Ghiyas berangsur-angsur pulih. Dia memegangi bahunya kala merasakan sakit saat menatapi beberapa berkas pasien di mejanya. Dan matanya melirik ke arah foto seorang gadis yang terpajang bersamanya di meja. Dia langsung menutup foto tersebut sedetik kemudian.
Setelah mendapatkan telepon jika Naya masuk rumah sakit dari ibu mertuanya, dia tak bisa datang begitu saja ke sana. Untuk bekerja saja, dia sudah cukup memaksakan diri. Hingga dia menolak untuk datang dengan alasan banyak yang harus dia kerjaan karena sempat terbaring sakit.
Pikirannya melayang pada gadis yang dikabarkan sedang dirawat di rumah sakit lain. Di mana karena kondisi tubuhnya yang melemah. Dia enggan makan dan mengurung diri. Ghiyas sempat tak berpikir jika Naya akan bereaksi seperti ini. Dia pikir Naya akan baik-baik saja seperti biasanya.
Dia terlalu cuek dan bodo amat padanya. Ghiyas hampir menyesal mengambil keputusan ini. Namun hatinya tetap terasa sakit, menyadari jika anak yang dikandung N
Naya berbaring di kasurnya sambil menatapi handphone. Dia tengah menunggu balasan dari Ghiyas. Dia menunggu di ruang obrolan mereka. Namun, Ghiyas sama sekali tak membalas pesannya.Dari kemarin, Naya sudah mengirimkan foto bayi yang ada di rahim Naya pada suaminya. Sayang sekali, pria itu hanya membacanya pagi ini dan tak membalas. Membuat Naya menghela nafasnya panjang dan memejamkan matanya kala terasa mual lagi baginya.Dia berharap Ghiyas di sini, memijitnya seperti saat dia mabuk dan mengomel tentang apa pun itu. Mungkin karena tidak makan atau terus berbaring di tempat tidur selama seharian penuh.“Nay, makan dulu!” Edna memasuki kamar Naya tanpa permisi dan segera menghampirinya.Naya menoleh dan menggelengkan kepalanya. Dia terus menatapi handphone. Dia ingin ada di sana ketika Ghiyas mengetikan pesan dan kemudian dirinya segera membalas pesan Ghiyas.“Ayo makan! Habis makan minum obat sama vitaminnya,” ujar Edna.
“Mama mau belanja, nih. Kamu mau dimasakin apa buat makan nanti?”Naya yang tengah memakan buah mangga sebagai camilan berpikir sejenak. Ada yang dia inginkan.“Naya mau sesuatu, tapi bukan makanan, Ma. Naya mau minuman kesukaan Naya, yang sering Naya beli di kafe yang ada di dekat rumah sakitnya Mas Agi.” Naya mengatakannya dengan ragu-ragu.“Jauh banget,” balas Edna sambil menatapi putrinya yang mungkin tengah mengidam itu.“Emangnya di sini enggak ada? Minuman apa, sih?” Satria menimbrung dalam obrolan itu.“Ada, cuman pasti rasanya beda. Naya mau yang di kafe itu. Itu langganan Naya udah lama banget.” Naya memelas walau dia semakin ragu mengutarakan keinginannya saat ada sang papa.“Itu jauh banget, Naya. Masa Mama minta Ghiyas bawain jauh-jauh dari sana? Itu juga kalau Ghiyas mau. Disuruh jengukin kamu di rumah sakit waktu itu aja susah banget.” Edna mencibir.
Naya menatapi Kevin yang menyeberang menuju kafe dan memasuki kafe untuk membelikan red velvet yang dia rindukan. Sudah lama sekali rasanya dari terakhir kali dia mengunjungi kafe dan membeli minuman favoritnya itu. Dan dia meneguk ludahnya tak sabar.“Kamu lihat pemandangan yang mungkin bikin kamu cemburu? Kenapa enggak langsung labrak Ghiyas kayak waktu itu? Waktu itu, enggak peduli salah paham atau apa, kamu berani buat kayak gitu,” komentar Gabby sambil menjilat es krim yang sedang dia makan.“Enggak, aku enggak lihat apa-apa. Aku belum ketemu Mas Agi sama sekali, enggak lihat juga kalau dia tadi lagi ada di lobi,” jawab Naya cepat, dia merasa malu karena dipergoki Gabby.“Aku enggak bilang Ghiyas di lobi tadi.” Gabby melirik Naya yang mengulum bibirnya.“Ah ... Ini kayaknya kenapa Mas Agi hilang kepercayaan sama aku. Aku pembohong,” gumam Naya.Gabby lantas tersenyum kecil. Dia memperhatikan Naya
Ghiyas tengah memesan kopi di kantin. Tepat saat Gabby dan Kevin datang. Kebetulan sekali, mereka jadi lebih sering berduaan sekarang saat Rendi juga sibuk sendiri seperti Ghiyas.“Lo enggak lihat Naya datang kemarin?” tanya Gabby tiba-tiba saat berdiri di dekat Ghiyas.Ghiyas terdiam sejenak. “Ya, gue lihat. Dia sama kalian. Mungkin ke depannya akan terus begitu.”Kevin kemudian menyinggung senyumnya seraya menatap ke arah Ghiyas yang mungkin kesal karena mereka dekat dengan Naya. Ghiyas tengah memusuhi Naya.“Gue berusaha baik sama Naya, karena gue mau keponakan gue baik-baik aja. Sekarang keponakan gue udah muncul kaki sama tangannya,” balas Kevin dengan suara rendah.“Gue juga. Gue enggak peduli, dia hamil anak lo apa bukan. Tapi di mata gue, gue enggak akan lebih menyesal begitu tahu kalau itu bukan anak lo dari pada ternyata itu anak lo. Gue enggak mau sampai menyesal karena enggak pernah berbuat baik
