Fabian tersenyum sambil mengelus rambut Dian."Ini nggak ada apa-apanya, semasa muda dulu Ayah sering bergadang semalaman.""Malam ini Ayah harus menemanimu."Semasa kecil, setiap kali Dian sakit, Fabian dan Nadin akan merawatnya.Fabian mempertahankan kebiasaan ini, dia akan menemani Dian setiap kali putrinya itu tidak enak badan.Mengingat kenangan masa lalu itu, Dian tidak bisa menahan air matanya, dia memanggil "Ayah". Tak peduli seberapa aman dirinya sekarang, dia masih dilanda ketakutan.Dia membujuk Fabian pulang karena kasihan padanya, tapi sebenarnya dia membutuhkan kehadiran ayahnya di sini.Tidak ada yang bisa menandingi rasa aman yang diberikan seorang ayah.Fabian merapikan rambut berantakan Dian dan mengaitkannya ke belakang telinga sambil berkata, "Ayah akan selalu menemanimu, jangan takut."Sesuai dugaan Fabian, Dian terbangun tengah malam.Dia tanpa sadar memanggil ayahnya, Fabian bergegas ke sisinya, seolah belum tidur.Kata-kata Fabian sebelum Dian tertidur bagaikan
Dian mengedipkan mata sambil bertanya, "Tapi bagaimana kalau terjadi sesuatu?"Fabian menjawab dengan tegas, "Nggak mungkin."Dian ingin bertanya, jika sesuatu terjadi padanya dan Lesti serta Ririn pada saat yang sama, apakah dia masih akan bergegas ke sisinya seperti ini?Namun, pertanyaan ini terdengar terlalu perhitungan.Karena Fabian sudah cukup menderita, Dian tidak ingin menanyakan hal seperti ini lagi, dia takut mendengar jawaban ataupun melihat keraguan ayahnya.Fabian terus menghibur Dian hingga akhirnya tertidur lelap, mungkin karena ada sosok ayah di sisinya, kali ini dia tidak bermimpi buruk, sebaliknya tidur nyenyak sampai fajar.Setelah bangun, Dian merasa seperti berada di dunia lain.Fabian memenuhi janjinya berada di sisi Dian. Saat ini, dia berdiri di dekat jendela sambil minum secangkir teh. Meskipun belum terlalu tua, dia harus menerima kenyataan, setelah tidak tidur semalaman, dia harus mengandalkan teh pekat ini untuk mempertahankan semangatnya di siang hari."Su
Fabian memapah Dian sambil berkata, "Bibi Sri paling tahu seleramu. Kalau bukan karena Ayah bilang kesehatanmu belum membaik dan melarangnya datang, pasti sekarang dia sudah menangis di hadapanmu."Seulas senyuman muncul di wajah Dian ketika menyebut Bibi Sri, "Kalau begitu sepulang nanti, beri tahu Bibi kalau aku baik-baik saja, jangan membuatnya khawatir."Lesti mengambil kesempatan ini untuk mengusulkan Dian pulang dan tinggal di rumah.Dian mengunyah roti tanpa bersuara, rasa roti ini sangat familier, memang buatan Bibi Sri.Fabian tidak langsung menjawab, hanya mendengar Lesti melanjutkan, "Kejadian besar baru saja menimpa Dian, tubuhnya juga masih lemah. Bukankah sulit baginya merawat diri kalau tinggal di luar?""Lebih baik tinggal di rumah, kita semua bisa membantunya, Dian juga bisa makan makanan kesukaannya. Bukankah tubuhnya akan lebih cepat pulih?""Fabian, bagaimana menurutmu?"Fabian juga mengangguk, tapi tidak memaksa Dian."Dian, apa kamu mau pulang?""Kalau nggak mau,
Keduanya saling memandang, lalu berpelukan."Terima kasih, Lesti. Kamu nggak tahu, betapa bahagianya aku."Mata Lesti berkaca-kaca, "Akhirnya kita punya anak, Fabian. Kita sudah terlalu lama menantikannya."Dian memandang mereka dengan tatapan dingin, Ririn bahkan mendekat dan memeluk ibunya."Ayah, Ibu, sebentar lagi kita akan menyambut adik laki-laki, Keluarga Sandiga akan semakin lengkap."Saat ini, Fabian melepaskan Lesti, seolah teringat sesuatu. Dia menyeka air mata di sudut matanya, benar-benar tidak menyangka Lesti akan memberinya kejutan sebesar itu, "Bisa jadi adik perempuan, nggak peduli laki-laki atau perempuan, dia akan jadi anak kesayanganku."Lesti menitikkan air mata dan mengangguk sambil berkata, "Dia memang anak kesayangan kita."Mereka bertiga sepenuhnya mengabaikan Dian yang terbaring di ranjang rumah sakit.Fabian terlalu senang hingga melupakan putri sulungnya.Lesti dan Ririn melakukannya dengan sengaja, terutama saat mereka bertiga sekeluarga berpelukan, Ririn d
