“Waktu itu, dia datang ke ruangan kesehatan dengan mengeluhkan nyeri di perutnya. Katanya dia jatuh terduduk. Dia punya hubungan yang buruk sama teman di kantornya. Temannya ini bercanda mungkin, niatnya. Tapi ternyata efeknya benar-benar fatal. Dia enggak tahu kalau dia juga lagi hamil, yang gue tahu cuman segitu,” jelas Fajar.
“Dan di waktu yang sama, lo lagi enggak di sini buat dia, Ghi. Lo marah sama dia, karena sesuatu. Bukan karena keguguran itu?” tanya Rendi pada Ghiyas.
“Enggak. Gue sama dia ada masalah memang, tapi bukan tentang ini. Ngapain gue marah kalau dia keguguran? Gue harusnya ada di dekat dia, jaga dia, rawat dia. Bukannya malah pergi.”
Ghiyas mendesah kecil. Dia sedang memikirkan apa yang sebenarnya Naya pikirkan hingga tak memberi tahunya sama sekali. Sudah hampir setengah tahun, Naya menyembunyikannya berarti.
“Kenapa dia enggak ngasih tau lo, ya? Seharusnya dia cerita, sih.” Rendi mengo
Ghiyas terus terpikirkan tentang Naya seharian ini. Dirinya benar-benar kecewa atas apa yang disembunyikan Naya darinya. Tentang anak pertamanya yang telah lenyap akibat kecelakaan yang tidak dia ketahui sama sekali. Dan Naya memilih untuk bungkam darinya selama ini.Begitu pulang ke rumah, Ghiyas mendapati Naya yang mengirimkan foto jika dirinya sudah tiba di hotel. Naya tersenyum di foto itu sambil menunjukkan kamar hotelnya siang tadi.“Apa lagi yang sebenarnya ingin kamu sembunyikan, Naya?” gumam Ghiyas.Suaranya terdengar sangat lesu dan berat. Ghiyas memang tak akan mempermasalahkan jika memang Naya keguguran. Namun, Naya yang menyembunyikannya, yang membuatnya mempermasalahkan hal tersebut. Apa sulit untuk membuatnya tahu jika sempat akan menjadi ayah walau hanya sesaat. Bahkan Naya juga tahu, dia sempat akan menjadi ibu setelah anaknya mati.“Ctak!”Suara sesuatu yang putus membuat Ghiyas menolehkan kepalanya ke dind
“Ah, kenapa? Mas jadi bikin Naya penasaran.”[“Enggak, jangan terlalu dipikirkan. Fokus aja sama apa yang kamu lakukan di sana. Mas capek hari ini, Mas mau istirahat lebih awal.”] Ghiyas memang tampak lelah.Karena Ghiyas mungkin telah melalui hal berat hari ini, Naya menganggukkan kepalanya. Mengizinkan pria itu untuk segera menutup teleponnya dan istirahat. Walau Naya agak cemas dengan Ghiyas sekarang. Ada sesuatu yang aneh, Naya tahu itu. Ghiyas agak berubah padanya.“Oh, oke kalau gitu. Tapi Mas enggak kenapa-napa, kan?” Naya ingin memastikannya sekali lagi.[“Iya, Mas baik. Mas tutup, ya? Nite.”]“Sleepwell!” Naya tersenyum manis padanya begitu Ghiyas hendak mengakhiri panggilan itu.Begitu Ghiyas menutup teleponnya, Naya mendesis dan mulai berpikir tentang apa yang terjadi pada Ghiyas. Karena penasaran, Naya ingin mengirimkan pesan untuk bertanya pada Gabby tentang apa yang te
Naya terus menghubungi Ghiyas pagi itu. Handphone Ghiyas tidak aktif, tidak seperti biasanya. Itu membuatnya cemas. Belum lagi, Ghiyas terlihat aneh kemarin saat di panggilan video. Dan pagi ini, pria itu mendadak hilang kabar seperti waktu itu. Membuat Naya jadi merasa cemas.“Naya, ayo! Jika kamu sudah selesai sarapan, kita harus segera menuju ke tempat berikutnya!” ajak David seraya berjalan mendekati Naya yang sudah ada di dekat pintu keluar.Naya segera menoleh dan menganggukkan kepalanya dengan gugup. Dia tampak panik dan gelisah.“Ada apa? Kamu sakit? Kamu terlihat lebih pucat dan kamu terlihat gelisah,” ucap David memperhatikannya, cemas jika Naya sakit karena dia tampak tak sehat.“Tidak, bukan apa-apa.” Naya menggeleng kecil agar David tak banyak tanya lagi.Dan mereka kemudian segera pergi dari sana. Mereka memasuki mobil untuk melakukan pertemuan di sebuah gedung. Naya terus menerus membuka handphonen
“Ini materi yang akan kita tampilkan besok. Untuk acara besok, kita mulai jam 09.00, selesai mungkin sekitar jam 12.00 dan kita akan makan siang bersama. Setelah makan, kita baru akan pulang.”David mendengarkan penjelasan dari sekretarisnya yang telah mengatur jadwal mereka. Dan dia melirik ke arah Naya yang masih banyak diam. Dia kemarin sangat aktif dan bersemangat, dan secara mendadak hari ini Naya lebih banyak diam seperti biasanya lagi.“Naya, kelihatannya ada sesuatu yang mengganggu kamu dari pagi ini. Apa itu? Bahkan seharian ini, kamu tidak menunjukkan sikap yang sama seperti sebelumnya.” David terus mencurigainya.Naya kemudian menatap ke arah David. Widya dan Danu juga menatap ke arah Naya sekarang. Naya benar-benar sudah tak nyaman. Rasanya ingin segera pulang karena Ghiyas tak kunjung bisa dihubungi. Dalam sepersekian detik, Naya telah memutuskan untuk segera pulang.“Saya merasa tidak enak badan. Jika boleh, say
