Prediksi Phillip benar. Saat dia masih dalam perjalanan, dia menerima telepon dari temannya.Dian memang berada di Hotel Golden dekat perusahaannya. "Tolong bantu aku cari tahu di lantai berapa dia berada?""414! Cepat kemari." Suara teman di seberangnya juga sangat serius, "Aku melihat dia sedikit linglung saat berada di koridor hotel. Ada yang nggak beres, dia sepertinya telah dibius ...."Begitu dia mengucapkan kata-kata ini, dia segera berhenti berbicara. Suasana di sisi Phillip menjadi sangat serius."Terima kasih. Aku akan mengucapkan terima kasih setelah masalah ini selesai.""Hei, Ini hanya masalah sepele. Yang terpenting semuanya baik-baik saja. Jangan khawatir, aku sudah menelepon staf hotel untuk datang. Aku harap ... aku harap kamu masih sempat menyelesaikannya.""Siapa yang kurang ajar seperti ini. Berani-berani dia melakukan hal kotor seperti itu di hotelku ...."Phillip tidak bisa mendengar kata-kata temannya dengan jelas. Dia segera menutup telepon, lalu menginjak pedal
"Apakah orang di dalam baik-baik saja?" tanya Phillip dengan suara serak.Kedua staf yang tadi berjaga saling memandang dengan ekspresi ngeri. "Ada seorang pria yang mengaku sebagai pacar penyewa di dalam, jadi dia masuk. Kami nggak tahu apakah ada orang yang kamu kenal tinggal di sini!"Phillip langsung berkata dengan panik, "Cepat buka pintunya!""Oh? Oh! Oke!"Staf membawa kartu akses seluruh hotel. Saat pintu terbuka, Phillip tampak tiba-tiba memikirkan sesuatu. Dia meminta staf lain mundur beberapa langkah untuk memastikan tidak ada yang melihat pemandangan di dalam ruangan di dalam. Kemudian, dia baru berjalan masuk.Saat itu hatinya berdebar-debar, sampai dia melihat seorang lelaki kurus terjatuh ke lantai sambil memegangi perutnya.Dian memegang setengah pecahan kaca di tangannya. Telapak tangannya berdarah. Untungnya, Phillip tiba tepat waktu.Phillip mengambil beberapa langkah ke depan, kemudian dia segera menutupi tubuh Dian dengan selimut katun. Phillip dengan hati-hati mem
Phillip mendengar suara Lesti. Saat dia meletakkan Dian di tempat tidur lagi dan sebelum dia bisa menyelimutinya dengan selimut, pintu telah terbuka."Perhatikan sikapmu. Jangan menakuti Dian. Dian mungkin hanya berpacaran. Dia nggak bersalah. Kamu nggak boleh mendengarkan rumor orang lain begitu saja dan nggak memercayai anakmu."Lesti terus membela Dian di sepanjang jalan. Dia sepertinya sangat memedulikan Dian. Hanya Fabian yang terlihat sangat marah. Dia tidak percaya orang-orang mengatakan putrinya tidak menghargai tubuhnya sendiri. Namun, ketika dia melihat semua foto di depannya, dia ragu apakah dia terlalu ketat terhadap anak-anaknya dulu. Jadi, sekarang Dian menjadi pembangkang dan ingin melampiaskannya dengan cara ini. Fabian tidak tahu jika Dian benar-benar menjadi seperti ini. Bagaimana dia akan menghadapi mendiang ibunya?Namun, ketika dia membuka pintu, dia tidak menyangka akan melihat orang yang tidak terduga. Seketika, ekspresi Lesti langsung menjadi masam."Kamu ... ke
Phillip mengangguk dengan pelan untuk mengungkapkan permintaan maafnya, "Paman, bisakah kita mencari tempat lain?""Ada hal-hal yang aku harap hanya kita berdua yang tahu."Lesti berkata dengan cemas, "Pak Phillip nggak baik melakukan ini, 'kan? Aku juga ibunya Dian. Ada beberapa hal yang harus aku ketahui. Aku ingin tahu kapan kamu dan Dian berpacaran?""Karena kalian berdua telah berpacaran, kenapa kalian nggak memberi tahu kami? Bagaimana kamu bisa begitu nggak bertanggung jawab?"Sebelum dia bisa menyelesaikan kata-katanya, Lesti disela oleh putrinya, "Bu, bisakah Ibu tutup mulut? Mereka hanya berada di satu ruangan, kapan mereka berpacaran? Bisakah Ibu mendengarkan kata-kata Kak Phillip dulu?""Kamu membuatku kesal!"Saat dia mendengar nama Ririn, Phillip tanpa sadar mengerutkan keningnya. Namun, saat ini dia merasa lebih penting untuk menjelaskan kepada Fabian apa yang terjadi."Baiklah, aku akan menanyakan soal ini. Kamu dan Ririn tunggulah di sini."Fabian berjalan ke ujung kor