"Huh, dari suaramu kedengarannya sudah pulih?"Di kantor, setelah mendengar suara Dian, semua rasa lelah di tubuh Phillip serasa menghilang, dia bersandar di kursinya dengan santai.Meskipun Fabian yang membawa Dian pergi, faktanya Phillip masih tegang sampai dia mendengar sendiri suara Dian.Akhirnya dia bisa lega."Um, aku jauh lebih baik sekarang, tapi masih kurang bertenaga, dokter menyarankan untuk dirawat di rumah sakit beberapa hari. Setelah keluar, aku akan pulang dan tinggal di rumah."Dian melaporkan seolah-olah sedang mengobrol dengan teman lama, Phillip tiba-tiba membuka matanya.Kemudian bertanya, "Tinggal di rumah? Memangnya kamu mau tinggal dengan Lesti dan Ririn?"Begitu mendengar reaksi Phillip, Dian langsung tahu kejadian hari itu pasti berhubungan dengan mereka."Jadi kejadian yang menimpaku hari itu berhubungan dengan Lesti?"Pertanyaan Dian membuat Phillip merasa aneh, "Apa ayahmu nggak menceritakannya?""Aku sudah menyampaikan keseluruhan ceritanya, juga mengingat
Phillip bergurau.Dian berkata sambil memonyongkan bibir, "Kita sudah seakrab ini, apa sekali makan nggak cukup memuaskanmu? Kalau begitu, dua kali makan. Aku akan mentraktirmu sebanyak yang bisa kamu makan."Phillip menjawab, "Pegang ucapanmu, ya. Jangan mengingkari janji, aku akan merekamnya.""Cih, aku selalu menepati janji," balas Dian.Saat ini mereka belum tahu, hanya dalam waktu satu bulan, hubungan mereka akan berubah drastis dan pemandangan harmonis seperti ini tidak akan pernah terlihat lagi di hadapan mereka.Fabian menemani Lesti melakukan pemeriksaan fisik. Ketika hasil USG berukuran kecil itu mendarat di tangannya, barulah dia benar-benar yakin, dia akan punya anak!Di hadapan dokter, dia mencium pipi Lesti seolah tidak ada orang lain yang memperhatikan, "Terima kasih telah memberiku anak ini. Aku akan memberikan apa pun yang kamu inginkan."Lesti menghindar sejenak, terlihat agak malu."Sudahlah, kita bukan pengantin baru lagi, untuk apa bicara seperti ini? Lagi pula, bu
Melihat mata Dian melebar, bahkan bersikeras mengatakan dia tidak perlu membayar, Phillip semakin merasa jijik."Apa kamu berkomplot dengan ayahmu, dia jadi penjahat dan kamu jadi orang baiknya, sekarang kamu berpura-pura nggak bersalah di hadapanku?""Tanpa persetujuan darimu, mana mungkin dia datang mengajukan permintaan seperti itu?""Tadinya aku nggak mau datang, tapi mengingat keluargamu melakukan hal menjijikkan seperti itu, ingin sekali aku bertanya padamu.""Atau sejak awal kamu memang punya niat tidak murni untuk mendekatiku?"Dian tidak bisa tersenyum lagi, dia merasa seolah dipaku pilar rasa malu.Dia bahkan tidak mengerti apa yang dibicarakan Phillip, tapi dia tahu pasti ada hubungannya dengan keluarganya dan satu-satunya keluarganya adalah Fabian."Keluargaku melakukan sesuatu yang nggak bisa kamu terima. Aku nggak tahu apa yang mereka lakukan, tetapi kalau itu masalahnya, bolehkah aku minta maaf dulu padamu? Jangan bicara seperti ini, ya?"Phillip mencondongkan tubuhnya s
Setelah itu, Phillip bangkit dan pergi, meninggalkan Dian sendirian.Menikah apanya? Kapan dia bilang mau menikah dengan Phillip? Perasaan Dian terungkap, dia seakan jatuh ke dalam gudang es.Apa yang terjadi sebelum dia keluar dari rumah sakit?Dian segera memanggil pelayan, membayar tagihan dan bergegas pulang.Awalnya dia membayangkan segalanya berjalan dengan baik. Mereka berdua telah melalui banyak hal bersama, bahkan berbagi kesedihan, hubungan mereka pasti lebih dekat dari sebelumnya. Dia tidak pernah mengharapkan pria ini jatuh cinta padanya, tapi dia menyukai pria ini dan ingin pria ini lebih memperhatikannya.Namun, dia tidak pernah menyangka semuanya akan berakhir seperti ini. Sebelum terpikirkan olehnya, keluarganya sudah menutup jalan keluar untuknya."Ayah, katakan yang sejujurnya, apa Ayah menemui Phillip? Apa yang sebenarnya Ayah lakukan?"Fabian tidak menyangka Dian akan secepat itu menanyakannya. Dia menjawab dengan ragu-ragu, "Maksudnya apa menemui Phillip? Kamu piki