Wajah Kania memucat, apa dia katakan saja yang sebenarnya? atau disembunyikan saja hubungan mereka? Entahlah.... Wanita itu tetap bergeming hingga ucapan sang Papa mengejutkan dirinya. "Sebenarnya Papa ingin menjodohkan kamu dengan Pak Rangga." Deg Jantung Kania yang awalnya baik-baik saja kini berpacu dengan cepat, sehingga matanya turut membuka sempurna. "Apa!? dijodohkan dengan Rangga? CEO siputra Group itu?" Suara Kania sedikit meninggi mengiringi keterkejutannya. "Iya, dia hampir mirip dengan Arga. Lagipula kemarin Papa juga sudah bicara dengan papanya." Jelas sang Papa. Jika dilihat dari ekspresi dan raut wajah jelas Papa Kania lebih setuju apabila sang anak bersama Rangga daripada dengan Damar. Tapi Kania menolak keinginan sang Papa, dia baru saja jadian dengan Damar jadi bagaimana mungkin dia bersedia dijodohkan dengan Rangga. "Kania tidak bisa Pa." Tuturnya kemudian. Jawaban Kania membuat papanya kecewa, "Apa penolakan kamu ini karena Damar?" Papa Kania sud
Pagi itu Kania sibuk berkutat di dapur, dia sengaja menyiapkan makanan untuk kekasih tercintanya yang kini berada di rumah sakit. Kotak bekal makanan siap di meja makan tentu hal ini mengundang pertanyaan sang Papa. "Bekal makanan ini untuk siapa?" Kania tersenyum menatap sang papa. "Untuk Damar Pa, sebelum ke kantor Kania mau jenguk dia terlebih dahulu." Pria paruh baya itu agak kesal mendengar jawaban sang anak. "Apa kamu yakin dengan Damar Kania?" Sang papa juga menatap balik sang anak. Seraut wajah nanar mencuat, dia mencintai Damar tentu dirinya yakin bersama pria itu. "Seratus persen Pa, Kania mencintainya." Sebagai orang tua tentu sang papa menginginkan yang terbaik untuk sang anak tapi apabila sang anak menolak, sang Papa pun tidak bisa apa-apa selain mendoakan. "Meskipun begitu Papa harap kamu bisa berpikir kembali Kania, Rangga jauh lebih baik dari Damar." Ujar sang Papa yang kemudian pergi meninggalkan makanan yang baru dimakan sedikit. "Pa, maafkan Kania.
Sepanjang perjalanan Lalita terus saja tertawa melihat ekspresi sang suami, baru begini saja sudah bingung setengah mata lantas bagaimana apabila dirinya melahirkan nantinya? "Mas Mas, malu sama dokternya." Lalita menggelengkan kepala. Arga masa bodoh, memangnya malu kenapa toh mereka juga sudah menikah. Kini mereka fokus dengan pandangan mereka masing-masing hingga suara Lalita terdengar. "Mas aku masuk kerja ya, bosan aku di rumah. Lagipula kan hanya kontraksi biasa." Dengan tatapan memohon Lalita meminta Arga mengijinkannya bekerja. Tatapan maut pria itu lempar, sudah terlihat apabila dia tidak setuju dengan keinginan sang istri. "Aku tidak mau ambil resiko, di rumah saja istirahat!" Ucapannya bak harga mati yang tidak bisa dibantah sehingga Lalita diam menunduk, menurut apa yang suaminya ucapkan. Usai mengantar Lalita pulang, Arga bergegas berangkat karena dirinya sudah sangat telat. Pekerjaan hari ini sangat banyak, ketidakhadiran sekertaris maupun asistennya membuat
Kata-kata marah hilang sudah, bahkan rasa kesal yang sedari tadi bergejolak di dada tak tau kemana. Kini hanya ada rasa nikmat yang terus sang pria berikan. Kecupan lembut berubah menjadi pautan panas yang membuat keduanya hanyut dalam nafsu. Kania meremas tangannya yang berkeringat, aktivitas mereka cukup membuat suhu tubuh naik drastis meski ada AC mobil yang terus menyala. Mata Kania terpejam, dia begitu menikmati setiap kecupan, bahkan lidahnya turut bermain beriringan dengan lidah sang kekasih. Nafas terus memburu seiring aktivitas mereka sehingga selang berikutnya Damar mengakhiri pautannya. Keduanya saling diam, sambil mengatur nafas masing-masing. "Kamu kenapa nggak bilang-bilang?" Protes Kania malu-malu sambil mengusap sisa saliva di bibirnya. "Kalau bilang belum tentu kamu mau," sahut Damar dengan malu-malu pula. "Pasti mau lah Damar." Spontan Kania keceplosan. Wanita itu memukul kecil kepalanya, menyipitkan mata merutuki kebodohannya. 'Apa yang aku kata