Fabian mengangguk dengan wajah masam sambil berkata, "Aku tahu Pak Phillip orang yang membenci kebohongan, sama sepertiku. Kalau sampai kelak aku tahu kamu berbohong atas kejadian hari ini, aku nggak akan melepaskanmu."Phillip mengangguk sambil menjawab, "Aku terima."Entah apa yang dibicarakan kedua pria itu, Lesti terus memperhatikan mereka, tetapi tak sedikit pun pembicaraan mereka terdengar olehnya, dia terus berjalan bolak-balik di depan pintu kamar rawat Dian dengan cemas."Ibu sudah gila, ya? Kok bisa-bisanya Ibu mengirim Phillip ke kamar Dian?""Atau ada yang salah dengan pikiran Ibu? Jelas-jelas Ibu tahu, putrimu ini menyukai Phillip, kenapa kesempatan bagus ini malah Ibu berikan pada wanita sialan itu?"Ririn bertanya pada ibunya dengan wajah putus asa, "Mungkinkah Ibu sudah kecanduan menjadi ibu tiri? Apa Ibu benar-benar menganggap diri Ibu sebagai ibu dari wanita itu?""Sebenarnya apa yang ada di pikiran Ibu?"Ririn benar-benar putus asa. Membayangkan pria yang disukainya
Raut wajah Fabian sangat jelek. "Sudahlah, jangan banyak bicara lagi, kejadian ini nggak ada hubungannya dengan Phillip. Siapa pun yang membocorkan kejadian hari ini harus keluar dari kediaman Keluarga Sandiga. Ingat itu."Lesti seolah tidak mengerti, "Fabian, apa maksudmu?""Bukankah kita sekeluarga? Mana mungkin kami membocorkan kejadian ini? Kami bahkan nggak tahu apa yang sebenarnya terjadi."Meskipun berkeringat dingin di bagian belakang lehernya, Lesti tetap melawan Fabian dengan keras kepala.Dia tahu dia tidak bisa menyerah sekarang. Begitu dia merasa bersalah, Fabian pasti akan menyalahkannya atas kejadian ini.Ririn bahkan membela ibunya, "Ayah, ucapan Ayah keterlaluan. Apa Ayah akan membuang ikatan keluarga yang sudah kita jalin selama ini?""Ucapan Ayah benar-benar menyakiti kami."Ibu-anak itu menangis tersedu-sedu, sementara Dian belum sadarkan diri, kepala Fabian sampai berdenyut."Sudahlah, apa belum cukup memalukan?""Nanti kita bicarakan di rumah saja."Melihat ekspre
"Kamu tahu seberapa besar pengorbananku untuk keluarga ini, tapi sekarang kamu menyalahkanku atas semuanya hanya karena Dian.""Benar, nama belakangku bukan Sandiga, tapi dengan segala pengorbananku, apa aku masih belum layak dianggap sebagai anggota Keluarga Sandiga?"Fabian memeluk Lesti sembari menepuk punggungnya, "Sudahlah, aku yang salah bicara, aku nggak bermaksud seperti itu, aku hanya terlalu cemas. Ada orang luar di sini, beri muka untukku, oke?"Fabian menghiburnya lagi, Lesti pun berhenti menangis, tapi dia terlihat pucat dan lemah."Setelah mengantar Dian ke rumah sakit, kamu juga sekalian periksakan kesehatanmu, kamu terlihat pucat," kata Fabian. Setelah itu, dia menoleh ke arah Ririn sambil berkata, "Ririn, kemarilah, papah ibumu."Namun tak disangka, seluruh pikiran Ririn tertuju pada Phillip. Dia menatapnya dengan cermat, seolah takut ada ekspresi yang luput dari pengamatannya. Phillip tentu menyadari tatapan itu, tetapi memilih mengabaikannya.Tatapan Ririn membuatnya
"Lesti, katakan yang sejujurnya, apa kejadian hari ini ada hubungannya denganmu?"Jari-jari Lesti membeku di bahu Fabian. Dia ingin menarik kembali tangannya, tapi Fabian menangkapnya. Dia menjawab dengan senyuman canggung di wajahnya, "Apa maksudmu? Bukankah sebelumnya aku sudah menjelaskannya padamu?""Kenapa kamu masih menanyakannya?"Fabian mengamati wajahnya dengan cermat, tidak ingin ada ekspresi yang luput dari pengamatannya."Bagaimanapun juga Dian putriku, aku paling memahami karakternya, dia nggak mungkin melakukan hal seperti ini.""Sekalipun suka bersenang-senang, dia nggak akan main-main dengan tubuhnya, apalagi dokter mendeteksi adanya kandungan obat tidur dalam tubuhnya.""Setahuku kualitas tidur Dian sangat baik, sama sekali nggak ada gejala insomnia, lalu dari mana obat tidur ini berasal?"Lesti mengulurkan tangan, berlagak marah, "Berarti maksudmu, aku berbohong?""Dian, putrimu itu anak yang baik, dia nggak pernah melakukan kesalahan, aku yang mencelakainya!""Dia su