Fely buru-buru datang ke apartemen Ghiyas karena Naya sulit dihubungi malam itu. Dia berharap untuk mengobrol dengan Naya. Namun karena Naya sulit dihubungi, dia jadi khawatir.
Dan Fely menekan bel berkali-kali. Dia yakin itu alamat yang tepat meski tak pernah datang ke apartemen Naya, lebih tepatnya apartemen Ghiyas. Dia menggedor-gedor pintu juga karena Naya tak kunjung membukanya. Hingga akhirnya gadis yang dinantinya keluar.
“Naya! Gila, lo! Bikin gue khawatir aja!” Fely memekik begitu melihat Naya dalam keadaan kacau.
Naya tampak hanya menggunakan celana pendek dan kaos oblong polos. Dengan rambutnya yang berantakan dan wajahnya pucat pasi. Matanya tampak sangat sembab. Wajahnya bengkak disertai kemerahan dan bekas-bekas tidur. Sungguh, Naya tampak sangat kacau.
“Lo kenapa? Lo sakit?” Fely jadi khawatir sekarang akan keadaan Naya.
Naya menggeleng kecil dan membiarkan Fely masuk. Naya langsung berbaring lagi di sofa, mem
Pagi itu, setelah mengeluarkan makan malamnya, Naya teringat akan testpack yang sudah dibelikan Fely. Dan di buru-buru keluar dari kamar mandi, menyambar alat tes kehamilan itu dengan segera.Dia pernah menggunakan ini sebelumnya. Namun, dibaca lagi dengan teliti cara penggunaannya. Sebelumnya, dia ditemani sosok suaminya yang menanti dengan harap-harap cemas di balik kamar mandi. Namun sekarang, tak ada yang menemaninya untuk tahu hasil alat tersebut.Setelah beberapa saat di atas dudukan toilet, Naya bangkit sambil memegangi alat itu dengan cemas. Dan ditatapnya alat itu dengan seksama. Jantungnya berdebar kencang di detik-detik itu. Hingga perlahan, sebuah garis merah muncul di kotak pertama dan diikuti satu garis merah lagi di kotak kedua. Jelas dan nyata—dua garis. Positif.Naya menjerit tertahan begitu melihat hasilnya. Kupu-kupu bertebaran di perutnya. Sungguh, dia tak pernah menduga jika dirinya akan sebahagia ini saat mengetahui dirinya hamil. Kar
Emosi Ghiyas meluap hingga tak bisa menahan amarahnya sendiri. Dan begitu dia melemparkan sebuah buku yang dibacanya tepat pada Naya dan mengenai wajahnya, Naya langsung berpaling dan mengaduh pelan. Sangat pelan hingga tak terdengar oleh Ghiyas.Gadis itu meringis kecil dengan tatapannya kosong ke arah lantai. Dia mati-matian menahan air matanya yang tak lagi sanggup dia bendung. Hingga akhirnya air matanya bercucuran secara perlahan membasahi pipinya. Dan Naya mematung di tempatnya berdiri.“Kamu berharap apa dengan membawa testpack ini sama Mas? Pengakuan dari Mas? Kamu bahkan enggak pernah mengakui Mas sebagai suami kamu. Buktinya apa? Buktinya kamu selingkuh. Ini anak Mas atau anak laki-laki lain, Mas enggak akan pernah tahu.”Ghiyas menatap Naya tanpa rasa iba sedikit pun. Dia marah, mengetahui Naya hamil tepat setelah mengetahui Naya memiliki hubungan yang spesial dengan pria lain.Sementara Naya menghapus air mata di pipinya dan berusa
“Punya anak gadis, dapat suami yang baik, keluarganya baik, pekerjaannya baik, malah disia-siakan! Mau ditaruh di mana muka Papa sekarang? Kemarin aja, Papa banggain kamu nikah sama dokter. Sekarang, Papa harus bilang kamu selingkuh bahkan sampai hamil?”“Enggak tahu malu! Enggak tahu diuntung! Apa ini yang balasan kamu sama Papa juga Mama? Setidaknya kalau tidak bisa berbakti, ya jangan durhaka! Sama orang tua enggak ada baktinya, sama suami malah durhaka! Sekarang pulang, keadaan bunting anak orang lain.”Berada di rumah orang tuanya tak membuat keadaan Naya membaik. Hari pertamanya dipenuhi oleh omelan papanya yang kecewa akan kelakuannya. Padahal dirinya sedang mual dan lemas.Setelah pertemuan dengan kedua belah pihak, semuanya kembali ke posisi awal. Layaknya Naya yang masih lajang dan Ghiyas yang masih lajang. Namun bedanya, Naya tengah hamil.Karena papanya, Naya mengurung dirinya di kamar. Dia tak nafsu makan, dan hanya be