Naya berangkat pagi-pagi sekali untuk mengejar kereta pertamanya pagi itu. David mengantarkan Naya ke stasiun. Pria itu agak cemas, walau Naya tak menunjukkan jika dirinya sedang sakit hari itu.“Sampai di sana, pulang dan istirahat! Jangan keluyuran! Ditambah, jangan masuk kerja!” ujar David.“Baik, Pak. Terima kasih banyak,” ucap Naya sambil membungkuk kecil.David menganggukkan kepalanya dan mendekati Naya. Tangannya terulur untuk menepuk pelan bahu Naya. Sorot mata Naya melirik tangan David yang menepuk bahunya itu sebentar.Akhirnya, Naya memasuki kereta dan David kembali ke hotel. Naya lega akhirnya bisa pulang lebih awal. Ghiyas masih tak bisa dihubungi sampai hari ini. Ingin bertanya kepada orang tua mereka pun, rasanya sulit. Karena mereka pasti akan khawatir dan bertanya-tanya tentang apa yang terjadi.Naya bahkan belum tahu apa yang sebenarnya terjadi pada Ghiyas. Hingga dia memutuskan untuk segera mengetahui apa
“Kamu keguguran, udah lama banget. Tapi kenapa enggak ngasih tahu Mas sama sekali? Apa Mas memang enggak berhak tahu di mata kamu? Atau karena kamu bersyukur karena ternyata kamu gagal jadi seorang ibu seperti yang kamu harapkan? Kamu enggak siap, bukan?”Ghiyas menatap ke arah Naya dengan tajam. Semula cara bicaranya lemah dan tenang. Perlahan kalimatnya semakin runcing dan nada bicaranya mulai terdengar lebih kuat.Naya mengulum bibirnya sejenak. Dia tak pernah menyangka, bahkan tak pernah berpikir jika Ghiyas akan mengetahui tentang kasus yang sudah dia tutupi dengan baik itu. Dia tak siap untuk bicara.“Naya enggak tahu Mas tahu soal itu dari siapa, tapi itu enggak benar. Naya enggak pernah hamil. Gimana Naya bisa keguguran?” Naya mencoba mengelak, terdengar gugup.Mendengar kebohongan dari Naya membuat Ghiyas tersenyum sambil menggeleng kecil. Ini ternyata istrinya. Banyak sikap Naya yang perlahan terlihat jelas perbedaannya.
“Itu berarti kamu punya waktu sampai tiga hari untuk memikirkannya. Selama itu juga, jangan bicara sama Mas. Mas enggak mau kehilangan kendali atas diri Mas sendiri. Jangan berusaha memancing keributan sama Mas!” tegur Ghiyas tanpa lemah lembut.Dan saat itu juga, Ghiyas pergi berangkat bekerja. Meski jadwalnya siang, dia mungkin akan mampir ke apartemen Kevin dulu untuk sekedar beristirahat dan mempersiapkan dirinya kembali bekerja.Sementara Naya menangis sejadinya. Dia tak bisa merelakan salah satunya. Dia tak mau kehilangan semua yang sudah dia bangun sejak awal dan dia tak mau kehilangan pria yang sudah ada di hatinya.Dulu saat hatinya masih kosong, akan sangat mudah untuk melepaskan setiap pria yang bersungguh-sungguh padanya. Ghiyas berbeda. Pria itu telah merebut ruang kosong di dalam hatinya. Hatinya yang semula dingin, kian hangat jika pria itu ada bersamanya si sepanjang malam.Gadis itu menjambak kecil rambutnya dan mengeram kenca
Naya terbangun dengan mata sembab. Sudah lama sekali rasanya dirinya menangis karena perasaannya sendiri. Dan entah kenapa rasanya moodnya sedang tak bagus sama sekali.Begitu melirik ke jam digital, Naya tersadar jika dirinya bangun kesiangan. Karena semalaman dirinya menangis. Tak bisa memutuskan mana yang harus dia pilih dan dia selamatkan.Tanpa aba-aba, Naya langsung bangkit dari tempat tidurnya dan keluar dari kamar untuk melihat Ghiyas. Dan ya, Ghiyas sudah pergi. Sofa sudah rapi dan kelihatannya Ghiyas sengaja tak sarapan di sana. Ghiyas sudah meninggalkan apartemen pagi-pagi sekali. Entah ke mana.Naya memegangi kepalanya. Rasanya pusing karena dia bangkit terlalu tiba-tiba. Pandangannya kabur untuk beberapa saat hingga dia mendudukkan dirinya di lantai. Setelah pandangannya jelas dan kepalanya tak begitu pening, Naya menatapi apartemen yang terasa sangat sepi.Entah kenapa perasaan seperti ini sangat tidak wajar. Hatinya terasa sakit, dadanya te