“Naya minta waktu sama Mas. Selama Naya belum hamil, Naya masih mau kerja. Naya masih mau menggapai semua yang Naya impikan. Naya masih belum puas atas segala yang Naya dapatkan dari hasil kerja keras Naya selama ini,” ucap Naya pelan, terdengar memelas.
Pipi Ghiyas menggembung, disertai dengan helaan nafas beratnya. Ucapan Naya berhasil menghipnotis dirinya untuk menuruti keinginan Naya lagi. Toh, hanya perjalanan bisnis.
“Kamu pergi sama siapa aja? Mas bisa menghubungi siapa selama kamu pergi kalau kamu enggak bisa dihubungi?”
Naya seketika tersenyum mendengar pertanyaan Ghiyas. Kelihatannya Ghiyas mengubah keputusannya.
“Nanti Naya kirimkan kontak yang bisa Mas hubungi. Tapi selama Naya masih bisa dihubungi, jangan menghubungi orang lain, ya? Soalnya yang bakal Naya kirim kontak perempuan,” jawab Naya.
Ghiyas menganggukkan kepalanya dengan berat hati. Tiga hari tanpa Naya kelihatannya bukan masalah. Dia pernah
Ghiyas datang ke rumah sakit agak siang hari itu. Tampak beberapa rekannya tengah berkumpul di lobi, bersama dengan seseorang yang tampak dia kenali dan membuatnya tersenyum kala bertemu dengannya. Pria yang dia temui juga kemudian tersenyum melihat sosok Ghiyas datang.“Hey! Aduh, Ghiyas! Kabar-kabarnya udah nikah, nih. Maaf, enggak bisa datang waktu itu, saya lagi sibuk-sibuknya,” ucapnya sambil menjabat tangan Ghiyas dengan tegas.“Ah, santai aja. Tumben ke sini, ada apa, nih?” Ghiyas memeluknya dengan singkat.Mereka tampaknya senang saling bertemu. Gabby, Kevin, dan Rendi juga menyambut pria itu dengan ramah. Mereka kelihatannya teman lama yang sudah lama tak bertemu.“Enggak, mau berkunjung aja. Udah lama juga enggak ke sini. Terakhir gue ketemu Rendi waktu liburan kemarin. Lagi sama keluarga kecilnya dia,” cerita Fajar dengan antusias.“Oh, gitu. Lanjut ngobrol di ruangan gue aja, gimana?” tawa
“Waktu itu, dia datang ke ruangan kesehatan dengan mengeluhkan nyeri di perutnya. Katanya dia jatuh terduduk. Dia punya hubungan yang buruk sama teman di kantornya. Temannya ini bercanda mungkin, niatnya. Tapi ternyata efeknya benar-benar fatal. Dia enggak tahu kalau dia juga lagi hamil, yang gue tahu cuman segitu,” jelas Fajar.“Dan di waktu yang sama, lo lagi enggak di sini buat dia, Ghi. Lo marah sama dia, karena sesuatu. Bukan karena keguguran itu?” tanya Rendi pada Ghiyas.“Enggak. Gue sama dia ada masalah memang, tapi bukan tentang ini. Ngapain gue marah kalau dia keguguran? Gue harusnya ada di dekat dia, jaga dia, rawat dia. Bukannya malah pergi.”Ghiyas mendesah kecil. Dia sedang memikirkan apa yang sebenarnya Naya pikirkan hingga tak memberi tahunya sama sekali. Sudah hampir setengah tahun, Naya menyembunyikannya berarti.“Kenapa dia enggak ngasih tau lo, ya? Seharusnya dia cerita, sih.” Rendi mengo
Ghiyas terus terpikirkan tentang Naya seharian ini. Dirinya benar-benar kecewa atas apa yang disembunyikan Naya darinya. Tentang anak pertamanya yang telah lenyap akibat kecelakaan yang tidak dia ketahui sama sekali. Dan Naya memilih untuk bungkam darinya selama ini.Begitu pulang ke rumah, Ghiyas mendapati Naya yang mengirimkan foto jika dirinya sudah tiba di hotel. Naya tersenyum di foto itu sambil menunjukkan kamar hotelnya siang tadi.“Apa lagi yang sebenarnya ingin kamu sembunyikan, Naya?” gumam Ghiyas.Suaranya terdengar sangat lesu dan berat. Ghiyas memang tak akan mempermasalahkan jika memang Naya keguguran. Namun, Naya yang menyembunyikannya, yang membuatnya mempermasalahkan hal tersebut. Apa sulit untuk membuatnya tahu jika sempat akan menjadi ayah walau hanya sesaat. Bahkan Naya juga tahu, dia sempat akan menjadi ibu setelah anaknya mati.“Ctak!”Suara sesuatu yang putus membuat Ghiyas menolehkan kepalanya ke dind
“Ah, kenapa? Mas jadi bikin Naya penasaran.”[“Enggak, jangan terlalu dipikirkan. Fokus aja sama apa yang kamu lakukan di sana. Mas capek hari ini, Mas mau istirahat lebih awal.”] Ghiyas memang tampak lelah.Karena Ghiyas mungkin telah melalui hal berat hari ini, Naya menganggukkan kepalanya. Mengizinkan pria itu untuk segera menutup teleponnya dan istirahat. Walau Naya agak cemas dengan Ghiyas sekarang. Ada sesuatu yang aneh, Naya tahu itu. Ghiyas agak berubah padanya.“Oh, oke kalau gitu. Tapi Mas enggak kenapa-napa, kan?” Naya ingin memastikannya sekali lagi.[“Iya, Mas baik. Mas tutup, ya? Nite.”]“Sleepwell!” Naya tersenyum manis padanya begitu Ghiyas hendak mengakhiri panggilan itu.Begitu Ghiyas menutup teleponnya, Naya mendesis dan mulai berpikir tentang apa yang terjadi pada Ghiyas. Karena penasaran, Naya ingin mengirimkan pesan untuk bertanya pada Gabby tentang apa yang te
