauh lebih baik dari sebelumnya. Ghiyas melihat perubahan drastis dari Naya.Sayangnya, Ghiyas sering kali mendapati Naya yang bengong di jendela. Dia pasti bosan di rumah. Dan melihat Naya yang mencari kesibukan dengan membaca buku, atau mengikuti kegiatan secara daring, Ghiyas jadi tak tega terus membuat Naya mengurung diri di rumah.“Nay, kamu ada keinginan buat kerja lagi?” tanya Ghiyas sambil duduk di kasur.Ghiyas memandang Naya yang tengah asyik dengan buku bacaannya. Dan Naya segera mengalihkan pandangannya pada Ghiyas. Dia tersenyum dan menggeleng pelan.“Sebenarnya, Naya agak takut buat kerja di kantor. Tapi, menurut Mas gimana?” tanya Naya.“Kamu tahu, Mas enggak pernah ngelarang kamu bekerja, selama kamu enggak terpaku sama pekerjaan kamu.
“Kak, Kakak berarti keguguran udah dua kali dong, ya?”Ardan bertanya sambil menuangkan susu ke gelas dan menyodorkannya pada Naya yang duduk di meja makan sambil menatap ke arah televisi. Dia tengah menikmati acara kesukaannya di sana.“Iya,” jawab Naya seadanya.“Kak Ghiyas belum pulang, Kak?” tanya Ardan sambil menoleh ke kanan dan ke kiri.“Belum, makanya Kakak minta kamu di sini dulu. Kamu kayaknya buru-buru banget,” ucap Naya.“Enggak juga. Cuman ... Kakak enggak takut apa sama Kak Ghiyas? Aku dengar dari Mama, katanya Kakak memang cuek banget sama Kak Ghiyas. Kak Ghiyas emang enggak pernah marah sama Kakak ya, kok pada bilang Kak Ghiyas baik banget?” tanya Ardan.Naya mengernyitkan dahinya. “Kamu sekenal apa sama kakak iparmu? Bahkan semua orang juga tahu Mas Ghiyas orangnya baik banget.“ Naya lantas terkekeh karena ucapan adiknya itu.“Mungkin memang