Tak kunjung mendapatkan balasan, Direktur keuangan itu memutuskan kembali ke ruangannya. Pria paruh baya itu berpikir mungkin Sang anak ikut dinas luar CEO. Di ruangannya setelah usai makan siang, Kania dan Damar kembali bekerja. Damar yang terbiasa kerja cepat dan fokus nampak tak menghiraukan Kania yang justru tak fokus, kedua netra Sang kekasih terus saja menatap Damar. "Dia sungguh tampan." Manager itu berbicara dalam hati sambil terus menatap atasannya. Tau apabila sang kekasih terus menatapnya, Damar pun berkomentar. "Pekerjaan tidak akan mungkin selesia apabila kamu terus menatap aku Kania." Terlihat Kania tersentak kaget, sejurus kemudian dia mulai membuka laptop miliknya. Melihat Kania, bibir Damar tertarik. Sungguh menggemaskan sekali kekasihnya. "Jika tidak di kantor pasti sudah aku cium dirimu." Keduanya kini fokus dengan pekerjaan masing-masing hingga tak jam pulang telah datang. Damar yang masih ada urusan bersama Arga meminta Kania untuk pulang terlebih
"Aku bukan pria brengsek yang suka mempermainkan wanita Kania!" Suara dingin Damar mencuat. Tatapan Damar yang kian menajam membuat wanita itu sedikit ketakutan. "Jika tidak kenapa tidak mau menemui Papa." Tanpa berani memandang mata sang kekasih Kania mengutarakan protesnya. Damar hanya bisa menghela nafas, bukan tidak mau hanya saja dia harus mempersiapkan segalanya dahulu, dia yakin apabila Papa Kania meminta dirinya untuk segera melamar. "Bukannya tidak mau Sayang, tapi tunggulah sebentar." Damar berusaha membujuk Kania. "Hanya bertemu saja apa sih susahnya!" Manager itu memberengut membuat Damar semakin frustasi akan sikapnya. "Baiklah nanti aku akan datang ke rumah." Akhirnya Damar setuju datang ke rumah Kania, meski dia tak tau jawaban apa yang akan diberikan kepada kedua orang tua Kania. Wajah memberengut perlahan berubah, terlihat Kania begitu bahagia sehingga tanpa sadar dia memeluk Damar dengan erat. "Makasih Damar, kamu memang terbaik." "Sama-s
Mobil Damar telah terparkir rapi di depan rumah Kania tapi pria itu masih di dalamnya. Dia memikirkan apa yang harus dikatakan kepada kedua orang tua kekasihnya. Di kantor mungkin dirinya terbiasa bicara atau bahkan memerintah Pak Hutama tapi kali ini momentnya sungguh berbeda. "Ayo Damar." Dia menyemangati dirinya sendiri dan meyakinkan semua akan baik-baik saja. Sejurus kemudian Damar keluar dari mobil, dia berjalan menuju pintu rumah mewah itu. Di depan pintu dia memberi salam kepada salah satu pelayan yang terlihat ingin keluar rumah. "Anda tamu Nona Kania ya." Pelayan perempuan itu tersenyum. Kelihatannya kehadiran Damar sudah ditunggu hingga pelayan pun tahu. Anggukan kecil Damar membuat pelayan itu mempersilahkannya masuk. Menunggu beberapa saat, kini Kania dan kedua orang tuanya keluar. Damar yang awalnya duduk kini berdiri menjabat calon mertuanya. "Selamat malam Ibu dan Pak Hutama." Sapanya. Terlihat pria itu sedikit gugup dengan tatapan kedua orang tua Kania. K
"Sayang boleh aku bertanya sesuatu?" Di dalam mobilnya Damar bertanya pada sang kekasih. Kania yang fokus melihat jalanan ibukota pun menoleh, "Apa Mas?" Balik dia bertanya. "Kenapa kalian kaum hawa suka sekali dengan kata terserah, kenapa nggak ngomong langsung mau ini, ingin kesini, mau kesana atau apalah." Pertanyaan Damar mengundang tawa wanita itu, giginya yang putih terlihat bahkan suara tawa mulai terdengar. "Biar kalian kaum Adam peka dengan kita," sahut Kania enteng. "Peka yang bagaimana? kamu para pria bukan cenayang yang bisa tahu keinginan kalian." Damar merasa heran dengan jawaban Kania, padahal kamu pria itu mahkluk yang tidak mau ribet, wanitanya bilang ini pasti segera diturui tanpa drama. "Maka dari itu pria terus belajar jadi cenayang Mas biar bisa langsung tau apa yang kami inginkan." Penjelasan Kania benar-benar membuat Damar tak tahu harus berkata apa, ternyata wanita bukanlah mahkluk sederhana, mereka jauh menyeramkan dan ancaman para kaum Adam