Naya terus menghubungi Ghiyas pagi itu. Handphone Ghiyas tidak aktif, tidak seperti biasanya. Itu membuatnya cemas. Belum lagi, Ghiyas terlihat aneh kemarin saat di panggilan video. Dan pagi ini, pria itu mendadak hilang kabar seperti waktu itu. Membuat Naya jadi merasa cemas.“Naya, ayo! Jika kamu sudah selesai sarapan, kita harus segera menuju ke tempat berikutnya!” ajak David seraya berjalan mendekati Naya yang sudah ada di dekat pintu keluar.Naya segera menoleh dan menganggukkan kepalanya dengan gugup. Dia tampak panik dan gelisah.“Ada apa? Kamu sakit? Kamu terlihat lebih pucat dan kamu terlihat gelisah,” ucap David memperhatikannya, cemas jika Naya sakit karena dia tampak tak sehat.“Tidak, bukan apa-apa.” Naya menggeleng kecil agar David tak banyak tanya lagi.Dan mereka kemudian segera pergi dari sana. Mereka memasuki mobil untuk melakukan pertemuan di sebuah gedung. Naya terus menerus membuka handphonen
“Ini materi yang akan kita tampilkan besok. Untuk acara besok, kita mulai jam 09.00, selesai mungkin sekitar jam 12.00 dan kita akan makan siang bersama. Setelah makan, kita baru akan pulang.”David mendengarkan penjelasan dari sekretarisnya yang telah mengatur jadwal mereka. Dan dia melirik ke arah Naya yang masih banyak diam. Dia kemarin sangat aktif dan bersemangat, dan secara mendadak hari ini Naya lebih banyak diam seperti biasanya lagi.“Naya, kelihatannya ada sesuatu yang mengganggu kamu dari pagi ini. Apa itu? Bahkan seharian ini, kamu tidak menunjukkan sikap yang sama seperti sebelumnya.” David terus mencurigainya.Naya kemudian menatap ke arah David. Widya dan Danu juga menatap ke arah Naya sekarang. Naya benar-benar sudah tak nyaman. Rasanya ingin segera pulang karena Ghiyas tak kunjung bisa dihubungi. Dalam sepersekian detik, Naya telah memutuskan untuk segera pulang.“Saya merasa tidak enak badan. Jika boleh, say
Naya berangkat pagi-pagi sekali untuk mengejar kereta pertamanya pagi itu. David mengantarkan Naya ke stasiun. Pria itu agak cemas, walau Naya tak menunjukkan jika dirinya sedang sakit hari itu.“Sampai di sana, pulang dan istirahat! Jangan keluyuran! Ditambah, jangan masuk kerja!” ujar David.“Baik, Pak. Terima kasih banyak,” ucap Naya sambil membungkuk kecil.David menganggukkan kepalanya dan mendekati Naya. Tangannya terulur untuk menepuk pelan bahu Naya. Sorot mata Naya melirik tangan David yang menepuk bahunya itu sebentar.Akhirnya, Naya memasuki kereta dan David kembali ke hotel. Naya lega akhirnya bisa pulang lebih awal. Ghiyas masih tak bisa dihubungi sampai hari ini. Ingin bertanya kepada orang tua mereka pun, rasanya sulit. Karena mereka pasti akan khawatir dan bertanya-tanya tentang apa yang terjadi.Naya bahkan belum tahu apa yang sebenarnya terjadi pada Ghiyas. Hingga dia memutuskan untuk segera mengetahui apa
“Kamu keguguran, udah lama banget. Tapi kenapa enggak ngasih tahu Mas sama sekali? Apa Mas memang enggak berhak tahu di mata kamu? Atau karena kamu bersyukur karena ternyata kamu gagal jadi seorang ibu seperti yang kamu harapkan? Kamu enggak siap, bukan?”Ghiyas menatap ke arah Naya dengan tajam. Semula cara bicaranya lemah dan tenang. Perlahan kalimatnya semakin runcing dan nada bicaranya mulai terdengar lebih kuat.Naya mengulum bibirnya sejenak. Dia tak pernah menyangka, bahkan tak pernah berpikir jika Ghiyas akan mengetahui tentang kasus yang sudah dia tutupi dengan baik itu. Dia tak siap untuk bicara.“Naya enggak tahu Mas tahu soal itu dari siapa, tapi itu enggak benar. Naya enggak pernah hamil. Gimana Naya bisa keguguran?” Naya mencoba mengelak, terdengar gugup.Mendengar kebohongan dari Naya membuat Ghiyas tersenyum sambil menggeleng kecil. Ini ternyata istrinya. Banyak sikap Naya yang perlahan terlihat jelas perbedaannya.