Hari ini, karena Fely akan pulang cepat, Naya menunggunya di rumah sakit. Mereka berencana untuk menonton di bioskop. Naya menunggu sambil duduk di taman rumah sakit. Karena merasa haus, Naya memasuki rumah sakit untuk mencari vending machine untuk memenuhi rasa harusnya.Naya membeli sebuah kopi. Dan tepat saat itu, Ghiyas mendekat untuk membeli minuman juga. Begitu Naya menoleh ke belakang, dia agak terkejut mendapati Ghiyas di depannya. Dan Ghiyas juga sedikit terkejut begitu mengetahui Naya yang berada di depannya itu.“Kamu ... Apa yang kamu lakukan lagi di sini? Saya sudah bilang, jangan temui saya,” ucap Ghiyas.“Idih, kepedean! Orang dia lagi nungguin saya buat ke bioskop bareng sekarang.”Suara Fely berhasil membuat keduanya menoleh. Dan Fely kemudian mendekati mereka berdua. Naya tengah memegangi kopi yang baru saja dia beli dari vending machine“Naya di sini bukan mau ketemu Mas, kok. Naya
Naya datang lagi ke rumah sakit. Dengan alasan akan makan siang bersama dengan Fely. Padahal dia datang untuk melihat Ghiyas lagi. Dia memikirkan apa yang bisa menarik perhatian Ghiyas.Jika kopi lagi, mungkin Ghiyas tak akan menegurnya lagi. Sesuatu yang bisa membuat Ghiyas menegurnya selanjutnya. Dia bahkan mencari tahu di internet untuk itu. Dan dia menemukan soda, yang berisiko membuatnya melahirkan secara prematur. Toh, dia tak akan meminumnya.Naya hanya memegangi kaleng minuman bersoda di kafetaria. Dan dia akhirnya melihat Ghiyas bersama dengan Rendi, mengobrol santai sambil lewat ke arahnya. Naya mencoba mencari perhatian dengan membuka kaleng soda tersebut.Sayangnya, Ghiyas tak melihatnya dan justru menghampiri perawat yang kemarin. Mereka saling sapa dengan senyuman di wajah mereka dan kemudian pergi bersama.Itu membuat Naya menggigit bibirnya dan menaruh minuman itu dengan perasaan kecewa.***Dan belakangan ini, Ghiyas memang
Naya mengerjapkan matanya beberapa kali. Dan lihatnya sosok Ghiyas yang kini duduk di dekatnya. Naya mencium aroma kayu putih, dan melihat tangan Ghiyas yang sedang memeganginya di dekat wajahnya. Naya melihat ke sekeliling, tempat yang asing baginya.Melihat Naya yang sadar, Ghiyas mengambilkan teh manis yang hangat, yang disediakan oleh para staf di sana. Ghiyas mendekatkan gelasnya mendekati Naya. Naya menatap Ghiyas sejenak sebelum dia meminumnya lewat sedotan.Tangan Ghiyas terulur untuk memegangi pipinya. Dan dia merasa pipi Naya sangat dingin saat itu.“Lain kali jangan keseringan bergadang! Kamu bisa kelelahan akut yang nanti berefek pada janinnya yang ikut melemah!” ujar Ghiyas sambil menaruh gelas berisi teh hangat.Setelah Naya merasa baikan, Ghiyas mengantarkan Naya untuk pulang. Naya tidak menggunakan mobil ke supermarket karena jaraknya cukup dekat dengan apartemennya.Ghiyas mengantarkan Naya dengan mobilnya, sekalian dia
Naya berjalan menuju ke perusahaan di mana dia diterima. Letaknya cukup jauh dari apartemennya hari itu. Dan Naya tampak sangat rapi untuk bekerja. Dia tak akan menyia-nyiakan kesempatannya.Begitu memasuki gedung yang dia tuju, Naya memperhatikan orang-orang di sekitarnya yang mulai menatap ke arahnya, mungkin karena dia asing bagi mereka. Dan Naya segera memasuki kantor atasannya untuk segera melapor.Dan tampak seorang pria dengan tubuh gempal menyambutnya di belakang meja. Dia tersenyum menatap Naya yang tampak agak ragu saat melihat senyumannya. Mengerikan sekali.“Selamat pagi, saya Naya, yang mendapatkan surel dari Anda—Tuan Gerry tadi malam,” sapa Naya.“Ah, iya. Kamu Naya itu. Kamu menyatakan jika kamu sedang mengandung sebagai kekurangan kamu. Tapi yang saya lihat, itu justru kelebihan kamu.” Pria itu terkekeh kecil sambil memperhatikan tubuh Naya yang memiliki postur tegap dengan perutnya yang tengah menonjol itu.