Ghiyas berangsur-angsur pulih. Dia memegangi bahunya kala merasakan sakit saat menatapi beberapa berkas pasien di mejanya. Dan matanya melirik ke arah foto seorang gadis yang terpajang bersamanya di meja. Dia langsung menutup foto tersebut sedetik kemudian.Setelah mendapatkan telepon jika Naya masuk rumah sakit dari ibu mertuanya, dia tak bisa datang begitu saja ke sana. Untuk bekerja saja, dia sudah cukup memaksakan diri. Hingga dia menolak untuk datang dengan alasan banyak yang harus dia kerjaan karena sempat terbaring sakit.Pikirannya melayang pada gadis yang dikabarkan sedang dirawat di rumah sakit lain. Di mana karena kondisi tubuhnya yang melemah. Dia enggan makan dan mengurung diri. Ghiyas sempat tak berpikir jika Naya akan bereaksi seperti ini. Dia pikir Naya akan baik-baik saja seperti biasanya.Dia terlalu cuek dan bodo amat padanya. Ghiyas hampir menyesal mengambil keputusan ini. Namun hatinya tetap terasa sakit, menyadari jika anak yang dikandung N
Naya berbaring di kasurnya sambil menatapi handphone. Dia tengah menunggu balasan dari Ghiyas. Dia menunggu di ruang obrolan mereka. Namun, Ghiyas sama sekali tak membalas pesannya.Dari kemarin, Naya sudah mengirimkan foto bayi yang ada di rahim Naya pada suaminya. Sayang sekali, pria itu hanya membacanya pagi ini dan tak membalas. Membuat Naya menghela nafasnya panjang dan memejamkan matanya kala terasa mual lagi baginya.Dia berharap Ghiyas di sini, memijitnya seperti saat dia mabuk dan mengomel tentang apa pun itu. Mungkin karena tidak makan atau terus berbaring di tempat tidur selama seharian penuh.“Nay, makan dulu!” Edna memasuki kamar Naya tanpa permisi dan segera menghampirinya.Naya menoleh dan menggelengkan kepalanya. Dia terus menatapi handphone. Dia ingin ada di sana ketika Ghiyas mengetikan pesan dan kemudian dirinya segera membalas pesan Ghiyas.“Ayo makan! Habis makan minum obat sama vitaminnya,” ujar Edna.
“Mama mau belanja, nih. Kamu mau dimasakin apa buat makan nanti?”Naya yang tengah memakan buah mangga sebagai camilan berpikir sejenak. Ada yang dia inginkan.“Naya mau sesuatu, tapi bukan makanan, Ma. Naya mau minuman kesukaan Naya, yang sering Naya beli di kafe yang ada di dekat rumah sakitnya Mas Agi.” Naya mengatakannya dengan ragu-ragu.“Jauh banget,” balas Edna sambil menatapi putrinya yang mungkin tengah mengidam itu.“Emangnya di sini enggak ada? Minuman apa, sih?” Satria menimbrung dalam obrolan itu.“Ada, cuman pasti rasanya beda. Naya mau yang di kafe itu. Itu langganan Naya udah lama banget.” Naya memelas walau dia semakin ragu mengutarakan keinginannya saat ada sang papa.“Itu jauh banget, Naya. Masa Mama minta Ghiyas bawain jauh-jauh dari sana? Itu juga kalau Ghiyas mau. Disuruh jengukin kamu di rumah sakit waktu itu aja susah banget.” Edna mencibir.
Naya menatapi Kevin yang menyeberang menuju kafe dan memasuki kafe untuk membelikan red velvet yang dia rindukan. Sudah lama sekali rasanya dari terakhir kali dia mengunjungi kafe dan membeli minuman favoritnya itu. Dan dia meneguk ludahnya tak sabar.“Kamu lihat pemandangan yang mungkin bikin kamu cemburu? Kenapa enggak langsung labrak Ghiyas kayak waktu itu? Waktu itu, enggak peduli salah paham atau apa, kamu berani buat kayak gitu,” komentar Gabby sambil menjilat es krim yang sedang dia makan.“Enggak, aku enggak lihat apa-apa. Aku belum ketemu Mas Agi sama sekali, enggak lihat juga kalau dia tadi lagi ada di lobi,” jawab Naya cepat, dia merasa malu karena dipergoki Gabby.“Aku enggak bilang Ghiyas di lobi tadi.” Gabby melirik Naya yang mengulum bibirnya.“Ah ... Ini kayaknya kenapa Mas Agi hilang kepercayaan sama aku. Aku pembohong,” gumam Naya.Gabby lantas tersenyum kecil. Dia memperhatikan Naya
Ghiyas tengah memesan kopi di kantin. Tepat saat Gabby dan Kevin datang. Kebetulan sekali, mereka jadi lebih sering berduaan sekarang saat Rendi juga sibuk sendiri seperti Ghiyas.“Lo enggak lihat Naya datang kemarin?” tanya Gabby tiba-tiba saat berdiri di dekat Ghiyas.Ghiyas terdiam sejenak. “Ya, gue lihat. Dia sama kalian. Mungkin ke depannya akan terus begitu.”Kevin kemudian menyinggung senyumnya seraya menatap ke arah Ghiyas yang mungkin kesal karena mereka dekat dengan Naya. Ghiyas tengah memusuhi Naya.“Gue berusaha baik sama Naya, karena gue mau keponakan gue baik-baik aja. Sekarang keponakan gue udah muncul kaki sama tangannya,” balas Kevin dengan suara rendah.“Gue juga. Gue enggak peduli, dia hamil anak lo apa bukan. Tapi di mata gue, gue enggak akan lebih menyesal begitu tahu kalau itu bukan anak lo dari pada ternyata itu anak lo. Gue enggak mau sampai menyesal karena enggak pernah berbuat baik